J. R. R. Tolkien (1892 – 1973)
Tokoh ketiga adalah John Ronald Reuel Tolkien. Bersama C. S. Lewis dan Charles Williams (keduanya profesor di Univeritas Oxford), Tolkien membentuk kelompok diskusi mengenai kesusastraan yang diberi nama Inklings. Seumur hidupnya, Tolkien menghabiskan waktu untuk menulis sebuah epos besar yang berjudul Tuan Cincin-cincin (Lord of the Rings selanjutnya LotR). Buku ini terdiri dari 3 volum: Persekutuan Cincin (Fellowship of the Ring), Dua Menara (The Two Towers) dan Kembalinya Sang Raja (The Return of the King). Di abad ke-20, buku ini telah dibaca oleh lebih dari 150.000.000 orang di seluruh dunia dan diterjemahkan ke hampir semua bahasa. Berbagai universitas dan sekolah kenamaan menjulukinya sebagai “Penulis Abad Ini.”
Buku LotR kembali menjadi hit setelah peristiwa New York 9/11. Orang-orang Amerika mencoba memahami kembali apa artinya kejahatan. Banyak orang yang akhirnya tersentak bahwa kebaikan dan kejahatan itu tipis garis batasnya. Gene Edward Veith, seorang profesor bahasa Inggris tertarik untuk membaca ulang trilogi ini meski pada usia 14 tahun ia pernah melalap habis novel itu. Tiga puluh enam tahun berlalu, dan sewaktu ia membaca kembali volum ke-2, Dua Menara (The Two Towers), ia tercenung pada kata-kata, “Dunia berubah, dan segala sesuatu yang dulu kuat kini terbukti tak pasti. Bagaimana mungkin satu menara dapat tetap bertahan di tengah-tengah banyaknya kejahatan yang tak kenal menyerah?”
Inti cerita LotR adalah Sauron, sang pemilik cincin ingin mendapatkan kembali sebuah cincin kekuasaan yang mengikat semua kekuasaan yang pernah diberikan kepada kelompok penyihir, manusia, hobbit (manusia kerdil), elves (seperti malaikat) dan dwarves (kurcaci berbadan kekar). Cincin itu mengingatkan kita kepada buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, bahwa dengan memakannya, kita akan “menjadi seperti Allah,” yakni memiliki kuasa seperti Allah.
Sauron adalah sosok Penguasa Kegelapan dan Kejahatan. Kejahatan diawali oleh sosok yang berpribadi. Oleh karena itulah, kejahatan dapat merajalela dan menggunakan cara-cara yang sistematis untuk meluaskan kekuasannya. Kejahatan Sauron dan antek-anteknya dapat disudahi bila cincin kekuasaan itu dihancurkan di kawah Gunung Mordor, dari mana Sauron berasal.
Dalam volum kedua, Dua Menara, Sang Tuan Kegelapan dari Mordor meluaskan serangannya di dunia yang indah. Ia memakai seorang penyihir bernama Saruman, yang berhasil dibujuknya menjadi seorang yang tamak terhadap kekuasaan. Sama seperti Yudas, Saruman tidak sabar dengan cara kerja kebaikan yang terlampau slow. Ia berambisi untuk mendapatkannya segera! Dan oleh karena kekuasaan kejahatan Sauron begitu meyakinkan untuk memenangkan pertarungan akbar, makan Saruman pun membujuk rekannya Gandalf (penyihir berjubah abu-abu) dan para penyihir lainnya untuk bergabung dengan Sang Tuan Kegelapan. Siapa yang berada dalam posisi terjepit, bila ingin tetap bertahan hidup maka harus bersekutu dengan pihak yang akan menang. Gandalf memilih untuk tidak berlaku seperti Saruman. Ia tetap berpihak di jalan terang. Ia tetap abdi Sang Baik. Akhirnya Gandalf harus menghadapi berbagai konsekuensi dari pilihannya itu.
Kekuatan perpaduan Sauron dan Saruman menjadi berlipat ganda. Barad-Dur, menara kekuasaan Sauron, dan Isengard, menara yang diduduki Saruman menjadi latar cerita (itulah sebabnya disebut Dua Menara). Untuk mencapai kemenangan, maka mereka mempersiapkan sejumlah besar bala tentara Orc, monster yang diciptakan oleh kekuatan jahat. Monster-monster ini tidak berperasaan, kerap kali saling mengkhianati. Ada kebenaran di sini: kejahatan tidak dapat membuat sebuah persekutuan. Tidak ada kekompakan yang abadi dalam kejahatan. Persekutuan itu terwujud hanya dalam perserikatan hamba-hamba Sang Baik.
Isengard disulap menjadi pabrik besar pemroduksi monster Orc. Semula Isengard dipenuhi dengan penghijauan, jalan-jalan rindang dengan pohon-pohon yang selalu berbuah, dialiri oleh arus sungai yang mengalir dari mata air pegunungan hingga ke danau. Tetapi kini ketika Saruman berkuasa, tak ada lagi yang hijau di Isengard. Jalan-jalan dipenuhi dengan batu: gelap dan keras. Pilar-pilar besar berjajar menggantikan pepohonan, beberapa di antaranya dibuat dari marmer, dari besi dan tembaga, diikat satu sama lain dengan rantai-rantai besi.
Kayu-kayu pasti dipakai untuk industri. Rumah-rumah dari kayu dibongkar. Tanah digali untuk diubah menjadi sebuah pabrik bawah tanah yang luar biasa besarnya. Saluran-saluran dibuat dengan tangga-tangga kayu yang melingkar-lingkar. Orc yang sudah jadi diperintahkan untuk mencabuti pohon-pohon besar untuk sarana produksi. Isengard yang semula berada di antara ciptaan yang indah, bila kini datang masa terang bulan, menjadi seperti sebuah kuburan dari orang-orang mati yang tidak tenang. Isengard menjadi panas. Isengard menjadi gersang.
Tolkien bukannya tidak mengerti arti perang. Setelah ia sukses meraih gelar prestisius dari Exeter College, Oxford, ia menjadi opsir angkatan perang Kerajaan Inggris. Ia mengalami sendiri apa itu Perang Dunia I. Ia menjadi anggota 11th Lancashire Fusiliers yang dikirim ke Prancis, salah satu resimen yang dipersenjatai paling lengkap, dan juga satu unit angkatan perang yang menderita kehilangan dan kecelakaan paling besar.
Tolkien pun mengerti benar apa artinya industri. Inggris baru saja mengalami kejayaan akibat Revolusi Industri. Industri memang membuat sebuah negeri makmur. Tetapi dampak ekologis yang dimunculkannya pun besar. Industri makin besar, berarti menyimpan “bom” bagi alam. Jika tidak hati-hati, industri akan memproduksi monster-monster yang tak berperasaan, yang saling caplok dan dapat berkhianat kapan saja.
Salah satu babak akhir di Dua Menara mengisahkan bangkitnya Treebeard, yaitu pohon yang hidup dan bergerak, yang berumur ribuan tahun ketika melihat teman-temannya yang hidup di daerah Isengard telah dimusnahkan oleh para pengikut Saruman. Ia menggerakkan teman-temannya untuk menyerang Isengard, membobol bendungan dan memporakporandakan proyek industri Isengard. Alam memberikan perlawanan kepada kuasa yang merusaknya!
Meski demikian, kekuasaan belum pula berakhir. Di seri ketiga, Kembalinya Sang Raja, makin nyatalah bahwa kekuasaan kejahatan kian besar jumlahnya. Ratusan ribu pasukan Orc siap dikirimkan untuk menyerang Gondor, ibukota manusia, pusat kerajaan dunia yang membawa kedamaian dan pemulihan bagi manusia. Tetapi akhirnya, kemenangan tetap berpihak kepada hamba-hamba Sang Baik. Akhirnya cincin kekuasaan itu dapat dihancurkan tepat di jantung di mana kejahatan itu bertakhta. Dan di babak pamungkas, dapat kita saksikan kembali kehidupan yang damai, tenang, dan hijau!
Dalil Ketiga: Kejahatan akan berlipat ganda dan berusaha merusakkan tata ciptaan yang indah. Akan tetapi Providensia Ilahi akan menang pada akhirnya. Kendati begitu, Sang Ilahi memakai hamba-hamba-Nya untuk menjadi sarana pencapaian tujuan-Nya.
No comments:
Post a Comment