Masalah Keragu-raguan
Dalam percakapan dengan para agnostik, saya sering menemukan argumentasi ini: “setiap orang melihat satu hal dari sisi yang berbeda-beda; saya dari sisi ini, Anda melihat dari sisi sana.” Tetapi kita melihat hal yang sama, dan pengamatan kita masing-masing sama sahihnya.
Lalu saya mengambil setumpuk buku. “Baiklah, Anda melihat buku ini dari sisi itu, dan saya dari sisi ini. Percayakah Anda bahwa kita melihat buku-buku yang sama?” Biasanya jawabannya, “Ya.”
“Nah, bila demikian, kita sedang melihat buku-buku yang sama, bukan? Pertanyaan saya, dari mana Anda tahu bahwa tumpukan ini adalah buku-buku? Apakah Anda tahu oleh sebab karena tumpukan itu bukan meja, bukan kursi, bukan komputer, bukan tas, lalu Anda simpulkan itu buku? Tentu tidak, bukan? Pengetahuan Anda bahwa tumpukan itu buku ialah oleh karena dulu ada orang yang pernah memberi tahu bahwa yang seperti itu adalah buku. Dan Anda percaya, dan mengikuti kata orang itu! Anda sekarang menyebut benda-benda ini adalah buku-buku.”
Apa yang coba saya katakan kepadanya? Setiap orang tak mungkin mulai suatu pemikiran dengan keragu-raguan. Harus ada yang dipercayai terlebih dahulu. Ia harus menerima sesuatu dengan tanpa keraguan. Contoh di atas, saya percaya benda-benda itu buku, bukan karena saya meragu-ragukannya lebih dahulu, dan bukan pula karena saya mengajukan pertanyaan “Mengapa bukan meja?” dan sebagainya.
Ah, kekritisan seseorang akhirnya toh bermuara pada kenyataan bahwa seseorang harus percaya dengan sesuatu terlebih dahulu. Adalah sebuah mitos bila seseorang meragu-ragukan segala sesuatu untuk mendapatkan kebenaran. Saya tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa tumpukan benda itu adalah buku dengan cara meragu-ragukan bahwa benda itu bukan meja, bukan kursi, bukan komputer, dan seterusnya. Saya harus pecaya itu buku, karena saya dahulu pernah menerima informasi, dan informasi itu saya terima bahwa benda yang seperti ini adalah buku.
Bagaimana dengan Kristianitas? Adalah suatu tindakan yang rendah hati, bila sebelum meragu-ragukan kebenaran di dalam Kristianitas, kita menaruh kepercayaan pada Kristianitas. Kebenaran tidak mungkin ditemukan oleh karena yang lain saya dapati salah! Kebenaran itu benar dalam dirinya sendiri. Kebenaran pasti tidak berkontradiksi satu dengan yang lain. Itu berarti, kebenaran pasti tampil utuh. Justru inilah panggilan setiap orang Kristen yang kritis, untuk percaya dan membuktikan keutuhan bangunan kebenaran dalam iman Kristen. Apakah iman Kristen bekontradiksi dalam dirinya?
Tentulah harus diakui dengan rendah hati, kadang-kadang terjadi kesenjangan antara iman dan praktik hidup. Tetapi hal itu bukan dengan sendirinya bahwa iman Kristen tidak dapat dipercayai, dan dengan demikian lebih baik dibuang saja. Don’t throw away the baby along with the water! Jangan membuang hal yang baik/benar hanya oleh karena ada kesalahan. Di mana salah, harus diselisik kembali. Penyimpangan-penyimpangan dalam sejarah Kekristenan tidaklah sedikit. Tetapi apakah dengan demikian iman Kristen menjadi nihil?
No comments:
Post a Comment