Tuesday, October 7, 2008

ALKITAB DAN KELUARGA KRISTEN (3)



IKATAN PERJANJIAN DALAM KELUARGA KRISTEN



Pemberkatan pernikahan, sebagai langkah awal membangun sebuah keluarga memang merupakan suatu bentuk perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan. Firman Tuhan dengan jelas melarang dan menganggap suatu kekejian adanya pernikahan sesama jenis. Tetapi hendaklah kita pun mengingat, bahwa perjanjian itu bukan berhenti pada janji nikah mempelai laki-laki dan perempuan di hadapan Allah sebagai Saksi, tetapi sesungguhnya kedua insan yang telah melebur menjadi satu itu sedang mengikat perjanjian dengan Tuhan, Allah kovenan.



Dengan demikian, Allah benar-benar masuk dalam kehidupan pernikahan. Pernikahan itu dilambari oleh karena komitmen, anugerah, jaminan dan kasih dari Allah, yang mendahului komitmen mereka berdua. Kepatuhan mereka merupakan respons dari tindakan Allah tersebut. Maka, penyelewengan satu orang di antaranya dengan sendirinya merupakan pemberontakan terhadap perjanjian mereka dengan Allah. Dan untuk pelanggaran perjanjian ini, risikonya besar! Karena Allah tidak pernah main-main dengan perjanjian-Nya.



Ketika anak hadir di dalam keluarga Kristen, mereka perlu memahami bahwa anak itu pun bagian dari kovenan Allah. Memiliki keturunan termaktub dalam Mandat Budaya di Kejadian 1:28, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi . . . .” Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Sekarang manusia mempunyai anak, yang juga merupakan gambar dan rupa Allah. Jadi memiliki keturunan berarti multiplikasi (pelipatgandaan) gambar Allah, agar mereka memenuhi bumi. Tanpa pemahaman bahwa anak adalah gambar dan rupa Allah, manusia bukannya “memenuhi bumi,” tetapi “menuh-menuhin bumi”!



Dalam kerangka kovenan, anak adalah wujud dari komitmen, anugerah, jaminan dan kasih Allah. Sekarang, orangtua pun dibimbing untuk meneladani Allah. Mereka berdua mewujudkan komitmen, anugerah, jaminan serta kasih kepada anak mereka. Pertama-tama, orangtua bukan diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum, tetapi menyatakan keempat tindakan itu. Jika keempat hal itu dijalankan oleh orangtua, maka anak pun akan menyadari betapa besar kasih orangtuanya, rasa aman yang diberikan kepadanya, serta dorongan pemberdayaan atau motivasi agar ia menjadi maju dan bertumbuh dengan baik. Biarkan kepatuhan itu merupakan transformasi dari dalam, yang natural terjadi di dalam diri anak.



Bagaimana dengan disiplin? Sekali lagi disiplin (hukum) tidak bertentangan dengan kasih. Disiplin harus ditegakkan, tetapi kiranya kita tidak lupa, berikan kasih yang seimbang! Peraturan perlu mendukung penghargaan. Rotan jangan sampai lebih banyak daripada pujian.



Beberapa orangtua salah memahami mengenai penghargaan melalui pujian. Pujian memang kerap diberikan kepada anak pada waktu batita atau balita. Tetapi begitu memasuki usia sekolah, khususnya SD, ada orangtua yang menganggap bahwa anaknya sudah cukup besar. Tidak perlu lagi mendapat pujian. Pujian akan membuatnya besar kepala dan sombong, bisa-bisa lupa diri. Maka, pujian digantikan dengan disiplin yang ekstra keras. Orangtua mulai menegakkan kata “harus” kepada anak, dan menyusupkan agenda juga cita-cita pribadi kepada anak: “harus” belajar keras, “harus” kursus piano/biola/renang, “harus” di rumah bersama orangtua. Pujian? Nyaris tak terdengar!



Jika ini berlanjut, anak akan bertumbuh menjadi orang yang tertutup di rumah. Di tempat lain, ia merasa bebas lepas bak burung terbang dari sangkar. Tetapi hal ini rentan sekali! Lingkungan di sekitar kita bukan Kristen yang mengenal berita mengenai ikatan penjanjian. Itu berarti, siapa pun dapat dipengaruhi dengan begitu mudahnya. Syukur-syukur bila si anak masih mau aktif di gereja, di mana ia mendapatkan komunitas yang mengembangkan pola kehidupan kovenan. Bila tidak, maka ia berada dalam ambang bahaya. Hidupnya akan penuh dengan pola coba-coba, bereksperimentasi liar, mumpung tidak ada satpam atau reserse.



Jadi, di manakah sesungguhnya masalah di dalam keluarga? Kasih yang belum cukup dirasakan, yang tak berimbang dengan tuntutan dan kewajiban. Penghargaan yang minim, pemberdayaan serta motivasi yang hampir tidak ada; yang ada adalah kalimat, “Kamu harus . . . ! Jika tidak, AWAS!”



Berita perjanjian ini mengundang kembali gereja untuk menggemakannya dari mimbar-mimbar Minggu. Sadar atau tidak, berita-berita gereja teramat sering bernada moralis: menuntut orang untuk berubah, “harus” menjadi ciptaan yang baru, harus berbeda dari dunia, hidup dalam kekudusan dan kesucian supaya dapat membawa kesaksian yang hidup di dunia. Data dan fakta terbaru dari koran, televisi dan internet dipampangkan dari atas mimbar, dengan maksud untuk menunjukkan realitas dunia, dan untuk itu kita “dituntut” berbeda dari semua itu. Para pendengar pun bertambah frustrasi dengan kehidupan yang serba menakutkan.



Kiranya kita tidak salah paham, khotbah mengenai teguran, hardikan, dan tuntutan memang perlu, dan tetap relevan sampai Tuhan datang, jika teks Alkitab memberitakannya. Kekristenan tanpa teguran adalah “anugerah yang murahan.” Tetapi anugerah itu juga menguatkan, mendorong dan memberdayakan. Mimbar gereja harus membuat orang Kristen memahami bahwa mereka hidup di dalam kovenan Allah: komitmen, anugerah, jaminan dan kasih dari Allah, sehingga transformasi dari dalam pun terjadi, dan mereka sanggup menerapkannya dengan sukacita di dalam keluarga masing-masing.



TERPUJILAH ALLAH!



ALKITAB DAN KELUARGA KRISTEN (2)



MELETAKKAN PADA KERANGKA ALKITAB



Sebagai Tuhan, Allah mendambakan persekutuan dengan kita. Ia menjalin hubungan dengan manusia melalui ikatan-ikatan perjanjian (kovenan). Ia mengikatkan perjanjian dengan Adam, Nuh, dan kepada Israel di bawah Musa, Daud dan puncaknya adalah Yesus Kristus. Konsep ikatan perjanjian merupakan konsep yang umum di dunia kuno, di mana bangsa-bangsa dunia pada waktu itu gemar berperang dan meluaskan wilayah kekuasaan. Seorang raja yang menang, akan mengikatkan perjanjian dengan raja yang ditaklukkan. Ia berhak menjabarkan latar belakang historis, bentuk hubungan itu, menyatakan hukum, menjanjikan berkat bagi raja yang patuh, serta kutuk bagi pelanggaran atasnya.[1]



Membentangkan Alkitab dalam kerangka ikatan perjanjian ini, maka kita akan berjumpa dengan kebenaran, bahwa di Kitab-kitab Taurat (5 kitab pertama) mencurahkan isi hati Allah yang merindukan terwujudnya kovenan itu. Kitab-kitab Sejarah (Yosua-Ester) membeberkan respons yang sebenarnya dari manusia: taat dan tidak taat. Kitab-kitab Syair (Mazmur) mengisahkan pengalaman hidup umat kovenan, yang berisi ratapan, pertanyaan-pertanyaan, berkat, kutukan, jeritan hati mereka. Kitab-kitab Hikmat (Amsal-Kidung Agung [dan Ayub]) menerapkan hukum perjanjian (Taurat) dalam problematika kehidupan sehari-hari. Kitab Nabi-nabi mengisahkan kegeraman Allah atas pelanggaran kovenan, serta janji-Nya untuk memperbarui kovenan. Kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul membuka sejarah Kovenan Baru yang ditindaki oleh Kristus dan Israel Baru (Gereja). Surat-surat Rasuli merupakan penerapan pola hidup kovenan baru yang dipimpin oleh Mesias Yesus dalam kuasa Roh Kudus, yang melampaui hukum Taurat. Dan Kitab Wahyu menunjuk kepada penggenapan janji serta klimaks kovenan Allah (langit dan bumi baru).



Apakah inti kovenan? Jantung hati kovenan terletak pada kalimat, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku” (mis. Kel. 6:7; Im. 26:12; Yer. 7:23; 11:4; Why. 21:22). Perhatikanlah bahwa berita ini mulai diserukan sejak awal sejarah pembentukan bangsa Israel, dengan dibebaskannya mereka dari Mesir, sampai kepada klimaks sejarah dunia, pada masa akhir. Berarti, berita ini menyusup ke jantung hati sejarah kehidupan umat Allah di sepanjang zaman. Hal ini menyiratkan kebenaran bahwa Allah akan selalu bersama kita, sebagaimana Ia beserta dengan Abraham, Ishak dan Yakub (mis. Kej. 26:3; 28:15; 31:3; Kel. 3:12).



Ia menyatakan komitmen-Nya terlebih dahulu kepada kita, dan sebagai ganti-Nya, Allah memampukan kita memiliki kepercayaan serta kepatuhan. Dr. Zacharias Ursinus, yang hidup 500 tahun silam, berkata bahwa kovenan Allah adalah “suatu perjanjian dan kesepakatan dua pihak antara Allah dan manusia, di mana Allah memberi manusia jaminan bahwa Ia akan mencurahkan anugerah dan mengasihi mereka . . . dan di sisi lain, manusia mengikatkan diri dalam iman dan pertobatan.”[2]


Inilah yang memungkinkan gerak manusia dari percaya, bertobat, patuh dan akhirnya berbuahkan damai sejahtera. Semua hal di atas dimulai dari tindakan tunggal dari Allah. Tindakan ini adalah karunia yang cuma-cuma, anugerah-Nya, kasih-Nya yang tiada terperi. Ketika kita berada di lingkungan di mana kita menerima semuanya ini, kita secara pasti akan merasakan damai sejahtera.



Sekarang, kita dapat melihat di mana tempat “harus” dan “jangan” itu. Tepat! Di dalam kepatuhan. Namun kepatuhan itu merupakan buah dari “pertobatan” dan “kepercayaan,” yang sesungguhnya bertumbuh secara natural bila seseorang merasakan Komitmen, Anugerah dan Jaminan dari pihak yang lebih tinggi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa hukum itu mengikuti anugerah. Sama seperti ini: kita mengikuti Tuhan bukan demi mendapatkan keselamatan kita, tetapi memelihara hukum itu oleh rasa syukur kepada Dia karena anugerah keselamatan. Saya lebih suka memakai istilah “transformasi dari dalam” untuk kepatuhan ini. Karena ada jaminan, maka kita dimampukan patuh. Kepatuhan bertumbuh bukan karena paksaan dari luar, tetapi pengubahan total hati dan kehendak manusia.



Tanpa ketiganya berarti bagaikan kuda yang diletakkan di depan kereta. Hal ini tidak mungkin, bukan? Seekor kuda dapat menarik kereta bila kereta itu diletakkan di belakangnya. Jikalau diletakkan di depan, kuda itu akan mengalami frustrasi. Bila seseorang tidak merasakan ketiganya, ia hanya merasakan tuntutan-tuntutan yang terus menindih, tanpa adanya penghargaan sebagai manusia yang bermartabat. Hidup yang legalis (selalu menuntutkan aturan main dan hukum-hukum) adalah hidup yang membosankan. Allah tidak menciptakan manusia untuk ditindas peraturan. Allah menciptakan manusia oleh sebab cinta. Maka benarlah kata-kata pertapa St. Isak dari Niniwe, “God can only give His faithful love”; Allah hanya dapat memberikan cinta-Nya yang setiawan.



Bila kita merenung lebih jauh, kita semakin mengerti bahwa kasih dan hukum bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan dalam kerangka perjanjian Allah. Justru elemen pertama dari hukum itu adalah kasih. Perhatikan kalimat Shema, yang merupakan Syahadat bagi orang Yahudi, di Ulangan 6:5, “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Kasih sesungguhnya adalah suatu perintah, suatu hukum, bahkan hukum yang hakiki. Sebaliknya, di dasar sebuah perintah, ada kasih yang kuat, yaitu cinta yang transformatif.



Dengan demikian, jauh sebelum Abraham Maslov menetaskan piramida aktualisasi diri, para pakar Alkitab telah menemukan benang merah pengajaran Alkitab mengenai perjanjian ini, yang sesungguhnya relevan untuk pengembangan diri dan keluarga. Setiap orang dikondisikan untuk berada di suatu tempat, waktu dan bersama-sama dengan pribadi lain. Benarlah kata pujangga, “No man is an island,” tiada manusia yang dapat hidup seorang diri. Kendati begitu, ketika ia merasakan komitmen, jaminan, kasih dan anugerah, ia akan menyandarkan dirinya, berani terbuka dengan kelemahan-kelemahannya, dengan siap sedia mematuhi segala kewajiban, dan menikmati kedamaian hidup.




[1]Selengkapnya baca D. R. Hillers, Covenant: The History of a Biblical Idea (Baltimore: John Hopkins University Press, 1969).

[2]Dikutip dalam John Murray, The Covenant of Grace, Biblical and Theological Studies (Phillipsburg: P&R, 1953), 6.



ALKITAB DAN KELUARGA KRISTEN (1)



MENDAMBAKAN KELUARGA TANPA KATA “HARUS” DAN “JANGAN”



Sejumlah orang takut dengan kata “harus.” Di dalamnya tersirat adanya paksaan dari suatu pihak yang berkedudukan lebih tinggi, tuntutan, kewajiban, sesuatu yang menutup kemungkinan untuk memilih dari beberapa alternatif dan tawaran. Hidup di bawah “harus” seperti hidup di bawah hukum Taurat. Semua orang tidak suka dengan kehidupan yang tertekan seperti itu.



Sebagai anggota tim gembala jemaat, saya menyadari kenyataan inilah yang hidup di zaman kita. Hidup semakin tidak mudah. Stabilitas ekonomi hampir-hampir tidak dapat diandalkan lagi. Pemilihan Presiden Amerika Serikat tinggal menghitung hari; belum lagi di tahun mendatang kita akan menghadapi Pemilu. Situasi politik nasional dan internasional ini pasti sangat berpengaruh bagi banyak orang, tak terkecuali jemaat kita masing-masing.



Dalam keadaan seperti ini, saya dapat berempati ketika seorang warga gereja memberi saran, “Khotbah itu kalau bisa tidak selalu menuntut.” Dengan kata lain, sedapat-dapatnya kata “harus” dan “jangan” itu dihindari dalam pemberitaan firman Tuhan. Kedua kata itu menambah beban kehidupan jemaat.



Dalam pelayanan di remaja, berkali-kali saya menjumpai kefrustrasian baik orangtua maupun anak-anak remaja mereka. Sejumlah orangtua terkaget-kaget ketika melihat anaknya sekarang berubah, lebih tertutup, lebih percaya kepada teman, pembangkang, pendusta, pemberontak, lebih banyak keluar rumah daripada tinggal di dalam rumah. Dalam kondisi ini, orangtua sering mengenang masa lampau. Pada waktu anak-anak masih kecil, mereka tidak banyak membantah. Mereka selalu menuruti setiap perkataan orangtua.



Sementara itu, para remaja merasa orangtua menjadi satpam bahkan polisi reserse yang selalu siaga dan siap sedia dengan daftar pertanyaan yang mencecar. Mereka merasa diinterogasi. Orangtua terlalu banyak mengatakan “harus” dan “jangan.” Tidak sedikit remaja putra dan putri yang kemudian kehilangan kepercayaan apakah orangtua mereka masih mengasihi mereka. Itulah sebabnya, mereka tambah suka berlama-lama di luar rumah. Rumah nampaknya menjadi tempat persinggahan sementara bagi para remaja.



Demikian pula dengan dunia yang lebih kecil lagi, yaitu hubungan suami-istri. Tak dapat dipungkiri, banyak pasangan suami-istri yang pecah. Angka perceraian yang tinggi terjadi bukan saja di dalam keluarga yang bukan Kristen, bahkan di keluarga Kristen, dan Kristen Injili, yaitu yang mengaku finalitas kematian dan kebangkitan Kristus, pentingnya kelahiran kembali dan kekudusan hidup, banyak perceraian juga terjadi.



Pada tahun 1999, Lembaga riset Barna mensurvei tingkat perceraian di kalangan Injili dan non-Injili. Hasilnya berimbang antara kedua pihak: 25%-25%. Bahkan Prof. Brad Wilcox, seorang pakar sosiologi keluarga Amerika Serikat dari Universitas Princeton menyerukan kalimat yang mencengangkan, “Dibandingkan dengan sisa penduduk yang lain, orang-orang Protestan konservatif lebih cenderung untuk bercerai.” Pernyataan ini dibarengi dengan angka survei di tangannya bahwa di wilayah selatan Amerika Serikat, daerah di mana persentase Kristen konservatif adalah mayoritas, angka perceraian ditemukan lebih tinggi.[1]



Itu kan di Amerika Serikat! Bagaimana dengan di Indonesia? Budaya ketimuran memang masih cukup menabukan perceraian dan perselingkuhan. Tetapi hal ini bukan berarti tidak ada. Banyak kasus yang terjadi di kalangan Kristen, di antara jemaat yang kehidupannya OK-OK. Di balik itu, ternyata suami-istri telah pisah ranjang. Suami atau istri tidak memiliki kesetiaan lagi dengan pasangannya.



Dari temuan secara acak, tanpa melalui penyelidikan ilmiah, saya jumpai, problematika itu dialami bukan karena mereka bosan terhadap pasangan setelah hidup bersama berpuluh-puluh tahun. Sebaliknya, masalah ini mengapung di antara pasangan-pasangan usia muda. Bukan karena mereka kurang lama dalam berpacaran. Inti masalahnya adalah, pasangan saya terlalu banyak mengatakan “harus” dan “jangan.” Kalau dua kata itu dilanggar, maka terjadilah tindak kekerasan dari satu pihak kepada pihak yang lain.



Jadi, apakah dengan demikian kita akan membayangkan suatu dunia tanpa kata “harus” dan “jangan” agar kehidupan keluarga Kristen menjadi harmonis? Kenyataannya, di dalam Alkitab, kedua kata ini ada. Kata kerja imperatif (perintah) juga tidak kurang di dalam Firman Tuhan. Allah memberikan 10 Hukum; hanya 1 perintah saja yang tidak memakai kata “jangan”: “Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12).



Tulisan ini akan mengajak pembaca untuk meletakkan kata “harus” dan “jangan” dalam kerangka biblis yang tepat. Dalam permenungan saya, keutuhan berita Alkitab dengan indah meletakkan kedua kata itu dalam suatu jalinan “kovenan” (adaptasi dari kata covenant, artinya “perjanjian”). Kovenan adalah hubungan antara Tuhan dan satu umat, yang dalam kerelaan kehendak-Nya, dikuduskan dan dikhususkan bagi diri-Nya. Ia kemudian menata kehidupan mereka dengan hukum-hukum-Nya, serta menggenapkan di dalam dan melalui mereka, segala maksud dan tujuan anugerah-Nya. Dalam kerangka inilah kita akan membangun suatu gambar besar mengenai teologi keluarga, yaitu “keluarga yang kovenantal”—keluarga yang diikat oleh suatu perjanjian kudus.




[1]Dikutip oleh Ron Sider, Skandal Hati Nurani Kaum Injili: Mengapa Hidup Orang-orang Kristen Serupa dengan Dunia? (Surabaya: Literatur Perkantas, 2005), 29-30.