DASAR-DASAR HIMNOLOGI (ILMU TENTANG HIMNE)
1. Salah satu karakteristik ibadah Kristen adalah dialogis. Ibadah modern mengartikan dialog sebagai tanggap-tanggapan antara pemimpin ibadah dan jemaat, yang berseru-seru, “Amin, Saudara . . . ???” dan menantikan respons balik “Amin!!!” sekeras-kerasnya. Ibadah telah menjadi sangat horisontal. Padahal dialog sesungguhnya berlangsung antara jemaat dengan Allah, dan jemaat dengan jemaat. Itu berarti, hanya ada satu pemimpin ibadah, bertindak sekaligus sebagai wakil Allah dan wakil umat. Liturgi bukanlah susunan mata acara, tetapi peraturan yang ditetapkan untuk menolong terjadinya dialog dalam ibadah. Sebab itu, liturgi harus disusun berdasarkan logika Alkitab, yakni “sejarah penebusan” (redemptive history) yang dilakukan secara harmonis oleh Allah Trinitas.
2. Di dalam ibadah, jemaat sebenarnya sedang “mendoakan nyanyian-nyanyian dan menyanyikan doa-doa.” Himne adalah sebuah nyanyian yang ditujukan supaya jemaat menyanyikannya di dalam ibadah. Allah mendambakan hubungan dengan umat-Nya. Dalam nyanyian, kadang-kadang Allah berbicara kepada kita, kadang-kadang kitalah yang berbicara, dan kadang-kadang kita berbicara satu sama lain. Banyak macam dan ragam himne, tetapi tiap pemimpin ibadah perlu bertanya,
¨ Bagaimana nyanyian-nyanyian kita menolong jemaat kita menaikkan doa kepada Allah?
¨ Bagaimana kita dapat menyanyikan doa-doa kita dan mendoakan pujian kita?
3. Di mana tempat himne dalam liturgi yang benar—yang disusun berdasarkan logika sejarah penebusan? Namun pertama-tama kita harus saksama mengamati, siapa sedang berbicara kepada siapa. Simak petunjuknya:
↓ Panah ke bawah, Allah berbicara kepada kita.
↑ Panah ke atas, kita berbicara kepada Allah.
↔ Panah horisontal, kadang-kadang kita berbicara kepada sesama jemaat.
Pola liturgi Gereja yang Menyejarah:
1. Salah satu karakteristik ibadah Kristen adalah dialogis. Ibadah modern mengartikan dialog sebagai tanggap-tanggapan antara pemimpin ibadah dan jemaat, yang berseru-seru, “Amin, Saudara . . . ???” dan menantikan respons balik “Amin!!!” sekeras-kerasnya. Ibadah telah menjadi sangat horisontal. Padahal dialog sesungguhnya berlangsung antara jemaat dengan Allah, dan jemaat dengan jemaat. Itu berarti, hanya ada satu pemimpin ibadah, bertindak sekaligus sebagai wakil Allah dan wakil umat. Liturgi bukanlah susunan mata acara, tetapi peraturan yang ditetapkan untuk menolong terjadinya dialog dalam ibadah. Sebab itu, liturgi harus disusun berdasarkan logika Alkitab, yakni “sejarah penebusan” (redemptive history) yang dilakukan secara harmonis oleh Allah Trinitas.
2. Di dalam ibadah, jemaat sebenarnya sedang “mendoakan nyanyian-nyanyian dan menyanyikan doa-doa.” Himne adalah sebuah nyanyian yang ditujukan supaya jemaat menyanyikannya di dalam ibadah. Allah mendambakan hubungan dengan umat-Nya. Dalam nyanyian, kadang-kadang Allah berbicara kepada kita, kadang-kadang kitalah yang berbicara, dan kadang-kadang kita berbicara satu sama lain. Banyak macam dan ragam himne, tetapi tiap pemimpin ibadah perlu bertanya,
¨ Bagaimana nyanyian-nyanyian kita menolong jemaat kita menaikkan doa kepada Allah?
¨ Bagaimana kita dapat menyanyikan doa-doa kita dan mendoakan pujian kita?
3. Di mana tempat himne dalam liturgi yang benar—yang disusun berdasarkan logika sejarah penebusan? Namun pertama-tama kita harus saksama mengamati, siapa sedang berbicara kepada siapa. Simak petunjuknya:
↓ Panah ke bawah, Allah berbicara kepada kita.
↑ Panah ke atas, kita berbicara kepada Allah.
↔ Panah horisontal, kadang-kadang kita berbicara kepada sesama jemaat.
Pola liturgi Gereja yang Menyejarah:
4. Liturgi di atas hanyalah satu contoh mempersiapkan kebaktian. Detail-detail pastilah berbeda pada berbagai tempat. Tetapi simak baik-baik bahwa percakapan terjadi di sini. Himne dapat dijumpai di setiap bagian di dalam ibadah. Terkadang seluruh jemaat menyanyi, terkadang paduan suara menyanyi. Terkadang kita menyanyikan himne yang panjang, dengan beberapa bait, tetapi kadang-kadang kita menyanyikan lagu yang pendek dan sederhana. Pertanyaan yang mendasar adalah: Bagaimana caranya agar jemaat terlibat dalam percakapan dalam ibadah ini?
5. Bagaimanakah jemaat seharusnya memahami himne?
5.1. Himne harus dinyanyikan dari dalam hati. Ibadah dimulai dari rumah. Allah tidak membutuhkan lagu, tetapi hati kita.
5.2. Himne dinyanyikan bersama jemaat lokal. Setiap orang Kristen terisap dalam persekutuan orang percaya. Setiap orang dalam jemaat memiliki pergumulan. Ada yang siap menyanyi, ada pula yang bergulat dengan masalah dan kesedihan. Nyanyian kita seharusnya mampu menyatakan sukacita dan kesedihan jemaat, dan diikat dalam satu hati maupun satu suara. Bila seseorang terluka, yang lain mendoakannya.
5.3. Himne dinyanyikan bersama gereja di sepanjang zaman. Umat Allah lebih luas dari jemaat lokal. Ketika menyanyikan Mazmur, kita mengikatkan diri dengan jemaat pada zaman Daud. Misalnya lagu “O God, Our Help in Ages Past” (KJ. 330, “Kau, Allah, Benteng yang Baka) diambil dari Mzm. 90 yang membawa kita sampai ke zaman Musa. Musa menulis lagu itu, para ahli kitab menyalinnya. Orang lain menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan akhirnya ke bahasa Inggris. Sekitar 300 tahun lalu, Pdt. Isaac Watts menulis syair berdasarkan mazmur tersebut. Seseorang menulis lagu. Seseorang membawanya ke Amerika, dan orang lain membawanya sampai ke Indonesia. Setiap kali menyanyikan mazmur ini, kita sedang mengikatkan diri kita dengan Musa, sebab ia masih hidup hingga saat ini, di hadirat Allah. Dan kita pun mengikatkan diri dengan umat yang telah dan akan menyanyikannya. Inilah harta warisan Gereja Tuhan! Kiranya Gereja modern tidak lagi berkata, menyanyikan himne sama saja dengan “Tembang Kenangan.”
5.4. Himne dinyanyikan bersama gereja di segala tempat. Umat Allah juga universal. Visi Allah yakni ketika Yerusalem baru hadir di bumi, matahari dan bulan tak lagi diperlukan sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba menjadi lampunya, serta “bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” (Why. 21.24). Adalah baik bila visi ini terwujud dengan cara membawa pergumulan umat Allah di lain tempat ke dalam doa dan pujian. Betapa baik dalam kidung kita terdapat nyanyian dari berbagai tempat di seluruh dunia.
5.5. Himne dinyanyikan bersama semua ciptaan. Ketika bernyanyi, kita seharusnya sadar bahwa kita juga sedang bernyanyi bersama ciptaan. Perhatikan Mazmur 19; 98. Kita membawa seluruh sukacita dan kesedihan ciptaan. Perhatikan nyanyian tentang ciptaan “Hai Makhluk Alam Semesta” (KJ. 60).
5.6. Himne dinyanyikan bersama seisi surga. Ketika memuji, kita pun sedang bernyanyi bersama orang-orang kudus dan malaikat yang sekarang ini sedang menaikkan puji-pujian di seputar takhta Allah. Yesaya dan Yohanes diizinkan mengintip apa yang sedang terjadi di dalam surga. Nyanyian kita tak pernah sempurna, tetapi kita menyanyi sebab meyakini bahwa Allah akan berbicara kepada kita melalui pujian kita dan bahwa Allah akan menerima doa-doa kita. Bahkan Allah Trinitas bernyanyi bersama kita.
TERPUJILAH ALLAH!
5. Bagaimanakah jemaat seharusnya memahami himne?
5.1. Himne harus dinyanyikan dari dalam hati. Ibadah dimulai dari rumah. Allah tidak membutuhkan lagu, tetapi hati kita.
5.2. Himne dinyanyikan bersama jemaat lokal. Setiap orang Kristen terisap dalam persekutuan orang percaya. Setiap orang dalam jemaat memiliki pergumulan. Ada yang siap menyanyi, ada pula yang bergulat dengan masalah dan kesedihan. Nyanyian kita seharusnya mampu menyatakan sukacita dan kesedihan jemaat, dan diikat dalam satu hati maupun satu suara. Bila seseorang terluka, yang lain mendoakannya.
5.3. Himne dinyanyikan bersama gereja di sepanjang zaman. Umat Allah lebih luas dari jemaat lokal. Ketika menyanyikan Mazmur, kita mengikatkan diri dengan jemaat pada zaman Daud. Misalnya lagu “O God, Our Help in Ages Past” (KJ. 330, “Kau, Allah, Benteng yang Baka) diambil dari Mzm. 90 yang membawa kita sampai ke zaman Musa. Musa menulis lagu itu, para ahli kitab menyalinnya. Orang lain menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan akhirnya ke bahasa Inggris. Sekitar 300 tahun lalu, Pdt. Isaac Watts menulis syair berdasarkan mazmur tersebut. Seseorang menulis lagu. Seseorang membawanya ke Amerika, dan orang lain membawanya sampai ke Indonesia. Setiap kali menyanyikan mazmur ini, kita sedang mengikatkan diri kita dengan Musa, sebab ia masih hidup hingga saat ini, di hadirat Allah. Dan kita pun mengikatkan diri dengan umat yang telah dan akan menyanyikannya. Inilah harta warisan Gereja Tuhan! Kiranya Gereja modern tidak lagi berkata, menyanyikan himne sama saja dengan “Tembang Kenangan.”
5.4. Himne dinyanyikan bersama gereja di segala tempat. Umat Allah juga universal. Visi Allah yakni ketika Yerusalem baru hadir di bumi, matahari dan bulan tak lagi diperlukan sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba menjadi lampunya, serta “bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” (Why. 21.24). Adalah baik bila visi ini terwujud dengan cara membawa pergumulan umat Allah di lain tempat ke dalam doa dan pujian. Betapa baik dalam kidung kita terdapat nyanyian dari berbagai tempat di seluruh dunia.
5.5. Himne dinyanyikan bersama semua ciptaan. Ketika bernyanyi, kita seharusnya sadar bahwa kita juga sedang bernyanyi bersama ciptaan. Perhatikan Mazmur 19; 98. Kita membawa seluruh sukacita dan kesedihan ciptaan. Perhatikan nyanyian tentang ciptaan “Hai Makhluk Alam Semesta” (KJ. 60).
5.6. Himne dinyanyikan bersama seisi surga. Ketika memuji, kita pun sedang bernyanyi bersama orang-orang kudus dan malaikat yang sekarang ini sedang menaikkan puji-pujian di seputar takhta Allah. Yesaya dan Yohanes diizinkan mengintip apa yang sedang terjadi di dalam surga. Nyanyian kita tak pernah sempurna, tetapi kita menyanyi sebab meyakini bahwa Allah akan berbicara kepada kita melalui pujian kita dan bahwa Allah akan menerima doa-doa kita. Bahkan Allah Trinitas bernyanyi bersama kita.
TERPUJILAH ALLAH!
No comments:
Post a Comment