Saturday, March 8, 2008

Bertumbuh Karena Disiplin Rohani (3)


Problem Daya Juang

Kendati demikian, apabila orang terlena dengan kenikmatan “pilihan bebasnya” itu (karena pilihan bebas orang berdosa tak pernah netral, pasti yang dipilih semata-mata menentang kehendak dan hukum Allah), ada problem yang utama yakni mereka tidak siap dengan hidup yang bisa kapan saja berbalik arah, bila kapan pun waktunya dunia terjungkir balik 180o. Tidak ada kesiapan untuk menghadapi hidup yang berat! Tidak ada lagi cukup uang untuk membeli kepuasan seksual.

Sekarang mari kita renungkan kembali Surat Yakobus. Mengapa paradoks itu penting dalam kehidupan Kristiani? Firman Tuhan memberikan jawaban yang pasti, “ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (ay. 2). Selalu ada hal yang baik di balik perihal yang nampak sebagai ketidakbaikan. Selalu terselip makna di balik kesengsaraan. Tampaklah pelangi nan indah sehabis hujan.

Ujian menghasilkan ketekunan. Sama seperti kata rasul Paulus, “Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan” (Rm. 5.3). Dalam iman Reformasi, ketekunan menjadi bagian kehidupan Kristen yang mutlak penting. Setiap orang percaya bukan saja dipilih untuk selamat. Tetapi Allah juga menyediakan sarana bagi sempurnanya keselamatan itu, yakni ketekunan orang-orang kudus (perserverance of the saints). Hendaklah ia tetap ingat, di depan sana, sangatlah mungkin hambatan yang jauh lebih besar akan menanti. Itulah sebabnya mengapa tidak mungkin bagi seorang Kristen untuk jauh dari Allah.

Kekuatan orang-orang percaya untuk mempertahankan biduk (perahu) kehidupan yang sering dihempas ke kiri dan ke kanan oleh gelombang dan badai-topan samudera pencobaan, bukan berasal dari ragam atau jenis bahan pembuat perahu itu, tetapi semata-mata oleh karena topangan tangan Allah yang tidak kelihatan. Allahlah yang memampukan setiap orang percaya untuk tetap berjuang, bersandar penuh pada keperkasaan Allah, sambil mengingat kejayaan karya Allah dalam melindungi umat-Nya.

Maka, ketika seorang Kristen berhasil “tahan uji” dan mendapatkan buahnya, yakni “ketekunan,” tak mungkin ia dapat menepuk dada dan berpongah sesumbar bahwa dia berhasil mengatasi badai hidup. Selalu ada Allah di balik kesuksesan mengalahkan godaan dan cobaan itu.

Sampai akhirnya, kita mendapatkan yang “sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun,” Allah menghendaki agar kita tetap tekun dan patuh pada lindungan sayap-Nya. Itu berarti, sampai pada waktu kita menerima pemuliaan dari Allah, untuk menerima mahkota kekal yang tidak dapat dicuri, dirampas dan dirusakkan oleh kekuatan apa pun—yaitu keadaan hidup yang utuh, kudus dan tak bercacat di hadapan Allah—kita harus berjuang untuk “memperoleh buah yang matang.”

No comments:

Post a Comment