Saturday, July 25, 2015

Spiritualitas Pemimpin Jemaat Menyikapi Isu LGBTQ (bagian 2—akhir)

Gereja selalu menghadapi friksi, perdebatan teologis dan perbedaan praksis.  Ada pihak memilih tidak mau mengompromikan kebenaran demi untuk kesatuan, atau yang demi kesatuan menuduh yang memegang kebenaran sebagai pihak bigot, fanatik dan fundamentalis.  Di kalangan Kristen, perang tajam selalu terjadi antara injili atau liberal, kanan atau kiri, tradisionalis atau reformis, ortodoks atau progresif.  Maka, ada baiknya, saya pikir, untuk menengok saudara-saudari GKR, karena mereka pun pernah menghadapi tantangan yang sama.

Tentu, kesulitan di pihak Protestan adalah, tradisi ini tidak memiliki otoritas yang organisatoris seperti GKR.  Walau Alkitab disebut sebagai otoritas tertinggi, tetapi Alkitab yang ditafsir menurut siapa sudah menjadi masalah tersendiri.  Penganut Kalvinisme akan menderetkan para penafsir Reformed dan Presbiterian.  Lutheran akan menempatkan tafsir Luther sebagai yang utama.  Belum lagi Pentakosta, Metodis, dan lainnya.

Karena itu, beranjak dari tradisi Protestan, dalam proses pertimbangan pengambilan sikap teologis dan etis pemimpin umat, saya menawarkan spiritualitas pemimpin rohani yang menjadi jembatan.  Spiritualitas bukan hanya bermaksud mencari pertumbuhan dan kedewasaan rohani, tetapi keberanian untuk menghadapi risiko dalam perjalanan kita untuk semakin mengenal Sang Agung dan menjadi penuh dalam kasih.  Spiritualitas berarti pula keberanian untuk mengambil keputusan, yang di dalamnya keberanian untuk keluar dari zona nyaman.

Dalam konteks wacana LGBTQ yang masih relatif baru di tanah air, di mana banyak orang belum bisa melihat apakah SSM akan dilegalkan di Indonesia.  Rasanya, masih sangat jauhlah dari kenyataan untuk menetapkan seperti ini.  Tetapi untuk masa sekarang, saya ajak kita untuk tenang dan mengimajinasikan hal-hal berikut:

  • Suatu waktu, anak saya kedapatan berhubungan kasih dengan temannya dari kalangan sama jenis.  Sementara itu, saya sangat menyayangi anak saya.  Apa yang akan saya lakukan terhadap diri saya, keluarga dan anak saya?

  • Salah satu dari anggota keluarga kita merasa ada yang salah dengan peran gendernya.  Ia lebih suka berdandan seperti gender yang berbeda.  Dia bahkan memikirkan untuk berganti kelamin.  Bagaimana sikap keluarga besar kita?  Bagaimana perasaan keluarga besar di masyarakat?

  • Sahabat baik kita, pelayan aktif di gereja, suatu saat datang kepada kita dan berkata bahwa ia percaya kepada kita dan mengungkapkan rahasia—ia adalah seorang lesbian.  Bolehkah ia melayani?  Bagaimana sikap dan pandangan jemaat nanti?  Apakah kita akan mengatakan “kebenaran” yang sebenar-benarnya, bahwa kita tidak mau berbohong atau menutupi dosa di hadapan jemaat bahwa ia adalah seorang lesbian?

Semua ini belum tentu terjadi, tetapi memikirkan bila hal ini terjadi di keluarga kita atau di antara orang-orang yang kita sayang membuat kita lebih berempati—menempatkan diri kita di tempat orang yang tengah bergumul dengan permasalahan itu. Di sini kita mulai berbicara bukan dari posisi istimewa (privileged), tetapi mengambil perasaan orang-orang ini dan merasakannya dalam diri kita.

Para LGBTQ membutuhkan tempat yang aman dan kondusif seperti jemaat yang lain pada umumnya. Jika ini terjadi di antara keluarga kita, sangat mungkin perasaan aib dan malu akan kita tanggung.  Tapi bukankah perasaan-perasaan itu yang sekarang ini dirasakan dan dialami oleh kaum LGBTQ di sekitar kita?  Dalam konteks semacam ini, yang dibutuhkan bukan saja sikap praktis (atau pragmatis) gereja, tetapi dasar teologis yang memberi ruang bagi gereja untuk membolehkan atau tidak membolehkan seorang gay, misalnya, melayani di gereja.

***

Bagaimana seharusnya sikap pemimpin umat?  Tidak mudah.  Desakan untuk tegas dalam bersikap belum tentu dapat dicapai dengan cepat.  Sikap seperti apa yang benar?  Menurut saya, sikap dialogis dan dialektis seperti Paus Yohanes XXIII di atas, atau Paus Fransiskus dalam menyikapi posisi doktrinal seperti tahbisan perempuan atau inklusi kaum gay di GKR patut menjadi teladan.  Posisi Gereja jelas untuk masa sekarang, tetapi gereja membuka dialog yang seluas-luasnya.  Meski belum dapat dilihat ujungnya, gereja sudah mulai membuka telinganya lebar-lebar dan menatap dalam-dalam, dan bukan malahan mundur serta menjadi kaku dan dogmatis.  Berarti, ajaran gereja masih bisa mengalami transisi.  Sebagai contoh, sampai awal tahun 1962, siapa yang pernah menyangka bahwa orang-orang Protestan bersekutu dengan GKR?  Pada waktu itu, jika ada seorang Protestan meninggal di rumah sakit Katolik, maka suster tidak diperbolehkan mengontak pendeta, karena mereka percaya bahwa kaum Protestan tidak akan masuk surga.

Saya melihat, pemimpin umat Protestan lebih sulit dalam pertimbangan pengambilan keputusan teologis secara bersama.  Gereja-gereja Protestan masing-masing memiliki pandangan yang berbeda.  Bahkan dalam satu jemaat pun bisa terjadi perbedaan internal teologis dan praktis.  Jemaat bisa memilih dan membandingkan antarpendeta sesuka hati mereka.  Bila tidak setuju dengan ajaran pendeta A maka mereka dapat mencari pendeta B.  Jika tidak puas dengan gerejanya, ia bisa pindah keanggotaan ke gereja lain.  Demikian seterusnya.  Walaupun sulit, dan saya merasakan kesulitan juga sebagai pendeta Protestan, terlebih dari tradisi yang minor, kolegialitas pendeta adalah prioritas penting dalam pelayanan gereja.  Berikut saya tawarkan spiritualitas pemimpin umat dalam tiga poin:
   
Pertama, pendeta adalah teolog konstruktif (constructive theologian).  Seoang teolog konstruktif akan terus menggali kekayaan teologi.  Ia selalu beranjak dari sebuah tradisi, dan serta merta ia menyadari bahwa tradisinya itu adalah satu bagian dari arak-arakan tradisi teologis yang panjang.  Ia tidak perlu meninggalkan tradisinya, tapi juga berani bertanya, “Apa yang tidak dimiliki oleh tradisiku?  Apa yang kuharap ada dalam tradisiku yang kulihat ada di dalam tradisi lain?”

Penggalian seperti ini dicontohkan oleh Vatikan II.  Ada dua istilah kunci dalam konsili ini. Pertama adalah kata yang dicetuskan oleh Yohanes XXIII aggiornamento atau updating, memperbarui.  Di tengah ketegangan yang dipunggawai oleh Kardinal Ottaviani dengan keyakinan GKR semper eadem—Gereja selalu sama, Vatikan II tidak menolak pernyataansemper eadem, hanya dengan tepat mengemukakan bahwa gereja pun semper purificanda, selalu dimurnikan (yang mirip slogan reformasi semper reformanda, selalu diperbarui).

Yang kedua yaitu ressourcement, yang diperkenalkan teolog Prancis Yves Congar. Ressourcement berarti to-the-source-ment, atau upaya menggali sumber-sumber tradisi.  Senada dengan slogan medieval ad fontes, kembali ke dasar, ketika para medievalis kembali menggali pemikiran-pemikiran klasik Yunani, Romawi, dan bapa-bapa gereja kuno, GKR ingin kembali ke kekayaan tradisi kuno. 

Baik pembaruan maupun kembali ke akar perlu berjalan dalam dinamika yang seimbang.  Di sini akan terang bahwa tradisi saya hanya secuil dari luasnya samudera teologi.  Sebuah tradisi teologi tidak bisa dimutlakkan tetapi tidak mungkin ditinggalkan.

Hal ini tentu tidak akan lepas dari paham ekklesiologi, doktrin gereja.  Siapa yang dianggap otoritatif dalam pertimbangan teologis dan etis di dalam gereja?  Apakah pendeta?  Ataukah majelis jemaat?  Ataukah sinode?  Tua-tua gereja?  Atau adakah orang kuat di dalam gereja? 

Pendeta sering dikondisikan sebagai pemberi jawaban teologis yang pasti.  Dalam banyak hal, memang harus demikian, karena ia (diasumsikan) sudah belajar Alkitab dan teologi secara cukup.  Seorang pendeta, kendati begitu, perlu mengembangkan spiritualitas kolegialitas dengan menyadari bahwa ia haruslah bukan sumber kebenaran tunggal bagi umat.  Artinya, ia perlu melibatkan kolega-koleganya.  Jika ia memiliki rekan pendeta, bagaimana ia mendiskusikan isu teologis bersama rekan-rekannya, dengan menggali Alkitab, tradisi dan mencari resolusi untuk masa depan.  Jika ia seorang diri di dalam gereja itu, bagaimana ia melakukan hal yang sama bersama rekan-rekan pendeta di regionalnya.  Pertimbangan teologis ini diperlukan untuk mencari pertanyaan-pertanyaan yang menstimulasi diskusi teologis lebih lanjut di dalam jemaat.  Teologi adalah karya umat yang berkelanjutan.

Kedua, pendeta adalah pemimpin yang konstruktif (constructive leader).  Ketika ia menjadi teolog konstruktif, ia pun akan menjadi pemimpin yang konstruktif, pemimpin yang tahu langkah-langkah strategis bagi pembangunan jemaat.  Pemimpin seperti ini tidak akan puas hanya menjadi pelaksana ibadah mingguan, pengkhotbah, atau pelaksana tugas rutin gereja, tetapi mengenal juga seluk-beluk persuasi terhadap jemaat baik di tingkat lokal, regional, maupun sinodal.

Tujuannya adalah mengarahkan supaya jemaat lebih menunjukkan karakter Kristus, hidup dalam kebenaran dan menghidupi kebenaran itu, menjadi gereja yang lebih mengasihi dan berbela rasa.  Alkitab adalah pedoman hidup, sumber dan otoritas pengajaran jemaat yang sama-sama dibuka, dipelajari, menjadi sumber doa.  Tujuan spiritualitas adalah menjadi seperti Kristus.  Bila jemaat belum bisa menerima sebuah pandangan teologis, jika asas pengajaran gereja secara sinodal belum memberi tempat pada sebuah topik teologis, tidaklah perlu berkecil hati atau merasa bahwa jemaat tertutup pada pembaruan. 

Bisa dikatakan, umat mungkin belum melihat urgensinya, urgensi yang terkadang, tanpa diantisipasi, datang ketika sebuah isu yang mengejutkan hadir menimpa hidup mereka sendiri.  Pendeta perlu melihatnya sebagai dinamika komunitas.  Sebagai pemimpin yang konstruktif, ia akan arif, sabar dalam mencari alternatif-alternatif guna pembangunan umat.

Ketiga, pendeta sebagai pembebas yang konstruktif (constructive liberator).  Siapa yang berperan dalam mengambil pertimbangan teologis dan etis jemaat?  Apakah pendeta sensitif terhadap siapa yang tidak punya suara dalam pertimbangan teologis dan etis ini?

Kita tanggalkan dulu urusan SSM.  Kalau, misalnya, jemaat belum dapat menerima kaum gay melayani (yang saya tahu sudah ada sejumlah gereja yang membolehkan hal ini), apakah pendeta akan turut menjadi penghukum kaum gay dari atas mimbar?  Kalau memang khotbah adalah wilayah otoritasnya, tidakkah perlu pendeta membayangkan demikian: “Salah satu jemaat yang akan menjadi pendengar khotbah saya nanti adalah anak saya yang sangat saya sayangi, dan dia adalah seorang gay.”  Pendeta memang harus memperkatakan kebenaran, namun bagaimana jika "masalah" ini adalah bagian dari keluarganya?

Juga, ketika seorang pendeta diundang untuk berceramah tentang isu LGBTQ, apakah pendeta tidak sebaiknya melakukan riset ekstra dengan berjumpa dan mendengar langsung kisah hidup kaum ini, serta memberi ruang agar mereka menerangkan diri mereka terlebih dahulu. 

Jika jemaat berkasak-kusuk tentang gay, apakah pendeta turut serta membumbui percakapan itu sehingga menjadi semakin panas, padahal ia tahu bahwa salah satu jemaatnya sempat datang kepadanya dan menyatakan bahwa ia adalah seorang gay? 

Sebelum seorang pendeta mengupdate status Facebook tentang posisi pandangan menyerang dan merendahkan kaum LGBTQ, bagaimana perasaan seorang sahabat baiknya yang pernah datang dan membuka diri kepadanya dan dia dapat membaca? (Apakah menutup status ini dari teman tersebut adalah sikap etis dan berintegritas?)

Akhirnya, pemimpin liberatif punya peran seperti gambaran salib (cruciform).  Ia menjadi wakil Allah yang rahmani dan rahimi kepada kaum yang terpinggirkan (syukur-syukur umat pun mau menjadi tubuh Allah yang demikian di dalam dunia), tetapi juga menjadi wakil kaum yang tersisih ini di hadapan Allah dan di hadapan umat.

(*Istilah “konstruktif” dapat menimbulkan pertanyaan: apakah ada teologi, kepemimpinan dan pembebas yang tidak konstruktif?  Kata ini bisa diganti dengan “kreatif.”)

***

Kepemimpinan seperti yang diteladankan Yohanes XXIII adalah kepemimpinan yang mawas terhadap potensi perpecahan di dalam gereja dan yang mencari terobosan untuk menjangkau yang lain (gereja-gereja Protestan).  Pada homili di misa pembukaan persidangan, Yohanes XXIII dengan jujur dan tulus menyatakan maksud hatinya ini.  Dengan kata lain, semua yang hadir melihat transparansi sikap dari sri paus.

Beberapa hari sebelum konsili, Kardinal Ottaviani diwawancarai oleh sebuah televisi Italia dan menyatakan bahwa konsili Vatikan II akan mendatangkan kutuk bagi gereja.  Orang seperti Ottaviani tidak dipandang sebagai musuh, tetapi lebih seperti seperti “nabi kesuraman dan malapetaka” (prophet of gloom and doom) yang, karena kecintaannya yang mendalam kepada Gereja, selalu cemas dan khawatir akan kondisi gereja di tengah-tengah kebobrokan dunia.  Bagi orang-orang seperti Ottaviani, Gereja harus menjauhkan diri dari dunia yang seperti ini.

Sejak awal, Yohanes XXIII mengemukakan bahwa ia sudah tahu, ada sebagian pemimpin gereja yang bersikap demikian, namun Yohanes XXIII tidak menyingkirkan orang-orang yang berpandangan seperti ini.  Ia melibatkan mereka dan tetap memberi posisi yang sama pentingnya dengan yang lain dan untuk berbicara seperti yang lain.  Gereja menjadi gereja yang mendengar dan dialogis.  Era seperti ini, dari kacamata Kardinal Roncalli, adalah kesempatan bagi gereja untuk bergerak memperbarui diri dan bertumbuh serta melihat karya Roh Kudus dalam memimpin Gereja-Nya.

Paus Yohanes XXIII adalah model teolog, pemimpin, dan pembebas yang konstruktif.  Harapan saya, di konteks kita dalam mewacanakan dan mendebatkan isu LGBTQ yang di dalamnya kita menemukan perbedaan-perbedaan pandangan, kiranya kita dapat meneladani sikap Kardinal Roncalli, atau yang kini adalah Santo Paus Yohanes XXIII.

Seattle, 6 Juli 2015

No comments:

Post a Comment