PENDAMAIAN: RUNTUHNYA TEMBOK PENGHALANG
Identitas baru itu bekerja lebih jauh dari yang kita pikirkan. Kita tidak ditinggalkan sendiri, sehingga merasa kesepian, tidak diterima dan inferior. Kristus membawa kita pulang kepada Allah! Kita diterima dalam keluarga Allah. John H. Elliott, pakar PB dari Universitas San Fransisco, pernah menulis satu artikel akademis yang membuktikan bahwa gerakan Yesus dari Nasaret, bukan berorientasi pada egalitarianisme dan persamaan hak, tetapi berorientasi pada keluarga! Sebagai seorang sarjana yang tidak terlalu blak-blakan mengenai kebangkitan jasmani Kristus, Elliott berkata, “after as well as before Jesus’ death the dominant basis, focus, locus and model for the Jesus movement and its local assemblies was the household, an institution organized on stratified, not egalitarian, lines” (J. H. Elliott, “The Jesus Movement Was Not Egalitarian but Family Oriented,” Biblical Interpretation 11/2 [2003]: 173). Ia pun membuktikan tiadanya bukti tekstual tentang kesetaraan ekonomi dan sosial yang aktual serta konkret. Nampaknya belum ada ahli yang menentang pendapatnya.
Apakah kemudian hal ini membenarkan imperialisme-kolonialisme? Sama sekali tidak. Apa yang diberitakan oleh Kristus dan digemakan kembali oleh Rasul Paulus ialah: Kita ini milik Allah. Allah adalah Bapa kita. Kristus adalah Saudara sulung kita. Di hadapan Allah, kita ini adalah anak-anak pungut, adopsian, tetapi Allah mendudukkan kita semeja dengan Kristus Yesus, Sang Putra Tunggal-Nya! Kita tinggal di tempat di mana Allah dan Kristus tinggal!
Masihkah kita merasa Allah itu jauh dan tidak dapat didekati? Tembok penghalang antara manusia dengan Allah sudah runtuh! Manusia gagal mengenali bahwa Allah itu dekat; dan inilah jantung hati dosa! Allah selalu dekat dengan manusia, hanya saja kekudusan dan keadilan Allah yang memisahkan manusia dengan Allah. Kekudusan Allah selalu merupakan kehadiran yang overwhelming, yang menggentarkan. Namun di dalam Kristus, Allah merubuhkan penghalang itu, dan kelemahan kita telah disingkirkan. Kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah (Rm. 5.1)! Perhatikan kata-kata yang rasul pakai: damai sejahtera, jalan masuk, menjadi dekat, pendamaian, semua ini menekankan bahwa penghalang antara Allah dan kita telah disingkirkan!
Sungguh menakjubkan, Rasul berkata bahwa “segala berkat rohani di dalam surga” telah dikaruniakan kepada kita! (lih. 1.3). Bukan hanya itu saja, kita malahan diberi “tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (2.6). Surga adalah takhta Allah, dan dengan demikian, kita diterima di tempat Allah bertakhta! Ya benar, kita ada di bumi, namun pengharapan sudah kita miliki: yaitu pada kegenapan waktu, Allah akan “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala, segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi” (1.10). Kita bersekutu dengan Allah! Kita menikmati hadirat Allah! Kita bersukacita di dalam Dia! Kita merasa at home dengan Allah! Inilah realitas keluarga yang dimaksud!
Implikasinya sangat jelas bagi gereja! Sebagai pionir, pelopor pengharapan tersebut, gereja adalah Satu Keluarga. Dalam hubungan keluarga, masing-masing peduli, saling berkomitmen, terbuka, menghadapi tantangan bersama, dan saling menopang serta mendukung. Apakah kita sudah merasa at home di gereja kita? Sapaan yang hangat dan saling mengenal harus menjadi jati diri keluarga Allah. Ibadah Raya kita pun harus bersemi dari pemahaman keluarga, dan bukan berasal dari kekuatan pancaindera, atau efek kecanggihan teknologi audio-visual. Para anggota keluarga Allah butuh kenyamanan, kemerdekaan untuk diterima, dilibatkan dalam pengalaman hidup sebagai keluarga, serta pengalaman disapa dan menyapa sesama anggota. Jangan sampai ada yang merasa terasing, atau berada di luar garis batas keluarga Allah. Semua orang perlu mengenal mereka adalah anggota keluarga Allah!
No comments:
Post a Comment