KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN?
1 Tesalonika 4:13-18
Misteri Kematian
Setiap orang pasti mati. Yang disebut sebagai “mati” dalam dunia medis adalah ketika jantung berhenti berdetak, tidak ada darah yang dialirkan sampai ke otak. Hal ini berlangsung cepat sekali, sekitar 10 detik, maka kerja otak akan berhenti.
Setiap orang bereaksi dengan kenyataan kematian. Kebanyakan orang takut menghadapi kematian. Sebab kematian adalah wilayah yang teramat asing, dan belum pernah ia ke sana. Kematian membuatnya terpisah dari orang-orang yang dekat, dan terbayang kemudian, ia sedang berjalan sendiri dalam kegelapan dan lorong misterius yang dingin dan tak bersahabat. Kematian pun membuat seseorang kadang merasa setiap upaya dan prestasi di dunia ini akan kandas dan dilupakan orang; ia pun membuat patung atau monumen bagi kejayaannya alih-alih ketakutan untuk menghadapi kesenyapan dan kesepian di dunia kematian. Kematian, sebaliknya, membuat seseorang yang belum dapat mengukir prestasi juga ketakutan, karena belum banyak orang yang mengenalnya sebagai seseorang yang berharga, berguna dan memberikan sumbangsih bagi kehidupan sekitarnya.
Kendati demikian, ada sejumlah orang yang telah siap dengan kematian. Ada orang yang mempersiapkan kematiannya oleh karena ia tahu, penyakitnya sudah terminal; segala macam usaha dan terapi tentu tiada membuahkan hasil yang signifikan. Ada orang yang mempersiapkan kematian karena putus asa; merasa hidup tiada gunanya, hampa semata-mata, dan oleh sebab itu, tak ada alternatif lain kecuali mempercepat datangnya kematian dengan memungkasi kehidupan, atau yang lebih halus menunggu ajal tiba. Ada yang lain lagi siap dengan kematian, oleh karena ia memang siap dengan kematian; ia mempersiapkan kematian itu dengan kepasrahan yang tinggi kepada Allah—bukan karena berputus asa. Kami kaget karena seorang rekan majelis jemaat senior ketahuan telah mempersiapkan kematiannya selama 12 tahun—ia telah menyusun liturgi dari penutupan peti hingga pemakamannya.
Ilmu kedokteran dan psikiatri pun mencoba memahami apa itu kematian. Adalah Dr. Sam Parnia, pakar New York City’s Weill Cornell Medical Center disebut sebagai salah satu ahli kajian ilmiah mengenai kematian. Selama tiga tahun, bersama para koleganya, ia mengumpulkan data biologis mengenai pengalaman-pengalaman “di luar tubuh” yang dialami oleh orang-orang yang sudah dinyatakan meninggal dunia, tetapi kemudian hidup kembali. Kajian ini dikenal sebagai AWARE (AWAreness during Resuscitation); dan dilakukan atas kerja sama 25 pusat kesehatan di seluruh Eropa, Kanada dan Amerika Serikat. Mereka mempelajari 1500 kasus seperti itu atas orang-orang yang mengalami gangguan jantung.
Tuturnya, ketika aliran darah tidak ada lagi di otak, sel-sel akan mengerut untuk mempertahankan dirinya hidup. Dalam 5 atau lebih, sel-sel ini mulai rusak atau berubah. Setelah satu jam, kerusakan ini begitu besar sehingga ketika diupayakan untuk memfungsikan kembali jantung dan memompa darah, hal ini sia-sia. Sel-sel itu telah mengalami perubahan sedemikian besar. Sel-sel akan terus berubah, dan dalam beberapa hari, tubuh mengalami dekomposisi. Hal ini adalah suatu proses, bukan satu kejadian di satu waktu, yang dimulai ketika jantung berhenti dan berpuncak pada kerusakan tubuh, yakni dekomposisi sel-sel.
Lalu, apa yang terjadi dengan pikiran ketika kematian itu terjadi? Apakah kesadaran juga berhenti dalam 2 detik pertama, 2 menit pertama, setelah 10 menit, setelah 30 menit, setelah 1 jam? Ternyata dari survei yang diadakan, dari ribuan kasus yang diteliti, orang-orang yang hidup kembali dari kematian itu tetap memiliki semacam kesadaran atau pikiran. Tapi Dr. Parnia pun akhirnya menjawab, “We don’t know.”
Menarik sekali hasil kajian Dr. Parnia. Ia mengaku bahwa lima puluh tahun lalu, ketika dokter menyatakan seseorang sudah mati, maka kecil kemungkinan untuk hidup kembali. “Nowadays, we have technology that’s improved so that we can bring people back to life.” Ada obat-obatan yang dikembangkan saat ini untuk sungguh-sungguh dapat mengurangi proses kerusakan dan kematian sel otak. Jadi, jikalau obat ini diberikan kepada seorang pasien berpenyakit terminal, maka apa yang seharusnya terjadi dalam satu jam (untuk sel otak rusak dan akhirnya mati), akan berlangsung sekitar 2 hari. Memang, di balik itu, ada problem etis yang harus dijawab oleh dunia kedokteran.[1]
Saya bukan seorang dokter, yang mempelajari secara ditil anatomi dan kerja sel tubuh manusia. Karena itu, saya tak mungkin bisa menerangkan kerja tubuh dengan cermat. Tapi saya pernah berimajinasi dengan pikiran nakal seperti ini. Setiap kali mengikuti kebaktian kematian, dan tiap kali pelayan firman mengatakan, “Jiwa saudara kita sudah aman di dalam Tuhan,” ternyata jiwa/roh orang yang meninggal itu ada di sebuah dimensi di sebelah dunia fana ini, yang tidak dapat dilihat oleh orang yang hidup seperti kita, namun ia dapat melihat kita. Ia sedang berteriak-teriak dengan keras, “Itu bohong! Itu dusta! Yang dikatakan oleh pendeta itu tidak benar. Saya masih ada di sini! Lihat, saya ada di sampingmu! Jangan percaya kata-kata pendeta! Aku di sini! Dengarkan aku!” Bagaimana bila memang demikian kebenaran misteri kematian?
Lama saya berpikir. Akhirnya, pikiran nakal itu menjadi porak-poranda dengan pertanyaan sederhana, “Apa buktinya?” Dapatkah saya menunjukkan bukti bahwa ketika orang mati, dia masih bergentayangan, menyapa orang-orang yang ia kenal, tetapi mereka semua cuek kepadanya. Yang seperti itu adalah imajinasi dunia perfilman. Bukan kenyataan! Bukan pula fakta! Jadi, mengapa harus percaya dengan bayangan sendiri. Jika benar bayangan pikiran itu, betapa sengsaranya hidup di dunia! Akhir kehidupan manusia tak lebih daripada kengerian yang ultimat. Apa artinya hidup kini dan di sini, kalau bukan untuk get what you can, care what you get and sit on the can! (meminjam istilah Pdt. Voddie Baucham). Hidup itu nisbi. Akhir manusia nihil. Tiada arti. Tetapi apakah demikian?
[1]M. J. Stephey, “What Happens When We Die”
No comments:
Post a Comment