KESIMPULAN
Apakah kaum Mennonite mempercayai doktrin predestinasi? Kita menjawab “Ya.” Meskipun formulanya tidak selalu seragam dengan para reformator, namun toh dapat kita ketahui bahwa keyakinan Mennonite mengenai predestinasi tetap sejalan dengan para reformator arus utama. Perbedaan minor di sana-sini dapatlah dipahami, oleh karena penganiayaan dari Katolik Roma dan Lutheran yang berlangsung sekitar dua abad membuat kaum Anabaptis-Mennonite mula-mula tidak mungkin merumuskan teologinya sesolid para reformator.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, para pewaris tradisi Mennonite ternyata terbuka untuk berdialog dengan tradisi dari denominasi lain, dalam hal ini adalah tradisi Reformed, yang kita dapat lacak dari pengakuan mengenai tugas jabatan Mesianis Yesus Kristus serta pemahaman mengenai rencana agung Allah akan keselamatan umat manusia.
Tentang hal ini patutlah kita katakan bahwa kaum Mennonite tidak semata-mata mengekor tradisi lain dengan membabi-buta, namun secara kritis menakar setiap pokok iman yang diajarkan, sambil menyadari mengenai panggilan ekumenikal sebagai satu tubuh Kristus yang memiliki satu Allah, satu iman dan satu pengharapan. Oleh sebab itu, bila memang Alkitab menuntut kesetiaan untuk mengajarkan sebuah pokok iman, maka kaum Mennonite akan ad fontes!, “kembali ke sumber!” dan bersama umat Allah dari denominasi lain dengan setia mengajarkannya. Bila Alkitab dengan terang mengajarkan pemilihan anugerah atau predestinasi, telah terbukti bahwa kaum Mennonite modern pun tidak enggan untuk mengajarkannya.
TERPUJILAH ALLAH!
[1]Lihat N. Sasongko, “Restitusi Kontra Reformasi?: Reformasi Zürich dan Kelahiran Si Anak Tiri,” Veritas 5/2 (2004), 213-223.
Apakah kaum Mennonite mempercayai doktrin predestinasi? Kita menjawab “Ya.” Meskipun formulanya tidak selalu seragam dengan para reformator, namun toh dapat kita ketahui bahwa keyakinan Mennonite mengenai predestinasi tetap sejalan dengan para reformator arus utama. Perbedaan minor di sana-sini dapatlah dipahami, oleh karena penganiayaan dari Katolik Roma dan Lutheran yang berlangsung sekitar dua abad membuat kaum Anabaptis-Mennonite mula-mula tidak mungkin merumuskan teologinya sesolid para reformator.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, para pewaris tradisi Mennonite ternyata terbuka untuk berdialog dengan tradisi dari denominasi lain, dalam hal ini adalah tradisi Reformed, yang kita dapat lacak dari pengakuan mengenai tugas jabatan Mesianis Yesus Kristus serta pemahaman mengenai rencana agung Allah akan keselamatan umat manusia.
Tentang hal ini patutlah kita katakan bahwa kaum Mennonite tidak semata-mata mengekor tradisi lain dengan membabi-buta, namun secara kritis menakar setiap pokok iman yang diajarkan, sambil menyadari mengenai panggilan ekumenikal sebagai satu tubuh Kristus yang memiliki satu Allah, satu iman dan satu pengharapan. Oleh sebab itu, bila memang Alkitab menuntut kesetiaan untuk mengajarkan sebuah pokok iman, maka kaum Mennonite akan ad fontes!, “kembali ke sumber!” dan bersama umat Allah dari denominasi lain dengan setia mengajarkannya. Bila Alkitab dengan terang mengajarkan pemilihan anugerah atau predestinasi, telah terbukti bahwa kaum Mennonite modern pun tidak enggan untuk mengajarkannya.
TERPUJILAH ALLAH!
[1]Lihat N. Sasongko, “Restitusi Kontra Reformasi?: Reformasi Zürich dan Kelahiran Si Anak Tiri,” Veritas 5/2 (2004), 213-223.
No comments:
Post a Comment