Pdt. Philip Spener, beberapa abad yang lalu mengatakan, “Tidak cukup untuk memiliki pengetahuan mengenai iman Kristen, sebab Kekristenan berisikan praktik.” Iman Kristen itu adalah kehidupan, dan bukan teori. Adalah percuma bila seseorang tahu banyak mengenai Tuhan dan pengajaran, tetapi sedikit beraksi dan bersaksi.
Di sini Rasul Paulus memakai kata “berjalan” (Yunani peripateo). Di Surat Efesus, sang rasul memakai 5 kali kata ini:
4:1 “berjalan sebagai orang-orang yang telah dipanggil”
4:17 “jangan berjalan seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah”
5:2 “berjalanlah di dalam kasih”
5:8 “berjalanlah sebagai anak-anak terang”
5:15 “Perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu berjalan, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif.”
Berjalan mengindikasikan sesuatu yang terkontrol, tetap, terarah, bukan sesuatu yang tanpa tujuan dan ngawur. Seseorang yang belum terganggu kesehatan jiwanya, pasti akan tahu ke mana ia harus melangkah dan berjalan. Begitu keluar rumah, ia telah menetapkan ke mana ia akan pergi.
Problem kita, di era yang makin maju dan serba instan ini, adalah egoisme dan individualitas yang kian besar. Kita suka dengan satu milyar keselamatan, tetapi seratus perak respons dan tanggapan kita. Di gereja kita dapat menjadi Kristen, bersorak sukacita, dan berteriak “Haleluyah!” tetapi, begitu kita meninggalkan gereja, apakah kita pun berjalan sebagai orang Kristen?
Berita firman Tuhan mengajak kita untuk mengambil respons. Respons yang seperti apa? Yaitu pembaruan tekad dan komitmen untuk melayani Allahi.
Pertama, firman Tuhan mendorong kita untuk mendandani hati atau bagian dalam dari diri kita (ay. 2). Dunia kita disibukkan dengan dandanan dan penampilan yang serba wah! yang nampak dari luar. Tetapi firman Tuhan mengajar kita hal yang sama sekali berbeda. Kita harus membarui batin kita. Itulah sebabnya, Alkitab memberikan istilah “manusia baru” (Ef. 4.24) dan “ciptaan baru” (2Kor. 5:17). Pada bagian ini, ada 4 hal yang harus menjadi karakteristik kita: rendah hati, lemah lembut, kesabaran dan kasih yang saling membantu (tepa selira).
Untuk memiliki kerendahan hati, seseorang harus membuang jauh-jauh cinta pada diri sendiri. Godaan setiap orang adalah menjadikan diri kita sebagai orang yang penting. Orang yang seperti ini sangat mudah untuk mengritik dan sulit bekerja dalam satu tim. Sebab, ia akan merasa bahwa dirinya lebih tinggi. Ia sangat berjasa bagi gereja. Hatinya akan berkata, “Coba kalau tidak ada aku, apa jadinya gereja ini?” atau “Untung ada aku, bayangkan saja seandainya aku tidak turun tangan, pasti kondisi gereja ini akan amburadul.”
Kemudian, untuk menjadi orang yang lemah lembut, ia harus membuang sifat kasar dan kekerasan. Kekerasan tidak harus dilakukan dengan tindakan. Tetapi bisa saja melalui kata-kata yang tidak membangun, intimidasi (mengancam kenyamanan hidup seseorang), menggosip, menyindir, atau bahkan memfitnah. Banyak orang kaget ketika mendapati, bahwa di gereja ternyata jauh lebih banyak orang yang “membunuh karakter” orang lain melalui kata-kata, ketimbang membangun dan mendorong orang lain untuk maju dan melayani. Kelemahlembutan yang murni akan menumbuhkembangkan penghargaan, dorongan dan keterbukaan dalam hubungan keluarga Allah.
Firman Tuhan juga mengajak kita untuk menumbuhkan kesabaran, yang berarti kita harus membuang maksud dan agenda pribadi yang dipaksakan kepada orang lain. Kesabaran itu seperti kita mengendarai mobil di jalan raya yang ramai, dan kaki kita selalu siap dengan rem. Zaman kita ini diwarnai dengan slogan “yang kuminta harus segera kudapatkan.” Maka tak heran, kita sering memaksa orang lain untuk ikut kemauan kita dan agenda-agenda kita. Firman Tuhan mengajar kita bahwa orang yang tidak sabar itu cupêt (“sempit”) jiwanya. Kesabaran mendidik kita untuk sadar bahwa kita hidup bersama orang lain. Sebab itu, berilah tempat bagi orang lain untuk menjadi dewasa: bisa saja dalam proses ini mereka salah, gagal, tapi dengan begitu mereka pun akan belajar dan mengembangkan diri.
Selanjutnya, firman Tuhan mengajar kita untuk bertenggang rasa atau tepa selira: memiliki kasih yang membangun. Dan untuk itu, kita harus membuang yang kita rasa menjadi hak kita. “Pokoknya harus begini!” Ucapan ini merusak hubungan kita dengan orang lain. Kita merasa diri kita dan apa yang kerjakan adalah standar bagi orang lain. Kasih dan tenggang rasa adalah pilihan. Lawan dari cinta-kasih sebenarnya bukan kebencian, tetapi tidak mau tahu, acuh tak acuh, tidak peduli, dan mau menang sendiri. Tuhan mengajar kita untuk mawas diri dan menyadari bahwa orang lain memiliki ekspresinya masing-masing, dan bersama mereka kita akan belajar bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan pelayanan.
Firman Tuhan mengajar kita untuk bersatu dalam iman (ay. 3-6). Kesatuan di dalam Kristus adalah tujuan kita. Rasul menekankan pentingnya pengenalan akan Tuhan Yesus. Orang yang bertumbuh pengenalannya akan Kristus ditandai dengan pengagungan dan peninggian terhadap Kristus, dan keberdosaan kita akan makin ditelanjangi. Lihatlah Yohanes Pembaptis yang berkata tentang Kristus, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Perhatikan pula wanita dari Samaria yang mengenal Yesus mulai dari seorang lelaki Yahudi (Yoh. 4:9), tuan yang empunya air (ay. 15), nabi (ay. 19), Mesias (ay. 25-26), dan bersama orang Samaria ia mengenal Yesus sebagai Juruselamat dunia (ay. 42).
Kita adalah orang-orang yang diperbarui dalam hati dan batin, dan sampailah kita pada kesadaran bahwa kita tak dapat mempertahankan si “AKU” dalam diri kita. Kristus harus menggantikan posisi si “AKU” itu.
Namun demikian, kita pun tidak dapat bertumbuh dewasa dalam iman hanya oleh karena diri sendiri. Kristus bisa saja mencukupkan kebutuhan kita untuk bertumbuh secara langsung dan pribadi, tetapi ternyata tidak demikian. Kristus telah memilih orang-orang yang hadir di sekitar kita untuk mendukung kita. Rasul Paulus menasihati, “Berusahalah memelihara kesatuan Roh.” Di tempat lain rasul juga menasihati, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu!” (Gal. 6:2). Bahkan di Kolose3:14, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Berarti, tingkat pertumbuhan rohani kita naik tingkat bukan ditandai bila kita menarik diri dari pergaulan dengan orang lain, tetapi dengan menjalin persekutuan dan persaudaraan dengan sesama anggota tubuh Kristus.
Maka, bersatu untuk melayani Allah itu sangat penting. Kesatuan bukan keseragaman. Nyanyian orang banyak disebut “paduan suara” bila ada sopran, alto, tenor dan bass. Justru dengan ini kita memahami bahwa kesatuan itu kita peroleh karena sadar bahwa orang lain berbeda dengan kita. Kita tidak sama dengan mereka. Dengan menyadari perbedaan ini, akan tumbuh dalam diri kita rasa menghargai apa yang dikerjakan orang lain, tidak cepat-cepat menilai negatif pelayanannya.
Apa yang dapat kita kerjakan? Hari ini, ketika kita mendengar firman-Nya, biarlah semangat kita dibangkitkan untuk melayani Allah. Jangan sampai seorang pun di antara kita yang tidak mengambil bagian dalam pelayanan. Memang, gereja dapat mengecewakan kita. Orang Kristen dapat menyakiti hati kita. Tetapi Tuhan kita yang setia, Dialah yang kita layani seumur hidup kita. Kiranya kita pun tidak merasa sendirian atau kesepian ketika melayani. Bagi kita, Allah menyediakan saudara-saudara sekandung dalam Kristus yang siap untuk menolong dan mendukung kita. Bagi kita sendiri, marilah kita pun bertekad untuk menjadi orang yang lebih ingin melayani, ketimbang menuntut dilayani; yang lebih ingin mengasihi, ketimbang menuntut dikasihi; yang mengucapkan kata-kata berkat dan pengampunan serta dorongan, daripada kritikan, gosip dan berita yang tidak sedap didengar di balik punggung. Bersatulah dan layanilah Kristus!
Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment