Wednesday, February 25, 2009

ABCDEF (1)

ABCDEF (I)

ANGER, BLAME, CONFRONTATION, DESTRUCTION, EXPERIENCE, FORGIVENESS



1. Tema ini luas. Berbicara mengenai anger, blame, confrontation, destruction, experience and forgiveness dibutuhkan beberapa sesi. Hari ini kita akan berfokus kepada anger and blame, kemarahan dan mempersalahkan orang lain.



2. Apa faktor yang menyebabkan kita menyalahkan orang lain? Kemarahan. Berbicara mengenai kemarahan, ada dua hal yang sangat perlu untuk diketahui:

a. Apakah kemarahan adalah emosi yang negatif dan setiap orang harus menghindarkan diri dari kemarahan? Bagaimana jika tidak ada emosi kemarahan dalam diri seseorang?

b. Bagaimana kata Alkitab mengenai kemarahan?

c. Bagaimana kita mengelola kemarahan?



3. Allah memperlengkapi manusia dengan sangat lengkap. Di otak kita ada “pusat-pusat syaraf.” Hal ini dapat dites oleh seorang ahli bedah syaraf. Pasien ditidurkan di meja operasi, dibius lokal dan dimasukkan elektroda atau serat kabel halus yang dapat dialirkan arus listrik bertegangan milivolt.

a. Euphoria center: “Wow, Anda adalah dokter yang hebat. Saya senang sekali! Ayo lakukan lagi!”

· Inilah efek yang dikerjakan oleh obat-obat psikotropika. Ada percobaan dengan seekor tikus; otaknya distimulasi demikian, lalu ia dengan bersemangat menggerakkan rodanya, tanpa makan dan minum dan akan mati kelaparan. Ia mati dengan gembira!

b. Depression center: “Ya Tuhan, semuanya tampak kelabu! Aku takut; aku gemetar. Mohon, mohon hentikan itu.

c. Anger center: kalau dokter bedah menstimulasinya, maka ia akan membanting meja!



4. Bagi para ahli, pusat syaraf ini merupakan hasil evolusi. Tetapi saya yakin ini merupakan kelengkapan yang Tuhan berikan kepada kita! Kenapa? Bisa kita bayangkan kalau orang tidak mempunyai pusat syaraf ini? Anda akan menjadi orang yang super pasif.



5. Kemarahan secara mendasar merupakan mekanisme wilayah pertahanan (teritorial). Sama halnya kedaulatan sebuah negara ditentukan oleh ketahanan teritorialnya. Ketika orang lain mengancam wilayah kita, maka marahlah kita.

· Teritorial geografis: marah ketika ada orang masuk ke halaman kita dan memetik bunga kita tanpa izin.

· Teritorial psikologis: marah ketika ada orang yang mengkritik kita.

· Teritorial agama/ideologis: marah ketika ada orang menghina keyakinan kita atau merendahkan ide-ide kita.



6. Kita melihat teritorial manusia jauh lebih kompleks daripada hewan! Multifaset (berlapis-lapis) juga. Itulah sebabnya, manusia lebih gampang marah dan sering meluapkan kemarahan-kemarahan itu dengan tidak tepat. Misalnya, kita pun dapat menembaki kawan kita meskipun kitalah yang mengundang dia untuk masuk ke teritorial kita. Contoh, kita curhat dengan orang lain. Kita ngomongin semua keluh kesah kita, pinginnya minta didukung, tapi di akhir ngomong itu dia hanya berkata dengan pendek, “Aku masih ngga bisa ngerti duduk permasalahannya cerita kamu. Menurutku yang salah kamu.” Jegerrrrr!!! Bak petir di siang bolong! Teritorial psikologis kita kena deh! Kita minta dia menolong masalah kita, tapi dia malah mempersalahkan kita. Kita dapat meledakkan kemarahan kepadanya, bukan?



7. Bagaimana kata Alkitab tentang kemarahan? Di dalam Alkitab, Allah murka. Nabi-nabi pun sering dibuat geram. Yesus marah. Paulus pun mengatakan kata-kata keras kepada jemaat.

· Bedanya, mereka menujukan kemarahan itu bukan karena geografis, psikologis ataupun agama/ideologis, tapi “teritorial Allah”—manakala Allah tidak dihormati lagi; kekudusan-Nya dikhianati dan umat menyelewengkan penyembahan yang benar kepada Allah.

· Mereka tidak berjuang demi agama! Mereka menegakkan kehormatan dan kemuliaan Allah. Dan tidak ada seorang nabi pun yang mengangkat besi dan granat untuk menyalurkan kemarahannya.

· Mereka bergerak dari diri sendiri menuju ke arah Allah!



8. Mundur ke Taman Eden di Kejadian 3:1-6, kondisi manusia terjungkir balik. Iblis berbicara melalui ular supaya manusia dapat menggunakan kapasitasnya untuk berpikir sebagai makhluk. Ingat, Tuhan Allah menempatkan semua makhluk di bawah kaki manusia, Iblis tidak termasuk. Maka Iblis dengan pintarnya menggunakan ini. Tanpa membuat manusia curiga, Iblis berbicara melalui ular.



9. Iblis selalu menggunakan cara yang licik, licin dan lihai untuk menipu. Ia anti-Allah dan pro-diri sendiri. Gerak komunikasinya dari luar dan berpusat pada diri sendiri. Data yang disampaikan penuh dengan dusta. Cara Iblis berkomunikasi bukan untuk mendidik, tetapi untuk menipu. Ia tidak berusaha untuk menjawab pertanyaan, tetapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Ia tidak mau menyelesaikan masalah, tapi menciptakannya. Ia melancarkan keragu-raguan terhadap kata-kata Allah, “Bukankah Allah telah berfirman . . .” Ia memutarbalikkan kebenaran Allah, “Engkau sekali-kali tidak akan mati!” Semua bentuk komunikasi ini didisain agar perempuan dan laki-laki menggunakan kehendak mereka untuk melawan Allah!



10. Apa akibatnya? Dosa menyebabkan manusia untuk menyembunyikan diri. Persepsi manusia satu dengan yang lain berubah total! Sebelumnya, mereka melihat seperti Allah melihat: baik! Kini semua itu terusakkan. Mereka mulai mengalami hubungan antarmanusia yang retak. Bahkan jenis kelamin mereka pun ditafsirkan/dipandang dari sudut manusia yang jatuh ke dalam dosa. Manusia mulai memakai topeng!



11. Kita menutupi kebutuhan-kebutuhan kita. Kita mengubur pikiran-pikiran kita. Kita menekan perasaan-perasaan kita. Kita bergumam di dalam hati. Kita pendiam, pemalu bahkan menarik diri. Kita menjadi orang yang introvert. Bertemperamen buruk. Gampang mencibir. Pemalu. Minder. Kita berkata, “Tinggalkan aku sendiri,” oleh sebab kita tidak ingin orang lain masuk dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kita menipu diri sendiri tetapi tetap merasa bahwa kita dapat melakukannya. Dosa membuat kita terpisah. Dosa menyebabkan orang bersembunyi dari sesamanya.



12. Kita memang tidak tertutup dalam segala sesuatu, dalam semua hal, tetapi kita cenderung utnuk bersembunyi! Puncaknya, mereka pun bersembunyi dari Allah. Mereka mencari tempat persembunyian. Mereka tidak lagi merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan Allah secara terbuka. Orang yang bersalah pasti tidak merasa aman berada di dekat pendakwa. Seseorang yang berdosa pasti tidak akan tahan berhadapan dengan Allah yang suci.



13. Hancurnya hubungan Allah dengan manusia menyebabkan manusia hanya membangun komunikasi dengan dirinya sendiri. Kita lihat, manusia menjadikan diri sendiri sebagai pusat kehidupan. Di sini, manusia pasti kurang dalam segala sesuatu. Mazmur 23:1 mengingatkan, “Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku.” Tapi Tuhan di titik ini bukan lagi gembala manusia. Jadi, manusia pun kekurangan. Manusia mencari jawaban, tetapi makin mencari, manusia makin kehilangan arah.

· Pencarian itu membuat orang menderita, karena manusia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.

· Pencarian itu merendahkan manusia, ketika manusia tak tahu jawabannya dan harus mencarinya ke yang lain.

Namun manusia tidak mau disakiti ataupun bergantung dengan yang lain; akhirnya ia membungkusnya dengan kesenangan dan prestise.



14. Perhatikan Kejadian 3:12-13. Karena tak dapat lagi bersembunyi, Adam mengalihkan kesalahan itu kepada pihak lain. Ia mempersalahkan perempuan dan Allah. From hide to hurl. Ia mempersalahkan istrinya dan secara tak langsung mempersalahkan Allah.



15. Kita menyalahkan orang lain dengan berbagai cara. Kita bertindak sebagai hakim dan menciderai orang lain. Kita melemparkan masalah-masalah kita kepada mereka yang hidup dengan kita. Kita mencemooh. Kita menguasai. Kita menjadi dogmatis. Kita kasar, kaku dan membebani orang lain. Kita pikir bahwa kata-kata kita selalu kata final. Kita merendahkan orang lain dengan kata-kata kritikan yang tajam. Baik langsung di hadapan mukanya. Ataupun di belakangnya. Kita berkata, “Engkau tidak pernah melakukan hal yang benar. Selalu saja lupa!”



16. Perhatikan: kita sering menggunakan “tidak pernah” dan “selalu.” Kata-kata itu sangat tajam menusuk, yang dengan membabi buta merontokkan lawan komunikasi kita. Kita mempersalahkan Allah. Kita mempersalahkan sesama. Kita mempersalahkan diri kita sendiri!

· Orang yang mempersalahkan akan berkata, “Ia kok begini” padahal “Ia seharusnya begitu!”



17. Karena kita orang berdosa, maka kita membabi buta menyalahkan siapa saja. Ini bukan kesalahanku. Ini kesalahannya. Ini bukan tanggung jawabku. Ini tanggungan dia. Ini bukan masalahku. Ini masalah mereka. Aku tidak dogmatis, tapi percaya diri. Aku tidak pengritik, tapi membedakan roh. Jika aku bukan suamimu/pacarmu, aku akan bahagia. Jika kita bisa pindah dari lingkungan ini, masalah kita beres. Jika aku dapat profesor lain yang membimbing skripsi ini, pasti aku sudah selesai dengan sangat baik!



18. Inti segala dosa adalah: kesombongan diri sendiri. Akar dosa adalah: AKU yang sudah jatuh!



19. Bagaimana kita mengelola kemarahan? Ada beberapa pilihan:

a. “Aku nggak salah, yang salah dia!”

b. “Kemarahanku ini bodoh dan kekanak-kanakan. Ini kesalahanku.”

c. “Orang ini memang sudah masuk ke wilayah psikologisku, tapi ini adalah ketidaksengajaan dan tidak ada alasan untuk marah tentang hal itu.”

d. “Ya, dia memang masuk ke wilayahku sedikit, tetapi itu bukan masalah besar. Tidak ada pentingnya marah mengenai hal itu!”

e. Setelah kita menenangkan pikiran dua-tiga hari, kita menimbang-nimbang, ini memang kesalahan dia! Ungkapkan itu dan kemarahan adalah hal yang baik. Karena tidak membabi buta!



Thursday, February 5, 2009

Pengantar Masa Raya Paskah 2009

“KRISTUS YANG TERSALIB, KAMI SEMBAH”





Meskipun kita memuji Allah yang sama untuk banyak sekali alasan,

kita memuji dan menyembah-Nya terutama oleh sebab salib.

[Paulus] mengesampingkan semua hal yang lain yang Kristus kerjakan

untuk kepentingan dan penghiburan kita, kemudian yang tinggal hanya salib.

Bukti kasih Allah kepada kita, beliau berkata, bahwa Kristus telah mati untuk kita,

ketika kita masih berdosa [Rm. 5:8]. Kemudian dalam kalimat berikut ini,

beliau memberi kita dasar tertinggi bagi pengharapan:

Jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah

oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan,

pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya [Rm. 5:10].



Bapa Gereja Yohanes Krisostomus (347-407 M)





Ritualisme Melawan Anugerah?



Mengapa ada begitu banyak “ritual” keagamaan di masa Paskah ini? Apakah kita kembali kepada masa Perjanjian Lama? Bukankah kita hidup dalam masa anugerah dan bukan hukum Taurat? Bukankah Gereja Reformasi menghapuskan semua ritualisme Gereja Katolik Roma di Abad Pertengahan? Kalau begitu, mengapa perlu ada banyak pernik seperti puasa, kebaktian khusus, jalan salib, tugur (vigil)? Bukankah cukup Jumat Agung dan Fajar Paskah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kerap muncul di benak banyak warga jemaat.



Sejenak marilah kita jujur kepada hati kita masing-masing. Dalam hidup ini, kita telah terlampau ditenggelamkan oleh urusan-urusan keseharian yang remeh-temeh: pakaian bermerek terkenal, warna mobil yang akan dibeli, besarnya uang tabungan di bank, asuransi bagi anak yang akan sekolah, kinerja di kantor yang menguras tenaga dan pikiran, dan mungkin termasuk kecemasan tentang datangnya PHK. Disadari atau tidak, rutinitas harian kita telah menyita banyak sekali konsentrasi dan waktu.



Adakah waktu untuk Tuhan? Adakah waktu untuk memikirkan firman Tuhan dan mengunyahnya kembali, yang kita dengar dari mimbar di setiap Minggu? Sungguhkah kita menantikan Jumat Agung dan Paskah? Hidup di masa kini bak berkejaran dengan tuntutan. Bukankah kita, dalam saratnya beban hidup keseharian yang makin berat, lebih gampang melupakan Sang Khalik dan Penebus kita, alih-alih benda-benda yang kita punyai serta ambisi-ambisi pribadi? Minggu mungkin telah menjadi rutin karena “kepantasan” sebagai seorang Kristen. Jangan-jangan, kian bertambah pula jumlah orang Kristen yang hidup seolah-olah bahwa wafat dan kebangkitan Kristus tidak pernah terjadi, karena tiada waktu untuk mempersiapkannya.



Masa Raya Paskah, yang diawali dengan Rabu Abu, Minggu-minggu Prapaskah dan berpuncak di Minggu Sengsara, sesungguhnya mengundang kita untuk kembali ke dasar iman, kembali ke sumber kehidupan batin, kembali ke pusat hidup kita yang sejati, kembali berpusatkan Allah. Masa Raya Paskah mengundang kita untuk mematikan dosa dan kebodohan kita terhadap Allah dan sesama kita. Masa ini pun membuka kembali gerbang untuk masuk dan menikmati sukacita Tuhan—sukacita hidup baru sebagai ganti kematian dan kehidupan yang lama.



Jadi, apakah merayakan Paskah selama hampir tujuh Minggu merupakan ritualisme belaka? Hendaklah kita mengingat selalu, semua ibadah dapat menjadi ritualisme yang kosong, termasuk ibadah Mingguan. Memang, seseorang dapat berpura-pura bertobat ketika mengikuti peneraan abu di ibadah Rabu Abu. Hal itu hanya sebagai gerakan biasa tanpa ada penyesalan diri. Kendati demikian, sama salahnya bila kita melalaikan persiapan-persiapan untuk menyongsong peristiwa Paskah yang Agung itu.



Justru di tengah kondisi zaman di mana banyak orang semakin kehilangan ketajaman mata batin, dan kekurangan waktu untuk merenungkan firman dan mengikuti PA di gereja, maka ibadah Gereja harus ditata untuk membentuk ulang peziarahan batiniah atau perjalanan kehidupan rohani warga jemaat melalui peringatan-peringatan Kristen. Paskah adalah waktu di mana seseorang kembali menata pusat kehidupannya di dalam Allah yang berlimpah anugerah. Di sanalah setiap mata warga Kerajaan Surga akan memandang Yesus yang tersalib dan Kristus yang dibangkitkan dari antara orang mati! Di bawah kaki salib Kristus, kita sujud dan menyembah! Crucem sacram tuam adoramus, Domine!



Rabu Abu



Gereja memperingati Rabu Abu dengan berpuasa dan berpantang. Berpuasa memiliki tujuan: (1) mendekatkan diri kepada Allah dengan kemawasan diri dan pertobatan yang sungguh; (2) mengurangi atau berpantang dengan apa yang kita sukai demi persekutuan yang lebih intim dengan Tuhan; (3) menyisihkan sebagian milik kita untuk kita bagikan kepada sesama.



Disebut Rabu Abu karena pada peringatan ini diterakan abu daun palma yang dipakai dalam Minggu Palmarum tahun sebelumnya. Abu dioleskan di atas dahi dalam bentuk tanda salib (atau ditaburkan di kepala umat) disertai nasihat, “Ingatlah, bahwa engkau ini debu dan akan kembali kepada debu” (Kej. 3:19) dan/atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (bdk. Mrk. 1:15). Rabu Abu merupakan pintu kepada masa Prapaskah, yang dicirikan oleh penyesalan dosa atau pertobatan. Warna liturgi pun mencerminkan pertobatan tersebut ialah UNGU.



Prapaskah



Masa ini disebut juga masa pertobatan, diperingati 40 hari lamanya, mulai dari Rabu Abu sampai dengan Kamis Putih. Tema pokok pada masa ini adalah pembaptisan dan pertobatan. Bahwa pada waktu seseorang dibaptis, seseorang mati bagi dosa dan dibangkitkan untuk hidup sebagai milik Allah. Dalam baptis, seseorang dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Umat pun diajak untuk selalu mawas kepada kekurangan diri dan keberdosaan. Meskipun telah dipersatukan dengan Kristus, namun kita masih hidup di dalam keberdosaan.



Dalam masa Prapaskah, tidak dinyanyikan “Alleluia!” tetapi “Hosiana!” yang berarti “Selamatkanlah kami.” Warna UNGU sebagai simbol pertobatan merupakan warna liturgi yang tetap selama Minggu-minggu Prapaskah (5 Minggu).



Minggu Palmarum



Minggu Palmarum merupakan Minggu Prapaskah Keenam, sekaligus pembuka Pekan Suci atau Minggu Sengsara Tuhan. Ibadah di Minggu ini dicirikan oleh jemaat yang turut melambai-lambaikan daun palem sambil berkata, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan”; hal ini mengingatkan saat Yesus Kristus memasuki Yerusalem, Ia dielu-elukan oleh khalayak ramai dengan lambaian daun palem.



Dalam Minggu ini, ada sukacita tetapi juga ada dukacita. Kristus mengalami dua hal yang nampak bertentangan (paradoks): Ia disanjung sebagai Mesias Raja, namun Ia sesungguhnya tengah memasuki puncak karya-Nya sebagai Mesias Hamba yang menderita. Sorak “Hosana!” itu segera berubah menjadi teriakan “Salibkan Dia!” Peringatan ini mengangkat kesadaran batin umat akan hal sangat cepatnya manusia berubah dari kesetiaan kepada Tuhan, menjadi pengkhianatan kepada Dia. Warna MERAH adalah warna liturgi untuk Minggu ini.



Dalam ibadah Minggu Palmarum, ada kekhususan leksionari. Bacaan sebenarnya hanya Mazmur dan Injil (dapat ditambahkan Surat Kiriman). Tidak ada Pembacaan Perjanjian Lama. Maksudnya, mata rohani umat diajak memandang Sosok Kristus sebagai pengejawantahan Injil yang sejati. Demikian juga, pengakuan dosa diletakkan setelah pewartaan firman, dengan mengingat ratapan Yesus setelah memasuki kota suci Yerusalem (Mat. 23:37-39).



Tiga Hari Pekan Suci



Senin-Rabu di Pekan Suci, merupakan hari permenungan. Setiap umat mengadakan waktu khusus secara pribadi untuk mempersiapkan diri di hadapan Tuhan, dengan panduan renungan yang ada dalam buku liturgi ini. Panduan renungan ini mengantar jemaat kepada puncak peringatan sengsara Kristus dalam Triduum (Trihari Kudus).



Kamis Putih



Kamis dalam Pekan Suci atau Minggu Sengsara ini mengenang Perjamuan Tuhan, Pembasuhan Kaki Para Murid, penetapan titah kasih kepada sesama dan Kisah Getsemani. Inilah malam terakhir sebelum kesengsaraan Kristus yang mahadahsyat.



Dalam pemahaman liturgi, Kamis Putih menitikberatkan kepada “titah kasih” sebagai perintah baru dari Tuhan Yesus (Yoh. 13:34). Karena, dalam bahasa Inggris, Maundy yang menerangkan Thursday berasal dari istilah Latin mandatum novum, “mandat baru” atau “titah (perintah) baru.” Jadi Maundy Thursday dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai “Kamis Titah Baru.”



Semua lilin Prapaskah diganti dua lilin PUTIH, yang sekaligus juga mencirikan warna liturgi hari Kamis ini, untuk mengingatkan kita bahwa Kristus memanggil kita menggenapkan dwititah kasih: Mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, seperti yang Kristus teladankan sendiri di dalam pengajaran, tata laku dan tutur kata-Nya.



Trihari Kudus



Istilah Latinnya Triduum Sacrum. Pada Abad Awal (300-600 M.), yang termasuk peringatan Trihari Kudus adalah Jumat Agung, Sabtu Sunyi dan Minggu Paskah (sore). Gereja memusatkan perayaan ini kepada peristiwa penyaliban, pemakaman dan kebangkitan Tuhan.



Pada Abad Pertengahan (l.k. 600-1500-an) terjadi pergeseran perayaan. Dimajukan satu hari, maka Kamis Putih sudah termasuk Trihari Kudus, bersama dengan Jumat Agung dan Sabtu Sunyi (Malam Paskah). Alasan yang dipakai yaitu bahwa ketiga peristiwa ini berkenaan dengan kesengsaraan Tuhan.



Jumat Agung



Yesus wafat di atas salib pada Jumat Pekan Suci (Minggu Sengsara) atau Jumat sebelum Paskah. Jumat Agung merupakan awal dari misteri teragung anugerah Allah—di dalam Yesus Kristus Allah mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, setia sampai akhir dan mati di kayu salib.



Pada Jumat Agung, ruang ibadah tidak didekorasi. Semua lilin telah padam. Meja perjamuan kudus dilucuti dari semua perlengkapan dan hiasan: kain, salib, lilin, bunga, dll. Ini menjadi lambang dukacita serta kegelapan yang teramat pekat, yang kini telah menggelayuti Sang Putra Tunggal Allah. Teriakan “Eloi, Eloi, lama sabakhtani” menjadi bukti bahwa Bapa memalingkan muka-Nya kepada Putra-Nya demi menanggung dosa umat-Nya.



Sabtu Sunyi



Disebut juga Sabtu Paskah, adalah hari untuk mengenang Kristus dimakamkan. Di hari ini, umat menantikan kebangkitan-Nya. Umat dianjurkan untuk melakukan puasa sebagai perpanjangan Jumat Agung. Dalam Gereja Katolik, Ortodoks, dan Anglikan, pada Sabtu Sunyi dilaksanakan tugur (vigil). Tugur dimulai dari petang sebelum suatu hari raya (Malam Paskah) dan berakhir pada dini hari. Tugur Sabtu Sunyi bagi Gereja-gereja ini dikenang sebagai induk dari semua tugur. Tugur dilaksanakan dengan menyanyikan mazmur, mendengarkan bacaan, dan memanjatkan doa-doa.



Gereja kita pun mengadakan semacam tugur, bukan pada malam hari tetapi dimulai pada sore hari, yaitu dengan Jalan Salib dan Doa Taizé. Melalui Jalan Salib kita mengenang prosesi sengsara Tuhan kita, dan Doa Taizé mengajak jemaat untuk bermazmur, mendengarkan bacaan, merasakan keheningan serta menaikkan doa-doa. Tidak ada pemberitaan firman.



Paskah



Paskah merupakan puncak dan pusat Tahun Liturgi Gereja. Hari yang dinanti-nantikan setelah masa-masa persiapan yang panjang. Segala pengharapan dan dambaan seluruh umat Kristiani nyata dalam kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Itulah sebabnya, liturgi Paskah merupakan liturgi yang paling semarak dari semua perayaan tahun gereja.



Warna PUTIH dan EMAS mendominasi ruang ibadah dengan hiasan-hiasan yang cerah dan meriah, sebagai masa untuk bersukacita dan merayakan kemenangan dan pembaruan. Sebabnya, Yesus telah dibangkitkan dari kematian dan ditahbiskan sebagai Mesias Raja, dan Dia layak mendapat gelar “Tuhan” (Yunani Kurios). Seluruh umat kini kembali bersorak, “Alleluia!” Yesus hidup! Ya, Dia sungguh hidup!



Jangan lupa, Paskah merupakan awal dari “Lima Puluh Hari Agung” yang menuntun jemaat pada peringatan Pentakosta. Setelah Minggu Paskah, warna liturgi adalah MERAH. Pada masa ini, umat mengenang Kristus yang terus melakukan pelayanan-Nya kepada umat sampai pengangkatan-Nya ke surga. Umat pun dibawa kepada permenungan bahwa karya Kristus meluas kepada penebusan seluruh ciptaan, dan demi mewujudkan kehidupan yang penuh sukacita bagi setiap umat kepunyaan-Nya.





SELAMAT MENAPAKI ZIARAH BATIN!

CRUCEM SACRAM TUAM ADOREMUS, DOMINE!





Kepustakaan:



The Worship Sourcebook. Grand Rapids: CICW/Baker, 2004.



Maryanto, Ernest. Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.



Webber, Robert E., ed. The Complete Library of Christian Worship V: The Services of the Christian Year. Nashville: Hendrickson, 1994.



--------. Ancient-Future Time: Forming Spirituality through the Christian Year. Grand Rapids: Baker, 2006.



Sunday, February 1, 2009

Duduk di Bawah Kaki St. Ishak dari Niniwe



DUDUK DI BAWAH KAKI ST. ISHAK DARI NINIWE





“Seseorang yang berasal dari dunia, yang bertahan dalam kesengsaraan di dalam kehidupan ini lebih tinggi kedudukannya daripada seorang pertapa yang menderita kesukaran-kesukaran dan tinggal dengan orang-orang duniawi. Yang menakutkan bagi setan-setan dan menjadi yang dicintai Allah serta malaekat-malaekatnya adalah dia yang dengan keteguhan hati yang kokoh mencabut kebencian-kebencian yang ditaburkan oleh si musuh dari dalam hatinya.”



—St. Ishak dari Niniwe (w. 700 M)





St. Ishak dari Niniwe lahir di Bet-Qatraye atau Qatar di Semenanjung Persia. Ia adalah bapa gereja yang berlatar belakang Kristen Arab. Pada tahun 660 M. ia ditahbiskan sebagai Uskup di kota Niniwe, kota kuno yang kini berada di Irak. Namun, jabatan ini hanya dipangkunya selama lima bulan; ia pensiun dini lalu berangkat ke pertapaan Rabban Shabur di daerah Iran. Di sana ia menulis dan mempelajari Alkitab dengan cermat, sampai-sampai dikisahkan bahwa ia mengalami kebutaan. Perayaan bagi karya dan pelayanannya jatuh setiap tanggal 28 Januari.



Ia adalah seorang inspirator bagi tradisi Timur dan Barat, dan tulisan-tulisannya menjadi sumber hikmat dan ilham. Titik berat tulisan Ishak adalah asketisisme sebagai cara untuk berfokus kepada Allah. Ia menyusun suatu rancang bangun disiplin rohani yang disusun berdasarkan trikotomisme tubuh, jiwa dan roh.



Pada tahapan pertama, yaitu tahap “tubuh,” seseorang harus berdisiplin dalam berpuasa, berdoa dan bermazmur, karena hal ini dapat memurnikan hasrat-hasrat duniawi kita serta hambatan-hambatan kehidupan. Kita harus mampu meredam semua hasrat dan nafsu duniawi yang dapat menjauhkan kita dari Allah.



Setelah seseorang dapat menguasai diri, maka ia pun mampu masuk ke tahapan “jiwa” yaitu kemampuan untuk berbalik dari hal-hal kebendaan serta berfokus kepada permenungan akan hikmat Allah. Jiwa manusia akan terbuka secara penuh kepada Allah.



Pada tahapan yang terakhir, yaitu “roh,” seseorang akan mengalami sukacita berdoa secara kontinu dan pemahaman yang mendalam mengenai kehidupan yang tiada berkematian yang dianugerahkan kepada kita oleh karya kematian dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan.



St. Ishak berkata, “Berjalanlah di hadapan Allah dalam kesederhanaan, dan bukan dalam kerumitan pikiran. Kesederhanaan membuahkan iman, tetapi spekulasi-spekulasi rumit dan intrik-intrik membuahkan tipu daya; dan tipu daya membuahkan keterpisahan dengan Allah.”



Ishak adalah pelopor mistikus yang mengatakan bahwa air mata merupakan suatu “anugerah” dalam pelayanan. Hal ini begitu menghibur banyak pelayan Tuhan yang sedang memulai karya pelayanannya, dan yang menghadapi banyak kendala di tempat ia melayani. Salah satu mistikus yang terpengaruh dengan konsep “anugerah” ini adalah St. Ignatius dari Loyola (1491-1556).



Bukankah demikian kenyataan hidup ini? Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan. Kita kerap mengalami kasih Tuhan serta kehadiran-Nya bersama dengan kita sehingga kita pun menitikkan air mata; atau tatkala hati kita tergerak karena melihat seorang anak kecil sedang tertidur dengan pulasnya di daerah kumuh; atau ketika kita melihat diri kita menjadi benar-benar kosong namun sekaligus penuh, oleh karena penerimaan orang-orang di sekitar kita. Semua pengalaman ini dapat membuat kita menitikkan air mata. St. Ishak berkata, “But we are not accustomed to such an experience and finding it hard to endure, our body is suddenly overcome by a weeping mingled with joy. Air mata yang merupakan anugerah itu bagi Ishak adalah suatu “tanda yang nyata mengenai kebenaran yang tertangkap” dalam hati seorang Kristen sejati.



Meski sebagai seorang pertapa, Ishak bukan mau mengajak semua pelayan Tuhan untuk menarik diri dari dunia. Kata-kata St. Ishak yang dikutip di bagian atas membuktikan pernyataan ini. Ia mengingatkan kita untuk tidak mengkhawatirkan hal-hal duniawi, tetapi untuk bertahan. Sebagai manusia, tak jarang kita hanyut dengan “gengsi” dan mau menjadi nomor satu. Namun orang yang seperti ini akan kehilangan semakin banyak hal. St. Ishak hendak mengajak kita untuk melihat jati diri kita yang sesungguhnya, yaitu menjadi “kekasih-kekasih” Allah.



Ishak selalu mengajak kita untuk melatih diri ke dalam disiplin rohani, sebab menurutnya disiplin rohani merupakan ibu dari kesucian hidup. Dari disiplin rohani itu, tumbuhlah cara pandang yang membawa kita masuk kepada misteri Kristus. Kata St. Ishak, “Seberapa besar yang diusahakan seseorang [Kristen] untuk mendekat kepada Allah dengan segala maksud dan tujuannya, sebesar itu pula Allah mendekat kepada-Nya melalui karunia-karunia -Nya.”



Mungkin realitas zaman kita adalah—Banyak orang yang sedang mengalami ketakutan untuk hidup. Ketakutan untuk menghadapi banyak hal. Kehilangan kendali. Patah dalam pengharapan. St. Ishak memperingatkan, “Tidak ada seorang pun yang dapat mengenal Kebenaran tanpa memperoleh pengalaman sengsara.” Sebab bagi Ishak, “Jika jiwa tidak mengalami penderitaan demi Kristus, ia tidak akan berbagi pengenalan terhadap Dia.”



Terhadap orang-orang yang diimpit dosa dan malu untuk datang kepada Kristus, Ishak memberikan sebuah ilustrasi yang menarik, “Segenggam pasir, yang dilemparkan ke dalam laut, demikianlah keberdosaan ketika dibandingkan dengan Penyelenggaraan Allah dan rahmat kasih-Nya. Sama seperti sebuah sumber mata air yang melimpah ruah tidak terganggu oleh segenggam debu, demikianlah rahmat kasih Sang Pencipta tidak ditaklukkan oleh dosa-dosa ciptaan-Nya.”



Terpujilah Allah!