PENDAMAIAN: SEBUAH INSTITUSI DAMAI
Jika gereja merupakan sebuah keluarga, kita perlu membahas pokok ini lebih dalam, sesuai dengan kesaksian teks. Gereja adalah keluarga yang membawa damai. Damai bagi siapa? Damai bagi orang lain, bahkan damai bagi lingkungan dan alam.
Kata “damai,” sering dibatas hanya dalam ranah inner feeling, perasaan ketika orang menyembah Tuhan, “Wah, saya merasa damai ketika menyanyikan lagu A dalam ibadah tadi.” Damai yang seperti ini kadang-kadang menentukan kita menilai suatu kebenaran: kalau seseorang hatinya damai, maka hal itu adalah benar. No, no, no! Damai seperti itu adalah damai yang subjektif, damai individualis dan bisa jadi damai yang narsis. Damai yang rasul katakan di sini adalah damai yang objektif, yaitu damai yang dapat dirasakan oleh semua orang, damai dalam berelasi dengan orang lain.
Iman Kristen mengajak kita untuk sadar bahwa keselamatan bukan semata-mata “saya dimerdekakan dari dosa-dosa. Titik. Selesai. Namun, ini adalah keselamatan yang separuh. Sisi lainnya adalah “saya dimerdekakan untuk hidup dengan sesamaku.” Paulus sangatlah cermat ketika mengatakan, “Dialah damai sejahtera kita” (2.14), dan bukan “Dialah damai sejahtera-ku.”
Dengan demikian, Gereja adalah sekelompok umat yang menyadari bahwa Allah telah mengumpulkan mereka untuk tinggal dalam sebuah keluarga yang dijiwai oleh damai, dan mengejawantahkan damai ini sebagai antisipasi dari hari di mana Allah akan meneguhkan damai di atas seluruh ciptaan-Nya! Singkatnya, Gereja adalah umat pendamai. Gereja harus terpanggil untuk aktif menegakkan perdamaian dengan segala cara. Santo Fransiskus dari Asisi mengatakan, “Beritakanlah Firman dengan segala cara yang dapat dilakukan, dan jika memungkinkan, pakailah kata-kata.” Yang St. Fransiskus maksudkan adalah adanya proaktivitas umat Allah untuk menyampaikan berita damai, dan kata-kata adalah alternatif terakhir! Maka orang Kristen tidak akan menjadi NATO: No Action Talk Only.
Maka, damai haruslah menjadi tata aturan yang mendiami hati kita dan gereja kita. Manusia makin gampang untuk belajar berperang, tetapi sedikit orang yang belajar berdamai. Gereja seharusnya menjadi tempat di mana orang-orang belajar dan mempraktikkan damai dan keadilan. Hal sederhana yang dapat dilakukan oleh gereja adalah menerima dan menghargai orang yang tidak setara, tidak sama warna kulit dengan mereka. Kata-kata, “Mereka tidak sama dengan kita” sangat destruktif! Masihkah ditemukan jemaat-jemaat yang datang ke gereja memakai mobil, rela membawa serta jemaat yang lanjut usia, yang tidak mungkin membayar becak, yang harus menghemat bensin motor untuk ke kantor tiap harinya?
Teolog Katolik dari Tuebingen, Jerman, Hans Kueng, pernah berkata, “Tidak akan ada damai, bila tidak ada perdamaian antaragama.” Tapi berdasarkan teks hari ini, kita dibukakan kebenaran yang jauh lebih tegas dan langsung ke pusat hidup kita: “Tidak akan ada damai, bila tidak ada perdamaian antaranggota keluarga Allah.” Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment