MATA HATI BAIK
AMSAL 22:7-9
Hidup makin susah. Kita menghadapi krisis keuangan yang cukup dahsyat, yang mendunia. Banyak orang Kristen yang lumayan diberkati, yang sempat merencanakan anak-anaknya bersekolah di luar negeri, pada akhirnya harus mengurungkan niat mereka dan menyekolahkan anaknya. Selain itu, sejumlah besar tenaga kerja di negara kita sedang terancam PHK. Tak sedikit orang yang mengalami depresi berat, karena masih menanggung biaya anak-anak yang bersekolah sementara tidak ada sumber mata pencarian yang dapat digantungkan.
Namun di tengah sukarnya hidup, ternyata masih banyak orang yang dapat menghambur-hamburkan uangnya. Orang-orang dapat keluar masuk klub malam untuk begadang sampai pagi. Alih-alih membuang sial dan kepenatan hidup yang menekan, tanpa ada rasa sayang bagi orang-orang ini merogoh kocek dan membayar “sejumlah besar” (karena besarannya pun relatif), untuk menyenangkan jiwa-jiwa yang hampa itu, barang sejenak.
Betapa inovatifnya manusia modern ketika saya melihat pamflet, poster dan selebaran, bahwa sekarang telah berkembang sebuah bisnis baru yaitu: UTANG ANDA MENJADI ASET! Artinya, jika Anda berutang kepada bank atau lembaga keuangan yang lain, maka Anda sebenarnya punya kesempatan untuk memutarkan uang itu dengan cara melanjutkan utang itu kepada orang lain. Jadi, orang lainlah yang pada akhirnya menanggung utang Anda. Anda akan duduk tenang saja sambil menikmati bunga dari piutang Anda kepada orang lain.
Siapakah yang paling menderita? Firman Tuhan jelas menunjukkan kepada kita: orang miskin. Mereka menjadi objek perasan orang kaya. Mereka diperlakukan sebagai budak. Berlakulah hukum ekonomi kapitalis: Siapa mempunyai modal besar, dialah yang akan berjaya dalam menguasai pasar. Berlaku pula hukum politik di sini: Hanya orang kaya, yang boleh bicara!
Tapi “takdir” orang-orang demikian tidaklah selalu gemilang! Berlaku hukum “tabur-tuai” di sini: siapa menabur kecurangan, akan menuai bencana. Istilah lain untuk “kecurangan” di sini adalah “ketidakadilan.” Jadi, siapa yang suka berbuat tidak adil, baginya bencana itu sudah menanti.
Tongkat amarahnya akan habis binasa. Tongkat itu dapat menunjuk kepada “kesombongan” atau “kecongkakan.” Orang yang berkuasa pada zaman dulu, ke mana-mana selalu membawa tongkat sebagai lambang kekuasaannya. Tongkat kekuasaan bagi orang yang berbuat tidak adil adalah tongkat yang penuh angkara, tongkat yang siap mengayun ke atas punggung orang-orang yang ia tindak dengan sewenang-wenang. Tetapi tongkat itu akan habis; ia akan menjadi hampa, kosong melompong tak ada gunanya! Kesombongan orang-orang kaya akan musnah dan tak dikenali lagi!
Apa arti semua ini? Allah tidak akan membiarkan ketidakadilan merajalela. Ya, meskipun sekarang kita melihat banyak ketidakadilan di sekitar kita, tetapi Allah tetaplah Allah yang mencintai keadilan. Pada saat-Nya, sekali lagi pada saat-Nya, pada waktu-Nya, dalam kedaulatan-Nya, ia akan menyudahi semua akal bulus manusia celaka yang penuh angkara murka. Mungkin ada orang yang telah kehilangan keyakinan ini dan mulai menggugat Allah karena ketidakadilan ada di mana-mana, tetapi Allah tetaplah Allah yang suka akan keadilan, dan pada akhirnya nanti Allah akan menjadikan segala sesuatu pulih dan benar adanya!
Bagaimana mulainya era pembaruan itu? Justru yang menarik, Allah pertama-tama telah meletakkan Saudara dan saya sebagai orang-orang benar terlebih dahulu. Ia mengikatkan sebuah perjanjian yang kudus dengan sebuah umat. Ia menjadikan umat itu sebagai tanda keselamatan dan terang bagi bangsa-bangsa. Dengan gaya hidup yang baru, yang diterangi oleh “Torah,” atau pengajaran, dan diilhami oleh “hikmat” Allah sebagai tuntunan hidup setiap hari, umat ini hidup sebagai milik kesayangan Allah yang istimewa.
Ia menjadikan kita umat-Nya untuk menyadari bahwa panggilan kita bukan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita. Kehadiran umat Allah seharusnya merupakan tanda mulai habis dan lenyapnya orang-orang sombong, congkak yang berlaku tidak adil di muka bumi!
Di sini, firman Allah berbicara mengenai “orang yang baik hatinya.” Secara harfiah lebih tepatnya adalah “bermata baik” (the good of eye). Lawan katanya adalah “mata yang jahat” (the evil of eye), yang tertulis dalam 23:6, dan diterjemahkan oleh LAI sebagai “orang yang kikir.” Apa yang dilakukan oleh si kikir? Jika kita membaca konteksnya, orang kikir adalah orang yang bersusah payah untuk menjadi kaya dan menikmati kekayaannya itu untuk diri sendiri. Orang yang kikir harus dihindari oleh umat Allah, semeja makan dan ingin menikmati makanannya pun menjadi larangan dari kitab hikmat ini. Sebab orang ini jauh dari ketulusan hati.
Sebaliknya, orang yang “bermata baik,” akan membagi rezekinya dengan si miskin. Jauhlah hasratnya dari eksploitasi atas manusia lain, atau menguasai orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Ia tidak tamak harta. Ia selalu merasa cukup dalam kehidupan, meski bukan berkelebihan apalagi berkelimpahan. Ia lebih memandang kepada sang Pemberi berkat, ketimbang pada jumlah berkat yang ia terima. Tetapi apa pun yang diterimanya dari Allah, di dalamnya ada sebuah panggilan untuk berbagi!
Betapa lebih indah dunia ini, bila setiap orang belajar berlaku adil. Kata Ibu Teresa, daripada mengutuki seribu kegelapan, lebih baik menyalakan satu lilin. Bila terang umat Allah menyala, dengan sendirinya kegelapan itu akan sirna. Dengan sendirinya kaum yang congkak dan selalu curang tidak memiliki tempatnya.
Tetapi, bukankah sulit di masa sekarang ini untuk berbagi keuntungan? Sekarang mari kita balik, jangan berbagi keuntungan; tetapi, bagaimana bila kita berbagi kerugian? Menyadari ada begitu banyak orang yang di bawah kita, yang lebih menderita, bagaimana jika kita belajar untuk berbagi rugi dengan mereka?
Mungkin Saudara suka berbelanja di supermarket dan mega-mall. Bila dibandingkan dengan toko kecil, mungkin harga mall lebih murah sedikit. Betapa tidak, supermarket omsetnya besar sekali, karena nilai penjualannya besar. Tetapi cobalah sistem ini kita biarkan dan tidak kita sadari dampak jangka panjangnya, toko-toko kecil akan kian banyak yang gulung tikar, tergilas oleh supermarket yang menawarkan kenyamanan berbelanja dan kemudahan fasilitas.
Orang pun semakin pintar berdagang. Untuk memutarkan uang, orang kaya tak selalu menginvestasikan dalam jumlah besar-besaran dengan membangun supermarket, tetapi membuat mart-mart kecil yang tersebar di tempat-tempat strategis di kota maupun di pinggiran kota. Tidakkah dapat kita bayangkan nasib warung-warung di sekitar mart-mart milik orang berduit itu?
Tetapi apakah kita sudah begitu kikirnya, jika hanya karena selisih harga Rp. 100, Rp. 500 atau Rp. 1000 kita memilih berbelanja di toko-toko megah itu? Apakah dengan merelakan uang sejumlah itu, kita menjadi kekurangan berkat Tuhan dan segera jatuh miskin? Dan kalaupun kita merelakan uang ekstra seperti itu, Tuhan akan segera memalingkan wajah-Nya dari kita dan menutup pintu-pintu berkat-Nya?
Firman Allah dengan jelas telah berkata kepada kita, “mata yang baik” akan diberkati! Seorang yang rela berbagi yang ia miliki, tidak akan pernah kekurangan berkat Tuhan! Baginya, apa yang Tuhan berikan selalu cukup! Ia tidak akan kekurangan. Hitunglah berkatmu satu per satu, maka kau pun akan kagum dengan karya Tuhanmu! Terpujilah Allah!