C. S. Lewis (1898–1963)
Ada yang menarik dari kisah hidup Charles Staples Lewis. Ia seorang ahli kesusastraan Abad Pertengahan dan Pencerahan (Renaissance). Semula ia adalah seorang ateis, tidak percaya ada Allah, oleh sebab banyaknya kejahatan yang terjadi di muka bumi. Kemudian ia bertobat. Ia menjadi seorang pembela iman Kristen yang terbesar di abad ke-20. Ia meninggal pada tanggal 22 November 1963, tepat di hari yang sama dengan kematian filsuf Inggris yang ateis, Aldous Huxley, dan penembakan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy.
Lewis juga terkenal sebagai seorang pujangga cerita anak. Kisah yang sangat terkenal adalah Kronik Narnia (The Chronicles of Narnia). Buku ini pernah masuk menjadi buku anak-anak terlaris. Film untuk satu episode Singa, Penyihir dan Lemari Rias (The Lion, the Witch and the Wardrobe) sudah beredar dan dapat disaksikan oleh para pecinta film. Bagi anak-anak, kisahnya bagus dan menarik, dan di akhir film, anak-anak pasti akan menghela napas lega. Aaah, breathtaking!
Namun demikian, bagi penyimak yang serius, film itu bukan sekadar dongeng imajinatif. Bila kita tahu perjalanan hidup Lewis, kita akan tahu mengapa ia membuat kisah ini. Ia dulu adalah seorang yang percaya pemikiran Platonis, bahwa terdapat sebuah dunia ideal yang baik; kemudian ia menjadi seorang agnostik (tidak tahu apakah sesuatu di luar dunia yang kelihatan ini dapat diketahui) yang percaya bahwa di dalam dunia ini ada suatu roh yang hadir dan menggerakkannya (semacam pantheisme: Tuhan dan dunia itu sama). Lalu ia berubah menjadi seseorang yang percaya adanya satu Allah yang membuat segala sesuatu dan yang menopang dunia ini.
Suatu malam pada bulan September 1931, Lewis mengadakan suatu diskusi yang panjang dengan dua sahabatnya, J. R. R. Tolkien dan Hugo Dyson. Ia katakan, ia tak dapat memahami makna kehidupan, kematian dan kematian Kristus 1900 yang lampau. Adalah Tolkien yang kemudian angkat bicara dan mengatakan bahwa kebenaran-kebenaran tentang Allah dan karya-karya-Nya mula-mula diberikan kepada Adam dan Hawa, nenek moyang umat manusia. Lalu kebenaran-kebenaran itu diwariskan kepada generasi ke generasi melalui kisah-kisah cerita dan dongeng.
Di dalam dongeng terdapat gema dunia sebelum kejatuhan, kenangan mengenai Eden atau Firdaus, dan ketika dunia tidak tercemari oleh dosa manusia, tetapi yang dicirikan hanya oleh kebaikan dan sukacita yang kekal. Di dalam dongeng juga terdapat kehinaan serta tragedi yang sama seperti yang kita alami sekarang ini. Namun di dalam dongeng itu pun terdapat janji dan pengharapan penebusan, yaitu pemulihan terhadap segala sesuatu!
Injil adalah dongeng yang sebenarnya. Dongeng yang sejati! Tolkien mengatakan bahwa di dalam Injil Kristus, semua unsur dalam cerita dan dongeng mencapai klimaksnya. Tahukah Anda, inilah yang menjadi titik balik kehidupan Lewis. Beberapa hari setelah itu, ia memeluk iman di dalam Kristus. Ia menjadi seorang Protestan yang bersemangat. Sementara Tolkien adalah seorang Katolik yang taat.
Dalam buku pertama Kronik Narnia, yang diberi judul Singa, Penyihir dan Lemari Rias, kita menemukan gema-gema penciptaan. Unsur-unsur petualangan di dalam Narnia menyatakan keindahan kehidupan, sebelum adanya kebohongan, pengkhianatan, pemberontakan, kepongahan dan kejahatan-kejahatan lain yang menyusup ke dalam dunia. Ketika Aslan, sang singa yang gagah berani itu “mengibas-ibaskan rambutnya,” di belakang Aslan pemandangan nampak begitu indah dan semerbak hijau seperti musim semi. Pelukisan Lewis akan datangnya musim semi yang tiba-tiba itu mengingatkan kita kepada betapa indahnya alam yang tercipta mula-mula.
Lihatlah betapa damainya setiap makhluk di Narnia. Kita menemukan perayaan hidup yang bermartabat meskipun mereka adalah orang-orang biasa: Pak Tumnus, dan juga para berang-berang dan si raksasa Rumbleffin. Gelak tawa mereka lepas tanpa ada tekanan; yang ada hanyalah kesenangan dan luapan sukacita.
Terdapat keindahan pula ketika tanah ditutupi oleh salju serta es yang membeku. Meskipun musim dingin yang sangat panjang akibat kutukan si penyihir jahat, hamparan putih salju itu tak dapat menutupi kenyataan adanya sebuah ciptaan yang indah dari seorang Pencipta yang Mahabaik.
Lebih dari itu semua, ada sukacita yang sejati dalam kegiatan kehidupan yang biasa dilakukan: makan dan minum, tarian, perayaan, pernikahan, persahabatan, pekerjaan yang diselesaikan dengan baik, kepercayaan, loyalitas dan juga keberanian.
Dalil Kedua: Ciptaan itu indah! Meski dosa menyusup ke dalam dunia, keindahan ciptaan Allah tidak pernah hilang.
No comments:
Post a Comment