Masokhisme Rohani?
Saya yakin, di sebagian besar wilayah Indonesia, tantangan kita bukan lagi kesulitan beribadah. Memang, ada sejumlah daerah yang mengimpit Kekristenan. Tapi toh prosentasinya kecil. Kenyataannya, di banyak daerah, jemaat dapat membangun gedung ibadah dan sekolah teologi yang bernilai lebih dari 5 milyar rupiah! Bukankah IMB dan izin-izin lain cukup mudah didapat (asal ada cukup dana untuk pelicin!)? Bukan, bukan penganiayaan masalah kita (atau lebih baik, konteks jemaat yang saya layani!).
Tantangan menggereja dewasa ini, sebenarnya juga bukanlah masalah orang tidak tahu dan harus diberi tahu, atau orang yang berpaham salah, “dikalahkan” dengan paham alkitabiah. Makin sedikit orang yang berani berkata seperti mendiang Francis Schaeffer, “I do what I think and I think what I believe” (“Aku melakukan apa yang kupikirkan dan aku memikirkan apa yang kupercaya.”) Ya, Schaeffer adalah seorang apologet (pembela filosofi Kristen). Tetapi, saya ingin sekali menggarisbawahi perkataannya “I do what I think.”
Di era kita, sesungguhnya seseorang lebih mudah menerima alur logika pembuktian mengenai Trinitas, kebangkitan Yesus, keilahian-Nya, dan sebagainya. Mereka akan manggut-manggut dan berkata, “Ya, masuk akal!” Mereka tidak banyak mendebat. Namun demikian, yang lain pun masuk akal! Orang tidak lagi berpikir apakah sesuatu itu logis atau terbukti benar. Mereka berpikir sangat pragmatis, bila sesuatu berguna bagi diriku, “So what gitu loh?!” Mereka percaya kepada “semua-muanya.” Mungkin lebih baik filsafat zaman ini disebut everythingism (“semuanya-isme”). Semua betul. Tidak ada yang salah. Semua berguna bagiku.
Namun inilah kendalanya! Agama pun dicopot dan dipilih-pilih mana yang berguna, dan bermanfaat bagi diriku. Yang berat, yang susah, yang njelimet, tak perlu lagi dipakai. Makin parah dengan gaya selektivisme seperti ini, agama yang mengajarkan penderitaan, kesengsaraan dianggap tidak kebrutalan pasif, atau bahkan ada yang menyebutnya “masokhisme rohani”—kekerasan atau kekejaman yang memberikan kepuasan seksual pada yang menerimanya! Kuno dan usanglah agama yang mengajarkan bahwa setiap pemuja Allah harus menderita!
Tak pelak lagi, Kekristenan sebagai salah satu agama yang paling dinamis pun terkena imbas yang paling besar. Keyakinan mengenai Yesus yang menderita dan mati, dilucuti dari iman Kristen. Kekristenan tanpa salib. Kekristenan minus penderitaan. Ya, memang benar Yesus sengsara dan menderita, tapi saya tidak mau yang itu! Saya lebih memilih Yesus sebagai sang pengajar moral yang agung itu! Yesus Sang Guru Hikmat. Yesus Sang Buddha.
Begitu kita berani memilih Yesus, maka praktik hidup pun akan turut kena imbas. Saya punya tata etika sendiri. Saya melakukan sesuatu berdasarkan keyakinan saya bahwa semua itu OK. Pernikahan gay dan lesbian, OK. Kehidupan seks orgy, OK. Rohaniwan yang homoseks, OK. Pesta liar, OK. Semua benar, bukan? Jadi, bukankah semua diperbolehkan? Apakah ada lagi yang cukup otoritatif untuk dapat menyatakan semua hal ini salah?
No comments:
Post a Comment