Friday, June 19, 2009

Pergumulan Gereja tentang Ajaran yang Sehat (2)



Caranya?



Adalah benar bahwa tidak seorang pun dapat membuat penilaian atau penghakiman yang sempurna. Kecuali Tuhan Yesus sendiri! Bahkan para saleh dan leluhur iman kita pun bisa tidak sepakat dalam hal-hal tertentu. Mempelajari sejarah gereja, ketidaksepakatan memang ada. Yohanes Calvin menentang Kardinal Sadoleto. Martin Luther melawan Erasmus. George Whitefield melawan John Wesley. Ini baru wacana mengenai kedaulatan Tuhan dan kehendak bebas manusia di seputar zaman Reformasi!



Pertentangan para pemimpin gereja itu kerap menjadi senjata, sehingga banyak orang malas mempelajari teologi. Yang ini melawan yang itu. Yang di sana ditentang yang di sini. Jadi, mengapa harus memercayai mereka? Perbedaan di antara mereka terlampau ditonjol-tonjolkan.



Dalam pada itu, mari kita mencoba melihat sisi lain. Dalam sejarah gereja, ada upaya-upaya doktriner untuk mempersatukan keyakinan Gereja Tuhan. Di tengah kontroversi mengenai Perjamuan Tuhan antara Luther dan Zwingli, Yohanes Calvin menengahi. Martin Bucer menjadi pelopor reformasi yang memotivasi Strassburg menjadi kota yang sejuk dan damai bagi kaum Protestan, Katolik bahkan Anabaptis. Dari sini dapat disimpulkan, pemahaman yang benar akan doktrin justru mendorong upaya-upaya penyatuan tubuh Kristus.



Beberapa prinsip yang perlu kita pegang dalam memberikan penilaian mengenai ajaran adalah sebagai berikut.



Pertama, kerendahan hati, bukan kesombongan. Mentalitas Farisi yang dibedah habis oleh Yesus adalah kesombongan yang tidak peka dengan kesalahan sendiri. Coba perhatikan Matius 7.3-4, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu?”



Yesus nampaknya sedang mengajar dengan bercanda. Coba bayangkan, suatu kali Anda melihat di gereja seseorang yang di matanya menempel balok besar. Lalu orang itu berkata kepada kawannya, “Hai kawan, di matamu ada bubuk kayu. Mari kuambilkan!”



Mari kita renungkan hidup menggereja saat ini. Ada orang yang memiliki keprihatinan terhadap pembangunan tubuh Kristus. Gereja harus menjadi gereja yang tertata dan berjalan dengan benar: baik dalam pengajaran mimbar, dalam administrasi, maupun dalam kegiatan-kegiatan komisi. Itu baik.



Namun, upaya untuk itu ialah dengan menyodorkan sederet nama pengkhotbah ternama dan terlaris. Supaya jemaat dibangunkan dari “tidur rohani”! Kalau perlu, dicarikan sponsor khusus sebagai pendukung. Kalau dicermati, sesungguhnya orang ini sama sekali tidak berminat dalam kebenaran! Balok di matanya belum pula ia singkirkan, sementara ia sibuk dengan bubuk-bubuk kayu yang ada di mata orang lain.



Atau mungkin saja, seseorang tidak berani menilai ajaran, ya karena integritas hidupnya diragu-ragukan! Alias, ia tahu tentang banyak yang benar, tetapi sedikit bertindak yang benar.



Apabila seseorang hendak jujur di hadapan Tuhan, dan bila hasratnya semata-mata untuk menyenangkan hati Allah, maka ia tidak akan sembarangan menjatuhkan penghakiman ke pihak lain. Bukan karena lebih senior sehingga merasa banyak tahu dan tahu banyak. Bukan karena telah membaca lebih banyak buku. Tetapi semata-mata karena sadar diri akan posisinya di hadapan Allah dan Mesias Yesus; orang ini tidak akan menghakimi dengan motivasi dan cara yang salah. Maka, semakin kita rendah hati, semakin besar belas kasihan yang kita tunjukkan kepada orang lain.



Kedua, berdasarkan fakta-fakta, bukan omong kosong. Semakin cepat kita menghakimi, semakin sedikit pula data yang kita pakai untuk melandasi argumentasi kita. Ada orang yang tahu banyak informasi, tetapi berserakan dan tidak tersusun. Ia cenderung cepat untuk menghubung-hubungkan informasi yang ada di kepalanya, menurut hasrat, naluri dan intuisi untuk menentang lawan debatnya. Yang paling gampang dimainkan ialah kutip-kutip ayat-ayat Alkitab. Marilah kita mendengar nasihat firman Tuhan mengenai hal ini, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Ams. 18.13).



Seorang kawan saya, yang sangat kritis dan mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota besar di Jawa Timur, pernah bertukar pikiran dengan seorang sahabatnya, Markus (bukan nama asli), mengenai fenomena KKR kesembuhan ilahi. Karena terdesak, Markus berkata, “Kamu tidak boleh menghakimi. Bagaimana kita tahu bahwa itu bukan dari Tuhan?”



Kawan saya segera menjawab, “Lhoo sebentar, saya punya data, dan saya melakukan pengamatan. Dari data itu, saya berkesimpulan, fenomena yang sedang marak ini sebagai tidak benar. Anda tidak punya. Ketika saya ungkapkan data saya, Anda malah mengatakan saya menghakimi. Nah, bukankah Anda yang telah menghakimi saya dengan tanpa data?”



Ya benar, Anda mungkin bertanya, memangnya berapa banyak data sih yang kita punyai? Jelas tak seorang pun yang menguasai semua data. Isi kepala kita ada batasnya. Penilaian kita mengenai sesuatu bisa salah. Namun, untuk menghindarkan diri dari penyimpulan yang sembrono, maka kita harus terus melatih diri untuk mengolah data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap data yang kita punyai, dan memiliki saksi-saksi.



Patutlah diingat, orang-orang yang mencintai pengajaran dan para pengembara kebenaran terus belajar untuk mengendalikan penghakiman. Tentu saja, dakwaan boleh ke semua pengkhotbah, tiap kali mendengarkan firman, tiap kali membaca buku atau menonton film. Bila kita tahu kita tidak memiliki informasi yang cukup, berhati-hatilah! Fakta yang cukup, data yang kuat dan argumentasi yang logis itu perlu.



Ketiga, perihal kata-kata dan tindakan, bukan motivasi. Kata orang bijak, “Dalamnya laut dapat diterka, dalamnya hati siapa tahu?” Hanya Tuhan saja yang mengetahui isi hati. Bila Anda mengikuti kebaktian di suatu gereja dan mendengar sang pengkhotbah berkata, “Bawa kemari hartamu! Itu akan menjadi investasimu di surga. Tuhan akan melipatgandakannya!” Anda kemudian berpikir bahwa si pengkhotbah itu tamak harta. Bagaimana Anda tahu, bila Anda tidak mengenalnya?



Yang Anda dapat ketahui dari kesaksian Alkitab adalah bahwa pengkhotbah itu mengikuti jalan guru-guru palsu. “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (2Ptr. 2.3).



Jadi, kita seharusnya mengajukan kritik atas doktrin, metode dan gaya hidup seseorang, tetapi bukan isi hatinya. Ini bukan berarti kita berhenti menimbang-nimbang motivasi kita sendiri. Tanyakan selalu dalam diri kita, “Mengapa sih kita membuat penilaian terhadap ajaran orang lain? Apa yang mendorong kita mengritik guru-guru palsu, kebaktian yang seperti tontonan hiburan?”



Mari mengingat selalu perintah Yesus untuk pertama-tama menyisihkan balok di mata kita sendiri. Kemudian, motivasi kita seharusnya ditujukan untuk membimbing orang lain, dengan cara meneguhkan orang lain kepada jalan keselamatan yang sejati. Mari kita selalu terbuka kepada Allah yang menyelidiki hati kita yang paling dalam!



Keempat, isu-isu alkitabiah, dan bukan selera-selera pribadi. Bila Anda hendak mengritik, tanyakanlah: Kebenaran alkitabiah apa yang sedang disangkal? Kebenaran alkitabiah apa yang sedang digeser? Kebenaran apa yang sedang diabaikan? Kebenaran apa yang ditekankan secara tidak seimbang?



Memang, kita tidak mungkin dapat setuju dalam segala hal. Pemahaman yang terbatas itu dikendalikan oleh latar belakang dan pengalaman kita. Dalam menilai, hendaklah kita mampu merujuk pada ayat Alkitab atau prinsip kebenaran alkitabiah, sembari menyadari bahwa prinsip tersebut terbuka untuk dikoreksi. Perhatian dan motivasi kita adalah apa yang Allah nyatakan dalam Alkitab, bukan minat dan selera pribadi.



Tuhan Yesus menentang orang-orang yang menyelewengkan Kitab Suci. Rasul Paulus pun memperingatkan gereja untuk tidak digeser dari kebenaran Injil. Para penulis Surat-surat Umum dengan berkobar-kobar menyerukan agar gereja mengingat iman yang diajarkan oleh rasul-rasul Tuhan, dan menegaskan satu-satunya Kristus yang benar. Hal ini kiranya membuat ingat mengingat terus, pemahaman yang selama ini kita terima bisa saja salah. Namun kita dapat mengevaluasi demikian itu bila kita melakukan pertimbangan-pertimbangan dengan data yang baru.



Akhirulkalam



Sebaris kalimat dalam lagu Project Pop, “Apa yang dapat mempersatukan kita? Salah satunya dengan musik . . . Dangdut is the music of my country” menggelitik kita untuk berpikir. Apa yang mempersatukan orang Kristen? Paling tidak, substansi iman Kristen seperti tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli. Ada banyak hal yang berbeda pada masing-masing gereja. Namun gereja-gereja yang sejati adalah pewaris tradisi suci para rasul. Gereja-gereja Reformasi di seluruh dunia pun memiliki pengakuan-pengakuan masing-masing. Terdapat perbedaan di sana-sini. Tetapi, seperti yang diamati oleh Shirley C. Guthrie, teolog veteran dari Amerika Serikat, ada banyak persamaan yang mendasar, yang mencirikan gereja-gereja tersebut sebagai reformed.



Bagaimana gereja menghadapi pergumulan tentang ajaran sehat? Gereja harus berani mengambil posisi di atas dasar kebenara Tuhan sebagaimana diwahyukan di dalam Alkitab. Firman Tuhan adalah satu-satunya landasan. Gereja adalah pewaris kebenaran Allah. Apa yang bukan berasal dari firman Tuhan, gereja tidak perlu takut untuk memberi penilaian. Bila gereja berani mencoba-coba lalai untuk mempertahankan pokok-pokok dasar iman Kristen, maka kita pun akan kehilangan pengharapan akan kesatuan sejati dari tubuh Kristus!



TERPUJILAH ALLAH!



Pergumulan Gereja tentang Ajaran yang Sehat (1)



PERGUMULAN GEREJA TENTANG AJARAN YANG SEHAT





Perang Pasar di Gereja



Pergumulan gereja terberat tentang ajaran yang sehat sebenarnya bukan karena kemajemukan ajaran-ajaran. Memang, beragam pengajar dan pengkhotbah dengan gencar menawarkan produk terbaru mereka dengan memanfaatkan media-media terkini. Sementara itu, gereja-gereja tradisional masih menggantungkan penjangkauan massa dengan mimbar (khotbah) dan perkunjungan, dengan kegiatan dan pembinaan kategorial tetap berpusat di gedung gereja. Gereja tradisional, harus diakui, telah ketinggalan 5 sampai 10 langkah dalam marketing gereja.



Pergumulan yang lebih berat sesungguhnya dari dalam tubuh gereja sendiri. Gereja tidak berani bersikap! Mungkin lebih tepat, tidak boleh mengambil sikap. Para hamba Tuhan tidak berani lantang dalam mengambil posisi alih-alih mengurbankan “zona aman,” apalagi (maaf) bila tidak terus menggali potensi diri, sehingga akhirnya kehilangan daya kreativitas dan market share atau pangsa pasarnya.



Tentu saja, ini bukan selalu salah sang pelayan Allah, lebih-lebih bila tuntutan gereja begitu besarnya: satu hamba Tuhan harus dapat melakukan apa pun juga: khotbah, perkunjungan, pembinaan dan PA, kegiatan-kegiatan kategorial, bermain gitar, keyboard, dsb. Namun di pihak lain, ia dituntut untuk menjadi sama dengan para pengkhotbah yang tengah naik daun. Tetapi, bagaimana mungkin sang hamba Tuhan dapat mengembangkan dirinya dengan tuntutan yang sedemikian banyak, dan mungkin dengan dukungan daya dan dana pengembangan diri yang minimalis?



Larangan bagi hamba Tuhan untuk bersikap biasanya dilambari dengan ayat firman Tuhan, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7.1). Pendeknya, jangan sekali-kali berkata kepada orang lain, “Sesat!” Itulah kalimat yang paling tabu untuk diucapkan. Mengucapkan itu berarti menjatuhkan palu hakim. Reaksi orang yang mendengar dan yang tidak suka adalah, “Siapa kamu, kok berani-beraninya menghakimi!” Nampaknya, seseorang semakin dilarang untuk bersikap kritis. “Siapa sih yang sempurna?! Siapa sih kamu kok sombong merasa doktrinmu paling benar, dan doktrin yang diajarkan di gereja lain salah?” Di tengah peperangan pasar, ekspresi seperti ini menambah keruhnya pergumulan gereja tentang pengajaran sehat!



Mentalitas Farisi?



Memang benar, ada orang-orang yang sangat suka berdebat. Mereka hobi menghakimi. Mereka adalah kritikus andal yang terus mengasah mata panahnya, lalu membidikkannya kepada sasaran-sasaran yang kontra dengan mereka. Nah sayangnya, mereka ini biasanya orang-orang yang tidak hanya melontarkan kritikan kepada pihak lain dengan cara yang tidak benar, tetapi juga dengan dasar argumentasi yang tidak benar! Mereka melancarkan kritikan bukan oleh sebab mengerti pengajaran alkitabiah, tetapi cenderung berpijak kepada keyakinan-keyakinan pribadi yang selama ini mereka anut. Seperti Farisi pada zaman Yesus, yang menujukan mata mereka hanya kepada tata aturan hukum, dan mengabaikan keadilan dan welas asih.



Di sisi lain, ada orang-orang yang terlalu permisif. Toleransi mereka atas semua ajaran besar sekali. Semuanya dianggap benar. Semuanya dianggap baik. Kalau semua baik, maka semuanya benar. Yang penting, gereja AATM: adem ayem tentrem marem.



Kepada siapa Yesus melancarkan kalimat “Jangan menghakimi” itu? Kepada kedua pihak. Tetapi apakah kalimat tersebut berarti membuat kita tidak boleh menimbang-nimbang apa yang benar dan apa yang salah? Sama sekali tidak. Sebab, dalam konteks terdekatnya, Yesus berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” O, bagaimana mungkin kita dapat belajar mematuhi ayat ini bila tidak belajar mengenali siapa “anjing” dan “babi” (ay. 6) yang dimaksudkan Yesus?



Selanjutnya di ayat 15, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Wah, ucapan Tuhan ini keras sekali, bukan? Nabi-nabi palsu disebut sebagai serigala yang buas! Tetapi, bagaimana dapat mengenali nabi-nabi palsu? Tentulah dari apa yang membedakan mereka dari nabi-nabi yang benar, yaitu ajaran mereka.



Melangkah sedikit lagi, Yesus melanjutkan kalimat dengan lebih tegas lagi, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (ay. 21-23). Nah, gereja bisa salah dalam banyak hal, tetapi dalam hal yang satu ini, yaitu ajaran yang benar, gereja tidak boleh salah.



Hendaklah kita tidak menjadi seperti orang-orang Farisi, yang suka menghakimi tetapi buta terhadap kebenaran. Mereka memakai standar kesalehan pribadi. Tuhan Yesus melarang kita menjadi seperti mereka, tetapi tidak melarang kita untuk membuat penghakiman untuk hal-hal prinsip.



Tuesday, June 16, 2009

Dosa Ananias dan Safira (Kis. 5:1-11)



Dosa Ananias dan Safira: Pengkhianatan Atas Kemurnian Persekutuan

Kisah Para Rasul 5:1-11





Gereja Tuhan dicirikan oleh kesatuan hati dan jiwa. Kesatuan ini dibuktikan dengan gaya hidup koinonia. Mereka menganggap apa yang mereka miliki sebagai koinos, milik bersama. Hasilnya, tak ada seorang pun di antara anggota Gereja Perdana yang berkekurangan. Mereka hidup dengan adil. Ya, keadilan merupakan tema besar dari dua jilid Lukas-Kisah Para Rasul. Bacalah baik-baik, di Injil Kristus datang untuk menjangkau mereka yang tidak dianggap manusia. Ia hadir untuk yang sekeng dan terpinggirkan. Di dalam Kisah, orang-orang yang mengikuti Yesus mengejawantahkan dengan sejelas-jelasnya. Mereka rela hidup berbagi, demi terciptanya keadilan di dalam komunitas mereka.



Ketika mereka menjual ladang dan tanah, mereka meletakkan hasilnya di depan para rasul. Mengapa? Kita harus mengenal berita teologis di balik keterangan ini. Gereja adalah Israel baru, yaitu umat Allah yang dipimpin oleh Mesias Yesus. Menjelang penyaliban-Nya, Yesus berkata kepada para murid-Nya dalam percakapan di Ruang Atas ketika mengadakan Perjamuan Makan Terakhir, “Dan aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Luk. 22:29-30). Di balik kata-kata ini, Yesus sedang mempersiapkan mereka, yaitu pada saat Ia tak lagi hadir di antara mereka, merekalah yang selanjutnya akan memegang wewenang atas umat Allah yang baru, atas nama Kristus sendiri.



Dua teladan mengikuti penjelasan ini. Yang satu teladan positif dan yang lain negatif. Pertama, Barnabas. Ia menjual ladangnya dan membawa uang itu kepada para rasul. Ia mengambil peran bagi terwujudnya pola hidup adil di dalam Gereja Perdana dengan menyerahkan harta miliknya. Siapakah Barnabas yang muncul di bagian ini? Ia adalah seorang Lewi. Hal ini menjadi jalan pembuka bagi berita di 6:7 bahwa banyak imam—yang tentu berasal dari suku Lewi—menjadi percaya kepada Kristus. Barnabas berasal dari Siprus, dan di kemudian hari di Antiokhia ia menjadi seorang misionaris bersama Paulus, dan pertama-tama mereka mengadakan perjalanan misi ke Siprus (13:1-4).



Kedua, adalah Ananias dan Safira. Kisah ini begitu dramatis dan menggambarkan penghukuman Allah yang tak mengenal kompromi ke atas orang yang menyelewengkan dan menodai kemurnian pola kehidupan umat percaya. Apakah Ananias dan Safira sekadar ikut-ikutan karena melihat yang lain menjual tanah? Kita tidak dapat berspekulasi! Lalu, di mana kesalahan Ananias? Perhatikanlah, ia menjual tanah, dan hasilnya sebagian dipakai untuk kepentingan pribadi dan yang lain diserahkan kepada para rasul. Dengan percaya-diri mereka datang kepada Petrus seolah-olah bagian itu adalah totalitas hasil penjualan tanahnya. Catatan yang menarik dari kesaksian firman Tuhan, “dengan setahu istrinya.” Berarti mereka memang sudah bermufakat. Apalagi ketika istrinya ditanya mengenai harga penjualan tanah, Safira berkata, “Betul, sekian.”



Kisah Ananias dan Safira segera mengingatkan kita akan kejadian menjelang masuknya bangsa Israel ke Yerikho (Yos. 7). Upaya mereka terhambat oleh fakta ketidakmurnian di tengah-tengah mereka. Ada yang berkhianat terhadap kekudusan umat. Akhan pelakunya! Diam-diam ia menyembunyikan barang-barang rampasan dari Yerikho. Ia mencuri, ia menginginkan barang-barang itu untuk dirinya sendiri. Padahal seharusnya barang-barang itu dipersembahkan kepada Allah.



Akal bulus Akhan ini membuat Allah menjatuhkan murka kepada Israel dan menyatakan bahwa umat-Nya telah benar-benar berdosa dan harus kembali dimurnikan. Hanya ketika Akhan dibunuh dan barang-barangnya dibakar habis, barulah Israel dapat perjalannya menaklukkan Tanah Perjanjian dan mengenal kembali panggilannya sebagai bangsa yang harus kudus, sebab TUHAN Allah adalah kudus; umat yang harus sempurna, sebab TUHAN Allah adalah sempurna!



Demikian pula, Israel baru telah dinodai dengan penahanan sebagian hasil penjualan yang seharusnya diserahkan untuk menjadi kas bersama. Ananias dan Safira gagal untuk mengenali Gereja sebagai komunitas yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Dengan begitu, mecoba untuk menipu gereja berarti mendustai Roh Kudus. Iblis yang merasuki Yudas, yang membuat Yesus diserahkan ke tangan orang-orang jahat (Luk. 22:3-4; Yoh. 13:2, 7), kini merasuki Ananias, seorang beriman kepada Yesus, dan berdusta kepada Roh Kudus (5:3).



Ketidakmurnian itu serta-merta dikonfrontir oleh Petrus, dan fatallah akibatnya! Suami itu tewas seketika. Disusul dalam tempo yang tak berselang lama juga oleh sang istri: Tewas dalam sekejap!



Hendaklah kita waspada terhadap segala bentuk pengkhianatan atas kemurnian Gereja Tuhan. Apa implikasi bagi kehidupan kita di masa kini? Pertama, lihatlah Barnabas: Ia memulai pelayanan di muka publik dengan mempersembahkan harta miliknya. Akhirnya, ia dipanggil untuk mempersembahkan diri secara total kepada Kristus dengan menjadi utusan Injil. Dan pertama-tama, yang ia injili adalah kampung halamannya sendiri di Siprus.



Di manakah kita memulai pelayanan kita? Di mana kita ada. Kita mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan. Kita menyediakan diri untuk dibentuk Allah sebagai pelayan-pelayan Injilnya. Kita mau mulai mengerjakannya bukan di tempat yang jauh, tetapi mula-mula di kandang sendiri. Maka, mulailah pelayanan itu dari tempat di mana Allah menempatkan Saudara dan saya.



Kedua, jauhilah mentalitas Ananias dan Safira di perikop ini; serta jauhilah mentalitas Akhan. Yesus pernah berkata, jika engkau memberi dengan tangan kanan, biarlah hal itu tidak diketahui oleh tangan kirimu. Tak ada udang di balik batu. Tak ada maksud tersembunyi. Adanya maksud-maksud tersembunyi itulah yang menghancurkan pelayanan dan kehidupan bergereja. Gereja tidak akan menjadi kesaksian yang baik di tengah masyarakat. Jika kita mau memberi, berilah dengan hati yang murni dan tulus bagi pekerjaan Allah. Berikanlah tanpa ada pesan-pesan sponsor. Ingatlah bahwa gereja bukan beranggotakan para pemegang saham, sehingga pemilik modal besar mampu memonopoli gerak perusahaan. Jika tidak menguntungkannya, ia akan tarik kembali dananya.



Ketiga, Gereja milik Kristus adalah gereja yang menjunjung kemurnian. Bukan hanya di dalam ajaran, tetapi juga pranata, etos dan spiritualitasnya. Adanya noda di dalam satu saja anggota tubuh Kristus, akan menitikkan noda dalam bentangan sejarahnya. Noda yang tak disadari akan menghambat laju pertumbuhannya. Gereja menjadi mundur. Gereja menjadi stagnan. Gereja menjadi suam-suam. Gereja yang sejati adalah Gereja yang mengakui Roh Allah bertakhta dengan berdaulat, dan oleh karena itu hendaklah masing-masing pribadi yang menjadi anggotanya tunduk dan patuh sungguh dan tidak bermain-main dengan Gereja Tuhan.



Kemurnian pribadi sama pentingnya dengan kemurnian korporat. Tujuan hidup bergereja adalah agar tercipta tatanan keadilan di antara anggota tubuh Kristus. Maka, hendaklah segenap pelayanan dan persembahan kita ditujukan bagi terciptanya tatanan itu. Adil itu bukan seperti membagi-bagi sembako kepada orang-orang miskin. Adil itu bukan semua tidak ada kaya dan tidak ada yang miskin. Bukan berarti tidak boleh memiliki harta milik dalam jumlah besar. Yang dicatat di dalam teks ini ialah, supaya “tidak ada yang berkekurangan.” Di dalam persekutuan, hendaklah tidak ada yang masih meminta-minta.



Apalah gunanya kita punya banyak harta bila kita menutup mata bagi orang lain? Apa artinya kita mempunyai perusahaan bila ternyata masih memeras karyawan dan buruh kita dan melupakan hak-hak yang seharusnya mereka terima? Apa artinya adil bila di keluarga kita, ayah masih dianggap sebagai penguasa lalim dan yang lain adalah makhluk sekunder? Apa faedah menumpuk banyak harta jika kita hanya dikenal sebagai orang Kristen yang pelit dan tak peduli dengan kondisi orang-orang di sekitar kita, dan terutama saudara-saudara kita seiman? Apa maknanya, bila kita mempersembahkan banyak tiap Minggu, tetapi tidak mempunyai damai sejahtera di hati, menyimpan hasrat dan kemauan tersembunyi, memiliki agenda-agenda di balik layar, dan masih banyak lagi? Semuanya itu merupakan pengkhianatan terhadap kemurnian kehidupan jemaat Tuhan. Karena itu, berhati-hatilah atas dosa yang mengintip kita: dosa Ananias dan Safira!



Terpujilah Allah!