Saturday, August 29, 2015

Santun, Jangan Latah

Salah satu pengalaman berhargaku selama studi di Amerika Serikat adalah belajar berkomunikasi yang santun.  Aku melihat kembali ke tahun 2013, ketika aku masih baru beberapa bulan tinggal di negeri ini.  Sebagai orang asing, aku mencoba melihat dan meniru gaya-gaya berkomunikasi orang di Amerika Serikat.  Tapi ternyata, aku latah.  Aku sekadar ikut-ikutan.  Pikirku, karena banyak orang memakainya, kalau aku pakai, ya pasti tidak ada salahnya, dan bisa diterima juga.  Tapi anggapanku itu tidak tepat.  Aku akhirnya bersyukur ada yang mengingatkanku.

Ceritanya begini.  Pada pertengahan tahun 2013, aku mendapat pekerjaan di kampus yang baik.  Pekerjaan itu terbilang semi-profesional.  Gajinya terbilang tinggi.  Aku senang dengan pekerjaan ini bukan semata-mata gajinya, tetapi natur membangun komunitas di antara mahasiswa pascasarjana dan mahasiswa nontradisional (S1 yang usianya di atas 25 tahun).  Berjumpa dengan banyak orang, berkenalan dengan mahasiswa lintas disiplin, mengadakan banyak program untuk komunitas, dan mengajak mahasiswa pascasarjana untuk berpartisipasi dalam program universitas.  Dalam hal ini, tim kami gemilang dan dinilai berhasil oleh supervisor.  Beberapa kali kami memenangkan lomba antarkomunitas dan hasilnya, komunitas kami mendapatkan es-krim dari bos.

Namun tuntutan pekerjaannya pun tinggi. karena aku menjadi koordinator dan supervisor bagi sebuah staf yang terdiri dari 5 orang.  Kadang ada masalah di komunitas kami.  Ada mahasiswa yang menimbulkan keresahan.  Ada pula anggota yang punya masalah pribadi.  Atau ada perselisihan di antara staf.  Belum lagi tiap Senin ada pertemuan rutin antarkoordinator komunitas bersama dengan supervisor kami.  Harus mengadakan supervisi pribadi dengan staf, dan memimpin rapat sebulan sekali (tiap kali rapat kami mengagendakan poin-poin yang akan dibahas dan rapat selesai tepat waktu--karena rapat pun masuk hitungan jam kerja dan mendapat kompensasi).

Suatu kali, ketika rapat kedua.  Kertas agenda kubagikan.  Setelah acara pembukaan, lalu kami masuk pembahasan perpoin.  Dengan pede-nya aku menyapa stafku yang berjumlah 5 orang itu dengan sebutan guys.  Kupikir, tidak ada yang salah karena hampir semua orang juga memakai guys ketika menyapa orang lain, tanpa melihat perbedaan umur, gender, kedudukan, atau apa pun.  Tapi di sinilah kelatahanku.  Kupikir itu cara biasa dalam berkomunikasi.

Salah satu stafku tiba-tiba menukas, "Siapa yang sebenarnya kamu panggil dengan guys?  Kamu pikir kita semua yang di sini laki-laki?  Tolong, pakailah bahasa yang resmi kalau kita sedang rapat."  Yang mengucapkan ini adalah seorang suster dari Uganda dan staf yang paling lama bekerja di program/komunitas ini.  Barulah aku tersadar.  Aku lagi latah; ingin ikut-ikutan seperti orang di sini, tetapi tidak sensitif terhadap situasi bahwa kami tengah berapat, sehingga seharusnya aku membawa suasana yang tetap formal walau bukan kaku. Aku tersadar, di situ dua stafku usianya jauh lebih tua: satu laki-laki paruh baya, satu perempuan yang memiliki anak usia remaja, suster yang kira-kira sepantaran denganku, seorang veteran yang usianya sedikit lebih muda dariku, dan seorang lagi perempuan dari program S1 Kimia. 

Pengalaman yang berharga bagiku.  Seterusnya aku berusaha agar aku tetap peka dengan keragaman budaya dan latar belakang di antara kami.  Aku tersadar bahwa makin besar perbedaan yang ada di antara kami, maka selaku pemimpin aku harus memberi tempat yang sama bagi tiap-tiap orang dan harus berusaha keras untuk selalu peka akan kenaifan yang meminggirkan satu pribadi.  Hal ini membuat aku perlu menyadari bahwa apa yang sering kudengar baik itu logat maupun ungkapan-ungkapan di antara orang-orang berbahasa Inggris sekalipun belum tentu tepat bila dikenakan dalam suasana resmi.  Guys adalah salah satunya.

Walau di lain waktu aku sering mendengar orang berbahasa Inggris pun memakai guys dalam pertemuan-pertemuan seperti rapat, dari pengalaman di atas, ya tidak apa-apa.  Terserah mereka.  Aku merasa tidak perlu untuk ikut-ikutan seperti mereka.  Malah selanjutnya kupikir, aku sendiri jadi punya karakter. 
 
Jadi, santun dalam berbahasa itu lebih perlu, dan lebih baik.  Terima kasih buat suster AT, kolega terkasih yang karena dia, aku mau menerima pekerjaan ini dan menjadi koordinator di kolegium McGoldrick.

Seattle, 29 Agustus 2015

Tuesday, August 11, 2015

Sekolah Tinggi Teologi Denominasional di Era Google

Pertanyaan saya dalam tulisan ini: Apakah masih revelan mempertahankan corak STT denominasional di era internet, ketika dunia dikenal sebagai dunia tanpa batas dan ketika informasi hanya sejauh satu "klik"?  Saya merasa tidak lagi.  Dalam tulisan ini saya akan ketengahkan bahwa sekuat-kuatnya sebuah STT denominasional mempertahankan diri, dalam tempo yang tidak begitu lama akan kehilangan vitalitasnya--kehilangan pasar.

Sekilas Gambaran Seminari

Sekolah Tinggi Teologi (theological seminary) yang dimiliki oleh gereja-gereja Protestan merupakan  fenomena Amerika Utara.  Sementara itu, di Eropa tidak dikenal sistem seminari; pendidikan teologi adalah bagian dari sistem universitas.  Karena itu, fokus pendidikan teologi di Eropa kala itu berorientasi pada penelitian teks dan sejarah.  Pendidikan teologi ditujukan untuk mencetak ilmuwan teologi.

Sebetulnya, ketika negara Amerika didirikan, mula-mula pendidikan teologi pun integral dengan kolese (college) atau universitas, misalnya di Harvard dan Yale.  Akan tetapi kemudian, seminari, di Amerika, dimulai di akhir abad ke sembilan belas guna menjawab kebutuhan gereja-gereja untuk tersedianya pendeta-pendeta yang cakap dalam mengeksegesis Alkitab, mengajar gereja dan mempersiapkan pelayanan firman dengan baik, termasuk tersedianya pada pengabar injil (evangelis).  Dapat dikatakan, fenomena seminari bak jamur di musim penghujan juga dikarenakan ge(b)rakan revivalisme Amerika yang membuahkan banyak pertobatan yang menyebabkan tenaga pengajar Alkitab, pengkhotbah dan pendeta sangat kurang.

Singkatnya, seminari dibangun untuk mencukupi kebutuhan pengerja injil.  Seminari dididirikan oleh gereja-gereja, sejumlah pendeta yang juga sarjana diutus untuk menjadi tenaga pengajar, mahasiswa pun diutus untuk bersekolah di sana, dengan harapan (dan tuntutan) bahwa selepas studi, mereka akan kembali ke gereja atau denominasinya, atau menjadi tenaga pembuka gereja di tempat-tempat yang baru.

Di awal abad kedua puluh, dipicu oleh debat sengit liberalisme dan konservatisme di kalangan Kristen, seminari pun bertambah-tambah jumlahnya.  Sejumlah profesor yang merasa pengajaran di seminari tertentu sudah menjurus ke liberalisme memilih untuk memisahkan diri dan membangun seminari sendiri.  Hal ini berbanding lurus dengan berdirinya gereja-gereja baru yang memisahkan diri dari denominasi yang mereka anggap telah liberal.  Sehingga, pendirian seminari ini pun sama seperti di atas, yaitu ditujukan untuk mencukupi kebutuhan denominasi baru.

Di pertengahan abad kedua puluh, dengan tumbuhnya arus interdenominasi--ekumenikal dan injili--maka tumbuh pula seminari-seminari interdenominasi.  Seminari corak seperti ini biasanya didukung oleh beberapa denominasi.  Mereka bekerja sama, membangun seminari, mengutus dosen sebagai wakil dari denominasi mereka dengan harapan bahwa, selain para siswa Alkitab mendapatkan cakrawala pengetahuan teologi yang lebih luas, denominasi mereka mempunyai hak suara di dalam seminari yang mereka dirikan.

Sementara itu, ada pula seminari-seminari dari kalangan injili yang lebih independen didirikan oleh satu, sekelompok penginjil atau badan misi.  Sekolah-sekolah ini pun tidak membatasi mahasiswa pada denominasi tertentu, namun menekankan aspek pietisme kehidupan dan semangat penginjilan.

Baik seminari ekumenikal maupun injili berkembang pesat di tahun 1950-an.  Namun, ketika gerakan ekumenika sudah meraih banyak capaian, boleh diperkirakan di akhir tahun 1980-an, maka seminari ekumenikal pun mulai menurun.  Seminari injili masih sedikit lebih lama menikmati vitalitasnya.

Namun yang menarik, di masa maraknya semangat interdenominasional baik di sisi ekumenikal maupun evangelikal, seakan muncul kecemasan di dalam hati sejumlah teolog bahwa orang-orang Kristen sudah kehilangan tradisi, identitas, dan "kebenaran."  Mereka memilih untuk mendirikan seminari-seminari baru yang menekankan identitas teologi dan tradisi denominasional.

Dunia Tak Lagi Statis

Fenomena ini, kendati begitu, dilatari oleh sebuah dunia yang berpusatkan pada literatur cetak.  Selama lima ratus tahun, sejak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, cara orang memahami dunia dibentuk oleh buku.  Dengan buku, seseorang masih bisa selektif.  Ketika ia suka satu buku, ia akan memilih informasi yang ia maui.  Dunia sudah berubah total dalam dua dekade terakhir.

Era informasi internet datang.  Dunia hanya sebesar layar komputer, keyboard dan kabel.  Informasi sangat mudah diakses.  Pengetahuan sangat mudah untuk didapatkan, hanya dalam hitungan menit, bahkan detik.

Imbasnya pada teologi, tentu saja.  Berbagai ragam tradisi teologi sangat mudah diperoleh--sesekejap satu klik!  Sedapat-dapatnya ahli teologi mengatakan bahwa sebuah ajaran sesat dan tidak benar, sekarang pengajaran-pengajaran itu dapat dicek dan dikroscek langsung dari mesin pencari Google.  Pembaca dipersilakan menimbang-nimbang sendiri dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Lalu, apa itu identitas?  Sedapat-dapatnya sebuah seminari menekankan pentingnya identitas, namun tidak lagi sebuah STT atau seminari mengklaim bahwa tradisinyalah yang paling benar.  Alasannya, para mahasiswa dapat mengakses informasi dari luar dengan mudah, dan mempertimbangkan kembali apa yang ia sudah terima dan pelajari.

Belum lagi ditambah dengan perjumpaan-perjumpaan virtual di media sosial.  Pertemanan "maya" telah menggeser relasi Aku-Engkau secara langsung, namun juga menegaskan bahwa perjumpaan ini pun dapat meretas informasi teologis yang tidak didapatkan seseorang dari seminarinya.  Seseorang memang seperti dipaksa untuk masuk ke dalam kancah yang baru, di mana antarindividu semakin tidak dapat merasa ia superior dari yang lain.

Dibutuhkan keberanian yang baru untuk memasukinya.  Hanya orang-orang yang takut dan merasa tidak nyaman akan menarik diri, namun ketakutan dan ketidaknyamanan ini sebenarnya merupakan refleksi dari insekuritas (perasaan tidak aman) ketika ia masuk ke wilayah yang baru.  Orang-orang yang seperti ini pasti tetap ada.  Ketika ia tampil di dunia maya, mereka akan lebih memosisikan diri sebagai garda kebenaran, suara Yang Mahakuasa yang hendak memertobatkan orang lain untuk mengikuti cara pandang yang mereka yakini sebagai suara Allah.  Hanya jumlahnya semakin sedikit.

Seminari Denominasional: Bertahan Berapa Lama?

Saya tidak bisa menjawab dengan pasti.  Kalau analisis saya benar, seminari denominasional hanya bisa berkembang paling lama sepuluh tahun lagi.  Mengapa sepuluh tahun?  Pertama, angka ini pembulatan yang paling gampang.  Namun dalam sepuluh tahun ke depan, dunia informasi sudah akan berubah banyak.  Percepatan informasi sangat memengaruhi perubahan cara pandang.  Orang yang tidak suka membaca di era buku dapat mengakses informasi dalam sekali klik.  Apa yang diajarkan sepanjang tiga atau empat tahun di seminari dapat diperoleh hanya dalam hitungan detik.

Kedua, seminari denominasional tidak akan mampu menyaingi percepatan pendidikan a la universitas yang multidimensional dan multidisiplin.  Cepat atau lambat, seminari denominasional tidak akan lagi menjadi tempat yang mampu mempersiapkan pengerja gereja yang akan melayani jemaat-jemaat yang memiliki gelar dari universitas dengan teknologi informasi yang pasti melebihi kemampuan seminari untuk mengejarnya.  Ini pun akan sama imbasnya untuk seminari-seminari interdenominasi.  Hampir dapat dipastikan, sistem seminari akan segera ditinggalkan.

Ketiga, seminari denominasional akan semakin bergantung pada keuangan gereja pendukung yang kuat atau penyandang dana yang kuat.  Di sini terjadi relasi patron-klien: seminari sebagai klien harus memuaskan keinginan sponsor, sehingga tidak akan ada kebebasan bagi para mahasiswanya untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi teologis.  Yang jauh lebih sukar ialah seminari yang menyandang nama sebuah denominasi atau tradisi namun tidak memiliki gereja pendukung.  Pangsa pasar bagi para lulusannya akan semakin sempit.  Ketika para lulusan seminari itu dipandang tidak memuaskan di mata donatur, maka masa depan seminari ini berada di ujung tanduk.  Sponsor akan menarik dukungannya dari seminari tersebut.

Terlebih penting untuk direfleksikan, bagaimana para mahasiswa menyikapi hal ini.  Informasi hanya sejauh tablet atau iPad atau smartphone, dan pertemanan mereka meluas lewat media sosial, namun karena di bawah otoritas, mereka tidak mungkin menulis pemikiran yang berseberangan dengan pokok-pokok keyakinan seminari serta penyandang dana, entah gereja atau pribadi.  Atau lebih baik dikatakan, kendati mahasiswa boleh mengeksplorasi pengetahuan dalam riset dan telaahnya sejauh ia tidak meninggalkan "identitas denominasional" yang disandang oleh seminari (baca: pengakuan iman seminari).

Saya merasa, seminari denominasional akan semakin sulit bertahan.  Sampai berapa lama?  Walahualam.  Hanya rasanya, tak begitu lama lagi.

Seattle, 11 Agustus 2015