Saturday, July 25, 2015

Apa yang Sebenarnya Saya Tulis?

Ketika menulis sebuah makalah, buku-buku apa sajakah yang saya baca, dan yang menjadi favorit saya, atau yang saya anggap sebagai paling bermutu, yang saya ambil dan saya pakai sebagai otoritas?  Apakah para penulis itu semuanya:
  • bergender laki-laki?
  • kulit putih dari Eropa-Amerika?
  • dari kelas menengah?
  • pandangan mereka cocok dengan saya?
  • mengonfirmasi pandangan saya?
dan saya membaca buku-buku lain dari:
  • teolog-teolog lain (baik laki-laki maupun perempuan)
  • non-kulit-putih dari luar Eropa-Amerika
  • dari kelas bawah atau dari pinggiran
  • pandangan yang berbeda dengan teologi saya,
  • yang bisa menggoyahkan posisi saya
hanya untuk saya kritisi, karena pemikiran mereka sudah dapat dipastikan tidak benar dan/atau tidak alkitabiah.

Ketika saya menulis makalah yang menelaah sebuah pemikiran teolog, apakah makalah saya berujung pada konklusi bahwa pemikiran tokoh itu tidak benar dan tidak alkitabiah, dan konklusi sayalah yang alkitabiah?  Ketika menulis sebuah paper "tinjauan kritis," bagaimana sebenarnya saya mengritisi pemikiran sebuah teologi?  Apakah itu berarti pemikiran si teolog itu ujung-ujungnya tidak alkitabiah dan kesimpulan sayalah yang alkitabiah? 

Tetapi, bagaimana saya tahu pemikiran dia tidak alkitabiah dan konklusi sayalah yang alkitabiah?  Benarkah saya sudah menggali sedalam si pemikir yang sedang saya kritisi itu?  Ataukah kritik saya sebenarnya didasarkan pada data yang saya peroleh dari sumber-sumber yang berasal dari Eropa-Amerika, kulit putih, laki-laki, yang pandangannya cocok dengan teologi saya sekaligus menegaskan bahwa pandangan saya benar?

***

Misalnya, ketika saya menulis "Tinjauan Kritis terhadap Doktrin Alkitab Karl Barth," saya tahu bahwa kesimpulan saya berinti seperti berikut: Doktrin Alkitab Karl Barth ada baiknya karena Barth mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Firman yang sejati, Wahyu Allah, dan dia melawan liberalisme yang diajarkan guru-gurunya sendiri, tetapi doktrin Alkitab Karl Barth (sangat) berbahaya karena Barth tidak percaya pada Alkitab sebagai firman Allah dan penyataan khusus Allah, dan firman Allah yang tidak bersalah (ineran). 

Oleh karena Barth mengajarkan doktrin Alkitab yang errant, yang bisa salah, yang merupakan kesaksian-kesaksian manusia beriman terhadap Firman Allah, maka doktrin Barth sungguh-sungguh tidak alkitabiah dan harus dijauhi.  Saya akan jajar kutipan ayat untuk menunjukkan bahwa Alkitab adalah firman Allah, dan untuk mendukung argumentasi saya, maka saya akan pakai kutipan-kutipan dari teolog-teolog laki-laki, berkulit putih dari Eropa-Amerika, kelas menengah, yang cocok dengan pandangan saya, dan mengonfirmasi pandangan saya.

Sebenarnya, saya sendiri tidak pernah membaca Karl Barth dengan teliti dan detail, tetapi membacanya berdasarkan sumber sekunder atau tertier yang cenderung kontra dengan Barth (dan yang isinya sudah pasti saya dukung), lalu saya hanya mengonfirmasi kutipan itu dari buku-buku Barth, dan akhirnya saya berkesimpulan, "Iya benar, Barth percaya begini!  Saya harus mengritiknya."

Apa yang sebenarnya tengah saya kerjakan?  Mempertahankan pandangan teologis saya.  Memang, pandangan lain itu baik, atau ada sisi baiknya, tetapi pasti salah, salah karena tidak seturut pandangan saya.  Ah, tentu bukan pandangan saya, tetapi saya menyatakan tidak benar dan tidak alkitabiah, berdasarkan standar Alkitab.  Karena saya berdiri di sisi pandangan yang alkitabiah, pandangan yang benar, dan dengan pandangan ini saya bisa mengritik pandangan lain itu.  Tetapi bagaimana saya yakin bahwa pandangan yang saya pegang itu pandangan yang alkitabiah dan benar? 

Oh, saya percaya karena inilah yang dipegang oleh Kekristenan di sepanjang abad dan di segala tempat!  Yang artinya, pandangan saya ini dipegang oleh tetokoh Protestan di abad ke-16, walaupun saya sendiri sebenarnya tidak pernah mengakses tulisan-tulisan asli mereka dalam bahasa mereka sendiri serta membacanya dalam nuansa kesejarahan yang mereka hidupi.  Saya cukup puas dengan mengakses data dari teolog-teolog masa kini yang gendernya laki-laki, berlatarbelakang kulit putih dari Eropa atau Amerika, dari kelas menengah, yang pandangan teologisnya sudah pasti saya setujui dan kontra dengan si pemikir yang saya sedang tinjau, dan yang sudah pasti mengonfirmasi pandangan saya. 

Saya pun tidak cukup tahu pemikiran abad ke-16, karena saya bukan sejarawan, sosiolog atau antropolog.  Tetapi dari pembacaan saya atas orang-orang tadi, saya yakin pemikiran abad ke-16 adalah yang benar.  Dan saya cukup puas, puas untuk mengatakan bahwa pemikiran abad ke-16 itu sebagai yang benar, puas untuk mengatakan bahwa pemikiran dari abad itu mewakili pengajaran Kristen di segala abad dan di semua tempat, puas untuk mengatakan bahwa itulah kemurnian berita Injil.

***

Ada apa dengan semua ini?  Saya tetap aman, nyaman dalam raga dan jiwa.  Ibaratnya, saya tetap tinggal di rumah, rumah yang sudah saya ketahui seluk beluknya, posisi dan letak barang-barang yang ada di dalamnya, mengenal orang-orang yang berada di dalamnya sebagai orang-orang yang mencintai saya dan menjaga saya bagian dari keluarga itu, tanpa saya perlu tahu siapa yang membangun rumah ini dan latar belakang tanah tempat rumah ini dibangun.

Saya sudah cukup.  Semua sudah ada di dalam rumah saya.  Saya merasakan kasih luar biasa.  Saya puas.

Saya tidak perlu tetangga, karena semua sudah tersedia di dalam rumah.  Kalau pun saya dikondisikan memiliki tetangga, saya tidak perlu mendengar masukan dan nasihat mereka untuk rumah saya dan keluarga saya.  Saya bisa bertegur sapa dengan mereka dan mengasihi mereka sebagai sesama manusia, tetapi tak perlu mereka memberikan masukan dan nasihat kepada saya, apalagi mengajar saya tentang hakikat, realitas kehidupan dan cara pandang terhadap dunia.

Saya sudah cukup.  Saya tidak perlu berkelana.  Kalau pun saya berkelana, saya akan mencari saudara yang mengenal saya dan yang tahu rumah saya, saudara yang tidak perlu memberi tahu bahwa rumah saya perlu direnovasi, saudara yang mengatakan bahwa rumah saya sudah baik dan benar, saudara yang tidak mengritik saya.

Terlebih lagi, berkelana itu bagi saya akan sangat mencemaskan.  Bagaimana jika nanti saya berjumpa dengan orang asing dengan pandangan yang asing pula?  Bagaimana jika orang asing itu malahan menjungkirbalikkan pemahaman saya akan realitas, akan kehidupan, akan rumah yang saya miliki, akan sesuatu yang saya anggap sebagai yang mutlak?  Ketika saya berkelana dan pulang kembali ke rumah, jangan-jangan orang-orang di dalam rumah kelak akan melotot dan menghardik saya, "Kamu sudah berubah!  Kamu bukan lagi Nindyo yang kami kenal!  Kamu bukan anggota keluarga ini.  Pergi.  Kamu tidak boleh lagi tinggal di sini!"

Ah, harga yang teramat mahal harus saya bayar jika hal ini terjadi.

***

Itulah sebabnya, saya perlu menjaga aman apa yang saya percayai dan waspada terhadap semua hal yang lain.  Saya harus tanamkan dalam pikiran, sebagai prasuposisi saya, bahwa keyakinan saya tidak boleh tidak teguh.  Saya harus yakin bahwa dasar yang saya percayai itu kuat dan tidak akan goyah.  Saya harus kelihatan tegar, dan ketegaran itu harus dibuktikan dengan saya tangkas dalam menunjukkan kesalahan pandangan orang lain, dengan alasan-alasan yang saya rasa alkitabiah dan yang dibangun berdasarkan bacaan-bacaan saya yang ditulis oleh para teolog yang semuanya adalah laki-laki, kulit putih dari Eropa-Amerika, dari strata menengah dan terpandang di masyarakat, pandangannya sealiran dengan saya dan menolong menggarisbawahi apa yang saya sudah pegang teguh. 

Saya dapat menunjukkan baiknya sebuah pemikiran yang sedang saya kritisi, tapi saya tidak mungkin akan menunjukkan kebenaran pemikiran tersebut, apalagi memakainya dalam pengajaran, pelayanan dan kehidupan rohani saya.  Sebab, menurut hukum non-kontradiksi, tidak mungkin ada dua kebenaran yang saling bertentangan bisa berjalan bersama-sama: "A tidak mungkin adalah non-A."  Pilihannya: saya benar, dia salah; atau dia benar, saya salah.  Tidak ada wilayah abu-abu di sini, karena kebenaran itu tidak pernah ambigu.  Tidak perlu ada dialog karena dialog hanya akan mengompromikan kebenaran, kebenaran yang di atasnya saya berdiri.

Maka, seumur hidup saya akan saya abdikan untuk mempertahankan kebenaran dan mempertahankannya dari ancaman semangat zaman yang mencoba menggerusnya, dan mempertahankan Kekristenan yang sejati, yang sudah ratusan tahun diwariskan dan dijaga oleh Tuhan sendiri.  Saya akan rajin membaca dan menyelidiki dengan cermat bahwa kebenaran itu benar, dan kesalahan itu salah, dan saya akan mengumpulkan data-data yang saya bisa peroleh dari pemikir yang semuanya laki-laki, kulit putih Eropa atau Amerika, dari posisi terpandang di masyarakat Kristen karena mereka menjadi dosen atau guru besar di perguruan tinggi ternama, dan tentu yang selaras dengan pandangan saya.  Karena saya bisa yakini, merekalah yang dipakai menjaga kemurnian pengajaran Kristen di segala abad dan tempat, pengajaran yang ditegaskan pada abad ke-16 itu, dengan adagiumnya yang terkenal "Allahku Benteng yang Teguh" (Ein' feste Burg ist unser Gott)! 

Benteng saya pun harus kokoh.  Pertahanan saya harus kuat.

Bila demikian, para pemikir dari ras dan etnis lain, yang bukan dari kelas menengah, atau yang bergerak dari periferi (pinggir), yang bukan guru besar di perguruan tinggi terkenal, yang teologinya berbeda dan yang dapat menggoyahkan posisi teologis saya, haruslah saya dekati dengan rasa curiga.  Pemikiran mereka pasti ada lubangnya; pasti mereka tidak berdasarkan pada Alkitab; pasti mereka tidak percaya kepada ketidakbersalahan Alkitab.  Pasti ada kelemahan, walaupun--sekali lagi--ada kebaikan dalam pemikiran mereka dan pemikiran mereka dapat dimaklumi berdasarkan konteks mereka hidup.  Tetapi, pandangan mereka berbeda dengan pandangan saya.  Mereka berdiri di pijakan yang berbeda.  Mereka salah.  Itulah kenapa, saya harus meninjau secara kritis pemikiran mereka.

Kecuali, pandangan mereka sama dengan saya tentang Alkitab dan ketidakbersalahannya, atau, yang walaupun dari denominasi dan tradisi gereja yang berbeda, mereka mendukung posisi teologis saya, atau pandangan mereka mendukung Kekristenan abad ke-16 yang mengembalikan gereja ke dalam kebenaran itu, atau daftar bibliografi di buku mereka bisa membuat saya mengangguk-angguk sebab pemikir-pemikir yang mereka anggap otoritatif sama dengan yang saya pandang otoritatif dan mereka mengritik pemikir-pemikir yang saya kritik.

Saya tidak akan pernah menyerah dalam mempertahankan pandangan yang saya pegang, karena untuk itulah saya dipanggil, dan karena saya tahu harga yang harus saya bayar teramat mahal bilamana saya melintas batas dan menyeberang pagar.  Saya harus mempertahankan iman saya.  Saya tidak siap untuk tidak mempunyai pegangan yang teguh.  Saya tidak siap hidup dalam ambiguitas yang serba tidak jelas.  Saya ingin yang pasti, karena kepastian itu memberi rasa aman dan kenyamanan bagi raga dan jiwa. 

Atau, konsekuensinya, semua orang akan mencampakkan saya, dan bahkan mungkin Tuhan pun akan menghukum dan meninggalkan saya.  Saya menjadi rentan.  Saya menjadi lemah dan tidak berdaya.  Lebih dari itu, saya akan kehilangan harga diri.  Saya seakan-akan ditelanjangi dan dunia mencemooh saya.  Saya tidak siap mendapat label yang berbeda dari komunitas saya: posmo, ambigu, pluralis, abu-abu, menyimpang, dan sesat.

***

Bila saya seorang teolog, buku-buku karya siapa saja yang saat ini sangat memengaruhi pemikiran teologis saya?

"Ideologi" = apa yang saya tidak tahu bahwa saya sebenarnya tahu.

Seattle, 16 Juli 2015

10 Teolog Lain yang (Mungkin) dapat Menolong Memperluas Cakrawala Teologi

Sama seperti daftar yang saya buat beberapa waktu lalu, saya ingin melanjutkan sepuluh pemikir lagi.  Teolog-teolog kali ini saya pilih dari antara mereka yang baru-baru ini meninggal atau sudah purna tugas sebagai guru besar, dan karena itu mereka tidak lagi menghasilkan karya-karya penting, namun pemikiran mereka memiliki pengaruh besar dalam dunia teologi.  Sama seperti yang lalu, daftar seperti ini tentu saja subjektif dan seturut minat pribadi.


1. Gordon D. Kaufman (1925-2011)

Gordon Kaufman adalah seorang teolog Mennonite yang lama mengajar di Harvard Divinity School sebagai guru besar teologi sistematika.  Karyanya sistematikanya yang terutama adalah In Face of Mystery: A Constructive Theology (2006), yang di dalamnya Kaufman berargumentasi bahwa Allah sejatinya adalah Dia yang tak terperi, tak terselami, dan tak terpahami.  Sekalipun tersedia referensi mengenai Allah, namun kesejatian Allah tetap tidak dapat dimengerti.  Pengaruh besar terhadap Kaufman adalah dari Immanuel Kant.  Ia banyak terlibat dalam dialog Kristen-Budhis, dan karya yang perlu disimak untuk dialog intereligius adalah God, Mystery, and Diversity: Christian Theology in a Pluralistic World (1996).  Di masa matang karirnya, ia banyak menulis nisbah teologi dan ilmu pengetahuan di dalam jurnal Zygon, yang kemudian dibukukan ke dalam dua volume berjudul In the Beginning--Creativity (2004) dan Jesus and Creativity (2006).

2. Raimon Panikkar (1918-2010)

Raimon (atau Raimundo) Panikkar adalah seorang pater Katolik yang memiliki tiga gelar doktorat di bidang kimia, filsafat dan teologi.  Ibunya seorang India dan ayahnya Spanyol.  Sama seperti Kaufman, Panikkar sering dianggap sebagai teolog pluralis, namun Panikkar serta-merta akan menolak pelabelan yang seperti ini.  Ditilik dari pendidikannya dapatlah dilihat bahwa pemikiran Panikkar sangat kompleks.  Walaupun ia mengaku bahwa ia meninggalkan Spanyol sebagai seorang Kristen, menemukan dirinya sebagai seorang Hindu dan pulang sebagai seorang Budhis tanpa kurang identitasnya sebagai seorang Kristen, Panikkar tidak bermaksud mencampuradukkan agama.  Ia menghidupi kekayaan spiritualitas di dalam dirinya, spiritualitas yang ia sebut sebagai realitas cosmotheandric: sang ilahi, manusia, dan kosmos--tiga yang merupakan dasar dari realitas.  Pada tahun 1989 ia diundang untuk memberikan kuliah prestisius Gifford Lectures di Universitas Aberdeen, namun baru menerbitkannya 20 tahun kemudian dalam bukunya yang dapat disebut karya sistematikanya dengan judul The Rhythm of Being (2009).  Menurut pengakuannya, ia membutuhkan waktu panjang untuk benar-benar menubuhkan (menghayati dalam tubuh dan hidupnya) setiap isi kuliah Gifford tersebut.  Karena itu, ada satu bagian yang ia tidak mau masukkan ke dalam buku itu adalah bagian eskatologi, karena ia belum mengalami kematian.  Sebuah tim kini dibentuk untuk menerbitkan Opera Omnia Panikkar, dan dua volume yang sampai saat ini sudah keluar: Mysticism and Spirituality, dua jilid (2014),Religion and Religions (2015).  Pengantar ke pemikiran Panikkar yang kompleks, yang ditulis oleh Panikkar sendiri, adalah The Experience of God: Icons of the Mystery (2006).

3. Beatrice Bruteau (1930-2014)

Beatrice Bruteau adalah salah satu pelopor studi interdisipliner dan interspiritualitas.  Bidang minatnya adalah teologi, sains dan spiritualitas intereligius.  Ia memiliki dua doktorat dalam matematika dan teologi filosofis.  Kajian interdisipliner antara teologi, sains dan matematika dapat dibaca dalam God's Ecstasy: The Creation of Self-Creating World (1997) yang kemudian dilanjutkan dengan The Grand Option: Personal Transformation and New Creation(2001).  Karya spiritualitasnya lebih banyak dibaca oleh pelbagai kalangan, khususnyaRadical Optimism: Practical Spirituality in an Uncertain World (2002).  Karya mengenai intereligius yang dapat disimak yaitu What Can We Learn from the East (1995), selain disertasinya sendiri Worthy Is the World: The Hindu Philosophy of Sri Aurobindo (1972) danEvolution toward Divinity: Teilhard de Chardin and the Hindu Tradition (1974).  Bruteau sangat mempengaruhi pemikiran tokoh spiritualitas dan pendeta Gereja Episkopal Cynthia Burgeault.

4. Ada Maria Isasi-Diaz (1942-2012)

Jika Anda pernah mendengar mujerista theology, Anda tidak mungkin melewatkan Isasi-Diaz.  Seorang perempuan teolog yang dilahirkan di Havana, Cuba, dan memperoleh gelar doktorat dalam teologi di Union Theological Seminary, New York, Isasi-Diaz merupakan pelopor dan penggerak teologi hispanika di Amerika Serikat dan salah satu penggerak bagi penahbisan imam di gereja Katolik.  Pemikiran utamanya tertuang dalam buku En la Lucha/In the Struggle: Elaborating a Mujerista Theology (2003), La Lucha Continues: Mujerista Theology (2004) dan Mujerista Theology: A Theology for the 21st Century (1996).  Namun bagi saya, karya penting Isasi-Diaz tertuang dalam ide untuk membahasakan ulang "Kerajaan Allah" (kingdom of God), sebagai "keluarga Allah" (kindom of God), yang di dalamnya tersirat kesetaraan antaranggotanya.

5. Ignacio Ellacuria, SJ (1930-1989)

Ellacuria adalah seorang pater Jesuit yang hingga akhir hayatnya merupakan rektor di Universida Centroamericana, El Salvador.  Ia meninggal bersama lima rekan Jesuit dan dua karyawan di UCA ketika sekelompok tentara El Salvador masuk ke lingkungan universitas tersebut pada tahun 1989.  Ellacuria adalah seorang filsuf, teolog dan aktivis yang brilian dan sangat vokal.  Dalam karirnya sebagai teolog, ia banyak menulis dan berbicara tentang teologi pembebasan dan bela-rasa Allah kepada kaum miskin.  Baginya, filsafat sejarah tidak dapat dipisahkan dari realitas kaum miskin yang terpinggirkan.  Yesus Kristus tak lain adalahel pueblo crucificado--"rakyat yang tersalib."  Bersama rekan baiknya Jon Sobrino SJ ia menyunting satu bunga rampai yang mengumpulkan para teolog pembebasan yang dalam bahasa Inggris berjudul Mysterium Liberationis (1993) yang kemudian dipersingkat menjadi sebuah volume pendek Systematic Theology: Perspectives from Liberation Theology (1996).  Beberapa tahun ini teolog Fordham Michael Lee mengompilasi esai-esai Ellacuria dalamIgnacio Ellacuria: Essays on History, Liberation, and Salvation (2013).

6. Marcus Borg (1942-2015)

Marcus Borg lebih dikenal sebagai teolog biblika Perjanjian Baru dan anggota dari Jesus Seminar yang selama sekitar satu dekade berusaha menggali perkataan-perkataan Yesus yang asli.  Namun demikian, Borg dikenal lebih lunak ketimbang rekan-rekannya yang lain di JS itu, khususnya berkenaan dengan historisitas kisah-kisah di Injil.  Namun Borg bukan hanya ahli dalam biblika, Borg berusaha menolong orang-orang yang sekuler dan non-Kristen yang semakin merasa kesulitan untuk mengaitkan kehidupan mereka dengan jargon-jargon teologis.  Jika pembaca memahami konteks karir Borg di daerah Pacific Northwest yang disebut juga the none-zone, di mana hanya 32% yang mengaku beragama, namun sangat terbuka pada hal-hal yang spiritual (spiritual but not religious).  Simaklah buku-buku Borg seperti The God We Never Knew: Beyond Dogmatic Religion to a More Authentic Contemporary Faith (1997), The Heart of Christianity (2003), Speaking Christian: Why Christian Words Have Lost Their Meaning (2011), dan Conviction: How I Learned What Matters Most (2014).

7. Letty M. Russell (1929-2007)

Letty Russell bukan hanya teolog feminis ternama yang mengajar di Yale yang berlatar belakang Reformed, tetapi juga tokoh ekumenis yang aktif di departemen Faith and Order, yang membidangi masalah doktrin dan iman di dalam Dewan Gereja-gereja Dunia.  Dan yang terutama, Russell adalah seorang sarjana berhati gembala.  Ia tidak hanya berteori mengenai teologi feminis dan gereja yang egaliter, tetapi ia memraktikkannya.  Hal ini jelas terlihat di buku Church in the Round: Feminist Interpretation on the Church (1993), yang lahir dari permenungannya yang lebih dari dua dekade bersama dengan komunitas yang dirintisnya di Harlem Timur, New York.  Dalam buku ini Russell meninjau ulang doktrin pemilihan dan predestinasi; doktrin ini harus diletakkan dalam konteks sejarah umat yang menderita.  Ketika doktrin ini dibangun di konteks Kristen yang dominan, doktrin ini akan menjadi supresif.  Satu karya penting lainnya yang baru hadir setelah meninggalnya Russell adalah Just Hospitality: God's Welcome in a World of Difference, ed. Kate M. Ott (2009), yang di dalamnya Russell, dengan dibantu lensa kajian pascakolonial, ingin mengetengahkan bahwa keramahtamahan yang sejati adalah keramahtamahan yang adil.

8. John Mbiti (1931-)

John Mbiti adalah seorang pendeta Gereja Anglikan dan teolog dan filsuf kelahiran Kenya, yang mendapatkan pendidikan teologi di Uganda, Amerika Serikat dan terakhir gelar doktornya dari Cambridge, Inggris.  Selain aktif mengajar di pelbagai perguruan tinggi di seluruh dunia, Mbiti pernah menjabat sebagai direktur Bossey Institute of Ecumenics, Jenewa.  Pemikiran utama Mbiti, sebagaimana yang dapat dibaca dalam African Religion and Philosophy (1969), melawan ide Kristianitas Barat yang menuduh corak religiositas Afrika sebagai agama yang berasal dari kekuatan jahat dan yang bertolak belakang dengan Kekristenan.  Setahun kemudian, Mbiti menerbitkan buku Concepts of God in Africa(1970) yang memetakan teologi-teologi orang Afrika dan menunjukkan bahwa konsep Afrika tentang Allah tidak bertentangan dengan Kristianitas.

9. Anthony Carver Yu (1938-2015)

Kalau Anda menyukai kisah Sun Go Kong, maka nama Anthony Yu tidak bisa dipandang remeh di kalangan Barat.  Dialah yang menerjemahkan secara lengkap kisah Perjalanan ke Barat, novel yang dikarang pada abad ke-16, dalam prosa Inggris yang apik dan indah tapi tidak meninggalkan aspek spiritualitas yang terkandung dalam cerita ini.  Bukan hanya itu, Yu dikenal juga sebagai pelopor studi literatur komparatif dalam bidang keagamaan dan mengajar di Universitas Chicago.  Selain karya ini, monografi yang ia hasilkan adalah State and Religion in China: Historical and Textual Perspectives (2005).  Pada tahun yang sama, ia dihadiahi oleh rekan-rekannya sebuah Festschrift dengan judul Literature, Religion, and East/West Comparison, ed. E. Ziolkowski (2005).

10. Mercy Amba Oduyoye (1933-)

Mercy Amba Oduyoye, dari Ghana, adalah perempuan teolog pertama ddan yang sampai saat ini masih ternama di kalangan perempuan teolog di Afrika.  Dari tahun 1987 s.d. 1994, ia menjabat sebagai Deputi Sekjen di Dewan Gereja-gereja Dunia.  Baginya, historiografi adalah teologi.  Sehingga, ia banyak menggali sejarah Afrika dan khususnya pengalaman hidup kaum perempuan, selain pula refleksi pengalaman hidupnya sendiri.  Pemikiran-pemikiran Oduyoye sendiri bisa diruntut, dan terlihat jelas bahwa ia mengalami pergeseran, pergeseran pendekatan dari yang semula kritikus tajam mengenai ketimpangan yang terjadi atas kaum perempuan Afrika menjadi Oduyoye yang menyembuhkan.  Misalnya, ia tidak lagi mengritik keras pemakaian bahasa seksis untuk Allah, tetapi lebih mencari alternatif dari dalam kebudayaan Afrika sendiri gambaran-gambaran Pencipta feminin untuk menolong kaum perempuan tertindas di Afrika menemukan sosok sang ilahi dalam kehidupan spiritual mereka.  Beberapa terbitan yang penting dari Oduyoye adalah Hearing and Knowing: Theological Reflections on Christianity in Africa (1986), Daughters of Anowa (1995),Introducing African Women's Theology (2001), dan Beads and Strands: Reflections of a Woman on Christianity in Africa (2004).

Seattle, 16 Juli 2015

10 Teolog Sistematika Modern yang (Mungkin) Tidak Pernah Disebut di Kelas Teologi Sistematika (bagian 2)

6. Katherine Sonderegger

Katherine Sonderegger sekarang mengajar di Virginia Theological Seminary, seorang sarjana Barth, dan pendeta gereja Episcopal.  Sonderegger baru saja menerbitkan volume 1 dari trilogi sistematika Systematic Theology: The Doctrine of God (2015).  Volume 2 akan difokuskan pada Trinitas dan Kristologi, Kristologi yang didefinisikan dari doktrin Trinitas (2017).  Volume 3 akan didedikasikan pada karya Allah di dalam dunia: penciptaan dan providensia, gereja dan dunia, serta eskatologi.  Dari urutan ini, pembaca diingatkan pada serial sistematika karya teolog Lutheran kenamaan Robert W. Jenson, yang juga sarjana Barth dan doktorat yang kedua di bawah bimbingan Karl Barth sendiri: The Doctrine of God & The Work of God (1997 & 1999).  Namun, Sonderegger mengambil sudut pandang yang berbeda dari Jenson.  Jenson bertitik pijak pada teologi triniaris, sementara Sonderegger mencurahkan pemikiran pada keesaan--singularitas--Allah.  Volume 1 yang masif ini berfokus pada atribut-atribut Allah dan dengan demikian Sonderegger menggugah kesadaran pembaca akan pentingnya doktrin era skolastik De Deo Uno, satu Allah yang berpijak padaShema Israel (Ul. 6:4).  Bagi Sonderegger, berdialog dengan Yudaisme adalah sebuah karunia, yang di dalamnya iman Kristen berbagi keyakinan mengenai keesaan Allah.

Karya teologi sistematika masif seperti ini sudah jarang dibuat oleh teolog Kristen arus utama (lihat yang terakhir adalah karya Jenson di tahun 1999).  Apakah karya Sonderegger akan mampu diperhitungkan di kancah perteologian Kristen?  Walahualam.  Hemat saya, Sonderegger mengambil langkah yang berani untuk tidak berpijak pada teologi trinitaris, dengan harapan Kekristenan dan dengan demikian dapat dikatakan lebih membuka peluang berdialog dengan Yudaisme dan Islam.

7. Roger Haight, SJ

Pada tahun 2005, Kongregasi Doktrin Iman Vatikan mengeluarkan keputusan bahwa Roger Haight, SJ tidak boleh mengajar doktrin Kristologi di institusi Katolik dan di mana pun karena ada kesalahan yang fatal di dalam bukunya Jesus Symbol of God, maklumat yang dikeluarkan oleh kongregasi tersebut setelah melewati lima tahun investigasi.  Haight dinilai telah menyalahi doktrin-doktrin fundamental dalam Kekristenan dan sangat lunak terhadap pluralisme agama-agama.  Haight, kendati begitu, tetaplah seorang sarjana dan teolog andal.  Ia mendekatkan teologinya ke teologi pembebasan.  Kini bernaung di Union Theological Seminary, NY, sebagai scholar in residence, Haight tetap mendedikasikan diri pada menulis dan mengajar.  Karya penting yang dihasilkan kemudian adalah multivolume tentang gereja Christian Community in History: Historical Ecclesiology (2004), Comparative Ecclesiology (2005) dan Ecclesial Existence (2008).  Karya ini adalah kontribusi penting Haight pada diskusi ekklesiologi.

Haight juga menulis dua buku spiritualitas yang berbasis pada Latihan-latihan Rohani dari St. Ignatius Loyola dan teologi sistematika, berturut-turut judulnya Christian Spirituality for Seekers: Reflection on the Spiritual Exercises of Ignatius Loyola (2012) dan Spirituality Seeking Theology.  Walau saya sangsi bahwa pembaca awam mampu menangkap dengan cepat kerangka teoritis dan hermeneutisnya di Christian Spirituality for Seekers, Haight justru memberi kontribusi besar tentang bagaimana karya spiritualitas Kristiani dapat dipakai oleh kaum non-Kristen dan bahkan oleh kaum nones (yang tidak berafiliasi dengan agama apa pun).  Dari buku-buku Haight, tampaknya ia cukup dipengaruhi oleh pemikiran Paul Tillich khususnya paham tentang Allah sebagai "dasar segala keberadaan" dan tentang kebudayaan.

8. M. Shawn Copeland

Shawn Copeland adalah seorang teolog perempuan kulit hitam Katolik di Boston College.  Hingga saat ini, Copeland belum banyak menulis buku, namun sudah menerbitkan banyak artikel di jurnal-jurnal.  Tulisan-tulisan Copeland mengetengahkan pengalaman perbudakan kulit hitam dan khususnya perempuan.  Di buku terbarunya, Enfleshing Freedom: Body, Race, and Being, Copeland menegaskan bahwa kemanusiaan seutuhnya tidak mungkin dipisahkan dari pengalamanyang konkret dan menubuh, pemahaman yang penuh yang diresapkan lewat pengalaman penderitaan dan penindasan dalam sejarah.  Dengan kata lain, Copeland ingin mengatakan bahwa teologi tidak bisa lepas dari pengalaman historis.  Ketika teologi direfleksikan dalam ruang yang imun dari kenyataan konkret, kenyataan akan adanya ketidakadilan dan ketimpangan ras dan gender, maka teologi tidak akan turut andil dalam transformasi dunia.  Karena itu, penghayatan tentang dunia, gereja, dan ekaristi tidak bisa dipisah-pisahkan.  Teologi harus peka terhadap tubuh.

Mengapa Copeland saya pilih?  Dua alasan: (1) teologi Protestan tidak menganggap penting penghayatan akan tubuh.  Protestanisme lebih banyak berdiskusi mengenai Allah dan kedaulatan-Nya dan apakah manusia memiliki kemerdekaan (kehendak bebas).  (2) Copeland adalah teolog perempuan kulit hitam pertama yang menulis disertasinya tentang Bernard Lonergan (belum diterbitkan), teolog Jesuit Amerika Utara kenamaan.  Kita masih menunggu bagaimana Copeland menggarap teologi tubuh ini selanjutnya.  Namun ada sedikit catatan pinggir tentangnya.  Ketika berjumpa dengan Copeland, dia dulu punya teman dari Indonesia yang juga mengambil doktorat di Boston College (dan Andover Newton Theological School).  Saya menukas, "Eka Darmaputera!"  Dia membetulkan dan bertanya, "Di mana dia sekarang?"  Saya jawab bahwa Pak Eka sudah meninggal.  Professor Copeland berkata, "What?!  Where was I?  Why did I not hear that?"

9. Michael Amaladoss, SJ

Lebih suka untuk menentukan pilihan siapa teolog di luar konteks Eropa dan Amerika Serikat, tapi kepada seorang dosen pernah saya katakan bahwa saya iri dengan teolog-teolog India karena mereka tidak pernah kehilangan sumber berteologi.  Saya memilih pater Amaladoss, yang membidangi inkulturasi, misi dan pluralisme, karena saya pernah membaca dua karyanya dan sempat berwawan-rembug dengannya di perpustakaan Seattle University, sewaktu dia diundang sebagai pembicara tamu.  Tidak banyak yang tahu pasti, bahwa Amaladoss adalah seorang pemikir yang prolifik, hal ini bisa dipahami karena akses ke buku-buku terbitan India sangat terbatas.  Tapi cobalah dapatkan buku-bukunya, seperti yang pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia Teologi Pembebasan atau buku yang sangat mudah dibaca tentang Yesus Asia (tersedia murah di Kindle saat ini, hanya $2).  Amaladoss juga sedang mengembangkan teologi subaltern dan pascakolonialitas di India dan kini sedang menulis buku doktrin Allah yang judul tentatifnya The Dancing God.  Dari judulnya kita dapat memikirkan bahwa ia sedang menggarap sebuah topik yang mengaitkan teologi Kristen dan Hindu.

Seorang yang berpikir kreatif dan konstruktif, sayangnya, seringkali mengalami tantangan dari pihak organisasi.  Dalam beberapa tahun ini, Rm. Amaladoss beraudiensi dengan Kongregasi Doktrin Iman di Vatikan dikarenakan kecurigaan adanya penyimpangan ajaran di dalam bukunya.  Walaupun belum diputuskan mengenai sanksi terhadap Amaladoss, namun Amaladoss memilih untuk menenangkan diri dan berdiam diri.  Beberapa tahun lalu mentornya, yang tak lain adalah Jacques Dupuis yang menerbitkan buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism (2001) juga mengalami investigasi oleh pihak kongregasi dan tidak boleh mengajar di Universitas Gregoriana pada tahun 1997.  Hal ini belum terjadi pada Amaladoss.  Kita masih menunggu beritanya.

10. Ilia Delio, OSF

Ilia Delio adalah seorang suster dari ordo Fransiskan dan bukan teolog sistematika.  Bidang keahliannya adalah teologi historis dengan konsentrasi pada pemikiran St. Bonaventura dan ilmu pengetahuan.  Ia memiliki dua doktor dalam bidang kimia dan teologi historis.  Sekarang ia menjadi direktur Woodstock Theological Institute yang bernaung di Georgetown University, D.C.  Adalah penting bagi teolog sistematika untuk mendengarkan suara seperti Delio.  Ia mengusung kembali pemikiran St. Bonaventura, profesor teologi di Paris, uskup Katolik, imam Fransiskan.  Di zamannya, Bonaventura adalah suara Agustinian konservatif, sebaliknya Thomas Aquinas adalah pemikir progresif yang melepaskan diri dari pengaruh Agustinian-Platonik.  Delio menyajikan kembali keindahan visi dan teologi Fransiskan dalam kancah perteologian, khususnya dalam diskusi mengenai kosmologi, evolusi dan teologi.  Peminat nisbah ilmu pengetahuan dan teologi seyogianya mencatat nama Delio.

Dari sekian banyak tulisannya, yang menurut saya merupakan sintesis matang dari Delio adalah buku Christ in Evolution (2008), The Emergent Christ (2011) dan The Unbearable Wholeness of Being: God, Evolution and the Power of Love (2013).  Dalam buku pertama Delio mengkaji pemikiran Teilhard de Chardin mengenai visi christic universe, bahwa dunia sedang bergerak menuju kepada Kristus.  Buku kedua lebih berfokus pada menggali kembali visi Katolisisme dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan.  Di buku ketiga, Delio mendedah kesalingterjalinan semua yang ada di alam raya.  Delio memang bukan teolog sistematika, tetapi Delio membantu para sistematikus bertanya seperti ini: Kita memiliki teologi, doktrin dan dogma, dan kita tidak perlu (boleh) meninggalkannya.  Tapi kita hidup dalam percepatan penemuan ilmu dan teknologi.  Maka, bagaimana kita mengartikulasikan teologi dan tradisi kita dalam konteks modern?

***

Saya tergoda untuk menambah satu nama lagi yaitu Joas Adiprasetya, seorang pakar sistematika dan pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.  Mengapa Adiprasetya?  Karena dia tengah mempersiapkan sebuah proyek penulisan buku teologi sistematika yang baru, sebuah buku teologi sistematika yang saya prediksi akan menggantikan karya agung alm. Harun Hadiwijono, dan yang metodenya dibangun dan dikembangkan dari satu kata di subjudul bukunya yang sudah terbit An Imaginative Glimpse (2013)--"partisipasi."  Sebab itu, Adiprasetya pun harus dipandang sebagai teolog yang melanjutkan proyek teologi yang sudah dimulainya lewat terbitan sebelumnya.  Kapankah akan terbit dan dapat dinikmati khalayak luas?  Semua pasti menantikannya.  Turut mendoakan.

10 Teolog Sistematika Modern yang (Mungkin) Tidak Pernah Disebut di Kelas Teologi Sistematika (bagian 1)

Menulis daftar seperti ini tentu bias.  Saya memilih nama-nama ini sesuai minat saya sendiri, dari kacamata yang saya anggap penting, dan yang memang saya ketahui.  Karena itu, saya tidak mungkin dapat mewakili pandangan umum.  Pilihan nama ini jatuh kepada teolog-teolog sistematika yang masih aktif menulis dan sedang dalam proyek menulis buku teologi sistematikanya.  Namun saya berharap untuk sedapat-dapatnya memberikan sebuah panorama teologi sistematika.  Daftar berikut tidak disusun berdasarkan kriteria ranking, tetapi acak.


1. Sarah Coakley

Sarah Coakley adalah pendeta Gereja Inggris, dan sekarang mengajar di Universitas Cambridge, seorang teolog sistematika terkemuka yang pernah juga mengajar di Harvard Divinity School.  Ia juga membidangi filsafat baik kontinental maupun analitik, gender dan feminisme serta teologi historis.  Pada tahun 2012 ia menyampaikan kuliah prestisius Gifford di Universitas Aberdeen dengan judul Sacrificed Regained: Evolution, Cooperation, and God.  Saat ini Coakley sedang mengerjakan volume kedua dari serial teologi sistematikaGod, Sexuality, and Self (vol. 1, 2013).  Mengapa serial sistematika Coakley penting untuk disimak?  Karena Coakley tidak hanya membahas konsep teologi yang digali dari Alkitab dan tradisi Kristen, tetapi menggali teologi sistematika dari doa silence dan dimensi liturgis.  Para penikmat kajian spiritualitas pasti menikmati buku Coakley, dengan sedikit catatan, harus terbiasa membaca gaya Anglo-Saxon yang uraiannya mendalam.

Sedikit catatan pinggir, sewaktu saya menyajikan makalah di AAR San Diego akhir November 2014 lalu, Coakley tiba-tiba masuk ke ruang presentasi kami dan duduk di deretan tengah.  Ia duduk di situ karena panelis berikutnya adalah murid PhD-nya di Cambridge yang menyajikan topik tentang mistikus John of the Cross.  Ia duduk tenang dan agak banyak menunduk.  Ketika ia berbicara dan bertanya kepada panelis, ia tidak menunjukkan dirinya lebih tahu, bahkan lebih banyak memberikan dukungan kepada para panelis yang jauh lebih junior darinya.  Ketika ia berbicara, aura spiritualitasnya sangat terasa.

2. Elizabeth A. Johnson, CSJ

Elizabeth Johnson adalah seorang suster dari ordo St. Joseph dan kini mengajar teologi sistematika di Universitas Fordham.  Ia adalah salah satu teolog terkemuka Amerika Serikat untuk saat ini.  Johnson mewakili pemikiran feminis, namun bukan feminis yang radikal.  Ia mengembangkan feminisme dalam tradisi Katolik.  Dalam buku yang mengorbitkan namanyaShe Who Is (2002), Johnson berargumentasi bahwa bahasa manusia tidak akan pernah cukup untuk menerangkan Misteri Allah; Allah melampaui bahasa-bahasa gender.  BukunyaQuest for the Living God: Mapping Frontiers in the Theology of God (2007) pernah dipermasalahkan oleh Uskup Gereja Katolik Amerika Serikat, walau Johnson berani mempertahankan posisi teologisnya bahwa ia tetap taat kepada tradisi Katolik Roma bahwa Allah adalah Trinitas Cinta.  Johnson juga menerbitkan buku Ask the Beast: Darwin and the God of Love (2014) yang mengeksplorasi nisbah ilmu pengetahuan khususnya evolusi, dan doktrin tentang Allah.  Di buku ini, Johnson mengembangkan teologi penderitaan yang tidak sama dengan teodise (theodicy); ia tunjukkan bahwa inkarnasi dan sengsara Kristus dapat dikaitkan dengan makhluk-makhluk yang musnah dalam kurun proses evolusi.  Baru-baru ini, kumpulan tulisannya terbit dengan judul Abounding in Kindness: Writing for the People of God (2015).

Johnson bukan saja teolog terkemuka, tapi juga solider terhadap teman yang diperlakukan tidak adil.  Dia berani membela rekan-rekannya, salah satunya adalah pater Jesuit Roger Haight (lihat di bawah).  Spiritualitas Johnson juga tampak kuat dalam tulisan-tulisannya.  Sejak berkenalan dengan tulisannya, saya menduga orang ini kuat doa.  Dugaan ini dibenarkan oleh mahasiswi PhD-nya yang saya jumpai di Boston beberapa waktu lalu.  Benar, Johnson adalah seorang ahli doa!  Ketika dia mengajar sesi Kristologi, mahasiswi ini mengaku ia sampai meneteskan air mata.  Saya berkomentar pendek ke dia, "Ah, saya iri denganmu!"

3. David Tracy

David Tracy adalah pater Katolik yang lama mengajar di University of Chicago Divinity School.  Bidang kepakarannya adalah pluralisme dan hermeneutika.  Dia banyak dipengaruhi oleh teolog Jesuit Bernard Lonergan, dan pernah belajar kepada Lonergan di Universitas Gregoriana, Roma.  Dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian dan pragmatisme, Tracy berusaha menyajikan pemikiran-pemikiran secara jelas dan banyak contoh.  Namun, karena luasnya pengetahuan Tracy, maka contoh-contoh yang disajikannya kadang mengaburkan poinnya.  Lonergan sendiri pernah berkata kepada murid-muridnya bila mereka merasa kesulitan memahami pemikirannya (yang memang susah sekali dibaca!), maka disarankan untuk membaca buku Tracy, The Achievement of Bernard Lonergan (1970).  Sekarang Tracy sedang menyelesaikan proyek tulisannya tentang Allah, buku yang tampaknya  dikembangkan dari Gifford Lectures 1999-2000 berjudul This Side of God.  Menurut dosen saya, proyek Tracy tentang Allah berjudul God the Infinite.   Dosen saya, murid Tracy di Chicago sendiri, agak ragu bahwa Tracy akan dapat menyelesaikan bukunya dikarenakan ibundanya, yang lama sekali tinggal bersama dia, baru-baru ini meninggal.  Jika buku Tracy akhirnya keluar, saya duga akan dapat disandingkan dengan buku doktrin Allah karya Lonergan.

Catatan pinggir: Tracy dikenal oleh murid-muridnya sebagai seorang yang sangat brilian.  Ia bisa membaca tiga buku dalam semalam dan esok paginya mampu mendiskusikan isi buku-buku itu dengan detail.  Tracy tidak pernah mau mengendarai mobil sendiri, ia memilih memakai kendaraan umum.  Hal ini dapat dipahami, karena ia adalah pemikir keras.  Ke mana pun ia pergi tidak pernah tidak berpikir teologi dan filsafat.  Karena itu, tidak mengendarai mobil sendiri bukan saja membuat dia punya banyak waktu untuk berpikir, tetapi juga menghindarkan dia dari bahaya kecelakaan.

4. David Bentley Hart

David Hart adalah salah satu teolog sistematik Ortodoks Timur yang terkemuka di Amerika Serikat, dan kini mengajar di St. Louis University, Missouri.  Hingga saat ini, karyanya yang masif adalah The Beauty of the Infinite: The Aesthetics of Christian Truth (2003), yang dikembangkan dari disertasi doktoral di Universitas Virginia.  Dua buku terbarunya Atheist Delusions: The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies (2013) dan The Experience of God: Being, Consciousness, and Bliss (2013).  Kedua buku ini sangat tepat waktunya berkenaan dengan isu neo-ateisme yang dikembangkan oleh Richard Dawkins dan rekan-rekan, tepat waktu karena merupaan selisik Ortodoks Timur terhadap isu kontemporer.  Isu apologetika seperti ini biasanya diminati oleh kaum Injili, misalnya William Lane Craig.  Namun di dalam bukunya, Hart menolak argumentasi apologetika Craig yang memahami Alkitab secara literalis, pembacaan untuk membenarkan (justifikasi) pengetahuan modern, bahwa apa yang dilaporkan oleh Alkitab itu terjadi di dalam kurun waktu dan sejarah. 

Sebaliknya, dia berargumen, apa yang di sebut ad literam dalam eksegesis gereja kuno dan gereja medieval berarti membaca Alkitab dan menarik makna teologisnya.  Sehingga apa yang disebut sebagai "pembacaan literal" dalam zaman Patristika, misalnya Agustinus menulis De Genesea Literam sama sekali bukan berarti bahwa Agustinus memahami secara literal kejadian dunia seperti itu.  Ketika Origen membaca Alkitab secara spiritual (alegoris), ia tidak bermaksud bahwa kejadiannya sungguh-sungguh demikian.  Roh Kudus, tegas Hart, dipahami bekerja bukan hanya di dalam teks yang diinspirasikan tetapi juga pembaca yang diinspirasikan.

5. James H. Cone

James Cone adalah bapak teolog pembebasan kaum kulit hitam di Amerika Serikat.  Ia masih aktif menulis dan berceramah, sekarang mengajar di Union Theological Seminary, New York.  Buku pertamanya Black Theology and Black Power (1969) mendahului terbitnya buku Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (1971, Ing. 1973).  Di bawah bimbingan teolog Barthian William Hordern, Cone menyelesaikan studi doktoralnya di Northwestern University/Garret-Evangelical Theological Seminary di Evanston, IL dan menulis disertasi tentang Karl Barth, walaupun ia tidak pernah mengajar teologi Barth selama karirnya.  Dalam buku God of the Oppressed (1975), Cone mengritik metodologi Barth dan teologi kaum kulit putih dan menyajikan imaji Allah yang dekat dengan kaum tertindas, yang dalam hal ini adalah pengalaman perbudakan kulit hitam di negeri Amerika Serikat.  Bagi Cone, teologi dibaca dan didulang dari pengalaman konkret penderitaan kaum kulit hitam yang tertindas.  Cone tidak (belum?) membuat sebuah karya sistematika yang masif seperti Barth, atau karya integratif seperti Paul Tillich.  Mungkin Cone tidak berminat membuat karya yang seperti ini.  Namun, Cone akan tetap merupakan penulis yang prolifik karena dia mendisiplin diri menulis minimal 8 halaman perhari.


(bersambung, karena sudah 1100-an kata dan sudah pukul 00.15. LOL) 

Seattle, 9 Juli 2015

Allah Mengasihi Pendosa, tetapi Membenci Dosanya?

Dalam menyikapi isu LGBTQ (lagi!), banyak orang Kristen yang kemudian mengambil posisi begini: “Kami membuka tangan dan tidak membenci kaum homoseksual.  Kami membuka tangan untuk mereka ke dalam persekutuan kami, walau kami membenci perbuatan homoseksual mereka.  Sama seperti Allah yang mengasihi pendosa tetapi membenci tindakan dosanya, maka kami mengasihi kaum homoseksual tetapi membenci tindakan dosanya.”  Kira-kira seperti itu.

Sebuah tuturan yang saleh, suatu kesalehan yang dilambari dengan itikad baik dan tujuan yang mulia untuk mengasihi sesama dan merangkul mereka, dengan maksud untuk memperbaiki mereka guna hidup dalam tujuan dan kekudusan yang Allah kehendaki.  Mari kita perhatikan lebih dekat, kalau pernyataan itu disusun ulang, bisa didapat proposisi seperti ini:

Karena Allah mengasihi orang berdosa, tetapi membenci dosanya; dan
Karena Allah mengasihi kaum gay, tetapi membenci perilaku homoseksualnya.
Maka kami pun mengasihi kaum LGBTQ, tetapi membenci perilaku dan orientasi seksualnya yang menyimpang.

Tapi . . . sungguhkah?  Benarkah?  Dan, mungkinkah?  Apakah pernyataan ini sesuai dengan ajaran Injili?  Apakah firman Allah mengajarkan doktrin seperti ini?  Saya akan tunjukkan bahwa pernyataan Allah itu mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya tidak menunjukkan kebenaran Injil dan ketulusan kesalehan.  Paling tidak ada tiga poin alasan:

1. Jika kita percaya pernyataan di atas, mari kita jujur: Ketika kita melihat seorang gay atau lesbian masuk ke dalam gereja kita, perasaan apa yang akan segera keluar terlebih dulu?  Benci ataukah kasih?  Welas asih atau jijik?  Dapatkah kita benar-benar mengasihinya sebagai pribadi yang utuh sementara di mata kita dia bertindak dosa?  Bagaimana kita mendefinisikan orang itu?

Di dinding seorang teman, dia seorang pengajar di sebuah institusi teologi, ada komentar begini dari salah satu muridnya:

“Di usia ke-44, saya telah menjalani hidup saya dengan mendengarkan kaum Injili begitu cepat mengutuk saya ke dalam neraka yang menyala karena orientasi seksual saya.  Butuh waktu yang lama bagi saya untuk melupakan hal itu.  Mereka ini orang yang sama yang mengatakan bahwa mereka mengasihi orang-orang berdosa, tetapi membenci dosa; yang serta-merta mendefinisikan saya (dan keselamatan kekal saya) berdasarkan dosa yang mereka benci.  Butuh waktu cukup lama untuk memercayai orang-orang yang mengharap-harapkan kematian saya ini, entahkan secara pasif maupun aktif.”

2. Apakah Allah menghukum perbuatan dosanya saja dan bukan orang-nya?  Jika Allah membenci perbuatan dosa tetapi mengasihi pendosa, tentulah yang dijatuhi hukuman adalah tindakannya dan bukan orangnya.  Jika orang Kristen percaya akan adanya penghakiman, Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Allah akan menghukum perbuatan saja; Allah menghukum orang!  Alkitab dengan jelas katakan, “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.”  Allah mengasihi kaum keturunan Yakub (Israel) tetapi tidak mengasihi kaum keturunan Esau (Edom).  Alkitab tidak mengatakan bahwa Allah membenci tindakan Edom; Allah membenci Edom.

Masalahnya, jika benar orang Kristen percaya penghakiman, bukankah Alkitab pun berkata bahwa “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini” (Yoh. 12:31).  Maka, dapatkah dipertahankan pernyataan Allah mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa-dosanya?  Berdasarkan Alkitab, penghakiman itu sudah terjadi pada masa kini!

Kalau begitu, dapatkah dibenarkan pernyataan, “Aku mengasihi kamu, tetapi membenci perilaku seksualmu”?  Aku mengasihimu tapi menghukum perilakumu?  Atau sebenarnya aku, atas nama kebenaran Allah dan demi Alkitab, "menyatakan" kamu berdosa karena kamu seorang homoseks?  Jika kita percaya pernyataan ini, sungguhkah kita mengasihi orang itu dengan kasih agape, kasih yang tulus dan total, kasih yang mengosongkan diri seperti Kristus, kasih yang tidak menuntut balas, kasih yang menerima "walaupun" dan bukan "oleh sebab"?

3. Yang terakhir adalah hal yang sangat fundamental, yang menunjukkan absurditas pernyataan “Allah mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa-dosanya”: Dosa direduksi hanya sebagai tindakan, perbuatan, perilaku dan bukan masalah keberadaan manusia secara utuh.  Jelas sekali hal ini bertentangan dengan keyakinan Injili.  Sejak diperkenalkannya gerakan Injili, dosa adalah pokok yang sangat serius ditekankan, dan dosa bukan sekadar perbuatan!

Ingatlah bapak gereja Reformasi Martin Luther yang mengatakan bahwa dosa sebagai (homo) incurvatus in se—manusia “melengkung” ke dalam dirinya sendiri.  Orang Kristen sebagai simul iustus et peccator, seseorang yang dibenarkan tetapi juga seorang pendosa.  Bagi Luther, dosa bukan sekadar tindakan atau perbuatan.  Dosa jauh lebih serius.  Dosa sudah berakar di dalam diri manusia.  Menurut Alkitab, dosa itu “mematikan” manusia, dan manusia “hidup” di dalam kematiannya (Ef. 2:1); manusia, dalam bahasa teologi Kalvinis, sudah "rusak total" (totally depraved).

Jika dosa adalah tindakan atau perbuatan, maka doktrin mengenai Adam sebagai kepala umat manusia yang di dalamnya semua manusia telah jatuh ke dalam dosa turut hancur lebur juga!  Implikasinya, ajaran mengenai seorang bayi sudah dikandung dalam dosa dan dilahirkan bukan sebagai secarik kertas putih bersih harus ditinggalkan.  Dan jika demikian, orang Kristen yang percaya pernyataan di atas telah memeluk ajaran Pelagianisme par excellence!

Jadi, bukan hanya absurd tetapi amat sangat tidak injili sama sekali  pernyataan "Allah mengasihi pendosa tetapi membenci tindakan dosanya."  Saya hanya bisa berkata, "Apakah Anda serius dengan iman Injili Anda?"

***

Lalu bagaimana?  Ya mari kita tulus, jujur, dan berintegritas, baik dalam iman maupun praktik iman kita, beintegritaslah dalam kehidupan dan dalam teologi.  Hendaklah tuntutan integritas itu bukan untuk orang lain, tetapi terutama untuk diri kita sendiri.

Mungkin kita tidak membenci mereka, tapi mungkinkah kita, jauh dalam hati, tidak mengharapkan mereka hidup?  Mungkin rasa jijik tidak tereskpresikan keluar, tetapi di dalam hati, apakah kita lebih percaya bahwa dunia akan lebih baik jika tidak ada mereka ini di sekitar kita?  Mungkin kita tampak membuka tangan lebar-lebar bagi mereka, tetapi akhirnya ukuran kitalah yang kita kenakan pada mereka, sebuah standar yang kita pikir merupakan standar Allah.  

Setelah bangkit, Yesus bersama dengan Petrus dan murid-murid lain (minus Yudas Iskariot tentu saja).  Petrus dipenuhi rasa ingin tahu, “Melihat murid [yang dikasihi Yesus] itu, ia berkata kepada Yesus, 'Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?'  Jawab Yesus, 'Jika Aku menghendaki, supaya itu tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.  Tetapi engkau: ikutlah Aku'" (Yoh. 21:21-22).  Apa yang Yesus minta dari Petrus adalah agar dia dan murid yang dikasihi-Nya itu berjalan bersama mengikuti Yesus, sama-sama bertumbuh.  Semua para murid adalah sama-sama orang-orang yang pernah gagal.  Semua pengikut Yesus adalah para pendosa.

Saya ingin lebih berani menarik implikasi: Kalau orang Kristen merasa bahwa kaum gay dan lesbian yang dianggap berdosa perlu dibimbing ke arah Kristus, bukankah sebaliknya juga seharusnya terjadi: orang Kristen, dengan setumpuk dosa yang lain, dosa yang tetap tinggaldi dalam tubuhnya, bisa dan perlu dibimbing oleh kaum yang dianggap liyan (lain atau berbeda) tadi?  Mengapa hanya mereka yang butuh rengkuhan belas kasih kita kalau mereka dan kita sama-sama kaum berdosa?  Mengapa hanya mereka yang seharusnya datang ke kita dan bukan kita yang mendatangi mereka?  Bukankah rasul Paulus saja bersaksi, "di antara mereka [semua orang berdosa] akulah yang paling berdosa" (1Tim. 1:15)?

Ketimbang berkata, “Saya membuka tangan dan menerima engkau, asal engkau ikut standar saya,” bukankah kita perlu memohon anugerah Tuhan, “Ya Allah, tolonglah saya untuk mendekati kaum yang saya anggap berbeda.  Saya membutuhkan keberanian dan anugerah-Mu”?  Jika ini yang terjadi, maka gereja menjadi gereja yang meneladani Kristus, yang walaupun dalam “rupa Allah,” tidak menganggap posisi ini sebagai “milik yang harus  dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”—manusia berdosa! (Flp. 2:6-7).

***

(Bila diperlukan, sila membagikan note ini dengan bebas)

Seattle, 10 Juli 2015