B. Kata-kata
Kata-kata menjadi media bagi firman Allah, dan media yang mengambil bentuk kata-kata manusia. Kita dapat membaginya ke dalam empat kategori: suara ilahi, firman melalui para nabi dan rasul, Firman yang tertulis, dan pekerjaan pemberitaan firman serta pengajaran.
1. Kata-kata dari Allah dalam suara ilahi
Banyak kali di Alkitab, umat mendengar firman Allah dari “mulut” Allah sendiri, secara langsung. Ini terjadi di taman Eden, dan ketika umat berkumpul di sekitar Gunung Sinai. Ketika Yesus berada di atas bumi, orang banyak berkali-kali mendengar suara ilahi dari langit (Mat. 17.5; Luk. 3.22), dan banyak kali mereka mendengar suara ilahi dari Yesus, Putra Allah yang berinkarnasi.
Tak pelak lagi, suara ilahi sungguh-sungguh menyatakan atribut keilahian-Nya, Ia memegang kendali, Ia berotoritas, Ia hadir. Bukankah tatkala Allah berbicara, dan umat mendengar Allah secara langsung, tidak ada seorang pun yang dapat menghindar, meragu-ragukan, atau tidak menaati apa yang Ia katakan?
2. Kata-kata dari Allah melalui para nabi dan rasul
Para nabi dan rasul mendengar firman dari suara ilahi, dan Allah memilih serta menetapkan mereka untuk meneruskannya kepada kita. Kemudian mereka sendiri mengucapkan kata-kata kenabian dan kerasulan. Pada masa sekarang, seberapa otoritatifkah kata-kata mereka? Banyak penulis modern mengatakan bahwa otoritas para nabi dan rasul setingkat di bawah suara ilahi, oleh sebab di dalamnya terdapat unsur manusiawinya. Akan tetapi, perhatikan dengan cermat apa yang Kitab Suci katakan mengenai ucapan kenabian dalam Ulangan 18.15-19 (bdk. Yer. 1.16-19; Yeh. 13.2-3, 17).
Anda perhatikan bahwa dalam perikop ini, sang nabi merupakan substitusi (pengganti) dari suara ilahi. Umat dibuat gemetar dengan suara ilahi, sehingga mereka meminta Musa untuk menyampaikan firman Allah. Allah menyetujui cara ini, dan Ia menjanjikan nabi-nabi terkemudian. Tetapi Allah pun memberikan definisi siapa nabi itu: yaitu seseorang yang menaruh suara Allah di dalam mulutnya. Ia akan mengatakan siapa saja yang tidak mendengarkan suara Allah yang keluar dari mulut para nabi, Allah akan datang kepadanya dan menuntut pertanggungjawaban. Ini berarti bahwa ucapan para rasul sama otoritatifnya dengan suara ilahi.
Dalam Perjanjian Baru, kata-kata Yesus Kristus merupakan fondasi gereja dan kehidupan orang Kristen. Tanpa kata-kata itu, kita akan terhilang. Seperti yang dikatakan oleh rasul Petrus, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh. 6.68). Tetapi, di manakah kita menemukan kata-kata seperti ini pada masa sekarang? Yesus sendiri tidak pernah menulis kitab. Tetapi Ia memilih para rasul-Nya untuk berbicara atas nama-Nya, dan Ia berjanji untuk memberikan Roh Kudus untuk menolong mereka—dengan cara mengingatkan mereka apa pun yang Yesus telah ajarkan kepada mereka (Yoh. 14.26), dan untuk memimpin mereka kepada segala kebenaran (14.26), dan untuk menunjukkan kepada mereka hal-hal yang akan datang (Yoh. 16.13): Ia akan memberi mereka kata-kata mengenai hal di masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang (bdk. Mat. 10.19-20, 40-41; Yoh. 15.26-27; 17.8, 20).
Setelah Yesus naik ke surga, kembali memerintah bersama Sang Bapa, Roh benar-benar turun ke atas para rasul, dan mereka berbicara mengenai Yesus (Kis. 1.5, 8; 2.4; 4.8, 31; 6.3, 5, 10; 7.55; 9.17; 13.9-10; 13.52-14.1). Mereka sadar bahwa mereka mengucapkan kata-kata Allah, bukan kata-kata mereka sendiri. Paulus berkata, apabila ada seseorang yang mengabarkan Injil lain daripada Injil yang Ia telah beritakan, terkutuklah orang itu, sebab “Injil yang kuberitakan itu bukanlah Injil manusia. Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus” (Gal. 1.11-12; bdk. ay. 16; 2.2).
3. Kata-kata dari Allah sebagai Firman yang tertulis
Sebagian orang meyakini pandangan bahwa tulisan memiliki tingkat yang lebih rendah daripada suara ilahi dan perkataan para nabi. Namun pandangan ini harus segera ditolak. Sebab, jelas sekali bahwa tulisan para nabi dan rasul memiliki kadar otoritas ilahi juga. Lalu apa beda otoritas perkataan yang Paulus katakan secara lisan, dengan apa yang ia tulisan dalam sepucuk surat? Catat juga bahwa apabila kita tidak memiliki catatan tertulis, maka pewahyuan dua ribu tahun yang lalu tentulah sudah ditinggalkan dan dilupakan orang. Dengan demikian, otoritas para rasul pada masa kini datang kepada kita melalui Firman yang tertulis. Otoritas para rasul di zaman kontemporer hanya dapat diukur melalui Firman yang tertulis. Tanpa firman tersebut, perkataan mereka tidak akan mampu memerintah Gereja.
4. Kata-kata dari Allah di dalam pemberitaan dan pengajaran
Bagaimana dengan para pengkhotbah dan pengajar pada masa kini? Apakah mereka juga memiliki otoritas yang sama seperti suara ilahi? Tidak. Tidak ada janji dan jaminan di dalam Alkitab bahwa para pengkhotbah memiliki otoritas yang sama seperti para rasul. Para gembala jemaat dan penatua, bahkan para profesor seminari atau sekolah teologi, membuat kesalahan demi kesalahan. Hanya beberapa orang yang kurang waras yang akan mengklaim memiliki otoritas seorang nabi atau rasul.
Salah satu pengakuan kuno menyatakan bahwa “pemberitaan firman Allah adalah Firman Allah.” Namun bukan berarti bahwa apa yang disampaikan di mimbar pasti tidak khilaf atau tidak dapat salah, tetapi ketika seorang pengkhotbah menyampaikan Firman dengan setia, maka Firman Allah sama sekali tidak kehilangan otoritasnya. Firman tersebut, ketika dengan benar dikomunikasikan, memiliki otoritas yang sama di mulut seorang pengkhotbah, sama seperti pada waktu berada di mulut rasul Paulus. Firman Allah selalu memiliki otoritas yang sama mutlaknya, tanpa peduli medium yang membawanya sampai kepada kita, bahkan sekalipun medium tersebut merupakan bibir seorang manusia yang berdosa.
No comments:
Post a Comment