Rasa Simpati
Seorang agnostik adalah seseorang yang tidak (mau) tahu apakah Allah itu ada, mengapa saya hidup di dunia ini, apa tujuan hidup saya, dan untuk apa semua ini. Jumlah orang yang seperti ini makin banyak, di samping orang yang mengaku dirinya ateis—menolak keberadaan Allah.
Banyak kali seorang agnostik agak alergi terhadap Kristianitas. Bagi mereka, Kristianitas adalah “dominasi Kristen” a la Konstantinus Agung, pasca Edik Milano (312 M.). Kristianitas menjadi agama yang berhasil di-marketing oleh sang Kaisar Roma. Kristianitas tak ubahnya menjadi momok yang menyeramkan bagi rakyat, menjadi penindas dan absolutis atas kebenaran.
Pastilah, Allah berbeda dengan ide dan gagasan agama yang seperti ini. Allah itu Keberadaan yang serba-maha, dan tidak ada kecacatan di dalam Dia. Yesus, adalah manusia yang adi, dengan segala sifat yang bermoral unggul. Kekristenan haruslah seperti ini. Kekristenan yang sesungguhnya mengikuti gaya hidup dan tindakan “Mr. Jesus.” Berarti, Kekristenan haruslah menurut apa yang dikatakan orang akhir-akhir ini: “What Would Jesus Do?”
Saya mencoba menaruh simpati dengan kaum “agnostik” ini. Pergumulan mereka real. Keberatan-keberatan itu memang mereka hadapi; bagaimana pun itu sah secara eksistensial. Dalam pergulatan intelektual, hal ini pernah menjadi bagian dalam kehidupan saya. Menceburkan diri dalam wacana Yesus Sejarah yang tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya akan berbenturan dengan problem “seperti apakah wajah Kristianitas yang sejati.” Berhadap-hadapan dengan sederet kajian sejarah eklesiastikal membuat saya sendiri mawas, bahwa sering kali terjadi kesalahan sejarah (bukan sekadar misinterpretasi dari sang historiografer!), tetapi memang banyak liku-liku sejarah gereja yang memalukan. Dan ada saat-saatnya, kehidupan bergereja itu menjadi begitu memuakkan. Ah, pada masa sekarang pun juga demikian!
No comments:
Post a Comment