DEMI MENGGENAPKAN SELURUH KEHENDAK ALLAH
MATIUS 3.13-17
3:13 Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya.
3:14 Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?"
3:15 Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya.
3:16 Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya,
3:17 lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan."
Apakah kehendak Allah bagi diriku? Inilah pertanyaan yang terus muncul. Kalau Anda bertanya kepada saya—sebagaimana para remaja yang selama ini saya layani juga sering menanyakan hal yang sama, khususnya berkenaan dengan pasangan hidup—jawaban saya adalah, “Tidak tahu.”
Agama-agama di dunia, termasuk juga kekristenan, akhir-akhir ini mengalami dekadensi dalam masalah ketahanan untuk tetap bertekun dalam menjalani liku-liku perjalanan hidup yang berat, diganti dengan kerohanian instan. Ironis! Sementara di satu sisi spiritualitas agama-agama berkembang begitu luar biasa, lagi-lagi juga dalam kekristenan tertentu, namun bila kita perhatikan, spiritualitas yang marketable adalah bentuk yang cepat memberikan jawab atas pergumulan saat ini! Jawaban Allah yang cepat atas usaha dan pekerjaan. Permohonan supaya Allah menyembuhkan penyakit. Pengajaran digantikan dengan genjotan psikologi behavioristik Freudian, yang ditandai dengan ogahnya orang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran ganti dengan character building yang pada galibnya adalah “agama” psikologi in disguise!
Sebagai pelayan-pelayan di gereja, memang kita menghadapi problem jemaat yang real. Namun, begitu cepat pula kita menganggap bahwa problem jemaat yang real hanya akan in touch dengan psikologi pendampingan pastoral, dan hal ini tidak ada kait-mengaitnya dengan ajaran. Kalaupun ada, teologi akan “dipaksa” untuk masuk dalam psikologi. Satu contoh, jemaat yang datang dengan problema yang dicurahkan kepada gembala jemaat, tak sedikit gembala yang kemudian berkata, “Allah turut berduka cita dengan Saudara.” Bila ada dosa kedapatan di dalam jemaat: “Allah menangis sekali lagi!”
Apa benar demikian? Kesaksian firman Tuhan memang menyatakan bahwa Yesus menangis. Tetapi Ia tidak selalu menangis! Melihat dosa, Yesus tidak selalu menitikkan air mata. Melihat orang yang menderita, Yesus berbelas kasihan—Ia berbela rasa—tetapi bukan berarti Ia menjadi lembek dan cengeng.
Dalam hemat saya, makin benar kenyataan yang ada di lapangan dengan pemikiran Ludwig Feuerbach, tiga ratus tahun yang lalu, bahwa Allah itu tak lain adalah “proyeksi ultimat dari manusia.” Diteruskan oleh Freud, Allah bukan sesuatu yang memang berada sebagai yang independen, dan berdaulat dari manusia, tetapi lagi-lagi merupakan cerminan dari kebutuhan manusia. Singkatnya, Anda sedang berduka cita, Anda akan melemparkan perasaan itu kepada Allah dan Anda akan melihat Allan sebagai yang berduka cita. Anda sedang menangis, Anda bagaikan sedang menaruh cermin, dan Anda melihat sosok yang muncul di dalam cermin itu adalah Anda sendiri. Kalau demikian, teologi tak lebih dari antropologi. Agama tak lebih dari rekaan manusia yang sedang mencari-cari kedamaian untuk hidupnya pribadi. Berbicara mengenai kehendak Allah, dengan demikian, tak lebih merupakan kehendak manusia yang ditembakkan kepada suatu bentuk ciptaan imajinatif yang kita namai sebagai “Tuhan” atau “Allah.” Dengan memiliki Allah yang demikian, kita menjadi aman, kita menjadi tenang, damai sejahtera “walau di tengah badai.”
Apakah kehendak Allah? Kesaksian firman Tuhan tidak terlalu berminat untuk menjabarkan ditil-ditil kehendak Allah untuk orang per orang. Kalau Allah mau pakai seseorang, Ia akan memakainya dalam kerangka yang sangat besar, berkenaan dengan umat Allah. Jadi, bila terus orang bertanya, apakah kehendak Allah bagi diriku—apakah saya akan begini atau begitu, saya akan dapat ini atau ini—maka dari Kejadian sampai Wahyu, dari Adam sampai akhir zaman, pertanyaan tersebut takkan pernah dapat dijawab!
Tetapi perhatikan ayat 15, Yesus datang kepada Yohanes Pembaptis, dan Yohanes sebelumnya menolak untuk membaptiskan Yesus. Yesus kemudian berkata bahwa tindakan Yohanes Pembaptis itu adalah “demi menggenapkan seluruh kehendak Allah!” Dalam terjemahan yang lebih bebas, “demi menggenapkan seluruh kebenaran” (pasan dikaiosynen). Apa artinya?
Pertama, sebagian pemikir Kristen klasik mengartikan dikaiosyne adalah “tuntutan keadilan Allah.” Dalam PL disebut sebagai tsedaqah. Artinya, Allah menuntut ke atas orang berdosa tanggungan dosa, yaitu maut. Allah yang suci dan benar, takkan mungkin dapat bersekutu dengan dosa. Allah membenci dosa.
Allah bukan menangis dengan adanya dosa, lalu kebingungan sendiri dengan apa yang harus Ia kerjakan! Ini adalah Allah kaum Pelagian, Allah yang pada akhirnya menyerah kalah dengan “kehendak bebas” yang Ia sudah berikan kepada manusia sejak semula. Atau Allah para “Pelagianisme Versi Baru,” Allah para psikolog dan para motivator andal yang inti bicaranya adalah bahwa setiap manusia menentukan nasib bagi dirinya sendiri: tergantung dia memiliki pikiran yang positif atau negatif dengan dirinya! TIDAK! Allah adalah Hakim, dan ke atas orang-orang berdosa Allah siap menuangkan isi dari cawan kemurkaan-Nya!
Bila Allah berkehendak menyelamatkan manusia, harus ada satu orang yang sempurna—tak bercacat cela, tak berdosa—yang akan menanggungnya. Tetapi siapa? Jawabannya jelas, tidak mungkin dari pihak manusia celaka, tetapi dari pihak Allah. Manusia itu datang dari pihak Allah. Ia haruslah memiliki dua sifat sekaligus: Allah dan manusia. Allah karena hanya Dia yang tidak tercemarkan oleh dosa, tetapi juga Manusia karena ke atas-Nyalah kelak tuntutan keadilan Allah akan dijatuhkan. Yohanes sendiri terpukau ketika Yesus datang kepadanya, “Bukan Engkau yang seharusnya aku baptis, tetapi akulah yang seharusnya Engkau baptis!”
“Hai Yesus, Engkau adalah manusia, tetapi Engkau tidak berdosa. Aku adalah manusia, tetapi aku ini berdosa! Mana mungkin aku berani membaptis Engkau?” Ingatlah kesaksian Yohanes Pembaptis juga, “Membuka tali kasut-Nya pun, aku tidak layak!” Oh! Membuka tali kasut adalah pekerjaan sehari-hari dari seorang budak kepada tuannya. Yohanes mengaku membuka tali kasut Seseorang yang akan datang sesudahnya, tidak layaklah dia. Itu berarti ia mengaku lebih rendah daripada seorang budak. Yohanes sadar, ia bukan apa-apa. He is nothing!
Kedua, para ahli masa kini menyelidiki bahwa dikaiosyne erat kaitannya dengan ikatan perjanjian Allah. Kata “kebenaran” akan membuat orang bertanya, “Apakah Allah masih mengingat perjanjian-Nya dengan umat-Nya?” Bila Ya, mengapa umat berada di dalam penindasan dan kesesakan? Kebenaran berarti berbicara mengenai Allah yang berpihak kepada umat-Nya. Kebenaran itu bertalian erat dengan keberpihakan Allah kepada orang-orang yang tertindas, kaum pilihan yang sekarang tengah mengerang dalam derita dan impitan.
Yesus dibaptis oleh Yohanes berarti, di sinilah nyata bahwa Allah tidak meninggalkan umat-Nya. Pembaptisan Yesus memberikan bukti bahwa Allah mengingat janji-janji-Nya untuk memberikan hari baru yang penuh pengharapan. Itulah masa tatkala Allah merekahkan fajar era baru, era Mesianik. Yesus dibaptis sebagai Mesias, Dia yang diutus oleh Allah Israel. Masa yang mengawali pemerintahan Allah. Umat kini tidak berada lagi di bawah kekuasaan dosa, atau penjajahan bangsa asing dan kuasa-kuasa di udara. Umat, berada di bawah kekuasaan Allah perjanjian!
Posisi mana pun yang kita ambil, satu hal yang tidak mungkin salah yaitu, Yesus adalah Mesias; dan sebagai Mesias Ia memimpin umat-Nya untuk memasuki era Kerjaan Allah. Bagaimana tugas ini terpenuhi? Yaitu ketika Yohanes selesai menuangkan air ke atas kepala Yesus, dan air itu mengalir ke tubuh Yesus, lalu tepat ketika Ia keluar dari air, terjadilah peristiwa yang istimewa. Sedikit catatan mengenai “keluar dari air,” tak harus berarti Ia diselam. Bisa jadi, air Sungai Yordan hanya selutut.
Pertama, perhatikan ayat 13, pada intinya adalah bahwa Yesus datang ke Yordan. Bukankah kita mengingat alusi kepada peristiwa Yosua dan pasukan Israel sampai ke Sungai Yordan dan sebentar lagi akan memasuki Tanah Perjanjian (Yos. 3-4). Kini Yosua Kedua, Yesus datang ke Sungai Yordan, dan Ia sedang memimpin Israel yang baru memasuki Tanah Perjanjian. Untuk masuk ke peristiwa itu, Yesus harus dilantik sebagai Mesias, pemimpin umat Allah, yang akan membebaskan kaum-Nya dari dosa-dosa mereka (Mat. 1.21).
Kedua, Roh Kudus turun bagaikan burung merpati. Apa yang kita ingat? Merpati yang terbang dari kapal Nuh setelah peristiwa air bah (Kej. 8.8-12)! Ciptaan yang lama sudah berakhir. Allah menjadikan sesuatu yang baru, bukan sesuatu yang lain, tetapi di atas ciptaan yang lama. Allah menjadikan dari yang lama itu, sesuatu yang sama sekali lain. Merpati turun ke atas Yesus berarti, kini datanglah ciptaan baru. Yesus inilah yang memimpin umat manusia yang baru kepada Tanah Perjanjian—bukan lagi Palestina—tetapi Ciptaan Baru, kaine ktesis, kata rasul Paulus (2Kor. 5.17).
Ketiga, suara yang terdengar dari surga, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (ay. 17). Dua rangkap kesaksian firman dikenakan kepada Yesus. (a) Mazmur 2.7, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Allah melalui imam besar mengumumkan raja Israel yang dinobatkan sebagai Anak-Nya. Yesus adalah Anak Allah. Yesus adalah Raja Israel. Yesus adalah Mesias Raja. (b) Yesaya 42.1, “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan.” Dalam kitab yang sama, pasal 40-55, terdapat lima nyanyian tentang Hamba TUHAN, ebed Yahweh, yang berpuncak pada sengsara Sang Hamba Tuhan demi kesetiaan-Nya kepada amanat yang diterima dari Yahweh, Allah Israel.
Implikasinya jelas sekali, Yesus adalah Pemimpin, namun sekaligus Ia adalah Hamba Allah. Berita ini bukan masalah hidup setelah kematian. Tetapi kenyataan yang terjadi kini dan di sini, ketika kita masih hidup di dalam dunia. Kita berada di bawah kepemimpinan Yesus, dan tidak ada kuasa yang menaklukkan kita lagi. Ini berita revolusioner! Bahkan subversif! Sebab ketika kita mengaku Yesus adalah Mesias, berarti ketertundukan kita adalah kepada Yesus semata-mata!
Jadi, apakah kehendak Allah? Allah mau kebenaran-Nya dinyatakan di atas bumi. Kebenaran yang dipimpin oleh Mesias Yesus, yang ditetapkan sebagai Mesias Raja dan Mesias Hamba. Di bawah kepemimpinan-Nya, hadirlah pemerintahan Allah yang sejati. Kerajaan Allah. Ciptaan baru, yang ditandai oleh damai sejahtera, šālôm. Hendaklah kini kehendak kita seturut kehendak-Nya saja.
TERPUJILAH ALLAH! (250207)
MATIUS 3.13-17
3:13 Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya.
3:14 Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?"
3:15 Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya.
3:16 Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya,
3:17 lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan."
Apakah kehendak Allah bagi diriku? Inilah pertanyaan yang terus muncul. Kalau Anda bertanya kepada saya—sebagaimana para remaja yang selama ini saya layani juga sering menanyakan hal yang sama, khususnya berkenaan dengan pasangan hidup—jawaban saya adalah, “Tidak tahu.”
Agama-agama di dunia, termasuk juga kekristenan, akhir-akhir ini mengalami dekadensi dalam masalah ketahanan untuk tetap bertekun dalam menjalani liku-liku perjalanan hidup yang berat, diganti dengan kerohanian instan. Ironis! Sementara di satu sisi spiritualitas agama-agama berkembang begitu luar biasa, lagi-lagi juga dalam kekristenan tertentu, namun bila kita perhatikan, spiritualitas yang marketable adalah bentuk yang cepat memberikan jawab atas pergumulan saat ini! Jawaban Allah yang cepat atas usaha dan pekerjaan. Permohonan supaya Allah menyembuhkan penyakit. Pengajaran digantikan dengan genjotan psikologi behavioristik Freudian, yang ditandai dengan ogahnya orang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran ganti dengan character building yang pada galibnya adalah “agama” psikologi in disguise!
Sebagai pelayan-pelayan di gereja, memang kita menghadapi problem jemaat yang real. Namun, begitu cepat pula kita menganggap bahwa problem jemaat yang real hanya akan in touch dengan psikologi pendampingan pastoral, dan hal ini tidak ada kait-mengaitnya dengan ajaran. Kalaupun ada, teologi akan “dipaksa” untuk masuk dalam psikologi. Satu contoh, jemaat yang datang dengan problema yang dicurahkan kepada gembala jemaat, tak sedikit gembala yang kemudian berkata, “Allah turut berduka cita dengan Saudara.” Bila ada dosa kedapatan di dalam jemaat: “Allah menangis sekali lagi!”
Apa benar demikian? Kesaksian firman Tuhan memang menyatakan bahwa Yesus menangis. Tetapi Ia tidak selalu menangis! Melihat dosa, Yesus tidak selalu menitikkan air mata. Melihat orang yang menderita, Yesus berbelas kasihan—Ia berbela rasa—tetapi bukan berarti Ia menjadi lembek dan cengeng.
Dalam hemat saya, makin benar kenyataan yang ada di lapangan dengan pemikiran Ludwig Feuerbach, tiga ratus tahun yang lalu, bahwa Allah itu tak lain adalah “proyeksi ultimat dari manusia.” Diteruskan oleh Freud, Allah bukan sesuatu yang memang berada sebagai yang independen, dan berdaulat dari manusia, tetapi lagi-lagi merupakan cerminan dari kebutuhan manusia. Singkatnya, Anda sedang berduka cita, Anda akan melemparkan perasaan itu kepada Allah dan Anda akan melihat Allan sebagai yang berduka cita. Anda sedang menangis, Anda bagaikan sedang menaruh cermin, dan Anda melihat sosok yang muncul di dalam cermin itu adalah Anda sendiri. Kalau demikian, teologi tak lebih dari antropologi. Agama tak lebih dari rekaan manusia yang sedang mencari-cari kedamaian untuk hidupnya pribadi. Berbicara mengenai kehendak Allah, dengan demikian, tak lebih merupakan kehendak manusia yang ditembakkan kepada suatu bentuk ciptaan imajinatif yang kita namai sebagai “Tuhan” atau “Allah.” Dengan memiliki Allah yang demikian, kita menjadi aman, kita menjadi tenang, damai sejahtera “walau di tengah badai.”
Apakah kehendak Allah? Kesaksian firman Tuhan tidak terlalu berminat untuk menjabarkan ditil-ditil kehendak Allah untuk orang per orang. Kalau Allah mau pakai seseorang, Ia akan memakainya dalam kerangka yang sangat besar, berkenaan dengan umat Allah. Jadi, bila terus orang bertanya, apakah kehendak Allah bagi diriku—apakah saya akan begini atau begitu, saya akan dapat ini atau ini—maka dari Kejadian sampai Wahyu, dari Adam sampai akhir zaman, pertanyaan tersebut takkan pernah dapat dijawab!
Tetapi perhatikan ayat 15, Yesus datang kepada Yohanes Pembaptis, dan Yohanes sebelumnya menolak untuk membaptiskan Yesus. Yesus kemudian berkata bahwa tindakan Yohanes Pembaptis itu adalah “demi menggenapkan seluruh kehendak Allah!” Dalam terjemahan yang lebih bebas, “demi menggenapkan seluruh kebenaran” (pasan dikaiosynen). Apa artinya?
Pertama, sebagian pemikir Kristen klasik mengartikan dikaiosyne adalah “tuntutan keadilan Allah.” Dalam PL disebut sebagai tsedaqah. Artinya, Allah menuntut ke atas orang berdosa tanggungan dosa, yaitu maut. Allah yang suci dan benar, takkan mungkin dapat bersekutu dengan dosa. Allah membenci dosa.
Allah bukan menangis dengan adanya dosa, lalu kebingungan sendiri dengan apa yang harus Ia kerjakan! Ini adalah Allah kaum Pelagian, Allah yang pada akhirnya menyerah kalah dengan “kehendak bebas” yang Ia sudah berikan kepada manusia sejak semula. Atau Allah para “Pelagianisme Versi Baru,” Allah para psikolog dan para motivator andal yang inti bicaranya adalah bahwa setiap manusia menentukan nasib bagi dirinya sendiri: tergantung dia memiliki pikiran yang positif atau negatif dengan dirinya! TIDAK! Allah adalah Hakim, dan ke atas orang-orang berdosa Allah siap menuangkan isi dari cawan kemurkaan-Nya!
Bila Allah berkehendak menyelamatkan manusia, harus ada satu orang yang sempurna—tak bercacat cela, tak berdosa—yang akan menanggungnya. Tetapi siapa? Jawabannya jelas, tidak mungkin dari pihak manusia celaka, tetapi dari pihak Allah. Manusia itu datang dari pihak Allah. Ia haruslah memiliki dua sifat sekaligus: Allah dan manusia. Allah karena hanya Dia yang tidak tercemarkan oleh dosa, tetapi juga Manusia karena ke atas-Nyalah kelak tuntutan keadilan Allah akan dijatuhkan. Yohanes sendiri terpukau ketika Yesus datang kepadanya, “Bukan Engkau yang seharusnya aku baptis, tetapi akulah yang seharusnya Engkau baptis!”
“Hai Yesus, Engkau adalah manusia, tetapi Engkau tidak berdosa. Aku adalah manusia, tetapi aku ini berdosa! Mana mungkin aku berani membaptis Engkau?” Ingatlah kesaksian Yohanes Pembaptis juga, “Membuka tali kasut-Nya pun, aku tidak layak!” Oh! Membuka tali kasut adalah pekerjaan sehari-hari dari seorang budak kepada tuannya. Yohanes mengaku membuka tali kasut Seseorang yang akan datang sesudahnya, tidak layaklah dia. Itu berarti ia mengaku lebih rendah daripada seorang budak. Yohanes sadar, ia bukan apa-apa. He is nothing!
Kedua, para ahli masa kini menyelidiki bahwa dikaiosyne erat kaitannya dengan ikatan perjanjian Allah. Kata “kebenaran” akan membuat orang bertanya, “Apakah Allah masih mengingat perjanjian-Nya dengan umat-Nya?” Bila Ya, mengapa umat berada di dalam penindasan dan kesesakan? Kebenaran berarti berbicara mengenai Allah yang berpihak kepada umat-Nya. Kebenaran itu bertalian erat dengan keberpihakan Allah kepada orang-orang yang tertindas, kaum pilihan yang sekarang tengah mengerang dalam derita dan impitan.
Yesus dibaptis oleh Yohanes berarti, di sinilah nyata bahwa Allah tidak meninggalkan umat-Nya. Pembaptisan Yesus memberikan bukti bahwa Allah mengingat janji-janji-Nya untuk memberikan hari baru yang penuh pengharapan. Itulah masa tatkala Allah merekahkan fajar era baru, era Mesianik. Yesus dibaptis sebagai Mesias, Dia yang diutus oleh Allah Israel. Masa yang mengawali pemerintahan Allah. Umat kini tidak berada lagi di bawah kekuasaan dosa, atau penjajahan bangsa asing dan kuasa-kuasa di udara. Umat, berada di bawah kekuasaan Allah perjanjian!
Posisi mana pun yang kita ambil, satu hal yang tidak mungkin salah yaitu, Yesus adalah Mesias; dan sebagai Mesias Ia memimpin umat-Nya untuk memasuki era Kerjaan Allah. Bagaimana tugas ini terpenuhi? Yaitu ketika Yohanes selesai menuangkan air ke atas kepala Yesus, dan air itu mengalir ke tubuh Yesus, lalu tepat ketika Ia keluar dari air, terjadilah peristiwa yang istimewa. Sedikit catatan mengenai “keluar dari air,” tak harus berarti Ia diselam. Bisa jadi, air Sungai Yordan hanya selutut.
Pertama, perhatikan ayat 13, pada intinya adalah bahwa Yesus datang ke Yordan. Bukankah kita mengingat alusi kepada peristiwa Yosua dan pasukan Israel sampai ke Sungai Yordan dan sebentar lagi akan memasuki Tanah Perjanjian (Yos. 3-4). Kini Yosua Kedua, Yesus datang ke Sungai Yordan, dan Ia sedang memimpin Israel yang baru memasuki Tanah Perjanjian. Untuk masuk ke peristiwa itu, Yesus harus dilantik sebagai Mesias, pemimpin umat Allah, yang akan membebaskan kaum-Nya dari dosa-dosa mereka (Mat. 1.21).
Kedua, Roh Kudus turun bagaikan burung merpati. Apa yang kita ingat? Merpati yang terbang dari kapal Nuh setelah peristiwa air bah (Kej. 8.8-12)! Ciptaan yang lama sudah berakhir. Allah menjadikan sesuatu yang baru, bukan sesuatu yang lain, tetapi di atas ciptaan yang lama. Allah menjadikan dari yang lama itu, sesuatu yang sama sekali lain. Merpati turun ke atas Yesus berarti, kini datanglah ciptaan baru. Yesus inilah yang memimpin umat manusia yang baru kepada Tanah Perjanjian—bukan lagi Palestina—tetapi Ciptaan Baru, kaine ktesis, kata rasul Paulus (2Kor. 5.17).
Ketiga, suara yang terdengar dari surga, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (ay. 17). Dua rangkap kesaksian firman dikenakan kepada Yesus. (a) Mazmur 2.7, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Allah melalui imam besar mengumumkan raja Israel yang dinobatkan sebagai Anak-Nya. Yesus adalah Anak Allah. Yesus adalah Raja Israel. Yesus adalah Mesias Raja. (b) Yesaya 42.1, “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan.” Dalam kitab yang sama, pasal 40-55, terdapat lima nyanyian tentang Hamba TUHAN, ebed Yahweh, yang berpuncak pada sengsara Sang Hamba Tuhan demi kesetiaan-Nya kepada amanat yang diterima dari Yahweh, Allah Israel.
Implikasinya jelas sekali, Yesus adalah Pemimpin, namun sekaligus Ia adalah Hamba Allah. Berita ini bukan masalah hidup setelah kematian. Tetapi kenyataan yang terjadi kini dan di sini, ketika kita masih hidup di dalam dunia. Kita berada di bawah kepemimpinan Yesus, dan tidak ada kuasa yang menaklukkan kita lagi. Ini berita revolusioner! Bahkan subversif! Sebab ketika kita mengaku Yesus adalah Mesias, berarti ketertundukan kita adalah kepada Yesus semata-mata!
Jadi, apakah kehendak Allah? Allah mau kebenaran-Nya dinyatakan di atas bumi. Kebenaran yang dipimpin oleh Mesias Yesus, yang ditetapkan sebagai Mesias Raja dan Mesias Hamba. Di bawah kepemimpinan-Nya, hadirlah pemerintahan Allah yang sejati. Kerajaan Allah. Ciptaan baru, yang ditandai oleh damai sejahtera, šālôm. Hendaklah kini kehendak kita seturut kehendak-Nya saja.
TERPUJILAH ALLAH! (250207)
No comments:
Post a Comment