CREDENDA DALAM MANIFESTO NAZARET
Namun, kapankah datangnya Kerajaan Shalom itu? Tujuh ratus tahun berlalu sudah. Yang ada hanya kesunyian. Bila kini Anda mengaminkan kata-kata cah ndesa dari Nazaret itu, yakinkah Anda bahwa dia adalah Mesias yang dijanjikan itu? Siapa Yesus? Musykil bagi-Nya untuk berjuang. Mustahil untuknya dapat mengumpulkan massa dan mempersenjatai mereka dengan peralatan perang yang lengkap.
Bagaimana mungkin Yesus dapat membebaskan para pengemis dan gelandangan? Tekanan pajak dari Roma sedemikian tinggi, belum lagi para “penyamun terselubung” tak kurang jahatnya! Para pemungut cukai! Bahkan, para klerus dan pemuka agama pun telah menyalahgunakan jabatannya untuk membuncitkan perut. Berlindung di balik jubah putih bersih dan hormat takzim khalayak, kesalehan para imam merupakan kamuflase kebusukan hati yang pernah dibongkar oleh Yesus seperti “kuburan berlabur putih”! Bait Suci pada waktu itu merupakan pusat sirkulasi uang yang paling tinggi, jauh di atas sirkulasi di Jakarta Stock Exchange! Ingatlah bahwa atas nama agama, keuntungan yang diraup bisa tak terbayangkan jumlahnya! Para imam adalah kaum konglomerat. Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana mungkin Yesus dapat mengentaskan masalah ekonomi yang sepelik ini? Bagaimana mungkin Yesus dapat memproklamirkan kemerdekaan, pembebasan dan berita Tahun Rahmat Tuhan, atau “Tahun Yobel Agung” tersebut?
Yesus menjadikan kerygma itu sebagai credenda. Allah yang diberitakan dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang benar. Ia setia dengan perjanjian-Nya. Ia mendengar doa orang-orang yang dikasihi-Nya, yang siang malam dinaikkan dengan hati yang tulus dan murni di hadapan-Nya, supaya mereka dibebaskan dari perbudakan. Ia adalah Allah para janda dan yatim. Ia adalah Allah kaum yang terbuang, yang tersingkirkan dan menjadi sampah masyarakat. Ia adalah Allah yang memiliki preferential options for the poor. Isi hati-Nya tertuju kepada jeritan minta tolong. Kerahiman-Nya memeluk mereka yang tinggal dalam kegelapan dan menghangatkan mereka yang kesepian dan kedinginan. Bela rasa-Nya tinggal di tengah-tengah derita dan nestapa.
Lukas memakai kata Yunani aphesis untuk menerjemahkan deror, yang artinya adalah “lepas secara sah dari ikatan dinas, perkawinan, kewajiban, utang ataupun hukuman.” Menurut para ahli bahasa, kata ini dipakai untuk pengertian sekular, dan bukan dalam ranah agama atau religiositas, apalagi doktrinal. Dengan memberitakan aphesis ini, Yesus menyatakan bahwa utang umat sudah lunas dibayar. Mereka telah menanggung derita sebagai konsekuensi dosa, dan sekaranglah waktu untuk mereka menikmati pembebasan itu!
Allah yang hadir, yang diberitakan oleh Yesus adalah Allah yang merangkul orang-orang berdosa. Inilah politik shalom yang menjadi credenda Yesus dari Nazaret. Politik Yesus bukan politik yang mengangkat granat dan besi, metalieur apalagi bom molotov. Yesus tidak menjilat para penguasa, bahkan cenderung kontra. Herodes disebut sebagai srigala! Politik Yesus tidak tampil gembar-gembor di atas pentas percaturan media untuk mempromosikan “dagangan” manis yang sebentar akan terlupakan bila kampanye dan pemilu berakhir. Politik Yesus tidak pernah merasakan nyaman dengan kemapanan, dan menghalalkan segala cara untuk mengenyangkan perut sendiri.
Dalam keyakinan Yesus berdasarkan teks Yesaya 61 ini, politik seharusnya anti-kemapanan! Bagi Yesus, rahmat dan kesetiaan Allah yang dekat dengan kaum marginal adalah pokok politik-Nya. Shalom yang ada dalam pikiran Yesus adalah shalom yang terjungkir balik, yang disebut oleh Don Kraybill the upside-down kingdom, “Kerajaan yang Sungsang.”
No comments:
Post a Comment