Iman di Tengah Ketakutan
“Jangan takut,” adalah kalimat yang membuka Perjanjian Baru. Kata-kata malaikat itu ditujukan kepada Yusuf, Maria dan para gembala, yakni orang-orang yang hidup dalam tapal batas Perjanjian Lama dan Baru. Tersirat bahwa pada masa peralihan itu, ada sesuatu yang dapat menjadikan seseorang takut. Ya, perubahan besar yang terjadi di dunia ini mampu mendatangkan momok yang kita namakan “ketakutan.” Bahkan kita yang hidup di dunia yang super modern, lingkungan kita pun dihantui oleh ketakutan: menghadapi perubahan baru, dan diinterupsi.
Agama pun membawa momok itu kepada dunia. Dunia yang sekular, tak sekadar mencibir nilai-nilai agama, curiga, menyalahartikannya; tetapi adalah suatu keniscayaan bahwa dunia sekular melihat agama dengan rasa takut. Di Eropa, khususnya Britania Raya, pada dekade terakhir muncul wacana “teologi publik,” yakni bagaimana teologi dapat dihadirkan kepada masyarakat luas. Di Inggris, misalnya, perdebatan yang muncul adalah apakah diizinkan seorang perempuan muslim memakai jilbab (penutup kepala), dan apakah orang Kristen boleh memakai kalung salib di muka umum. Seorang uskup Gereja Anglikan yang cukup saya kenal mengatakan, “Seandainya saya boleh tidak memakai salib ke mana-mana, hanya masalahnya yaitu benda ini adalah atribut kepangkatan.”
Presiden Prancis, Jacques Chirac mengatakan bahwa anak-anak muda yang bersekolah harus dijaga dari tiupan angin dingin sektarianisme; sekolah harus menjadi suatu republican sanctuary, dan peserta didik harus belajar menyerap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku secara umum. Iman dan komitmen terhadap suatu agama tidaklah dilarang, hanya saja ekspresi-ekspresi terbuka akan hal iman, misalnya gambar crucifix (Yesus yang tersalib) dan tutup kepala, harus dikendalikan dengan ketat untuk menjaga kemurnian nilai-nilai berbangsa. Demikian juga ketika terjadi protes keras di sekolah-sekolah Prancis, bahwa perempuan muslim dilarang memakai tutup kepala; hal ini mengindikasikan adanya kecemasan dan ketakutan untuk menunjukkan komitmen iman di muka publik.
Pada masa yang sama, Rabbi Kepala di Prancis menyerukan agar jemaatnya tidak memakai topi bergambar tengkorak oleh karena spiral insiden anti-Semitik (anti bangsa Yahudi). Iman tidak perlu ditunjukkan di depan publik. Iman harus tidak kelihatan. Iman itu invisible. Iman adalah komitmen pribadi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hal yang lebih fundamental ketimbang pencarian makna keberimanan yang invisible. Ketakutan sesungguhnya melanda dua belah pihak. Pada pihak dunia sekular, mereka menjaga diri untuk tidak show off atas iman; sedangkan di pihak lain, komunitas iman juga takut untuk memproklamirkan identitasnya yang dapat memicu kebencian orang-orang di sekitar mereka. Motivasi yang tidak sama. Cara pengungkapan pun berbeda. Tetapi, toh di balik semua alasan yang mengemuka terdapat tantangan yang erat berkaitan dengan keberanian untuk menampilkan iman di muka umum.
Bukankah secara eksistensial, kita pun diperhadapkan kepada ketakutan? Kita takut untuk menghadapi perubahan baru. Sesuatu yang ada di depan kita, yang belum pernah kita lihat, belum pernah kita jamah, dan belum datang menjumpai kita, membawa rasa was-was dan khawatir. Sesuatu yang baru yang kita terima, membuat hidup berubah: dalam pola hidup, dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama, dengan diri sendiri dan dengan sesuatu yang kita terima itu. Begitu banyak orang yang takut menghadapi tahun yang baru!
No comments:
Post a Comment