Tuhan Yesus berkata, kedatangan-Nya mengakibatkan “mereka hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10.10). Apa artinya “kepenuhan berkat” atau “kepenuhan hidup”? Mungkin Anda sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah gereja yang percaya hal ini sedang mengarah pada bentuk kekristenan yang mementingkan harta dan materi duniawi? Apakah istilah ini menjadi pelipur hati di tengah penatnya hidup yang makin berat, atau ucapan yang ngayem-ayemi kita saja? Sama sekali tidak. Oleh karena itu, “kepenuhan berkat” harus kita tempatkan di porsi yang tepat. Tepat itu tentu standarnya adalah apa kata Alkitab, sehingga jangan sampai kita menjadi latah dengan istilah yang kita buat sendiri namun salah arti.
Injil Yohanes ditulis dalam masa penganiayaan hebat. Pada akhir abad I Masehi, Roma diperintah oleh Kaisar Domitianus. Kaisar ini terkenal bengis dan sadis. Ia terkenal dengan julukan Nero redivivus, “Nero bangkit kembali.” Kebenciannya terhadap orang Kristen begitu tinggi. Maka, sangat anehlah bila kita memahami “kelimpahan” dalam Yesus artinya hidup mewah. Orang Kristen di zaman itu hampir-hampir tidak mempunyai “ketenangan” hidup. Ketenangan hidup itu justru mereka jumpai dalam pengenalan akan Kristus Yesus, di tengah-tengah aniaya mahahebat!
Kendati begitu, mereka punya apa yang tidak dipunyai dunia. Mereka punya identitas baru. Mereka adalah anak-anak Allah. Yohanes mencatat bahwa setiap orang yang “menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya” (1.12). Identitas baru itu didapatkan bukan melalui darah atau keinginan laki-laki, tetapi dari Allah (1.13).
Selanjutnya, ketika seseorang menjadi anak Allah, ia pun masuk ke dalam sebuah komunitas baru. Itulah komunitas yang memampukan para anggotanya berkata “Kita telah melihat kemuliaan-Nya” (1.14). Apa yang istimewa? Sebuah komunitas keluarga baru yang beranggotakan anak-anak Allah yang telah dilahirbarukan (bdk. 20.17). Maka, melalui percaya dalam nama Yesus, kita menjadi suatu umat manusia baru, dan aku menjadi satu pribadi yang baru.
Baik individu Kristen, maupun komunitas Kristen, kedua belah pihak mencari arti hidup yang mengalami kepenuhan Allah, yang disediakan dalam Kristus. Yohanes selanjutnya mengatakan bahwakepenuhan itu berarti “kita semua telah menerima anugerah demi anugerah” (1.16). Karunia Allah yang dinyatakan dalam anugerah demi anugerah itulah yang membuat segala sesuatu menjadi baru. Kita telah menerima kesempatan yang sangat indah, untuk menjadi anak-anak Allah, dan kita dipanggil untuk hidup dalam sebuah realitas kehidupan di mana kehancuran telah dipulihkan oleh anugerah itu. Jadi, “kepenuhan berkat” sesungguhnya kita terima di tengah-tengah himpitan dan tantang hidup yang begitu berat.
Tapi tak berhenti sampai di sini. Yohanes dengan jujur mengatakan adanya resistensi (hambatan), “Ia telah ada di dalam dunia . . . dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (1.10-11). Sesungguhnya dalam diri kita tersimpan ketakutan untuk menerima sesuatu yang baru, yaitu transformasi penuh dari Allah. Sebab, membuka diri terhadap transformasi Allah itu berarti menghapuskan hal-hal yang menjabarkan diri kita sebelum pembaruan itu ditawarkan kepada kita. Kita suka dengan “wilayah aman” kita, cangkang yang nyaman dan hangat kita.
Sama seperti umat Allah di PL, kita memilih untuk menyandarkan diri pada definisi kita sendiri akan makna hidup. Kita sebenarnya takut menerima tawaran definisi dari Allah. Kita takut untuk menerima ada sesuatu yang salah dalam hidup kita. Kita mengeraskan hati terhadap hidup di masa depan yang Allah sediakan. Namun, kita juga perlu sadar bahwa hal ini pun berarti kita telah mengeraskan hati pada hidup di masa kini yang dari Allah.
Maukah hidup kita mengalami kepenuhan? Di sini kita perlu menyadari dua kutub. Di satu sisi, kita mencari kelimpahan hidup itu sampai kepenuhannya, yaitu hidup yang diperbarui secara radikal dan total. Di sisi lain, betapa kerasnya hati kita terhadap tawaran pembaruan hidup itu.
Oleh sebab itu, kita yang mengaku anak-anak Allah yang sejati, kita harus selalu mawas diri. Kita perlu membuka hati terus-menerus kepada Allah untuk menjumpai kita di mana pun kita berada dan dalam waktu apa pun, dan tidak menyembunyikan diri dari anugerah Allah; bersikap keras kepala dan tegar tengkuk. Tanda yang sejati dari kepenuhan berkat Allah adalah bahwa anugerah Allah itu terus mengerjakan pembaruan di dalam hidup anak-anak Allah bahkan dalam keadaan kita sedang mengeraskan hati. Biarkan Allah yang memberi makna bagi kehidupan kita. Saya mengingat syair lagu sekolah Minggu yang diinspirasi oleh Yohanes 3.30:
Dia harus makin bertambah,
Ku harus makin berkurang;
Nama Yesus saja disembah
‘Ku di tempat paling belakang.
No comments:
Post a Comment