PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG
Mazmur 133; Yesaya 2:1-5; Roma 12:9-21; Matius 5:21-26
Susahnya Hidup Bersama!
Pada waktu saya berada berada di tingkat akhir pendidikan di seminari—saya masih ingat dengan baik—ada sebuah peristiwa yang membuat banyak miris dan ngeri, oleh sebab seorang pria bernama Sumanto menjadi penjagal dan pencuri mayat-mayat untuk dimakan.[1] Demi meningkatkan daya linuwihnya melalui ngelmu (istilah Jawa untuk mencari kekuatan yang lebih tinggi dengan bertapa dan mengikuti aturan-aturan menyangkal diri dengan ketat), ia mengabaikan tata moral dan susila dalam masyarakat.
Akhir-akhir ini, kita juga dikejutkan dengan berita mengenai Ryan yang menjadi jagal (harfiah “membunuh”) belasan orang dengan tiada lagi tersisa rasa kemanusiaan, memutilasi korbannya dan menguburkannya di ladang di rumahnya sendiri. Satu per satu korban berjatuhan, tidak ada yang tahu sebelumnya! Namun serapi dan serapat apa pun membungkus bangkai, bau yang menyengat itu tetap saja tercium. Akhirnya, kejahatan yang telah menerjang batas-batas kemanusiaan itu pun terkuak. Meski demikian, pengadilan masih gamang memutuskan apakah hukuman terberat akan dijatuhkan kepada Ryan—yaitu hukuman mati—atas kasus pembunuhan berencana, sebab menunggu hasil psikiater; jika ahli kejiwaan mengatakan bahwa Ryan sedang terganggu jiwanya, maka “bebas”-lah dia, sekadar dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi untuk jangka waktu tertentu.
Dalam bulan September, yang sekaligus beririsan dengan bulan Ramadhan yang dikatakan suci ini, muncullah pemberitaan-pemberitaan yang miring dan semakin membuat masyarakat cemas dan khawatir, yakni pembuatan makanan yang tidak higienis. Mulai dari daging olahan sampah yang dijual ke restoran dan hotel-hotel ibu kota, pembuatan es balok dari sungai Citarum, Jakarta, yang kemudian dikonsumsi sebagai campuran minuman segar, penyampuran bahan membuat cendol dengan bedak, pembuatan sirup dan saos yang dicampur dengan zat pewarna berbahaya, dan masih dipakainya formalin untuk sejumlah makanan yang kemudian dijajakan di pinggir jalan. Hal ini makin membuat cemas tak sedikit warga jemaat yang mempunyai putra-putri usia sekolah, yang tak selalu dapat mengawasi apa yang mereka makan dan minum di sekolah.
Yang fenomenal terjadi di Pasuruan, hanya karena uang zakat Rp. 30.000, 00 yang disediakan oleh seorang saudagar kaya (H. Saikhon, 55 tahun), yang hendak berderma, 21 orang menjadi mangsa, karena begitu berjejalnya orang-orang yang mengantri untuk mendapatkan giliran mereka; tak peduli dengan yang lain, mereka main sikut, desak, maju, dan akibatnya, sejumlah orang mati lemas kehabisan napas, dan tak sedikit yang terinjak-injak kaki sesama pengantri zakat.
Ada apa dengan masyarakat kita? Kemiskinan memang semakin parah. Dicatat tak kurang dari 40 juta penduduk Indonesia sangat miskin. Tetapi harus pula kita ketahui, bahwa Indonesia pun termasuk negara miskin, karena Gross National Product Indonesia kurang dari $1000 dolar! Sesama orang miskin, kita gampang berebutan. Kita tak peduli dengan orang lain. Yang penting kita puas. Kepentingan pribadi menjadi prioritas utama.
Bagaimana dengan keluarga-keluarga Kristen? Juga kehidupan masing-masing kita sebagai warga Kerajaan Allah? Sudah kita memperhatikan kepentingan orang lain? Ataukah kepentingan pribadi yang kita dahulukan? Di rumah tangga, orangtua merasa anak adalah laknat dan bukan berkat dari Allah? Anak merasa orangtua sebagai satpam bahkan polisi yang menginterogasi? Mertua merasa menantu sebagai ancaman? Menantu merasa mertua sebagai penganggu kenyamanan? Pemilik rumah merasa pembantu seperti budak perasan? Dan pembantu rumah tangga merasa bosnya tak ubahnya seperti penguasa yang lalim dan kejam?
Kita membaca Kitab Mazmur 133, lektor dan jemaat diajak membaca bersahut-sahutan:
Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, bila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!
Saudara tahu bahwa konteks ayat-ayat ini adalah ziarah ke Sion, ke Yerusalem. Umat Allah berbondong-bondong menuju ke Bait Allah dan merasa senang untuk berkumpul dan bersekutu di sana. Belum lagi kita merenungkan Yesaya 2:1-5, di mana di sana ada pengharapan mengenai pusat kerajaan damai di kota Allah! Pedang ditempa menjadi mata bajak. Tombak ditempa menjadi pisau pemangkas. Tiada lagi pedang yang terangkat kepada bangsa lain! Tiada lagi latihan perang! Yang ada adalah berjalan di dalam terang Tuhan!
Sungguhkah inikah realitasnya bila kita mengganti kata “saudara-saudara” itu menjadi “keluarga kita” atau “gereja kita”? Sehingga kalimat itu menjadi
Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, bila keluarga kita rukun!
Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, bila gereja kita rukun!
Adakah di antara kita yang saat ini sudah merasa tidak betah berada didalam rumah? Kita mau lari? Kita mau menghindar dari kenyataan hidup? Kita sedang membenci orang-orang di dalam rumah kita?
[1]Seminggu silam, ketika berada di Yogyakarta, saya sempat menyaksikan di latar televisi penginapan, Sumanto yang dahulu telah berbeda dengan Sumanto sekarang. Ia sekarang tinggal di sebuah pondok pesantren, nyantrik (menjadi murid seorang kyai), memperdalam ilmu dan banyak berdakwah. Bahkan sejak di dalam penjara, ia telah belajar menjadi pendakwah. Sekarang, tawaran mainnya untuk berdakwah sudah membeludak. Dalam bulan Ramadhan ini saja, jadwalnya sudah penuh. Seandainya Saudara mau mengundang dia berdakwah di bulan Ramadhan ini, sudah tidak mungkin lagi.
No comments:
Post a Comment