Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (6): MELKAM ADDIST AMIT 2002

Pepatah Jawa mengatakan, “Bathok bolu isi madu,” yang berarti dari perihal remeh tersimpan cairan kental yang manis dan berharga mahal. Tuhan Yesus tidak memandang sepele orang-orang yang nestapa, bahkan berkata, “Berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk. 6:20) Rasul Paulus pun menggemakan perkataan Tuhan Yesus, “dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (1Kor. 1:28-29).

Bagiku Ethiopia, tempat tugasku selama setahun sebagai utusan Mennonite World Conference (MWC) dan Mennonite Central Committee (MCC) dalam program Young Anabaptist-Mennonite Exchange Network (YAMEN!) juga seperti itu. Jauh-jauh hari, aku tidak pernah menyangka bahwa negeri yang tergolong paling miskin di dunia ini menyimpan sejuta kekayaan! Baik itu kekayaan alam, kultur maupun religius. Bila orang Kristen mempunyai uang lebih, biasanya tempat wisata luar negeri berbau Kekristenan adalah Israel dan daerah Sungai Yordan serta sejumlah tempat di Turki (dahulu Asia Kecil). Nyaris tidak pernah memilih Ethiopia sebagai salah satu pilihan! Sebab, gambaran yang telah terpatri sejak dahulu adalah: Ethiopia adalah negeri yang penuh kelaparan.

Memang bukan merupakan rahasia, Ethiopia adalah negeri yang penuh paradoks. Ada dataran yang sangat tinggi, dengan ketinggian lebih dari 4.000 m. di atas permukaan Laut, yaitu daerah Ras Dashen dengan ketinggian 4.620 m. Tetapi juga padanya terdapat dataran yang tergolong paling rendah sedunia, yaitu Danakil Depression dengan kerendahan -116 m. di bawah permukaan laut. Secara demografi, di Ethiopia dapat dijumpai orang-orang yang sangat kaya, tetapi juga sangat banyak orang-orang yang papa; kelaparan dan malnutrisi masih menjadi problem serius negeri ini. Negeri ini kaya dengan sejarah religiositas, tercermin dengan kata-kata yang sering terucap ketika orang berpapasan dan bertanya, “Apa kabar?” (“Dehna neh/nesh?”) tidak pernah tertinggal ungkapan, “Terpujilah Allah!” (“Ighzabher yimsken”) dalam bahasa Amharic, namun negeri ini juga menghadapi tantangan HIV/AIDS yang merajalela. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam, namun kapasitas untuk menggali dan mengelolanya tidak dimiliki oleh pemerintah Republik Federasi (yang menggantikan rezim komunisme pimpinan Mengistu Haile Mariam pada tahun 1991).

Kendati tergolong negara miskin, rakyat Ethiopia membanggakan bahwa negeri mereka adalah satu-satunya yang tidak pernah dijajah oleh satu bangsa Eropa manapun di benua Afrika. Sekalipun Fasisme Italia di bawah pimpinan Bennito Mussolini pernah mencoba menginvasi Ethiopia lewat jalur utara (Eritrea), dan berhasil menduduki Ethiopia, Eritrea dan Somaliland Itali pada tahun 1936, namun pada tahun 1941 Italia berhasil diusir dari Ethiopia. Di halaman bekas istana kaisar Haile Selassie I yang kemudian dibaktikan untuk menjadi gedung utama Museum Etnografi dan Institut Penelitian Ethiopia serta Universitas Addis Ababa, didirikan monumen undak-undakan yang menunjukkan kekuasaan Fasisme Italia sejak dimulai pada tahun 1922 hingga diusir dari Ethiopia pada 1941. Di puncak monumen itu duduk patung seekor singa bermahkota, lambang kaisar Haile Selassie I.

Gedung yang merupakan museum ini sendiri sangat menarik perhatian. Karena di dalamnya masih tersimpan sejumlah peninggalan kaisar Mennelik II dan permaisurinya, juga Haile Selassie I dan permaisuri Menen. Atmosfer dramatis masih dapat dirasakan ketika memasuki kamar pribadi Haile Selassie I, sebab di sana dapat disaksikan lubang bekas peluru di kaca rias dan tembok di ruang ganti pakaian sang kaisar, yang ditembakkan dari luar gedung dalam upaya pembunuhan sang kaisar. Karena terbatasnya ruang, tidak cukup bagi kita membicarakan sejarah pro dan kontra pada masa bertakhtanya kaisar Haile Selassie I.

****

Realitas bahwa Ethiopia tidak pernah dijajah oleh satu negara Eropa mana pun mungkin merupakan penyebab negeri ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki semua negara yang berdirinya diwarnai oleh Kekristenan. Ethiopia sendiri sangat diwarnai oleh Orthodoks Ethiopia. Kekristenan ini tergolong dalam Kekristenan Oriental yang dianggap monofisit (“natur tunggal”) oleh gereja penganut keputusan persidangan di Kalsedon (451 M.) tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Bagi Gereja-gereja Orthodoks Oriental, Kristus memiliki satu natur, yaitu ilahi; sangat sulit dan mustahil untuk memilah Kristus memiliki natur ilahi serta manusia. Gereja Orthodoks Yunani serta Gereja Katolik Roma menganggap sesat pandangan Gereja-gereja Oriental tersebut dan mengeluarkan golongan ini dari persekutuan yang “am.” (Uraian sejarah selanjutnya dapat dibaca dalam buku-buku dogmatika atau dapat ditanyakan kepada seorang rohaniwan yang gemar mencermati sejarah pemikiran Kristen.)

Keunikan yang paling menyolok adalah kalender. Ethiopia tidak menganut sistem 12 bulan (Januari-Desember) dalam penanggalan Eropa yang direvisi oleh Justinianus. Negeri ini masih mengikuti penanggalan Gregorius Agung, sehingga “ketinggalan” 8 tahun! Tahun 2007, Ethiopia baru memasuki Millenium III. Jadi pada tahun 2009, Ethiopia memasuki tahun 2002.

Penghitungan tahun baru pun tidak dimulai pada tanggal 1 Januari, tetapi 11 September. Dan, terdapat 13 (tiga belas) bulan! Itulah sebabnya, Kementrian Pariwisata dan Postel Ethiopia memromosikan negeri ini dengan “Tiga Belas Bulan Sinar Matahari.” Nama bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:

Maskaram (11 September – 10 Oktober)

Tekemt (11 Oktober – 9 November)

Hedar (10 November – 9 Desember)

Tahesas (10 Desember – 9 Januari)

Ter (10 Januari – 7 Februari)

Yekatit (8 Februari – 9 Maret)

Megabit (10 Maret – 8 April)

Miazia (9 April – 8 Mei)

Genbot (9 Mei – 7 Juni)

Sane (8 Juni – 7 Juli)

Hamle (8 Juli – 6 Agustus)

Nhase (7 Agustus – 5 September)

Poagme (5 September – 10 September)

Jadi, bulan ke-13 hanya terdiri dari 5 hari. Bila tahun kabisat menjadi 6 hari (konversi dengan penanggalan Eropa menjadi dimulai pada tanggal 12 September).

Tahun Baru Ethiopia dimulai pada waktu Ethiopia mengalami musim penghujan yang besar. Cuaca di Addis Ababa dengan ketinggian 2.400 m. menjadi sangat dingin, rata-rata suhu 15oC. Namun biasanya, setelah tahun baru, curah hujan menurun dan suhu menjadi lebih hangat. Anak-anak Abbisha (sebutan lain orang Ethiopia) mengenakan baju baru dan menari-nari di perkampungan tempat tinggal mereka, memberikan karangan bunga, kartu bergambar atau lukisan kepada seluruh anggota keluarga.

Suasana makin meriah karena hampir tiap rumah menyembelih kambing atau domba atau ayam. Tetapi kebiasaan yang “aneh” bagi seorang Indonesia sepertiku adalah, pada perayaan tahun baru, banyak orang di sini yang memakan daging-daging itu mentah! Aku bertanya kepada seorang yang cukup umur, di mana aku tinggal bersama keluarganya pada saat ini, katanya itu merupakan kebiasaan yang diturunkan sejak dahulu. Lagi, setiap laki-laki Abbisha harus belajar memakannya karena itu merupakan tanda kejantanan. Karena rasa ingin tahu, aku bertanya bagaimana rasanya. Ia menjawab dengan balik bertanya, bagaimana rasanya air putih? Tidak berasa. Daging mentah pun sama. Tidak ada rasanya, tetapi ketika dimakan dengan masakan lain (bentuknya seperti pasta berwarna kuning dan berasa pedas merica sebagai kekhasan masakan Ethiopia), terjadilah cita rasa baru yang nikmat! Tetapi, bukankah dalam daging sapi ada cacing pitanya (Taenia saginata)? Tanyaku. Ia menjawab dengan tertawa, “Justru itulah supaya terjadi keseimbangan dan keadilan, sehingga toko obat menjadi laku! Kalau tidak begitu, bagaimana mereka mendapatkan uang?”

Harap digarisbawahi! Jangan cepat-cepat menghakimi dengan kacamata budaya Indonesia. Ini memang bukan budaya makan kita. Namun demikian, bukankah di wilayah Asia sendiri, ada negara yang memakan ikan mentah hanya dengan cuka? Orang-orang Amerika Utara pun terheran-heran ketika aku bercerita bahwa di Indonesia (khususnya Jawa) semua jenis sayuran dimasak sebelum dikonsumsi, dan setiap kali makan pasti menu utamanya nasi. Isu budaya merupakan isu relatif, artinya berkaitan dengan konteks di mana kita tinggal dan bagaimana tata aturan yang berlaku dan yang diakui oleh masyarakat setempat. Karena itu, tidak bijak untuk menilai dan menyalahkan budaya lain dengan cara berpikir yang kita bawa dari tempat asal kita.

Kembali ke perayaan Tahun Baru Ethiopia. Perayaan ini serentak dengan Perayaan “hari lahir” St. Yohanes Pembaptis. Hari tersebut juga dinamakan Enkutatash. Artinya “hadiah perhiasan-perhiasan.” Kisah yang berkaitan dengan Perjanjian Lama ialah pada waktu Ratu Syeba kembali dari perjalanan panjang serta mahal untuk mengunjungi kaisar Salomo di Yerusalem, para punggawa kerajaan menyambutnya dengan memenuhi perbendaharaannya dengan enku atau perhiasan-perhiasan. Sejak saat itu, pada masa hujan tiba diadakanlah perayaan Enkutatash. Nyanyian serta tarian selalu terdengar di pedesaan-pedesaan. Rumah-rumah dihiasi rumput-rumput sebagai pengharapan “hijau”-nya tahun yang baru.

Perayaan tahun baru Ethiopia biasanya dipusatkan di gereja Kostete Yohannes di kota Gaynt di provinsi Gondar, yang dibangun pada abad ke-14. Tiga hari doa, mazmur dan nyanyian, khotbah dan prosesi akbar nan warna-warni menandai perayaan Tahun Baru. Di utara Addis Ababa, Gereja St. Raguel, di puncak Gunung Entoto, juga menggelar yang paling meriah dan spektakuler di seluruh Ethiopia.

****

Memang, tidak semua orang Ethiopia Kristen. Jumlah orang Muslim pun besar di negeri ini. Maka, tahun baru bukan semata-mata perayaan religius. Kendati begitu, semua penduduk Ethiopia merayakannya. Nyanyian dan tarian gadis kecil di antara bunga-bunga yang mekar merupakan pelambang masa bersemi dan kehidupan yang baru. Enkutatash juga dirayakan dengan saling bertukar kartu ucapan selamat tahun baru.

Minggu 6 September 2009, merupakan pengalamanku mengikuti kebaktian di gereja Abbisha yang berbahasa Amharic (bahasa nasional Ethiopia). Setelah kebaktian selesai, aku disodori oleh seorang anggota sekolah minggu anak-anak sebuah kartu ucapan bertuliskan huruf-huruf Amharic. Aku terima saja. Tetapi dia memandangiku dan berkata, “And Birr” (“Satu Birr”). Oh, baru aku sadar bahwa kartu itu dijual seharga 1 Birr Ethiopia (mata uang resmi), atau senilai Rp. 800,00.

Gereja tempat aku beribadah (dan melayani) memang menganjurkan semua anggotanya untuk membeli kartu dan mengajak orang-orang yang belum mengenal Kristus dengan kartu ucapan selamat tahun baru itu. Gereja ini merupakan gereja Mennonit dengan perkembangan paling cepat di seluruh dunia. Sekarang, anggotanya berjumlah 337.200 orang dengan 510 tempat ibadah di seluruh Ethiopia. Gereja ini bernama Meserete Kristos Church (MKC).

Demikianlah sejumput pengalamanku di tanah Abbisha. Di tahun baru Ethiopia ini, aku harus belajar mengucapkan, “Melkam addis amit! Selamat Tahun Baru!



Igzhabher yimsken!

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (5): JATI DIRI

Pada waktu orientasi peserta IVEP/SALT/YAMEN! di Akron, salah satu pertanyaan yang diajukan oleh staf orientator adalah, “Siapakah aku?” Pertanyaan ini sangat penting untuk direnungkan. Pengalaman hidup lintas budaya, akan membuat para peserta pertukaran pemuda tidak sama seperti yang sudah-sudah. Jati diri akan terus dibentuk dan diasah. Segala yang ada pada diri seseorang pasti berubah dalam konteks yang berbeda.

Jati diri yang berubah kadang menjadi ketakutan banyak individu Kristen dan gereja. Terkadang, memposisikan diri terhadap pandangan tertentu telah merupakan jati diri. Gereja juga berpuas bila dirinya mengikut pandangan teologi tertentu dan menutup diri terhadap cara pandang lain. Namun tak jarang individu atau gereja yang memegang kokoh “jati diri” yang demikian ditemukan mendua wajah. Kencang dalam pengajaran, tetapi dalam praktik ekklesial ternyata masih patriakhal atau feudalis. Ngotot dalam pandangan teologi tetapi mengultusindividukan seseorang. Mengaku berdiri di atas landasan kebenaran yang ineran tetapi dalam penyembahan dan ibadah pragmatis.

Jati diri dimulai dari keberasalan kita. Dari mana kita berasal, dalam konteks apa kita bertumbuh, siapa saja orang yang mengitari kita, bagaimana nilai masyarakat, peristiwa apa saja yang menimpa kita, yang membawa dampak emosi dan psikis, pendidikan kita, komunitas iman tempat kita bertumbuh, siapa orang yang paling berpengaruh terhadap kita. Namun bila semua itu kita jadikan mutlak, dan kita merasa bahwa itulah kebenaran yang sejati tentang kita, tanpa sadar kita akan masuk ke dalam “zona nyaman” kita. Secara sederhana, kita bisa hidup tetap tenang dan aman dengan apa yang menempel pada kita.

Kendati demikian, bila zona nyaman itu terkoyak, kita menjadi tidak siap. Kita telah menjadi orang yang mapan, dan orang yang mapan tidak siap menghadapi goncangan atas dirinya. Seseorang yang mapan tidak akan siap bila dilucuti semua yang menempel pada dirinya. Contohnya, bila seorang lulusan seminari dikenal sebagai seorang pembicara yang laris. Atau pemikir yang brilian. Atau sebagai gembala yang dicintai domba-dombanya. Siapkah ia untuk meninggalkan semua itu dan menjadi nol, tidak terkenal, bukan siapa-siapa?

Atau seseorang yang telah memiliki pekerjaan tetap, dengan gaji yang banyak. Ia dikenal sebagai orang yang baik di kalangan rekan sejawatnya. Relakah ia meninggalkan panggilan hidupnya untuk sesuatu yang “tidak nyaman” dan penuh risiko demi panggilan yang lebih tinggi? (saat ini, aku sedang membaca sebuah buku berjudul Hospital by the River karya Dr. Catherine Hamlin yang meninggalkan Australia dan pergi ke Ethiopia bersama suaminya; aku akan menceritakannya kelak!)

Kemapanan juga melahirkan eksklusivisme. Tidak ada ruang terhadap perbedaan. Perbedaan dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Perjumpaan dengan pihak yang berbeda hanya sebatas basa-basi, bukan saling pengertian dan keinginan untuk belajar. Aku mau bersekutu bila kau sama denganku. Karena kau tidak sama denganku, kita tidak bisa bekerja sama. Hal ini terjadi di gereja, bukan? Kecenderungan yang terjadi adalah, gereja kita posisinya A, denominasi A, dan semua pendeta di sini menganut A. Gereja lain berbeda.

****

Memilih Ethiopia sebagai tempat aku belajar menimba pengalaman lintas budaya tanpa liku-liku pertimbangan yang panjang. Banyak orang terkejut. Mereka yang berjumpa denganku bertanya, mengapa Ethiopia? Citra yang menempel di benak banyak orang tentang Ethiopia adalah negeri orang hitam, miskin dan penuh kelaparan. Secara tidak langsung orang bertanya, tak adakah tempat yang lebih baik?

Ethiopia aku pilih, bukan tanpa alasan. Aku tidak berminat ke Amerika Serikat atau Canada atau Eropa untuk jangka waktu setahun. Kubayangkan, hidup di sana lebih enak: lingkungan yang rapi dan bersih, taraf hidup penduduknya relatif sama (meski di kota-kota besar kemiskinan pun kian menganga!), memperoleh barang yang diinginkan juga lumayan mudah. Siapa orang yang tidak ingin mencicipi hidup di daratan Amerika Utara? Tetapi bagiku, apa yang dapat aku lakukan di tempat yang dapat menyediakan apa yang kuinginkan, bahkan lebih?

Tetapi terlalu banyak orang Indonesia tinggal di Amerika Utara. Untuk mendapatkan rekomendasi, mudah dari orang-orang yang sedang ataupun pernah tinggal di sana. Tetapi Ethiopia? Sumber yang dapat kuakses adalah internet. Dan, orang yang lebih dahulu membaca perihal di internet, atau mereka yang pernah mengecap makanan Ethiopia. Aku benar-benar tidak banyak tahu mengenai negeri ini.

Aku membayangkan siapa aku di Ethiopia! Aku bukan siapa-siapa. Aku menjadi orang yang tak dikenal. Di negeri ini hanya sedikit orang yang tahu bahasa Inggris, dan aku sama sekali tak tahu bahasa pengantar mereka. Kalaupun aku mendapatkan waktu belajar bahasa 6 minggu, mungkinkah dalam waktu sesingkat itu aku dapat berkomunikasi dengan lancar di jalan, di gereja, di rumah keluarga yang menampungku?

Dari dalamku, terdapat dorongan besar tentang rasa ingin tahu tentang negeri ini, tentang sejarah, tentang masyarakat dan etnografi mereka. Tetapi cukupkah itu? Tetapi berapa pun alasan yang dapat kujajar, aku belum dapat menjawab siapa aku sekarang ini. Waktuku baru sebulan berada di Addis Ababa, Kota Bunga Baru itu!

****

Meski begitu, aku ingin bercerita tentang sekelumit pengalamanku sebagai seorang yang menjadi bukan siapa-siapa, di negeri orang lain. Orang Ethiopia tidak dapat membedakan orang Asia. Mereka masih bingung dengan orang India dan China. Mereka jarang dan nyaris tidak pernah melihat orang Indonesia.

Dua minggu silam, ketika aku masih tinggal di kontainer di lokasi MCC, waktu itu aku hendak berangkat ke sekolah bahasa Amharic. Kulihat dua orang anak kecil berjalan, dan tanpa sepengetahuanku mereka sedang membicarakan aku dalam bahasa yang tidak aku kenal. Mereka lewat. Tiba-tiba, salah satu di antara mereka berbalik dan bertanya kepadaku dalam bahasa Inggris, “Aku ingin tahu, apakah kamu orang India atau Indonesia. Aku bilang ke temanku kalau kamu orang Indonesia.” Aku membenarkan dia bahwa aku orang Indonesia dan kuucapkan terima kasih karena telah menanyakannya kepadaku.

Tadi pagi (Senin, 7 September 2009), aku berangkat bersama ke sekolah bahasa diantar oleh Mekonnen dengan mobilnya, di dekat daerah Bole seorang pengemis mendekati mobil Mekonnen, dan meminta sedekah. Ternyata ia secara khusus meminta kepadaku. Aku dipesan untuk tidak memberikan uang kepada pengemis bila ia masih terlihat sehat dan mampu bekerja. Tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi agak marah. Ia berkata dengan penuh ketidaksenangan dalam bahasa Amharic, “Hai orang Chinese, beri uang, donk, kapan perusahaanmu itu akan dibuka?” Selidik punya selidik, ternyata ada benih sentimen dari orang-orang Abbysa (Ethiopia) terhadap orang-orang China, karena banyak proyek China khususnya menggarap jalan-jalan di Ethiopia. Sejumlah orang Abbysa tidak menyukai hal ini. Jadi, siapa aku? Orang India? Orang China? Aku menjadi orang yang tidak dikenal.

Ngomong-omong tentang orang Ethiopia sendiri, banyak di antara mereka yang ternyata eksklusif. Mereka membanggakan ras, dan merasa beda dengan orang-orang lain di daratan Afrika. Sehingga, ketika orang Abbysa menyebut “Afrika,” dalam pikiran mereka ialah orang-orang yang hitam legam, tinggi besar dan bermuka agak tebal. Mereka tidak merasa bahwa Abbysinia (nama Ethiopia tempo silam) pun merupakan bagian dari Afrika.

Menerungkan jati diri, aku masih memendam setitik ketakutan. Ketakutan untuk menjadi nyaman dan mapan. Aku berpikir, dengan menjadi seperti itu, aku akan kehilangan visi hidup dan panggilan utama. Aku akan menjadi orang yang manis supaya orang suka kepadaku dan mencukupkan semua keperluanku. Bahkan terhadap diriku juga. Bilamana aku merasa semua yang kupegang dan kuketahui telah membuatku berpuas, dan aku tidak berani menantang diriku sendiri serta pemikiran-pemikiranku. Siapa yang kulayani, dan untuk apa aku hidup? Aku bertanya, bilamanakah aku akan berhenti menanyakannya?



Igzabher yimsken!



Addis Ababa, 7 September 2009

Mekonnen’s House @ CMC (10.26 p.m.)

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (4): BAHASA AMHARIC

“Berapa bahasa yang kau kuasai?” Jika ada orang menanyakan itu kepadaku, aku menjawab, “Lima!” Biasanya orang terkejut, “Wow! Apa saja?” Jawabku, “Selain bahasa Inggris, aku menguasai bahasa Indonesia, bahasa Jawa Ngoko, Madya dan Krama.”

Tiap-tiap orang memiliki karunia yang belain-lainan. Termasuk dalam kemampuan dan daya ingat. Ada yang diberi kemampuan matematik dan cepat mengingat angka. Ada yang diberi kemampuan mengimajinasikan ruang sehingga menjadi perancang interior yang andal. Tetapi ada pula orang yang diberi karunia mempelajari bahasa dengan cepat. Pendengaran, pengucapan dan daya ingatnya begitu tajam untuk mengingat kosakata bahasa yang baru.

Entah aku diberi kemampuan yang terakhir atau tidak, yang pasti aku senang belajar bahasa. Bagiku rasa senang itu merupakan modal utama. Banyak orang takut dengan bila berhadapan dengan pelajaran bahasa baru. Mengapa takut? Takut salah. Sebagai orang yang agak perfeksionistik, terkadang aku menuntut diriku untuk mengerti dengan pasti struktur gramatika, konjugasi dan ketepatan fonetik suatu kata. Aku tidak ingin salah. Namun akhirnya aku sadari, cara seperti ini tidak selalu sukses. Aku bisa menguasai struktur, tetapi aku tidak dapat berkomunikasi. Tidak selalu ketepatan dalam berbahasa itu diperlukan. Kerap komunikasi itu butuh cepat.

Rasa senangku akan bahasa juga dipicu oleh kegemaranku mengenal budaya. Aku senang sejarah. Aku senang etnografi. Dan, aku senang bahasa. Ketiganya mencerminkan pola pikir dan cakrawala pandang orang-orang setempat. Dengan sejarah, etnografi dan bahasa, aku yakin bahwa seseorang dapat lebih menghormati budaya baru di tempat aku berada. Ia tidak akan mudah menjadi penilai bahkan hakim, menakar sesuatu yang bukan budayanya sendiri, tetapi dengan santun dan arif menjadi pebelajar yang menghormati nilai budaya baru, yang mungkin berbenturan dengan nilai dan tata kehidupan tempat asalnya.

Bahasa mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Itulah sebabnya, ketika aku ingin mengenal suatu bangsa, aku ingin belajar alat komunikasinya, yaitu bahasa. Alasanku sederhana. Siapa menguasai komunikasi, ia memiliki teman yang banyak dari kebudayaan setempat. Filosofiku bilamana belajar bahasa baru simpel-simpel saja: Nekad! Itulah yang dibutuhkan untuk sukses mempelajari bahasa. Nekad belajar. Nekad membaca. Nekad berlatih. Nekad berbicara.

****

Aku ingin berbagi sekarang mengenai bahasa Amharic. Bahasa ini merupakan bahasa nasional Ethiopia. Selain Amharic, sebenarnya ada banyak bahasa yang lain di daratan Ethiopia, karena negeri ini pun memiliki beragam suku dan etnisitas. Rumpun bangsa mayoritas di Ethiopia sebenarnya adalah Oromo. Mereka pun memiliki bahasa Oromifa. Tetapi akhirnya, bahasa Amhariclah yang dijadikan bahasa nasional. Gambaran sederhananya seperti rumpun suku Jawa sebagai suku terbanyak di Indonesia, namun bukan bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, tetapi bahasa Melayu Riau. Mayoritas tidak selalu menjadi penguasa dan pemonopoli. Mayoritas tidak selalu menjadi yang utama dan mendapatkan fasilitas yang lebih baik daripada yang lain.

Berbeda dengan Oromifa, bahasa Amharic memiliki alfabet. Oromifa tidak. Alfabet Amharic sama dengan bahasa kuno Ge’ez, yang disebut juga bahasa Ethiopic. Namun, bahasa Ge’ez ini makin tidak populer. Bahasa ini hanya dipakai dalam liturgi ibadah Gereja Orthodoks Ethiopia. Bahasa ini masih dianggap sakral bagi kehidupan liturgi Gereja Orthodoks Ethiopia.

Meski alfabetnya persis sama, namun kosakatanya berbeda sama sekali. Kendati demikian, bila kita memahami rumpun bahasa yang lebih besar, kita akan tahu bahwa bahasa Ge’ez maupun Amharic, masih berada dalam satu rumpun bahasa Semit (di samping Ibrani dan Arab). Struktur penulisan verba (kata kerja) juga mirip, terdiri dari tiga konsonan bila ditulis dalam alfabetnya. Beda yang mencolok adalah dalam hal jumlah. Bila Ibrani memiliki 23 huruf saja, Amharic memiliki tak kurang dari 230 huruf.

Semakin mempelajari bahasa asing, semakin seseorang menyadari bahwa bahasa paling mudah di seluruh dunia adalah bahasa Indonesia. Bahasa ini tidak memiliki tenses. Hafalkan kosakata sebanyak mungkin dan struktur S + P + O + K, ditambah prefiks dan sufiks untuk verbanya, tidak ada perubahan yang berarti dalam struktur gramatika. Logikanya juga sederhana.

Bahasa Inggris lumayan rumit, tetapi tidak banyak perubahan. Bahasa Jerman, Prancis dan Latin memiliki akar yang sama. Bahasa Spanyol tidak terlalu njelimet dibanding bahasa-bahasa di atas. Bahasa Yunani dan Ibrani lebih mudah dan tertata.

Bagiku, bahasa Amharic adalah salah satu bahasa yang sangat sukar di dunia. Perubahan dan konjugasi kata kerjanya sedemikian banyak. Perbedaan aku, engkau, kita, kalian, dia laki-laki, dia perempuan, mereka, orang yang dihormati, ditambah prefiks dan sufiks serta perubahan verba yang rumit sekali. Terlampau banyak logika untuk berbahasa Amharic, dan ini merupakan kesukaran bagi orang Indonesia yang memiliki gramatika termudah di dunia.

Menghafalkan kosakata tidaklah cukup! Apalagi, dalam bahasa ini ada bunyi-bunyi asing seperti “-ck-”, perbedaan fonetik “k” yang beragam. Sepintas lalu, bila kau dengar orang berbicara dalam bahasa Amharic, lantunan suaranya serta gerak tangannya seperti orang Ibrani dan Arab. Tetapi kata-kata yang keluar banyak bedanya.

****

Sekali lagi, untuk sukses belajar bahasa, butuh kenekadan! Mengikuti kelas bahasa Amharic yang diadakan oleh Joint Language School, atas prakarsa dari sinode Mekannisa Yesus Church dan Lutheran Wolrd Federation, memberikanku pengalaman yang sangat menarik. Sekolah ini mengembangkan cara didaktik yang berbeda. Semula mereka menerapkan cara pengajaran dari gramatika, konjugasi dll., mirip ketika aku belajar bahasa Yunani dan Ibrani di seminari dulu. Setelah dievaluasi, ternyata banyak peserta didiknya yang menguasai gramatika, namun tidak dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Akhirnya mereka mengembangkan pola pendidikan yang lain. Mereka sebut sebagai Growing Participant Approach. Teknik ini dikembangkan oleh seorang pendidik dari Canada bersama istrinya. Sang suami mengembangkan teknik, sedangkan istrinya mengembangkan sarana pembelajaran seperti gambar-gambar penunjang. Peserta didik mendapatkan sebutan “partisipan yang bertumbuh,” sedangkan para pengajarnya yang adalah orang-orang asli Ethiopia yang telah berpengalaman sebagai guru bahasa Amharic disebut “pemupuk” (nurturer).

Cara ini benar-benar baru bagiku! Kelas kami kecil, terdiri dari 5 orang saja. Setiap peserta didik tidak diperkenan membawa buku tulis selama 2 minggu. Mereka tidak boleh menulis apa pun di dalam kelas, dan pengajar pun tidak menulis satu tulisan pun di papan tulis. Pengajar menyediakan alat peraga dan pelbagai sarana juga gambar penunjang pembelajaran. Yang boleh dibawa peserta didik adalah alat rekam. Peserta didik merekam hal-hal yang memang diperintahkan oleh pengajar untuk direkam. Di rumah, rekaman itu didengarkan kembali 3-4 kali agar lebih mudah mengingat pelajaran hari ini.

Setelah 2 Minggu berjalan, barulah kami belajar untuk berbicara. Namun, kami tidak pernah diajar gramatika! Kami dituntut untuk menemukan sendiri gramatikanya, sembari pengajar berbicara. Sang pengajar, sekalipun mampu berbahasa Inggris, berusaha untuk tidak berbicara dalam bahasa Inggris. Kecuali kami bertanya kepadanya masalah-masalah kultural dan/atau seputar gramatika yang kami jumpai pada waktu kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Modal terpenting untuk mempelajari bahasa ini bagiku pribadi sekali lagi adalah: nekad!

Aku ingin berbagi mengenai kelas Amharicku. Aku sekelas dengan 2 orang berkebangsaan Amerika Serikat: Joe dan Lydette. Joe adalah seorang konsultan social work. Ia bekerja untuk The Forsaken Children, LSM Amerika Serikat yang memperhatikan anak-anak jalanan. Sedangkan nama Lydette adalah nama Ethiopia. Benar, ayahnya seorang Ethiopia, lalu bermigrasi ke Amerika Serikat dan menikah dengan orang Amerika. Lydette pergi ke Ethiopia bersama aku dalam program pertukaran Serving and Learning Together (SALT) yang disponsori juga oleh MCC.

Dua orang lagi berasal dari benua Eropa. Yang satu seorang perempuan paruh baya dari Swiss yang selalu tampak menyungging senyuman di wajahnya, bernama Ester Kunz. Ia datang setahun yang lalu, bersama suaminya Peter yang juga belajar bahasa Amharic di kelas lain. Satunya lagi bernama Larsh, seorang dari Norwegia yang membantu sebuah rumah sakit internasional di Addis Ababa, selain ia sendiri seorang pebisnis dan direktur penata untuk sebuah perusahaan finansial Norwegia.

Larsh adalah orang yang sering merasa frustrasi di kelas. Karena, ia merasa pola pembelajaran ini sangat asing baginya. Ia belum bisa meraba-raba, target akhir dari metode ini. Sudah 7 bulan ia di Ethiopia. Sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, ia menuntut standar yang sangat tinggi; ia harus melihat dan mengobservasi dengan sungguh bagaimana bunyi suatu kata berdasarkan tulisannya. Namun hal ini sukar oleh karena Amharic memiliki alfabet sendiri yang penulisan antarhuruf dapat berbeda meskipun bunyinya agak-agak mirip.

Sedangkan Lydette lebih banyak tahu kata Amharic karena ia telah cukup sering mendengar dari ayahnya bila berbicara dengan kawannya dari Ethiopia. Ester dan Joe adalah dua orang yang cepat hafal. Sangat mungkin karena mereka sudah cukup lama berada di Addis Ababa. Ester sudah satu tahun, sedangkan Joe sudah 8 bulan.

Namun pengajar di kelas kami sungguh luar biasa. Namanya Ebisse. Ia sesosok ibu yang sabar. Tutur katanya halus. Wajahnya tidak terlalu menunjukkan bahwa dirinya adalah orang Afrika. Orang bisa salah kira. Bahkan lebih mirip orang Jawa. Terhadap kawan yang ketinggalan, ia mau menuntunnya sampai sama dengan yang lain.

Aku sangat menikmati belajar bahasa Amharic. Aku belum bisa berbahasa baru ini dengan lancar. Gen ahun enei Amarigna yetamarukh no (“Tetapi aku sedang belajar bahasa Amharic”). Ada peribahasa Amharic yang aku sangat suka dan menggembirakan hatiku untuk belajar Amharic: Khas bekhas enkhulal ba’egru yihdal. Artinya, sedikit demi sedikit telur itu lambat laun akan berjalan.



Igzhabehr Yimsken!

Addis Ababa, 6 September 2009