Sekilas Skolastisisme
Iman Reformed percaya bahwa cara kita berteologi—dan semua orang Kristen yang berpikir melakukan teologi dengan cara yang sederhana sekalipun—berpengaruh tidak hanya kepada cara kita berpikir mengenai Allah, Kristus dan keselamatan kita, tetapi juga membentuk sikap-sikap, kesalehan dan gaya hidup kita. Namun sering kali, berteologi diidentikkan dengan Kekristenan yang negatif, dingin, kaku dan tidak dinamis. Muncullah anggapan bahwa berteologi itu adalah milik para teolog, dan barangsiapa berteologi, mereka akan kehilangan semangat dan jiwa yang berkobar-kobar untuk melayani Allah. Sehingga berteologi adalah sesuatu yang tampak menyeramkan, tidak menggairahkan, abstrak dan doktriner-normatif.
Banyak orang beranggapan bahwa kaum Reformed adalah orang yang seperti ini. Ada istilah yang muncul dalam wacana berteologi, yaitu bahwa Reformed identik dengan “skolastisisme.” Skolastisisme biasanya dipahami secara karikaturi (bukan bentuk dan jiwa yang sebenarnya, hanya merupakan kata orang saja!) sebagai pendekatan teologi yang sangat sedikit menekankan kehangatan, misteri yang agung yang tak dapat dipahami, serta paradoks-paradoks iman (hal-hal nampaknya bertolak belakang, tetapi sebenarnya tidak) dalam kehidupan. Semua direduksi menjadi silogisme yang tegas dan logis. Philip Schaff, seorang sejarawan gereja yang ternama pada awal abad ke-20 mengatakan bahwa rasionalisme merupakan satu dari “penyakit Protestanisme,” sebab sebagaimana teologi skolastik pada Abad Pertengahan, ia cenderung kepada “dogmatisme kering dan ortodoksi yang kaku” di mana doktrin pembenaran dipisahkan secara abstrak dari kekudusan, dan iman yang tercermin dalam doktrin yang lurus diceraikan dari Kekristenan yang praktis.[1]
Jika kita mau memahami Skolastisisme dengan tepat, kata ini mengacu kepada sebuah tradisi penyelidikan dan cara pembelajaran filosofis dan teologis pada Abad Pertengahan. Thomas Aquinas (1224-1274), teolog sistematik terbesar Katolik Roma di sepanjang zaman, merevolusi teologi pada zamannya dengan memakai pendekatan filosofi Aristoteles atas pendekatan barunya. Bukunya Summa Theologica dipandang sebagai pencapaian paling puncak dari teologi skolastik. Metodenya, adalah untuk menyajikan suatu doktrin dalam argumen, kontra-argumen dan solusi, dengan menggunakan iman dan penalaran untuk mendemonstrasikan koherensi dan kebenarannya.
Dalam periode era pertengahan selanjutnya (1300-1450), ketika para teolog mulai untuk menyaring dan mengelaborasi (menerangkan dengan lebih detail) sistem-sistem dari para pemikir terdahulu. Pada masa inilah, istilah “skolastik” kemudian dipahami secara peyoratif (ejekan, merendahkan). Contohnya, pada periode ini, para teolog dituduh tidak melakukan sesuatu yang lebih berguna ketimbang berdebat mengenai seberapa banyakkah malaikat-malaikat yang dapat menari-nari di atas ujung jarum!
Masa Calvin dan Sesudahnya, Skolastik Juga?
Pada era Calvin, pendekatan skolastik telah menjadi sangat kaku dan paling tidak diminati. Para reformator—khususnya Luther—menentangnya dengan keras dan menolak seluruh metode tersebut. Orang-orang terpelajar adalah kata yang paling tidak disukai oleh Calvin. Rujukannya kepada Peter Lombardi (m. 1160) hampir-hampir selalu dalam kerangka ini. Namun setelah meninggalnya Calvin, bertumbuhlah skolastisisme Protestan. Pengganti Calvin, Theodore Beza dapat dikatakan sebagai cikal bakal skolastisisme Protestan. Hal ini terus berkembang dengan pesatnya pada abad ke-17, ketika para teolog Lutheran dan Calvinis memakai pendekatan Aristotelian-Thomistik dalam mengkaji, mengajar dan menulis. Dengan kata lain, hal ini sedikit banyak mematikan dinamika teologi dari para reformator abad ke-16.
Kiranya kita pun perlu memberikan apresiasi yang tepat kepada para teolog abad ke-17 ini. Ada orang-orang Reformed yang hebat seperti Johannes Wollebius, Gisbertus Voetius, dan François Turretin. Juga ada teolog Lutheran seperti Johann Gerhard, J. A. Quenstedt, dan David Hollaz. Mereka ini merupakan kampiun kesarjanaan yang sangat brilian. Warisan mereka ini di kemudian hari secara umumnya dikenal sebagai “mazhab” Ortodoksi Protestan.
Dalam pada itu, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apakah para teolog di atas tetap setia kepada warta dan jiwa dari Firman Tuhan. Nyatanya, harus diakui bahwa sejumlah teolog skolastik Protestan lebih bergantung kepada pendekatan Neo-Aristotelian dan presuposisi Thomistik, yang tidak saja berdampak pada pendekatan mereka, tetapi juga berita mereka. Iman para reformator yang hidup dan dinamis digantikan dengan kebergantungan kepada penalaran, dan bahkan pada pembedaan-pembedaan yang jauh lebih tegas, serta spekulasi. Hasil yang mengikutinya adalah ortodoksi yang statis, kaku dan mati. Alkitab dan iman digantikan dengan penalaran dan logika.
[1]Philip Schaff, The Principle of Protestantism (Philadelphia/Boston: United Church, 1964), 130.
No comments:
Post a Comment