Pada mulanya adalah Injil. Injil itu dibuka dengan "Inilah permulaan tentang Yesus Kristus, Anak Allah." Yesus adalah Kristus. Yesus adalah Anak Allah. Ia adalah "Anak Allah," yang tak lain adalah sebuah pernyataan bahwa Ia inilah Mesias, yakni bahwa Ia adalah wakil Allah untuk menggenapkan seluruh rencana Allah atas Israel, umat Allah. Yesus juga menerima bahwa dirinya adalah Mesias, dan atas dirinyalah "takdir" umat Allah mencapai titik nadirnya.
"Mesias" . . . ah, seperti halnya kaum Sicarii menobatkan Menahem sebagai mesias hingga kelompok tandingan membunuhnya. Waktu Yesus masih kanak-kanak, Simon dan Athronges juga dihormati sebagai mesias-mesias. Pada pertigaan pertama abad ke-2, Rabbi Akiba menobatkan Simeon ben Kosiba sebagai Bar Kokhba, "anak bintang." Seseorang paham dirinya sebagai mesias oleh sebab bertumbuh dalam milieu pengharapan sebuah bangsa yang beridentitas umat Allah kovenan, dan pada akhirnya mempercayai bahwa ia terpanggil sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat, dan berkarya untuk menggenapkan pengharapan itu.
Bagaimana Yesus? Yesus bertumbuh dalam pengharapan bahwa Allah akan membela Israel, dan menegakkan Kerajaan-Nya. Israel akan mengalahkan musuh-musuhnya, dan Ia pun yakin bahwa takdir Israel berada di atas pundaknya--pengemban amanat penderitaan rakyat. Untuk itu, ia pun bergumul dalam iman, bertekun dalam doa, dicobai, berkali-kali meratap, disalah mengerti. Kata-katanya mengejawantah dalam tindakan. Apakah melaluinya, Allah akan mewujudkan pemerdekaan itu? Apa yang dilakukan di Bait Allah, dan tulisan pada kayu salib memecahkan teka-teki ini. Ia percaya bahwa apa yang ia lakukan adalah bagi Israel, dan juga dunia. Ia adalah representasi Israel. "Anak Allah" dan "Mesias" merupakan istilah yang dekat di hati rakyat, dekat di telinga mereka, dan nampaknya . . . tiada abstraksi anakronistik bahwa istilah itu menyiratkan suatu pribadi ilahi.
Aah . . . tapi bagaimana mungkin kematian Yesus dipercaya mampu memberi dampak kepada orang lain? Bukan mustahil bagi Yesus, dan juga bagi orang-orang Yahudi sezamannya. Seseorang dapat sampai kepada pemahaman bahwa panggilan hidupnya adalah mati bagi Israel, bagi dosa-dosanya, bahkan bagi dunia. Bukan pula hal yang tak mungkin bagi seorang Yahudi pra era Kristen percaya bahwa ia diamanati untuk menjadi serta bertindak sesuatu yang hanya mungkin dilakukan oleh Sang Tuhan kovenan, sebagaimana disaksikan oleh Alkitab Ibrani.
Agenda itu dijalankannya dengan meneguhkan suatu pola revolusi tandingan. Yesus adalah seorang pejuang revolusioner Jalan Ketiga: bukan revolusi berdarah, bukan pula antek-antek status quo. Ia adalah pejuang revolusioner tanpa "granat" dan besi, dan menjalankan agendanya dengan revolusi senyap--revolusi untuk menghadirkan shalom. Simak dan renungkanlah ketika ia berkata, "Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" atau, "Tetapi kamu yang mendengarkan aku, Aku berkata, 'Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.'" Yesus menghidupi ini semua. Kutuk Mesianis pun menimpanya. Kesengsaraan Besar itu menjadi tujuannya. Sebagaimana para martir di Alkitab Ibrani, yakni para nabi yang dibantai di Yerusalem, ia pun masuk ke titik pusat badai, perjalanan menuju Yerusalem. Ia sedang memimpin Israel masuk ke pusat revolusi berdarah, dan pusat status quo. Yesus tidak memilih keduanya. Ia mengambil langkah, yang di dalam Alkitab Ibrani, hanya Allah saja yang mampu melakukannya. Ia pergi ke Yerusalem untuk mati bagi Israel.
Di hadapan Sang Kayafas, yang bertanya, "Demi Allah, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak," Yesus menjawab, "Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan." Yesus sesungguhnya menjawab "Ya" dan Allah akan mewujudkan apa yang dikatakan di dalam Daniel 7.13. Ya, Israel yang dibela oleh Allah melalui wakilnya. Hanya Allah saja yang mampu melakukan pembelaan demikian atas umat-Nya yang benar dan tegak di hadapan-Nya, yang memelihara tubuh dan hidupnya dalam perjanjian Allah, meski derita, sengsara dan kematian menimpanya. Bukan berita parousia yang dimaksud--seorang pribadi ilahi yang akan menampakkan dirinya pada saat akhir zaman--tetapi kebangkitan Yesus yang tersalib.
Bila demikian, apa yang membedakan Yesus dari orang-orang sezamannya? Resureksi! Para pejuang pembebasan muncul dan hancur, seiring dengan ditangkapnya para pemimpin pergolakan. Jika mesias dibunuh, pasti semua orang percaya, ia mesias palsu. Yesus dibangkitkan, Yesus hidup. Jika Yesus tak hidup, mengapa aku percaya bahwa ia adalah mesias?
***
Dhuh Gusti Yesus, Mesias, kami tinggal dalam bumi yang porak-poranda; kami melayani Dikau dalam dunia yang tercabik-cabik, terkotak dan tersekat oleh perbedaan! Orang-orang tiada mampu lagi membedakan antara mana yang bisa diubah, dan mana yang tak bisa diubah--seolah yang bisa diubah menjadi tak bisa diubah; dan yang tak bisa diubah menjadi teramat gampang untuk diubah. Bagaimanakah kuasa salib dan kebangkitan-Mu meyakinkan kami, bahwa ada secercah pengharapan bagi kami? Yakinkanlah kami bahwa salib-Mu telah mengalah kejahatan, bahkan Sang Dajjal yang coba-coba merintang dalam laku-Mu sebagai Mesias kami, sebagai Gusti kami. Dan kini, di dalam roh-Mu, kami hidup dan bergerak, dan sanggup menyebut Sang Allah sebagai "Bapa kami"; dan tiada lain tugas kami kecuali turut mengejawantahkan kemenangan-Mu di dalam dunia, sampai ujung-ujung bumi: melalui teologi yang berpihak kepada yang miskin, dalam seni dan olah budaya sosial-realis, dalam pendidikan yang membebaskan, dalam usaha-usaha perbaikan ekonomi berbasis kerakyatan. Veni, veni Immanuel! Veni, veni Recreator Spiritus!
TERPUJILAH ALLAH!
No comments:
Post a Comment