Saat Gempita itu Berhenti
Matius 21:1-11
Beberapa tahun yang lalu, satu buku ditulis oleh Gene Smith, seorang sejarawan Amerika kenamaan. Judul buku itu adalah When the Cheering Stopped. Buku itu mengisahkan Presiden Woodrow Wilson dan peristiwa-peristiwa yang menyekitari Perang Dunia I, baik pra maupun pasca. Pada saat perang tersebut usai, Wilson adalah seorang pahlawan dunia. Suatu semangat mendunia berkobar di luar Amerika Serikat, dan orang-orang percaya bahwa PD I merupakan perang terakhir, dan dunia kini telah menjadi kondusif bagi hidupnya demokrasi yang sejati.
Pada kunjungan pertamanya ke Paris pascaperang, Wilson disambut dengan gempita ribuan orang yang berkumpul untuk melihatnya. Ia benar-benar lebih populer ketimbang pahlawan-pahlawan Prancis sendiri. Hal yang sama juga terjadi di Inggris dan Italia. Di sebuah rumah sakit Wina, seorang pekerja Palang Merah harus berjuang keras meyakinkan anak-anak mengenai tiadanya hadiah-hadiah Natal oleh sebab perang dan masa-masa yang sukar. Anak-anak tidak percaya kepadanya. Mereka berkata bahwa Presiden Wilson akan datang dan mereka yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi baik.
Gegap gempita dan euforia terhadap Wilson itu berlangsung sekitar setahun. Kemudian pelan-pelan mulai berhenti. Malahan kini berbalik kenyataannya. Para pemimpin politik di Eropa lebih tertarik untuk mengurusi agenda-agenda mereka sendiri daripada sebelumnya yaitu memikirkan kedamaian yang berlangsung untuk seterusnya. Di rumah sendiri, Woodrow Wilson mendapat oposisi hebat dari Senat Amerika Serikat dan idenya mengenai Liga Bangsa-bangsa tidak disetujui. Dalam kondisi perlawanan seperti ini, kondisi kesehatan sang Presiden mulai terganggu.
Dalam periode pemilihan selanjutnya, partainya kalah. Maka, adalah Woodrow Wilson, seseorang yang secara terbuka setahun atau dua tahun sebelumnya diberitakan sebagai sang mesias baru dunia, harus mengakhiri hari-hari kehidupannya sebagai seorang lelaki yang bangkrut dan kalah.
Kisah di atas adalah sebuah kisah sedih, tetapi bagi kita, kisah ini tidak terlalu asing. Upah yang diterima oleh seseorang yang ingin menerjemahkan cita-cita dan idealisme ke dalam kenyataan kadang-kadang justru frustrasi dan kekalahan. Ya, ada beberapa pengecualian, tetapi tidak banyak jumlahnya.
Hal yang sama pun terjadi pada Yesus. Ketika Ia tampil di muka publik, dalam kancah umum kultur sosio-politik-religius Yahudi, Ia adalah seoang yang berhasil mendapatkan simpati dan sensasi yang sedemikian hebat. Berkali-kali Ia ingin sendirian, namun orang-orang masih saja berjubel mengikut Dia. Orang banyak berjajar memenuhi jalan masuk ke Yerusalem. Pada Minggu Palmarum yang pertama, ranting-ranting daun palam dilambai-lambaikan di hadapannya dan di sepanjang jalan itu terdengar teriakan “Hosana!” Dengan memekikkan “Hosana!” mereka berkata, “Selamatkanlah kami, ya Yesus!” Orang-orang banyak berdatangan untuk mendengar Dia berkhotbah. Suatu gelombang besar religius melanda seluruh penjuru negeri Israel.
Namun, sorak-sorai itu tidak berlangsung lama. Akan datang waktunya ketika orang banyak itu mulai melawan Dia. O, Anda mungkin tidak terlalu memperhatikannya sebelumnya. Orang-orang berdatangan untuk melihat Dia, tetapi rasa ingin tahu itu mulai surut, dan orang banyak itu satu per satu mulai meninggalkan Yesus. Para pengritiknya kini mulai tampil menyerang Dia. Ada sesuatu yang baru muncul. Semula, mereka takut untuk berbicara secara terbuka, oleh sebab takut dengan sekumpulan besar orang-orang di sekitar Yesus. Tetapi mereka mulai mengamat-amati bahwa khalayak umum mulai mempertanyakan identitas-Nya dan kini berbalik dari-Nya. Maka, oposisi itu sekarang berubah bak bola salju. Ketika musuh-musuh Yesus tak dapat menjatuhkan-Nya lewat kehidupan dan karakter moral-Nya, mereka mulai mencari-cari persoalan untuk dapat menjatuhkan Dia.
Mengapa massa begitu mudahnya berbalik menyerang Dia? Hal-hal berikut ini yang kita temukan:
- Yesus mulai berbicara lebih dalam mengenai komitmen.
- Yesus berani untuk menantang bahwa setiap orang layak dikasihi.
- Yesus mulai berbicara lebih dalam mengenai salib.
No comments:
Post a Comment