Wednesday, March 20, 2013

DEKAT DI MATA, JAUH DI HATI



DEKAT DI MATA, JAUH DI HATI
LUKAS 19:28-40

Tahukah Saudara, ada dua arak-arakan yang memasuki Yerusalem di satu hari di musim semi, pada tahun 30-an Masehi, menjelang perayaan Paskah Yahudi?  Satu dari pintu Timur, satu dari pintu Barat.  Yang dari Timur adalah arak-arakan rakyat jelata, yang dari Barat arak-arakan kerajaan.  Dari Timur, seorang muda dari desa Nazaret menyisir Bukit Zaitun, dielu-elukan oleh murid-murid-Nya dan disambut oleh para pengikut-Nya.  Dari Galilea mereka datang ke Yerusalem.

Dari pintu Barat, Pontius Pilatus, prefek (semacam gubernur) di wilayah Idumea, Yudea dan Samaria memasuki kota raja Yerusalem juga.  Diiring oleh sepasukan tentara bersenjata lengkap, duduk gagah di atas kuda yang kaki-kakinya serempak berderap.  Untuk apa Pilatus datang ke Yerusalem?  Untuk alasan keamanan kota itu.  Untuk menjaga kestabilan politik.  Untuk memastikan bahwa tak seorang pun rakyat yang menyulut emosi massa, bertindak makar, dan mengadakan pemberontakan.  Pilatus hendak mengontrol keadaan Yerusalem.

Namun, narasi kita berkisah, bukan Pilatus yang mengontrol keadaan.  Tetapi Yesus.  Yesus mempersiapkan setiap detil rencananya memasuki Yerusalem.  Ia memberi tahu murid-murid-Nya bagaimana cara mendapatkan keledai untuk Dia.  Ia memasuki Yerusalem dalam sorakan para pengikut-Nya, dengan pujian yang menyatakan bahwa kuasa Allah hadir di dalam dan melalui Yesus.  Mereka menyambut bahwa Yesus inilah raja yang sejati, yang datang dalam nama Allah.  Yesus inilah Mesias, demikian orang-orang di sekitar Dia percaya!  Bayangkanlah kita ada di sana, segera akan kita rasakan atmosfer kerinduan akan keselamatan dari orang-orang sebangsa dengan Yesus, yang tercermin dalam hari-hari raya Paskah Yahudi.  Betapa merindunya kita akan keselamatan.  Dan, keselamatan itu sekarang tiba?  Di dalam diri seorang pemuda miskin dari Nazaret?

Elu-eluan dan sorak-sorai para pengikut Yesus mengundang reaksi sejumlah orang Farisi.  Hal ini wajar.  Jika Yesus dielu-elukan sedemikian, maka konsekuensi politisnya besar sekali, dan pasti akan mempengaruhi kestabilan keamanan.  Bagaimana jika Pilatus mengetahui adanya arak-arakan tandingan ini?  Bagaimana jika salah satu serdadu dalam arak-arakan dari pintu Barat itu mendengar seruan para murid?  Bagaimana jika di antara orang-orang yang melihat kedatangan Yesus terdapat antek-antek Roma?  Namun Yesus membela para pengikut-Nya bahwa jika mereka tidak berseru-seru, maka ciptaan yang tak bernyawa (“batu-batu”) akan berteriak (ay. 40).  

Singkatnya, Yesus membenarkan tindakan para murid.  Yesus membenarkan bahwa karya Allah yang dijanjikan akan datang sebentar lagi melalui Dia, tepat di Yerusalem.  Yesus membenarkan mereka bahwa sebentar lagi Kerajaan Allah akan hadir di atas bumi, seperti di surga.  Yesus membenarkan mereka bahwa Diri-Nya adalah Mesias yang dijanjikan.

Berbeda dari tuturan di Injil Matius dan Markus, Injil Lukas memotret secara unik.  Yesus memasuki Yerusalem tanpa sambutan meriah warga masyarakat kota raja itu.  Yang mengiring dan yang berseru-seru adalah para murid Yesus!  Orang-orang Farisi malahan menghardik tindakan mereka.  Yesus memasuki Yerusalem bukan dengan sorak-sorai bak raja Salomo berabad-abad sebelumnya (1Raj. 1:38-40); bukan pula seperti sambutan terhadap Yudas Makabeus seratus tahun sebelumnya (135 SM).  Tidak ada warga Yerusalem yang peduli dengan Yesus.  Umat acuh tak acuh terhadap Sang Mesias.  Kaum sebangsa-Nya menolak utusan Allah.

Sang Mesias sejati telah begitu dekat.  Tetapi, pandangan jasmani manusia tak mampu menembus balutan jubah sederhana seorang pemuda miskin dari Nazaret.  Ya, betapa lebih menggairahkan melihat dan menyambut arak-arakan kerajaan, dengan atribut dan panji-panji gemerlap berkilauan, ketimbang menyambut Mesias yang miskin.  Lebih menyenangkan melihat tontonan karnval serdadu Roma, ketimbang menyambut Yesus sebagai raja.

Bukan hanya dahulu kecenderungan manusia lebih senang dengan tontonan yang gemerlap, hingga sekarang pun kecondongan daging ini adalah memilih yang enak, menyenangkan, serba gampang dan instan.  Yesus mengajarkan sebuah tata hidup kemuridan yang berbeda, sebuah gaya hidup di tengah-tengah dunia yang menyenangi kemegahan dan kegemerlapan.

Janganlah malu menjadi pengikut Mesias yang miskin.  Janganlah rendah diri jika Junjungan kita dicemooh karena kerendahan-Nya.  Janganlah mundur jika adalah penolakan.  Kristus membawa pembebasan dan pemerdekaan, dan barangsiapa orang yang telah dimerdekakan, akan hidup dalam kesederhanaan dan rendah hati di hadapan Allah.  Pengampunan menjadi buah dari kaum yang lembut hati, yang telah mendapat anugerah untuk mengikut Dia.  Kesetiaan untuk mengikuti jejak Yesus Sang Mesias menjadi intisari kehidupan murid sejati.  Lihatlah Zakheus, atau orang buta yang dari Yerikho, atau kisah orang Samaria yang berbela-rasa.

Menyambut Yesus berarti menerima Dia dengan kerendahan hati, dan kesiapsediaan untuk mengenal dan berjalan bersama Allah.  Seorang murid sejati bersedia berjalan di dalam jejak langkah Yesus yang dijiwai oleh kasih, kemurahan, tetapi juga penolakan dan penderitaan.  Di Minggu Palmarum, Yesus memungkasi perjalanan panjang-Nya dari Galilea.  Yesus kini mengalihkan pandangan-Nya ke Yerusalem.  Kendati di kota ini Yesus akan menutup karya-Nya di kayu salib, yang kalah bukanlah Yesus, tetapi orang-orang yang menolak Dia.  Menolak Yesus berdampak serius!  Amin. (TGJ)


Wednesday, February 13, 2013

Perjanjian di Sinai, Suatu Moral Dasar



PERJANJIAN DI SINAI, SUATU MORAL DASAR
 ULANGAN 5:1-22, 32-33

Iman yang dipercaya oleh umat Allah di sepanjang sejarah, dan yang disaksikan oleh Kitab Suci, adalah iman yang dimulai dengan tindakan kasih Allah.  Sejak semula, Allah adalah kasih.  Kasih itu mengalir secara suka rela dari Allah.  

Pada permulaan zaman, Allah menciptakan langit dan bumi.  Allah mengikatkan diri-Nya dalam janji suci dengan bapa-bapa iman bangsa Israel: Abraham, Ishak dan Yakub.  Allah ini pula yang mendengar jeritan kaum yang tertindas di tanah Mesir.  Allah pun mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan umat-Nya.  Allah yang bertindak dengan tangan-Nya yang perkasa untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari penindasan bangsa asing.  Allah melakukan semuanya ini tanpa bujukan dan paksaan dari siapa pun.  Allah melakukannya dengan merdeka.

Ketika Allah mengasihi, Allah berkenan mengikatkan Diri kepada objek yang dikasihi-Nya.  Ada hubungan kasih yang intim antara Allah dan umat.  Inilah yang disebut sebagai “perjanjian.”  Gambaran perjanjian yang dikenal di zaman kuno ialah jika seorang raja agung menaklukkan satu wilayah, maka ia akan mengikat perjanjian dengan rakyat taklukannya.  Tindakan raja dalam menaklukkan wilayah itu dijelaskan sebagai bentuk pemerdekaan bagi para penduduk di sana, bukan sebagai penindasan.  Adapun raja memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh rakyat, menyatakan keadilan dan membela hak-hak mereka.  Sebaliknya, kewajiban bagi rakyat adalah untuk patuh dan setia kepada sang raja.  Jika mereka patuh, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang dijanjikan, yaitu kesejahteraan.

Demikian kita melihat ikatan perjanjian Allah.  Di dalam narasi perjalanan umat Allah, babak di lereng Gunung Sinai merupakan peristiwa penting.  Allah memberikan Hukum Taurat sebagai bagian dari kisah pembebasan-Nya atas umat yang teraniaya.  Dengan demikian, Taurat merupakan wujud kasih Allah!  “Ketetapan dan peraturan” tak lain merupakan perwujudan dari tindakan Allah “yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (ay. 6)  Allah memberikan hukum setelah Ia bertindak terlebih dahulu.  

Di sini kita melihat kebenaran dasar iman Kristen: anugerah mendahului peraturan.  Allah sudah mencurahkan kasih-Nya terlebih dahulu.  Baru kemudian, Allah meminta umat-Nya untuk berlaku sesuai dengan karakter-Nya yang kudus.  Allah telah mencurahkan kasih, memberikan anugerah, menyatakan rahmat kepada mereka yang dikasihi-Nya.

Dari sisi Israel sebagai umat Allah, mereka dipanggil untuk “lakukanlah semuanya itu dengan setia.” (ay. 32).  Dua hal yang kita catat di sini.  Umat Allah harus melakukan semuanya itu.  Tiada satu hal pun yang boleh di-discount.  Tak ada setitik pun yang boleh dikurangi dari hukum Taurat (bdk. Mat. 5:18-19).  Umat pun harus melakukan dengan setia.  Artinya, memperjuangkan supaya nilai-nilai kekudusan Allah berlaku dalam tindak-tanduk sehari-hari dan perikehidupan umat secara berkomunitas.  Intinya, kasih Allah yang total, patutlah disambut dengan cinta umat yang total.

Jika umat setia melakukan perintah Allah, maka ada janji yang Allah berikan.  Mereka akan “hidup, dan baik kedaanmu serta lanjut umurmu di negeri yang akan kamu duduki.”  Kehidupan adalah anugerah bagi mereka yang menjadi umat Allah.  Allah tidak menghendaki kematian, baik rohani, fisik maupun kematian kekal.  Umat akan menikmati sejahtera, yang berarti keadaan hidup yang baik, cukup sandang, pangan dan papan serta memiliki relasi yang baik dengan Allah, sesama dan lingkungan.  Mereka pun akan menikmati kehidupan yang tenteram di tanah Perjanjian, yakni hidup dalam lindungan Tuhan dari hari ke hari.

Sebagai kesimpulan, betapa banyak orang Kristen yang salah memahami Alkitab sebagai buku yang penuh dengan aturan yang menjerat.  Kitab Suci bak kitab hukum pidana.  Dipandang dari sisi perjanjian, sekarang kita memahami bahwa semua aturan ini merupakan ungkapan cinta kasih Allah, yang sudah sepatutnya disambut dengan gembira oleh setiap umat Allah.  Peraturan ini sesungguhnya merupakan petunjuk agar kita menjadi umat dengan karakter Allah sendiri, di tengah-tengah dunia yang bengkok dan yang melawan Allah.

Mungkinkah kita bisa melakukannya?  Yesus Kristus adalah Teladan kita.  Ia menyambut kasih Allah yang Ia dengar ketika dibaptiskan, “Engkaulah Anakku yang Kukasihi,” (Luk. 3:22) dengan bergaul akrab dengan firman Allah.  Sehingga, ketika cobaan si jahat datang, Kristus selalu menjawab dengan “Ada tertulis” (Luk. 4:4, 8, 12).  Cintailah hukum Allah, maka Saudara akan mendapatkan kemerdekaan yang sejati!  Syukur kepada Allah!

Friday, February 1, 2013

KASIH KOMUNAL YANG RADIKAL



KASIH KOMUNAL YANG RADIKAL
1 Korintus 13:1-13


Ayat-ayat yang kita baca tergolong bagian favorit orang Kristen.  Banyak orang Kristen menyukainya, dan kerap membacanya lepas dari konteks yang seharusnya.  Penulisnya sendiri, yaitu rasul Paulus, adalah seorang pelayan Tuhan yang sangat memperhatikan kehidupan berjemaat.  Ia adalah seorang teolog besar!  Tetapi, teologinya selalu mendarat untuk pembangunan tubuh Kristus.  Semua tulisan rasul Paulus berbicara mengenai persekutuan orang percaya.

Teks hari ini hendak menanyakan kepada kita: “Adakah cara yang lebih utama daripada menunjukkan aktivitas sebagai seorang Kristen?”  Jawabnya, Ada!  Hendaklah kita tidak menganggap bahwa menjadi Kristen berarti kelihatan aktif dan sibuk melayani.  Di dalam terang salib Kristus, ada hal yang jauh lebih penting: Kasih!  

Mengintip sekilas akan konteks sosial yang dibedah oleh rasul Paulus, masyarakat Korintus yang kebanyakan non-Yahudi, dan yang mengagungkan pengetahuan itu, ternyata adalah masyarakat yang “mencari keuntungan sendiri” atau lebih tepatnya “memaksakan caranya sendiri” (zētei ta hautēs, 13:5).  Sebelumnya, Paulus sudah memperingatkan gereja Korintus (lih. 8:1-11:1), dan memberikan teladan bagaimana cara hidup yang seharusnya.  Pengetahuan membuat orang menjadi sombong (8:1b).  “Jangan seorang pun mencari keuntungan sendiri” (mēdeis to heautou zēteitō, 10:24).  “Sama seperti aku . . . bukan untuk kepentingan diriku” (mē zētōn to emautou symphoron, 10:33).

Singkatnya, gereja di Korintus adalah murid Yesus yang hidup dalam konteks masyarakat yang—dalam bahasa Jawa—nggugu karepe dhewe.  Keras kepala, dan mencari keuntungan bagi diri sendiri.  Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika di sebuah komunitas, masing-masing orang merasa paling benar dengan caranya sendiri.  Pasti ada percekcokan.  Perselisihan dan berkelompok-kelompok.  Iri dan cemburu.  Gosip dan membicarakan orang lain.  Sebaliknya, karakter para murid Yesus seharusnya bukanlah demikian.

Namun sayangnya, perselisihan itu memang sudah terjadi di jemaat Korintus, jemaat yang kaya raya, bukan saya dengan materi tetapi juga dengan karunia-karunia rohani!  Untuk itulah, Paulus dengan cermat menempatkan berita tentang kasih dalam bingkai karunia-karunia rohani.  Di perikop sebelumnya, gereja yang sejati dicirikan oleh karunia-karunia yang dimiliki, dan tiap-tiap anggotanya wajib mempersembahkan karunia mereka (12:1-31).  Di perikop sesudahnya, rasul menerangkan bagaimana karunia-karunia itu dipakai dalam penyembahan kepada Allah (14:1-40).  Karakteristik kasih yang seperti apa yang harus ada di dalam jemaat?

Pertama, kasih tidak boleh tidak ada (13:1-3).  Adalah suatu keniscayaan bahwa jemaat dicirikan oleh kasih.  Kefasihan lidah, hikmat dan pengetahuan, serta iman yang besar, tanpa dilambari kasih adalah kosong belaka.

Kedua, kasih itu berkarakter (13:4-7).  Karakter yang didaftarkan di sini tidaklah sama dengan yang ditawarkan oleh dunia.  Kasih yang sejati dapat dibahasakan bersedia tinggal dalam satu ruang dengan orang lain.  Kasih itu bahkan mau memberi ruang untuk yang lain lebih maju.  Lebih-lebih, kasih yang benar bersedia untuk menciptakan ruang untuk hidup bersama orang lain.

Ketiga, kasih itu permanen (13:8-12).  Paulus membandingkan dengan karunia-karunia dalam jemaat.  Hanya kasih yang bernilai kekal.  Ia tinggal tetap di dalam setiap orang percaya, dan menjadi daya dorong utama kehidupan kristiani.

Keempat, kasih itu superior (13:13).  Kasih lebih dari segala sesuatu.  Paulus memakai kata “tinggal” yang dapat berarti “tetap hidup sampai zaman yang akan datang” atau “bernilai penting selama dunia ini berlangsung.”  Ia menunjukkan bahwa komunitas Korintus harus memiliki kasih, terbukti bahwa di akhir surat, ia tetap menuliskan tentang kasih: “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih” (16:14); “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia.  Maranata!” (14:22); “Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus” (14:24).

Kasih Allah seharusnya memerintah umat-Nya!  Kasih seharusnya mengakar dalam kehidupan jemaat Kristus.  Murid Kristus yang sejati dicirikan oleh kasih yang benar-benar menjadi jiwanya.  Kasih yang radikal!  Bagaimana dengan gereja kita?

Thursday, January 31, 2013

Evaluasi Katekisasi Remaja





Sekadar share bahan evaluasi katekisasi remaja di gereja kami.  Setiap selesai sesi pembinaan, saya selalu meminta para katekisan mempersiapkan diri untuk mengikuti tes tertulis.  Berikut ini contoh soal evaluasi kelas yang terkini.



EVALUASI METANOIA CATECHISM
18 Januari 2013

Petunjuk mengerjakan soal:
1.    Soal-soal di bawah ini terkategori aplikatif, analitis, sintetis dan evaluatif.
2.  Jawablah setiap soal yang ada dalam lembar evaluasi ini. (Anda boleh berargumentasi seandainya soal itu sendiri salah menurut Anda.)
3.    Jawaban yang baik adalah jawaban yang memiliki:
  •       Kalimat inti yang jelas 
  •       Argumentasi yang logis
  •       Data-data yang cukup.
4.    Dahulukan soal-soal yang Anda anggap mudah.
5.    Waktu mengerjakan soal adalah 2 jam.

PERTANYAAN-PERTANYAAN:
1.       (LIHAT BUKU BAB I dan II)
Natanael, seorang remaja yang sudah dibaptis di GKMI, seorang aktivis, pengurus Komisi Remaja.  Ia baru saja mengikuti pertemuan antaragama selama 3 (tiga) hari.  Di dalam pertemuan itu ada kebaktian-kebaktian dari berbagai agama, pembacaan kitab-kitab suci, dan doa-doa dengan cara yang berbeda.  Natanael bingung.  Ia datang kepadamu dan meminta pendapatmu:

a. Mana yang benar?  Di mana Allah yang sejati menyatakan diri-Nya di tengah kemajemukan agama itu? 

Jawab: Iman Kristen menyatakan bahwa Allah menyatakan diri secara umum (universal) melalui alam, sejarah bangsa-bangsa, hati nurani, dan secara khusus bagi umat pilihan-Nya, melalui Yesus Kristus seperti yang disaksikan oleh Kitab Suci.  Kita dapat kategorikan agama-agama dalam penyataan umum di atas.  Keberadaan agama-agama dunia menunjukkan bahwa umat manusia memiliki “benih agama” (semen religionis), atau “perasaan akan yang ilahi” (sensus divinitatis).  Berarti, manusia pada dasarnya percaya bahwa ada kuasa agung di balik keberadaan semesta.  Iman Kristen secara khusus meyakini bahwa Allah memiliki rencana keselamatan bagi umat-Nya, yaitu dengan memberikan Yesus Kristus sebagai Juruselamat manusia (IHS, Iesus Homini Salvator). 

b. Bagaimana sikap Natanael yang kamu sarankan ketika mengikuti ibadah dan doa dari agama-agama lain? 

Jawab: Natanael seharusnya dapat mengambil sikap Kristiani yang dewasa, bahwa ritual keagamaan dan cara kebaktian yang tersaji dalam acara itu merupakan bukti bahwa manusia membutuhkan Allah, dan di dalam diri tiap manusia terkandung “benih agama.”  Ia dapat memahami ritual tersebut sebagai bentuk-bentuk otentik dari upaya manusia untuk mencapai Allah.  Ia tidak perlu bersikap anti.  Ia bahkan dapat belajar secara langsung bagaimana umat lain menghayati Sang Ilahi.  Ia pun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada pemeluk atau pemimpin upacara keagamaan itu.  Kesediaan untuk belajar dari dekat ini akan mengurangi praduga negatif atau stereotipe yang dimilikinya tentang umat beragama lain.  Jika sikap dewasa ini dikembangkan, niscaya tidak akan ada lagi kecurigaan antaragama di negara kita. 

c. Apakah keselamatan umat manusia disediakan oleh agama Kristen? 

Jawab: Keselamatan tidak disediakan oleh agama apa pun.  Seseorang tidak dapat diselamatkan karena ia memeluk sebuah agama, atau mengikuti perintah dan menjauhi larangan dengan pamrih ketika nanti mati ia akan memperoleh keselamatan.  Keselamatan yang sejati hanya diperoleh dari anugerah.  Bahkan di dalam Islam pun diajarkan bahwa seseorang dapat menjadi Islam itu oleh sebab hidayah (sama dengan “anugerah”).  Di dalam iman Kristen, anugerah keselamatan itu tersedia melalui iman kepada Yesus Kristus, dan iman itu sendiri merupakan pemberian Allah! (Ef. 2:8-9).  Lebih lengkap lagi, seseorang diselamatkan karena Bapa berkenan memilih sejumlah umat untuk menjadi umat kesayangan-Nya, dan ditebus oleh Kristus dan dimeteraikan oleh Roh Kudus (Ef. 1:3-14; 1Ptr. 1:2).  Jadi, bukan karena seseorang beragama Kristen!

2.      (LIHAT BAB III)
Marta tergopoh-gopoh mencari kamu!  Ia sedang dalam kebingungan sehabis mengikuti kebaktian KKR tadi malam di Semarang.  Lebih dari 10.000 orang memenuhi stadion, karena KKR itu mengundang artis ibu kota yang terkenal untuk memberikan kesaksian serta pujian.  Ia bingung sebab sang pengkhotbah berkata, “Kalau Saudara sakit dan miskin, itu karena Saudara berdosa!  Saudara belum sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan Yesus!”

a. Berikan tanggapanmu mengenai KKR yang seperti ini. 

Jawab: KKR yang paling awal terjadi pada sekitar tahun 30 M., tepat pada perayaan Pentakosta di Yerusalem (Kis. 2).  Yang berkhotbah adalah para rasul, dan disaksikan oleh umat Yahudi dari berbagai penjuru bumi.  Fokus yang menjadi pemberitaan para rasul adalah perjanjian Allah kepada nenek moyang Israel yang digenapi di dalam Yesus yang tersalib dan yang bangkit, dan yang telah naik ke surga.  Tidak ada berita lain selain Kristus yang tersalib ini.  Dan dengan berita itu, para rasul menantang para pendengar untuk mengambil keputusan, bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus (Kis. 2:37-38).  KKR yang sejati hanya meninggikan Yesus, bukan menyajikan tontonan dan memberikan janji-janji yang menggugah emosi, apalagi menonjolkan kehebatan sang pengkhotbah. 

b. Setujukah kamu dengan pernyataan pendeta itu?  Berikan alasan. 

Jawab: Pendeta itu berkata bahwa sakit dan miskin adalah akibat dari dosa.  Di satu sisi ada benarnya.  Sebab dosa sudah masuk ke dunia, maka tubuh manusia menjadi rentan terhadap sakit.  Manusia juga senang dengan ketidakadilan, sehingga membiarkan orang lain sengsara dan miskin-papa.  Namun, pernyataan pendeta itu pun sangat berbahaya, dan tidak alkitabiah, yaitu bahwa setiap sakit dan kemiskinan itu merupakan akibat dari kurang iman kepada Yesus Kristus!  Dengan kata lain, orang Kristen sejati pasti tidak sakit dan miskin.  Alkitab (PL dan PB) tidak pernah menjamin bahwa seseorang yang sudah benar-benar percaya kepada Yesus Kristus tidak akan menderita sakit.  Rasul Paulus sakit: ia memiliki cacat penglihatan (Gal. 6:11) dan “duri dalam daging” (2Kor. 12:7).  Timotius pun memiliki sakit maag yang akut dan tubuh yang lemah (1Tim. 5:23).  Sebaliknya, iman Kristen dan kesaksian para pendahulu iman ialah ketekunan untuk bertahan, dan tetap memegang teguh kepercayaan kepada Tuhan Yesus sampai pada akhirnya.  Inti iman Kristen justru ketabahan di tengah penderitaan. 

c.       Menurutmu, apa yang dimaksudkan oleh Alkitab tentang “iman” yang sejati? 

Jawab: Iman berarti tunduk kepada Allah, yaitu sikap percaya secara total kepada Allah, dan tidak menyandarkan diri pada cara pandang pribadi.  Iman yang sejati berarti tidak memakai cara-cara duniawi untuk menyelesaikan masalah.  Iman yang sejati mengedepankan Allah.  Di dalam PL, teladan iman adalah Abraham, yang dipanggil oleh Allah untuk diberkati, sekaligus menjadi berkat bagi orang lain.  Ketika umat Allah berdosa dan berpaling dari Allah, para nabi menyerukan pertobatan supaya Israel kembali kepada Allah.  Di dalam PB, Yesus adalah teladan iman yang tertinggi.  Ia tidak menyandarkan diri-Nya pada cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh masyarakat di zaman-Nya, antara mengasingkan diri atau mengambil langkah kekerasan.  Yesus memilih untuk mengambil jalan nir-kekerasan, menyatakan belas-kasihan Allah dan bela-rasa kepada kaum tersisih dan lemah.  Sampai akhirnya, Ia pun mati dengan terhina di kayu salib.  Kepatuhan Yesus secara total dipersembahkan kepada Bapa-Nya, dan sama sekali Ia tidak mau tunduk kepada bujuk-rayuan Iblis untuk mengambil jalan-jalan duniawi.

3.      (LIHAT BAB VII - IX)
Pada waktu kecilnya, Simon adalah seorang yang rajin bersekolah minggu.  Ia aktif juga di Komisi Remaja.  Sudah mengikuti katekisasi dan sudah dibaptis.  Beranjak kuliah di luar kota, ia mulai mempertanyakan iman Kristen.  Ia tidak pernah ke gereja, tidak pula melayani.  Baginya, agama pada dasarnya mengajarkan kemunafikan.  Lebih baik, ia menjadi orang yang tidak percaya Tuhan, sehingga jika ia hidup bebas, ia tidak terbebani oleh masalah dosa.  Dan memang, ia tidak peduli lagi dengan kehidupan yang serba bebas.  Prinsipnya, ia tidak mengganggu orang lain.

a. Lihatlah Ibrani 6:4-6, bagaimana kamu mengamati kehidupan Simon? 

Jawab: Kehidupan Kristen yang sejati adalah hidup serupa dengan Kristus.  Seorang Kristen sejati menikmati persekutuan dengan Allah.  Maka, hal ini berbeda dengan menerima sakramen, mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan melayani.  Seseorang bisa tampak aktif, tetapi sebenarnya dia tidak pernah mengalami pertobatan yang sejati.  Tanda-tanda yang kelihatan tidak dapat menjadi tolok ukur kedalaman iman seseorang.  Simon adalah contoh orang yang memiliki iman yang dangkal, bukan iman yang sejati.  Apalagi, ia hidup untuk kepuasan dirinya sendiri.  Ia tidak mempedulikan cara hidup yang baik.  Makna hidup menurut Simon berarti memuaskan hawa nafsunya.  Ia tidak hidup untuk sebuah kepentingan yang lebih tinggi: untuk masyarakat, untuk alam semesta, dan untuk Tuhan.  Hidup yang egosentris (“cinta diri sendiri,” 1Tim . 3:2) tidak diperkenankan di hadapan Allah. 

b. Apakah ada kemungkinan bagi Simon untuk diselamatkan?  Jika ada, bagaimana caranya? 

Jawab: Selama Simon hidup, ia masih memiliki kemungkinan mendapatkan hidup yang kekal.  Hidup yang kekal hanya bisa diperoleh selama seseorang hidup.  Selama hidup di dunia, Allah memberikan kesempatan bagi semua orang untuk bertobat.  Setelah mati, seseorang tidak dapat lagi bertobat, tetapi harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya di hadapan Allah.  Keselamatan masih tersedia bagi Simon jika ia mau berbalik kembali dari cara hidup yang sesat, menundukkan diri kepada Yesus Kristus, serta mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi.  Jadi, ia dapat diselamatkan jika memiliki iman yang sejati kepada Yesus Kristus, dan bertekad untuk menjadikan Yesus teladan kehidupannya setiap hari.

4.      (LIHAT BAB XIII)
Misalnya, kamu sedang liburan di rumah keluarga yang bergereja di Gereja Katolik.  Mereka mengajak kamu mengikuti kebaktian di Gereja Katolik.  Kamu sudah dibaptis, dan karena itu boleh mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan.  Karena misa (kebaktian) Gereja Katolik selalu membagikan komuni, kamu kini berada dalam dilema.

a. Akankah kamu mengambil komuni?  Dengan pertimbangan apa kamu mengambil/tidak mengambil roti komuni itu? 

Jawab: Gereja Katolik Roma adalah gereja yang sama-sama merupakan Gereja yang am, kudus, dan rasuli.  Gereja ini memeluk Pengakuan Iman Rasuli, dan mendaraskannya dalam setiap kali ibadah.  Bersama dengan gereja Katolik Roma, kita seharusnya membangun sebuah persekutuan tubuh Kristus yang utuh dan esa di atas dunia.  Namun, di dalam gereja Katolik terdapat peraturan sendiri.  Bahwa tidak selalu komuni boleh diambil oleh orang-orang yang bukan anggota Gereja Katolik.  Oleh sebab itu, sebagai tamu, kita pun menghormati keputusan ini.  Jika diizinkan oleh Romo yang menjadi pemimpin kebaktian, maka Anda boleh mengambilnya.  Tetapi jika Romo berkata, “Bagi Saudara yang bukan berasal dari Gereja Katolik, hendaknya tidak mengambil komuni,” maka kita pun wajib menghormati aturan itu, dan dengan rela hati tidak mengambil komuni itu. 

b. Gereja Katolik merayakan perjamuan Kudus yang percaya bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Yesus.  Bagaimana kamu menanggapi pengajaran itu? 

Jawab: Gereja Katolik Roma memegang paham transubstansiasi, yaitu bahwa hakikat roti dan anggur berubah wujud menjadi daging dan darah Yesus Kristus ketika dimakan oleh umat.  Ajaran ini dilatarbelakangi oleh ajaran bahwa tubuh Yesus yang dimuliakan itu hadir di dalam gereja.  Tubuh Yesus bersatu dengan Gereja-Nya.  Maka, penghayatan tubuh Yesus yang terpecah-pecah dan darah-Nya yang tercurah itu menjadi pusat ritus keagamaan.  Singkatnya, Ekaristi (Perjamuan Syukur) adalah pusat ibadah dalam gereja Katolik Roma.  Jemaat yang memakan roti komuni bukan hanya memperingati sengsara dan kematian Yesus 2000 tahun yang lalu, tetapi mengalami persatuan dengan Yesus melalui sakramen perjamuan itu. 

c. Bagaimana kamu membandingkan ajaran tentang Perjamuan Tuhan di Gereja Katolik dengan di Gereja Mennonit yang percaya bahwa Perjamuan Tuhan itu merupakan peringatan akan kesengsaraan Tuhan Yesus? 

Jawab: Gereja Mennonit percaya bahwa Perjamuan Tuhan pada dasarnya merupakan peringatan penderitaan dan kematian Tuhan bagi penebusan umat-Nya di masa lampau.  Bagi kalangan Mennonit, penghayatan karya Kristus yang terjadi 2000 tahun yang lalu itu menjadi dasar bagi penghayatan kita akan keselamatan.  Tetapi, kita pun perlu membuka diri pada pemahaman di dalam Alkitab bahwa Tuhan Yesus setelah bangkit itu juga memecahkan roti dan makan bersama para murid-Nya.  Dengan kata lain, roti yang dibagikan oleh Yesus itu juga perayaan bagi kemenangan Kristus, yang harus disambut dengan ucapan syukur oleh murid-murid-Nya.  Ajaran Perjamuan Tuhan dalam Katolik membuka perspektif kita akan aspek masa kini dari pengurbanan Kristus.  Meskipun, kita tidak dapat menerima ajaran mengenai transubstansiasi (roti dan anggur berubah wujud menjadi tubuh dan darah Kristus).

5.      (LIHAT BAB XVIII - XX, XXII, XIII)
Mohandas Karamchan “Mahatma” Gandhi bukanlah seorang Kristen.  Ia bahkan menolak menjadi Kristen karena ia merasa bahwa orang Kristen tidak hidup seperti Yesus.  Namun, dalam perjuangannya, Gandhi mengaku terinspirasi oleh gerakan nir-kekerasan Yesus serta ajaran-Nya dalam Khotbah di Bukit.  Ia berhasil menggerakkan revolusi damai di India.

a. Menurutmu, apa yang disebut sebagai “Kristen”? 

Jawab: “Kristen” (Yunani, kristianos) berarti pengikut sang mesias (kristus).  Pada kekristenan perdana, istilah “Kristen” dikenakan sebagai olok-olokan kepada orang-orang Yahudi yang mengikut Yesus, mesias yang disalibkan di luar kota Yerusalem.  Para pengikut Yesus ini bukan hanya menyembah Yesus, tetapi mereka pun meniru tindak-tanduk dan menuruti setiap perkataan Yesus.  Istilah yang lebih awal lagi adalah pengikut “Jalan itu” (the Way).  Bagi orang Yahudi, “jalan” (halakhah) adalah cara hidup dan perilaku praktis setiap hari sebagai umat Allah, yang menurut setiap firman dan ketetapan Allah.  Dengan jalan ini, kaum pilihan Allah menjalani hidup yang berbeda dari cara hidup orang-orang di sekitarnya.  Maka, umat Allah yang sejati dicirikan oleh pola-pola hidup yang berbeda dari kebanyakan olrang di sekitarnya.  Demikian pula dengan orang Kristen, pola kehidupannya dicirikan oleh patron Yesus yang dituruti dalam kehidupan setiap hari. 

b. Apakah Gandhi terkategori Kristen? 

Jawab: Jika “Kristen” dimaksudkan orang yang beragama Kristen, dan rajin melakukan ibadah di gereja, maka Gandhi tidak tergolong kategori ini.  Ia bahkan menolak untuk menjadi seorang Kristen.  Kita dapat belajar dari pemikiran pemikir Katolik Jerman bernama Karl Rahner yang mengajarkan “Kristen-anonim,” yaitu golongan orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan mulia, mengangkat martabat manusia, berbela-rasa terhadap sesama, meskipun mereka tidak beragama Kristen.  Dari sisi iman Kristen, orang-orang yang seperti ini pun digerakkan dan dikuasai oleh Roh Kudus, sebab Roh itu bekerja secara universal, di dalam gereja maupun di luar gereja, di dalam diri orang Kristen maupun di semesta raya.  Jika pertanyaannya kini: apakah orang-orang yang seperti ini diselamatkan?  Maka, bukan wewenang kita untuk menjawabnya.  Hanya Allah saja yang dapat menjawabnya.  Tetapi pun seandainya Allah hendak menyelamatkan mereka, Ia pasti menyelamatkan mereka di dalam Yesus Kristus.  Sebab, Kristus saja kata akhir dari keselamatan (finalitas Kristus). 

c. Bercermin dari kehidupan Gandhi, apa seharusnya peran seorang Kristen di masyarakat? 

Jawab: Orang-orang seperti Gandi dapat menjadi teladan kita untuk menjalankan kesaksian Kristiani kita di tengah masyarakat.  Setiap anggota keluarga Allah juga adalah anggota masyarakat.  Kita ini anggota Kerajaan Allah, sekaligus anggota kerajaan dunia.  Walaupun begitu, kita tidak hidup dalam pola dunia (Rm. 12:2).  Sebagai warga Kerajaan Allah maka kita harus menyatakan nilai-nilai kerajaan Allah itu secara nyata: kasih, kebenaran, keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan.  Kita berjuang untuk mewujudkannya.  Kita tidak akan berhenti.  Bercermin dari seorang Mahatma Gandhi, kita dapat memetik pelajaran bahwa perjuangan membalikkan tatanan tanpa perang dan mengangkat senjata itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi.  Cara yang praktis ialah dengan memberikan pengaruh-pengaruh yang baik bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, tidak membakar emosi orang lain untuk membalasdendam, dan menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap kaum yang tersisih dan terbuang.  Kita sendiri pun belajar untuk hidup sangat sederhana.   

6.   Tuliskanlah Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli