Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (3): KISAH SECANGKIR KOPI (LANJUTAN)

Minuman kopi bisa didapatkan dengan harga yang relatif murah. Kedai di pinggir jalan, sampai cafe waralaba beken biasanya menyediakan minuman berwarna hitam ini. Penyajiannya pun bermacam-macam. Dari mulai kopi murni, dicampur susu, coklat, ditambah es krim rasa vanila, dan beragam lainnya.

Kudus, kota tempat aku dilahirkan dan masih menjadi tempat tinggalku, terkenal dengan Kopi Jetak. Kopi hitam, yang bila dirasakan terdapat aroma abu bakar. Kopi yang ampasnya biasanya dioleskan pada sekujur batang rokok. Katanya, itu menambah cita rasa rokok yang diisap. Hmm, seperti candu. Masalah suka atau tidak, itu selera masing-masing pribadi.

Di Indonesia, mulai banyak kedai kopi yang asalnya dari luar negeri. Di antaranya, kebanyakan kita mengenal brand seperti Starbucks, Excellso, dan J.Co. Ada pula brand dalam negeri seperti Kopi Luwak. Rasanya memang enak, dan disajikan dengan elegan. Berapa harganya? Dalam kisaran Rp. 20.000,00 sampai Rp. 50.000,00. Ok, tidak terlampau mahal bagi yang mempunyai kocek cukup dan rela mengeluarkannya. Paling asyik minum kopi di tempat ini dengan rekan. Sebab kita keluarkan uang bukan hanya untuk kopi itu saja, tetapi juga suasana yang nyaman untuk mengobrol. Bisa jadi, bersama dengan 1 orang rekan saja, kau akan rogoh uangmu hampir Rp. 100.000,00.

Bagaimana di Ethiopia? Di sini tidak ada J.Co, tidak ada Starbucks ataupun Excellso. Mengapa demikian? Jawaban paling mungkin adalah bahwa Ethiopia adalah gudangnya kopi, bahkan kopi enak. Di sini, hanya dengan mengeluarkan uang 3 ETB (Ethiopian Birr), kau sudah mendapatkan kopi Ethiopia yang enak itu! Di mana pun warung yang buka, kopi merupakan menu yang pasti ada. Di tulisan yang lalu, aku ceritakan bagaimana kisah minuman kopi itu berawal. Sekarang aku ingin berbagi cerita mengenai kopi dari sisi yang lain.

****

Di seluruh dunia, perdagangan kopi melonjak kira-kira 170%. Dalam kisaran beberapa tahun, hasil perdagangan dari USD 30 juta meningkat menjadi USD 80 juta per tahun. Tanyakanlah kepada orang-orang di Italia, mereka tidak akan pernah melewatkan barang sehari pun tanpa menghirup secangkir kopi panas di pagi hari. Warung kopi di Eropa tidak pernah sepi.

Pameran kopi internasional secara rutin diadakan di berbagai kota di Amerika Serikat dan Inggris. Di sana disajikan bukan hanya beragam produk kopi dari pelbagai belahan dunia, tetapi juga teknologi untuk mengolah kopi. Kopi mentah bila dimasukkan dari satu sisi ke dalam sebuah mesin modern akan keluar dari sisi yang lain dalam wujud minuman panas yang siap saji, yang tentu saja nikmat tiada tara!

Kopi adalah devisa utama negara Ethiopia. Tergolong negeri yang sangat miskin, di mana devisa yang masuk tidak berimbang dengan budget belanja negara. Negeri ini tidak memiliki pantai dan pelabuhan, itulah sebabnya nilai perdagangan tidak berimbang. Negeri ini bukan penghasil minyak dan hanya bergantung pada harga pasar kopi sebagai tiang penopang ekonomi negara. Sayangnya, angka korupsi juga sangat tinggi di Ethiopia. Sama dengan Indonesia? Engkau yang dapat mengobservasinya, Kawan.

Sayang teramat sayang, perdagangan dunia dikuasai oleh sistem pasar bebas, yang sebenarnya tidak bebas! Negara-negara kayalah yang menentukan harga pasar yang konon bebas itu! Sistem ekonomi dunia bak dikuasai oleh imperium absolut (kekaisaran mutlak) yang pasti membuat kebijakan sedemikian rupa sehingga memakmurkan diri sendiri, dan pihak lain dianggap sebagai bagian dari kekuasaannya. Barangsiapa mau, ia akan sedikit makmur. Barangsiapa tidak mau, ia akan hancur. Ia akan terisolasi dari sebuah rukun kekaisaran ekonomi.

Siapa yang menjadi imperium ekonomi saat ini? Wall Street! Dan, London! Simaklah pertemuan-pertemuan WTO yang diadakan. Sesi-sesi pleno yang selalu alot dan nampaknya utusan Amerika Serikat dan Inggris merupakan kata final. Lobi-lobi antarnegara dunia ketiga hanya menghasilkan permufakatan bilateral, namun toh mereka tidak dapat bersuara, apalagi menyatakan veto. Perserikatan Afrika, pada pertemuan WTO yang terakhir meminta dengan keras agar suara negara-negara di Afrika didengar oleh negara-negara maju, namun hasilnya pun nihil. Basa-basi diplomatik dikumandangkan supaya membuat negara-negara yang sedang berkembang itu sedikit lega bahwa suara mereka sudah didengar.

Kopi, sebagai “emas berwarna hitam” dari Ethiopia itu tak kurang juga menjadi sasaran tembak imperium ekonomi dunia. Pangsa pasar kopi meningkat tajam, tetapi lagi-lagi harga pasar dimonopoli oleh New York dan London. Sehingga, dalam periode tahun 2005-2006 harga kopi perkilo terjun bebas hanya 1 Birr Ethiopia (ETB), yang kira-kira Rp. 800,00 sampai sekarang. Bahkan pernah, harga kopi hanya 0,5 Birr (Rp. 400,00). Maka, jika sekarang ini mereka dapat menghasilkan 500 kg kopi, mereka hanya mendapatkan uang Rp. 400.000,00. Katakanlah bila kopi dapat dipanen 2 kali setahun, mereka hanya mendapatkan uang Rp. 800.000,00. Padahal, para pekebun kopi harus siap dengan masa kering sehingga paceklik panen.

Para pekebun kopi di Ethiopia menjerit! Mereka jatuh melarat. Kondisi ini masih terjadi di banyak wilayah Ethiopia, khususnya para pekebun yang menyerahkan hasil kebun mereka kepada penadah, dan dari satu tangan ke tangan yang lain, sehingga kopi itu tak kurang melewati 6 tahap, sampai ke pelelangan kopi, untuk disesuaikan dengan harga pasar global hasil permainan pialang di New York dan London. Dapat dibayangkan tentu saja, berapa biaya yang harus dikeluarkan! Pekebun kopi yang telah miskin menjadi kian melarat, dan harga dimainkan oleh para eksportir.

Mengapa Starbucks tidak ada di Ethiopia? Karena bahan mentah Starbucks diambil dari Ethiopia Selatan, yaitu daerah Sidamo yang terkenal menghasilkan kopi terbaik. Di Ethiopia ada beberapa daerah penghasil kopi, dan kopi-kopi itu berkualitas tinggi. Namun, daerah Sidamo adalah daerah yang miskin teramat sangat. Wilayah di luar ibukota Addis Ababa, adalah wilayah yang sangat minim panas dan kering.

Sekarang bayangkan. Andai kata 1 kg kopi dapat menghasilkan 1000 cangkir kopi Starbucks @ USD 3. Berarti 1 kg kopi menghasilkan USD 3000 (sekitar Rp. 30.000.000,00 atau ETB 36.000). Padahal pekebun hanya menerima Rp. 800,00 perkilo kopi. Berarti untung yang diperoleh pengusaha warung Starbucks perkilo kopi adalah Rp. 29.999.200,00. Yang kaya menjadi makin kaya dan yang miskin menjadi makin miskin.

Baru-baru ini saya mendengar bahwa curah hujan meningkat, sehingga hal ini memberikan prospek lebih baik bagi para pekebun kopi. Ada juga kabar-kabar bahwa harga kopi membaik. Puji Tuhan. Namun, apa yang diharapkan oleh penggarap kopi ialah bahwa harga kopi dapat meningkat sampai ETB 5 (sekitar Rp. 4.000,00) saja, syukur-syukur bisa mencapai ETB 10 (sekitar Rp. 8.000,00). Alasan mereka sederhana, supaya anak-anak mereka dapat meneruskan sekolah! Hal ini belum terwujud, karena kuasa imperium ekonomi yang selalu lapar dan mencari mangsa untuk dicaplok.

****

Dalam konteks seperti ini, bagaimana teologi Kristen beroperasi? Tidak minum di kedai kopi bermerk asing bukanlah jawaban utama bagi teologi operatif. Tuhan yang kita sembah adalah Manusia sejati yang hidup dalam konteks buruh tani gurem. Ia bukan pedagang. Ia bukan tengkulak. Ia tidak pernah memiliki kuasa monopoli perekonomian. Namun Ia yang bangkit dari kematian adalah Tuhan di atas segala Kuasa.

Yang saya sebut “Kuasa” itu bukan setan dan roh gentayangan. Kuasa itu adalah suatu sistem monopoli politik, ekonomi, sosial. Kuasa itu bekerja bukan mempengaruhi, dalam arti membisik-bisiki oknum-oknum tertentu untuk menjadikannya doyan kekuasaan. Kuasa itu adalah sistem itu sendiri. Ia bekerja dari dan di dalam sistem tersebut!

Sistem global itulah yang sedang bekerja. Sekarang, bagaimana memerangi sistem global yang tengah meraja itu? Kitab Suci mengemukakan kebenaran yang “vulgar”: “Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka” (Kol. 2:15).

Kristus adalah Tuhan yang melawan kuasa sistem global. Pada zaman-Nya, Ia melawan Imperium Roma yang mengklaim pax et iustitia sebagai miliknya. Ia telah menang! Dengan kuasa kebangkitan-Nya, Ia ganti memakukan kuasa-kuasa itu di atas salib. Kristus tidak tunduk kepada kuasa global tersebut, sebaliknya, kuasa itu menjadi tidak berdaya di hadapan kemenangan-Nya. Bahkan, kuasa itu kini ditelanjangi dan dijadikan tontonan tiada daya.

Jika benar Kristus telah menang, maka kemenangan itu tetap berlaku dan berjaya kini dan di sini. Klaim kuasa ini sekarang diberikan kepada gereja-Nya, atau siapa pun yang menyatakan mengikuti Dia dan mengakui Dia sebagai Tuhan dan Penguasa satu-satunya. Itu berarti, merupakan tugas gereja, untuk tidak berkompromi dengan sistem global yang menyengsarakan. Itu berarti para pengikut-Nya harus mengupayakan alternatif pola hidup dari sistem global. Itu berarti setiap orang Kristen harus bekerja sungguh-sungguh untuk mengusahakan terwujudnya perdamaian yang ditandai oleh keadilan yang sejati. Itu berarti, dalam konteks Ethiopia, orang Kristen yang mengupayakan hadirnya shalom tersebut harus mendampingi dan berjuang bersama para pekebun kopi yang nasib hidupnya ditentukan oleh harga kopi di pasar.

****

Mungkinkah itu terjadi? Mungkin! Dan hal itu sudah dan sedang dilakukan oleh anak Tuhan di Addis Ababa. Ia seorang Kristen Injili, anggota gereja Mennonite Ethiopia yang lebih dikenal sebagai Meserete Kristos Church (MKC). Namanya Bp. Tadesse. Ia tidak tahan melihat pasar kopi internasional yang menghancurkan bangsa dan negerinya sebagai penghasil kopi terbaik. Ia dapat saja menjadi tengkulak dan mengeruk banyak keuntungan. Tetapi ia tidak mau!

Ia mendirikan sebuah perserikatan penggarap kopi. Upaya ini mirip koperasi di Indonesia. Ia mencari peluang untuk mengumpulkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negerinya. Ia bersafari ke sana-sini. Ia menyadarkan pekebun kopi di pelbagai area di Ethiopia, berapa harga perkilo kopi mereka dan berapa harga secangkir kopi di luar negeri. Setelah itu, ia ajak mereka semua untuk menyalurkan kopi mereka kepada perserikatan penggarap kopi itu, untuk disalurkan ke importir independen di Amerika Serikat dan Inggris. Ia mengadakan perjalanan ke sana-sini untuk memromosikan kualitas kopi Ethiopia. Ia mendanai sendiri keikutsertaannya dalam konferensi kopi dan pameran kopi di Amerika Serikat, dengan tujuan agar kopi Ethiopia kian dikenal oleh luar negeri dan ia mendapatkan pasar yang baik. Di setiap pameran ia tidak pelit untuk memberikan sample gratis secangkir kopi ataupun biji kopi mentah untuk para pengunjung yang sempat mampir di stand-nya.

Hasil penjualan kopi itu dibawa pulang, lalu ia mengumpulkan para pekebun kopi di desa-desa mitra perserikatan di atas. Ia memberikan kepada mereka nilai uang penjualan yang jauh lebih baik. Dan ia juga menyisakan sejumlah hasil untuk perbaikan gedung sekolah di desa itu, sehingga mutu pendidikan bagi generasi muda dapat ditingkatkan.

Tadesse sendiri adalah seseorang yang hidup dengan sangat sederhana. Ia mencukupkan diri dengan hidup yang secukupnya. Ia tidak memboroskan uang untuk diri sendiri dan keluarganya. Ia mempunyai 3 ekor sapi perah dan susunya untuk gizi keluarganya. Dengan demikian, ia menekan banyak pengeluaran. Istrinya mengakui bahwa Tadesse adalah seorang pekerja keras. Ia berjuang dengan gigih dan sering lupa waktu untuk memperbaiki taraf hidup para penggarap kopi.

Entah disadari oleh Tadesse atau tidak, ia sedang berjuang melawan imperium ekonomi. Ia melawan kuasa global yang memeras dan menindas. Namun paling tidak ia tahu, ada sesuatu yang salah, dan hal itu tidak boleh terus-menerus terjadi. Harus dipangkas. Harus disudahi. Sebagai seorang Kristen, ia melakukan hal yang ia dapat lakukan. Dan ia melakukannnya dengan setia!

Itulah “teologi” Tadesse. Teologi yang tidak dilakukan untuk orang-orang mati dan bersama orang-orang mati. Teologi yang tidak berkutat pada benar-salahnya pemikiran orang kulit putih, laki-laki, produk Eropa atau Amerika. Teologi yang tidak memusingkan diri pada teks kuno dan asyik di laboratorium dan perpustakaan serta ruang kuliah sebagai zona aman dan nyaman bagi para teolog; tetapi teologi yang seperti rasul Paulus katakan sebagai penerima tugas dari Tuhan yang bangkit dari antara orang mati, “Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum-hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2Kor. 3:6).

Apa artinya menjadi “pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru”? Kau dan aku yang dapat menjawabnya, Kawan! Di konteks Indonesia. Di Ethiopia. Di mana saja.



Igzhabehr Yimsken!

Addis Ababa, 6 September 2009

No comments:

Post a Comment