Wednesday, February 14, 2007
Baalisme dan Yahwisme Versi Modern 2
II
Yahwisme meneguhkan diri sebagai satu bentuk ibadah yang berpusatkan kepada proklamasi firman dari Allah perjanjian. Fokus utama adalah kehendak. Intelegensi manusia diangkat untuk memperhatikan dengan seksama kepada firman, dan di situlah momentum manakala ia diundang untuk merespons kehendak Allah. Dalam Yahwisme, sesuatu yang penting diperkatakan—yaitu kata-kata yang memanggil manusia untuk melayani, mengasihi, menaati, bertindak bertanggung jawab serta mengambil keputusan.
Berlawanan dengan Baalisme, Yahwisme terus-menerus mengupayakan penandasan yang utama pada tingkat akal budi dan konsep-konsep yang terdefinisikan dengan baik. Di Israel, ibadah tidak hanya pekerjaan imam; ia didukung oleh nabi, dan sabda kenabian dimasukkan juga ke dalam ibadah Bait Suci. Israel yang telah berkembang memiliki satu ibadah yang mengedepankan sabda para nabi sebagai penyambung lidah Allah.
Ibadah bagi Israel bukan hiburan pinggiran. Ibadah berusaha, dan berhasil, mencapai ekspresi autentik dari sebuah agama yang hidup, yang dampaknya kemudian merembesi seluruh aspek kehidupan manusia. Ibadah merengkuh kehidupan pribadi, rohani dan nasional dalam tempo bersamaan, ketika umat berhimpun di dalam suatu fenomena fisik (bangunan dan persekutuan). Ibadah menjadi media proklamasi firman Allah.
Sabda perjanjian Allah memulai dan mengendalikan ibadah sampai akhir, tetapi keterlibatan inderawi tidak sepenuhnya ditolak. Terdapat gerakan-gerakan berlutut dan tersungkur di dalam doa. Tari-tarian sakral dan nyanyian antifonal menumbuhkan solidaritas umat. Cara berpakaian imam dan persiapan-persiapan kurban yang tertata rapi membangun daya-daya dramatis. Keheningan membarengi pemberian ucapan syukur melalui pemberian-pemberian Allah membuat telinga ingin sekali mendengarkan. Asap kurban bakaran yang membumbung tinggi dari altar memberi muatan ekspresi inderawi bagi doa umat. Manusia, dalam totalitasnya, benar-benar diangkat sebagai makhluk psikosomatik (utuh: badani dan jiwani). Kehidupan inderawi memerankan peran tersendiri di dalam relasinya dengan Allah. Tetapi, betapa pun kaya dan beragamnya ibadah, semua itu dijabarkan dan dikendalikan oleh firman Allah. Tak ada yang sekadar demi pengalaman inderawi. Di dalam ibadah, “[the] complete penetration and exposition of the cultus by the spoken word, in which is established the supremacy of the individual person’s spiritual relation to God over the sacramental experience of God” (W. Eichrodt).
Jadi, antara ibadah kepada Baal dengan ibadah kepada Yahweh, terdapat satu kekhasan yang memilah keduanya yaitu antara mendekati kehendak Allah perjanjian yang dapat dipahami dan dimengerti serta dipatuhi, dengan kekuatan kehidupan yang membabi buta di alam yang hanya sanggup dirasakan, diresapi dan ditiru. Sindrom orgasme-seksual kompleks yang dibungkus dengan sihir dan pengultusan alam selalu menjadi sebuah cobaan dan sering merupakan perangkap bagi manusia, tetapi selalu saja ditolak oleh seluruh komunitas beriman dan oleh para nabi sebagai pemimpin mereka.
III
Dalam khasanah literatur yang mendesakkan adanya pembaruan liturgis, dua frase terus muncul. Keduanya sebetulnya tidak asing di dalam Baalisme, dan cukup bagi kita untuk menyebutnya sebagai “Neo-Baalisme.” Kedua frase tersebut adalah: “Mari masuk ke dalam pengalaman penyembahan!” dan “Saya tidak mendapatkan apa-apa dari ibadah ini.”
Frase “mari masuk ke dalam pengalaman penyembahan!” adalah versi modern yang dirancang untuk menggantikan frase kuno “mari menyembah Allah.” Namun bedanya yaitu terlahirnya sesuatu yang cuma bermakna bagi si individu, ataukah sebagai respons yang tepat atas karya-karya Allah. Dalam “pengalaman penyembahan,” seseorang melihat sesuatu yang menggairahkan kemauannya dan kemudian berusaha membungkus itu dengan istilah-istilah religius. Seseorang merasakan sesuatu ketika ia butuh dukungan, cemas, ingin dicintai, dan berbagai lain dari yang ia sebut sebagai Sang Mutlak. Ibadah bergerak dari apa yang seseorang lihat, atau rasakan, atau dengar, lalu membawanya masuk ke dalam suatu atmosfer religius, dan di sana ia melakukan tindakan ritual dalam doa atau perayaan atau bercakap-cakap dengan Allah. Subjektivitas yang penting dalam hal ini.
Namun, bukan demikian yang Alkitab ataupun gereja pahami mengenai “ibadah.” Ibadah bukan hanya bergerak dalam ranah perasaan. Para hamba Tuhan kerap mendengar penggunaan istilah “berpengalaman dengan Allah” ini misalnya dalam percakapan seperti berikut, “Saya dapat merasakan pengalaman menyembah Tuhan di mall [atau di mobil, di tempat arisan, dsb.].” Hal ini berarti, “Saya dapat mempunyai perasaan-perasaan religius yang mengingatkan saya hal-hal yang indah, hal-hal yang menakjubkan, hal-hal yang baik hampir di semua tempat.” Tidak sepenuhnya salah. Satu hal keliru dari pernyataan tersebut adalah kelalaiannya untuk memilah dan membedakan pengalaman seperti itu dengan apa yang disebut oleh gereja sebagai “ibadah.” Pemakaian alkitabiah mengenai kata “ibadah” sangat berbeda. Ibadah yaitu suatu respons kepada Sabda Allah dalam konteks komunitas umat Allah. Ibadah tidak bersifat subjektif atau privat. Bukan apa yang saya rasakan ketika saya berada seorang diri. Tetapi, ibadah adalah bagaimana saya bertindak di hadapan Allah dalam relasi yang dewasa dan bertanggung jawab bersama dengan umat Allah. Ibadah, dalam sumber-sumber alkitabiah serta sejarah liturgis, bukan sesuatu yang seseorang alami atau rasakan, tetapi sesuatu yang seseorang lakukan, tanpa memandang bagaimana pengalaman mengenai hal tersebut, atau perasaan apa yang ia miliki atasnya.
Satu-satunya tempat yang kita ketahui bahwa “pengalaman ibadah” tersebut sungguh-sungguh dianjurkan adalah di dalam Baalisme. Ketika Anda merasa terimpit atau terjepit, Anda mempersembahkan kurban; ketika Anda cemas mengenai hasil panen maka Anda pergi ke pelacur bakti di kuil dewa; ketika Anda bergembira, Anda minum-minum bersama dewa anggur. Anda melakukan apa yang Anda rasakan dan yang Anda sukai, ketika Anda merasa Anda memang menyukai melakukan itu. Implikasinya, kalau tidak suka, ya tidak melakukan. Perasaanlah yang menyetel gelombang komunikasi dengan Allah supaya pas, perasaan-perasaan panik, diteror, rindu, dan antusias dari si individu. Allah menjadi Allah yang sama dengan perasaan Anda. Bila Anda panik, Allah pun panik. Bila Anda bersuka, Allah pun bersuka. Bila Anda merasa diteror karena terlilit utang, Allah pun pasti merasakan hal yang sama. Baalisme dibumbui dengan “pengalaman-pengalaman penyembahan.”
Israel dan Gereja Kristen menegaskan bahwa ibadah adalah proklamasi kehendak Allah dan panggilan bagi manusia untuk menanggapinya. Sabda itu otoritatif dan gamblang. Tidak ada sesuatu pun yang bergantung kepada cuaca perasaan pribadi. Semua ditentukan oleh Kitab Suci. Tidak ada seorang pun yang boleh melakukan sesuatu yang ia rasa suka melakukannya. “Bentuk liturgi” memberi bentuk kehidupan. Allah menyatakan natur-Nya dan menuntut ketaatan kepada-Nya. Ibadah merupakan tindakan untuk mawas akan pewahyuan dan merangkul ketaatan umat yang menyembah Allah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment