Friday, March 30, 2007

Bucer mengenai Predestinasi


PANDANGAN MARTIN BUCER TENTANG PREDESTINASI: BERDASARKAN TAFSIRANNYA TENTANG SURAT ROMA


PENDAHULUAN

Menurut Martin Bucer, “predestinasi” biasanya diartikan sebagai “penentuan (oleh Allah) dari semula.” Dalam bahasa Yunani, rasul Paulus menggunakan kata proorizein. Menurut Bucer, kata itu hendak mengemukakan dua hal:

Pertama, pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) dan pemisahan mereka dari bangsa-bangsa (manusia-manusia) lain yang akan binasa. Untuk itu, Kitab Suci menggunakan kata kibdal, karena Allah sendiri menggunakan kata ini apabila Ia memasukkan “pemilihan umat-Nya” dan “pemisahan mereka” dari bangsa-bangsa lain (bdk. Im. 20.24; Bil. 16.9 dab.).

Kedua, pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) sebelum mereka dilahirkan. Menurut Bucer, Rasul Paulus membicarakan tema ini untuk mengajarkan bahsa Allah ini telah memilih orang-orang kudus (orang-orang pilihan-Nya) dan menentukan mereka untuk hidup yang kekal sebelum mereka dilahirkan (dan dapat melakukan sesuatu).

Oleh karena itu, Rasul Paulus mau membuktikan bahwa keputusan Allah tentang keselamatan itu pasti dan dasarnya kokoh. Tidak ada seorang pun (sesuatu makhluk pun) yang dapat membatalkan keputusan Allah ini. Keputusan ini diambil oleh Allah sendiri berdasarkan kehendak dan kemurahan-Nya. Bukan karena kebaikan atau prestasi orang-orang yang dipilih-Nya.

I. APAKAH ARTI “PREDESTINASI ORANG-ORANG KUDUS”?

Dalam Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, yaitu waktu Ia menentukan kita dari semula (proorizein) untuk menjadi anak-anak-Nya (bdk. Ef. 1.5). Karena itu, “penentuan dari semula” ini biasanya disebut predestinasi.

Jadi, predestinasi tidak lain daripada pemilihan Allah atas mereka yang telah Ia tentukan sendiri “dari semula,” sehingga apabila mereka dilahirkan atau ditarik kepada anak-anak-Nya, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus. Mereka ini ditanamkan di dalam Kristus, dan yang dengan jalan ini dihubungkan dengan Dia, maka secara baru dilahirkan kembali dan dikuduskan menurut kehendak-Nya. Inilah yang disebut Kitab Suci sebagai predestinasi.

II. PREDESTINASI ORANG-ORANG YANG DITOLAK (DIBUANG)

Di samping “predestinasi orang-orang kudus,” terdapat juga “predestinasi orang-orang fasik” (orang-orang yang tidak percaya kepada Allah). Sama seperti Allah menciptakan mereka dari yang tidak ada, demikian pula Ia menciptakan mereka untuk suatu maksud (tujuan) tertentu. Ia melakukan segala sesuatu dengan bijaksana: segala sesuatu yang telah “ditentukan dari semula” untuk suatu maksud (tujuan) baik, juga bagi orang-orang fasik. Mereka juga adalah alat dan instrumen (Rm. 9.22). Segala sesuatu dijadikan Allah karena diri-Nya (kehendak-Nya) sendiri, juga orang-orang fasik untuk kebinasaan yang kekal (bdk. Ams. 16.14).

Banyak ahli tidak mau menyebut hal ini sebagai predestinasi, melainkan “reprobasi.” Tetapi Allah menjadikan segala sesuatu dengan baik dan bijaksana. Karena itu, Ia tidak menjadikan sesuatu tanpa maksud (tujuan) tertentu. Orang-orang fasik Ia serahkan kepada sifat dan kemauan mereka yang buruk, dan Firaun Ia bangkitkan supaya justru di dalam sifat dan kemauan-Nya, Ia menyatakan kuasa-Nya. Selanjutnya, Esau Ia benci sebelum Esau melakukan sesuatu yang jahat. Inilah yang disebut oleh Kitab Suci sebagai predestinasi.

Namun, jika Allah menciptakan juga orang-orang fasik, siapakah yang mau menyangkal bahwa sebelum Ia mencipyakan mereka, Ia sudah lebih dahulu mengetahui untuk apa mereka Ia gunakan. Untuk itulah mereka Ia kehendaki dan ciptakan. Keberatan apa yang dapat kita kemukakan untuk menyebut tindakan Allah ini predestinasi?

Rasul Paulus berkata-kata dalam nas kita—juga dalam Efesus 1.5, di mana kata proorizein digunakan—tentang perkenanan Allah terhadap orang-orang yang dipilih-Nya (orang-orang kudus). Karena itu, predestinasi oleh Allah yang Rasul Paulus bicarakan di sini ialah pemilihan (penentuan dari semula) orang-orang kudus untuk membuat mereka mendapat bagian dalam keselamatan yang kekal.

Mengenai hal ini banyak orang—yang tidak seluruhnya setuju dengan apa yang dikatakan di atas—berpendapat bahwa hanya tentang orang-orang kudus saja kita harus memakai suatu pengertian lain, yaitu “reprobasi.” Mereka katakan bahwa tidaklah terhormat untuk berbicara tentang Allah yang mengatakan bahwa dari semula Ia telah menentukan seseorang untuk kebinasaan yang kekal.

Menurut Bucer, Kitab Suci tidak melihat perbuatan Allah untuk menyerahkan mereka ke dalam sifat dan perbuatan yang jahat dan membuang mereka ke dalam kebinasaan yang kekal sebagai suatu problem. Namun, pikiran manusialah yang tidak dapat menerima bahwa Allah “mengeraskan” hati separo orang sehingga mereka tidak dapat percaya, membuat mata mereka seolah-olah buta sehingga mereka tidak dapat melihat, dan menyerahkan mereka ke dalam kebinasaan.

Karena itu, banyak orang berpendapat bahwa bukanlah sesuatu yang terhormat untuk mengatakan tentang Allah yang dari semula telah menentukan orang-orang tertentu untuk kebinasaan yang kekal. Sebab, menurut mereka tidak adil jika orang membuat mata hambanya tidak dapat melihat dan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang hanya dapat ia lakukan dengan mata yang sehat. Dan lebih tidak adil lagi jika hamba itu dihukum karena ia tidak dapat melakukan apa yang ditugaskan kepadanya.

III. PIKIRAN MANUSIA MENGENAI PREDESTINASI

Yang berkata-kata demikian ialah pikiran manusia mengenai Allah. Pikiran manusia mereka bahwa Allah tidak adil karena Ia menugaskan kepada sepato orang untuk mengerjakan sesuatu, padahal sebelumnya Ia “mengeraskan” hati mereka dan membuat mata mereka tidak dapat melihat. Pikiran manusia mengatakan bahwa Allah secara tidak adil telah menghukum mereka. Demikianlah caranya manusia berpikir mengenai Allah. Ia—menurut pikiran manusia—baru adil jika sebelumnya Ia telah menciptakan manusia itu kembali dan telah memberikan kepadanya sifat dan perbuatan yang lain (yang baru). Apabila hal itu telah Ia lakukan, barulah Ia secara adil menghukum mereka apabila tidak mengerjakan apa yang ditugaskan kepada mereka.

Banyak orang percaya yang terjerumus ke dalam pikiran manusia tentang Allah dan turut berkata-kata seperti itu. Padahal, dalam Kitab Suci terdapat banyak sekali nas yang memberikan kesaksian yang lain. Karena itu—berdasarkan kesaksian Kitab Suci—kita harus menolak dan membuang pikiran seolah-olah Allah tidak adil dalam perbuatan-perbuatan-Nya.

Kita harus mengaku bahwa perbuatan Allah sangat sulit dan dalam bagi kita, sama dengan ngarai yang tidak dapat kita ukur kedalamannya. Sungguhpun demikian, kita harus yakin bahwa perbuatan Allah adil, seperti yang disaksikan oleh pemazmur, “TUHAN itu adil dalam segala jalannya dan [enuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya. (Mzm. 145.17). Berdasarkan nas-nas Kitab Suci ini, kita harus mengakui bahwa Allah adil apabila Ia menuntut suatu hidup yang suci dari kita, suatu hidup yang dihiasi dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia bukan saja mempunyai hak untuk “mengeraskan” hati orang dan membuat matanya tidak dapat melihat, melainkan juga menghukumnya. Namun, kesalahan-kesalahan yang kita buat harus kita tanggung sendiri.

Satu hal harus kita ingat. Maksud Allah yang terakhir bukanlah hukuman mereka dengan “mengeraskan” hati mereka dan membuat mata mereka tidak dapat melihat. Sebab segala sesuatu telah Ia jadikan untuk kemuliaan-Nya, juga orang-orang fasik untuk hati penghakiman (bdk. Ams. 16.9). Karena itu, firman Tuhan kepada Firaun berbunyi, “Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di atas seluruh bumi” (Rm. 9.12).

Dalam banyak bagian Kitab Suci kemuliaan Allah dilihat sebagai maksud (tujuan) dari hukuman yang Ia pikulkan (jatuhkan) kepada orang-orang fasik. Hal ini antara lain kita baca dalam Yesaya. Perkataan ini beberapa kali ia ulangi “hanya Tuhan sajalah yang akan dimuliakan pada hari itu” (bdk. Yes. 2.11 dan 17). Ketika Yesaya berbicara tentang “pengerasan” hati orang-orang fasik dan “pembuatan mata mereka tidak dapat melihat,” ia menambahkan kesaksian ini:

“Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup, supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik dan menjadi sembuh” (Yes. 6.10; bdk. 6.9).

Karena itu, dalam pasal berikutnya orang-orang yang ditolak (dibuang) oleh Allah disebut “alat-alat dari murka Allah,” yang dijadikan dan dipersiapkan untuk kebinasaan. Rasul Paulus juga menggunakan nas ini, ketika ia berkata-kata tentang “rahasia rencana keselamatan Allah dengan Israel”:

“Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan—justru untuk menyatakan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain, seperti yang difirmankan-Nya juga dalam kitab nabi Hosea”(Rm. 9.21-25a).

Dari nas-nas (kesaksian-kesaksian) ini, kata Bucer, apakah arti predestinasi itu? Secara umum dapat kita katakan, bahwa predestinasi adalah kehendak Allah untuk menentukan maksud hidup (tujuan hidup) tiap-tiap orang. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, predestinasi orang-orang kudus ialah pemilihan dan ketentuan mereka (oleh Allah) untuk kehidupan yang kekal.

IV. UNTUK APAKAH “PREDESTINASI” ITU?

Pertanyaan ini akan dijawab Bucer dalam bagian kedua karyanya, Questio. Philipp Melanchton, dalam salah satu karyanya, sangat baik dan sangat cermat menulis tentang predestinasi. Predestinasi gunanya tidak lain dari lebih memperkuat kepastian kita tentang keselamatan yang Allah berikan kepada kita dan agar kita lebih kokoh lagi berpegang pada janji-janji-Nya. Sebab, yang terutama Allah kehendaki dari kita adalah supaya dengan sepenuh hati kita percaya kepada-Nya sebagai Allah dan penyelamat agar kita dengan cepat berlari kepada-Nya ketika Ia memanggil semua orang—yang bimbang dan merasa diri tertekan—untuk datang kepada-Nya. Pasti Ia, yang memanggil mereka, telah mengenal mereka dari dari semula. Ia juga akan membenarkan dan memuliakan mereka. Karena itu, yang pertama-tama harus kita lakukan ialah percaya bahwa kita telah ditentukan dari semula untuk keselamatan dan bahwa Allah tidak membohongi kita ketika Ia memanggil kita melalui Injil-Nya.

Maksud-Nya memanggil kita melalui Injil-Nya ialah untuk membenarkan kita dan untuk mendapat bagian dalam kemuliaan-Nya. Tetapi hal ini hanya terjadi bagi orang-orang yang dipredestinasi, yaitu orang-orang yang sebelumnya Ia kenal dan pilih. Allah melakukan segala sesuatu menurut suatu jalan yang telah Ia tentukan lebih dahulu secara bijaksana. Hal ini tidak boleh kita sangsikan. Sebab, kalau hal itu terjadi, kita juga menyangsikan janji-janji yang diberikan-Nya kepada kita tentang keselamatan dan apa yang Ia karuniakan kepada kita melalui Injil-Nya.

Setiap orang yang percaya kepada-Nya mewarisi kehidupan yang kekal seperti yang kita dapat baca melalui Injil Yohanes 3.15, yakni “supaya sertiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Dari nas ini jelaslah bahwa “predestinasi kita dan sesama kita (oleh Allah) harus mendapat perhatian penuh dari kita, sehingga kepercayaan kita kepada Allah makin diperkokoh. Dengan cara itu, kepercayaan kita dan kepercayaan orang-orang lain kepada Allah akan semakin bertumbuh. Sebab itu, pertanyaan “apakah kita dipredestinasi atau tidak” harus dengan tegas kita tolak sebagai inti dari segala pencobaan yang sangat membahayakan.

Oleh karena itu, sebagai prinsip dari percaya, kita harus menerima bahwa sebelumnya kita smeua telah dikenal, dipilih, dan dipisahkan Allah, supaya kita—untuk seterusnya—diselamatkan. Kita harus ingat bahwa perkataan Allah ini tidak bisa diubah. Karena itu, segala pikiran kita, segala perbuatan kita, dan lain-lain harus kita arahkan kepada hal itu.

V. BANYAK YANG DIPANGGIL, TETAPI SEDIKIT YANG DIPILIH

Dalam hubungan ini, Bucer akan mengutip kesaksian Kitab Suci, yang sedikit atau banyak dapat membantu kita untuk mengerti apa yang akan Bucer katakan tentang pokok di atas, “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (Mat. 22.14) dan “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, “Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 7.21).

Perkataan pertama, yaitu “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Arti dari perkataan ini adalah banyak orang yang dipanggil oleh pemberitaan Injil yang disampaikan kepada mereka. Namun, mereka tidak percaya dan tidak datang kepada Kristus karena mereka tidak dipilih. Kita—yang sedikit jumlahnya—lain daripada mereka. Kita percaya pada Injil yang diberitakan kepada kita. Karena itu, kita datang kepada Kristus. Sebab itu, kita tidak sangsi apakah kita sebelumnya telah dikenal oleh Allah atau tidak. Karena itu, kita dipanggil, dipredestinasi, dan dipilih sesuai dengan kehendak-Nya.

Perkataan kedua, yaitu “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, “Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 7.21). Perkataan ini hendak mengingatkan dan membangunkan kita agar lebih kuat dan lebih bersungguh-sungguh berpegang pada kehendakn Allah. Itulah maksud Tuhan mengucapkan perkataan itu, bukan untuk membuat kita menjadi sangsi akan pilihan kita (oleh Allah). Yang benar adalah, semakin kiuat kita berpegang pada pembenaran kita, semakin kuat kita yakin akan panggilan kita dan pemilihan kita dan akan panggilan dan pemilihan orang-orang yang seiman dengan kita.

Penting kita ingat bahwa suatu keyakinan yang serius akan pembenaran kita (oleh Allah) adalah suatu pemberian-Nya yang hanya dikaruniakan kepada orang-orang yang Ia predestinasi (kenal dan tentukan dari semula) dan yang Ia pilih. Karena itu, keyakinan kita yang serius akan pembenaran kita adalah suatu bukti yang kokoh bahwa kita benar-benar dipilih dan dipredestinasi oleh Allah. Namun, kita tahu, bahwa keyakinan kita akan pembenaran kita lemah dan rusak oleh dosa yang kita buat dalam hidup kita, sehingga kita tidak tahu dengan pasti apakah karena itu kita akan beroleh keselamatan atau tidak. Yang pasti, predestinasi dan pemilihan hanya dapat diperoleh dalam janji dan panggilan Allah.

VI. PENGOKOHAN PEMILIHAN KITA

Untuk uraian kita tentang pokok di atas, Bucer mengutip suatu nas dari Surat Rasyl Petrus yang kedua. Di situ kita membaca, “Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung. Dengan dmeikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan yang kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr. 1.10-11). Nas atau perkataan Rasul Paulus ini dapat disalahtafsirkan. Sebab yang ia maksudkan di sini bukanlah bahwa kepastian dari panggilan dan pilihan kita berganung pada perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan. Bukan! Yang ia maksudkan adalah bahwa hanya oleh perhatian kita yang sungguh-sungguh terhadap perbuatan-perbuatan baik, yang diberikan Allah kepada kita untuk kita lakukan sebagai orang-orang Ia pilih dan panggil, tugas itu dapat kita tunaikan. Atau lebih baik, hanya dengan pertolongan dan pimpinan Allah kita dapat menunaikan tugas kita.

Pemilihan dan panggilan yang Rasul Paulus maksudkan ialah pemilihan dan panggilan dalam arti “hidup” kita. Untuk hidup yang demikianlah kita dipilih dan dipanggil. Karena itu, sebagai tambahan ia katakan, “Sebab jika kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.” Menurut Bucer, hal ini berarti bahwa orang-orang kudus tidak akan pernah menyimpang dari jalan Tuhan, jika mereka bersungguh-sungguh berusaha agar orang-orang yang dipilih dan dipanggil itu semakin lama semakin kokoh.

Menurut Bucer, semua kesaksian dalam Kitab Suci yang mempermasalahkan dan mencela kebohongan kita dan yang menasihati agar kita rajin berusaha untuk hidup suci dan saleh mempunyai maksud. Maksud itu ialah untuk membangunkan kita agar melihat (menyadari) perbuatan-perbuatan kita yang salah dan menyaksikan kepada kita bahwa sia-sia saja kita berseru (meminta tolong) kepada Allah, jika kita tidak menaati kesaksian-kesaksian Kitab Suci itu dan bersungguh-sungguh berusaha untuk hidup suci dan saleh di hadapan Tuhan. Kesaksian-kesaksian Kitab Suci itu harus kita dengan dan pahami begitu rupa, sehingga kita tidak menaruh kepercayaan kepada diri kita untuk lagi dan tidak menghargai segala kebenaran kita. Menurut Bucer, hal ini berarti kita harus menguatkan kepercayaan kita pada kebaikan Tuhan dan hanya benar-benar berharap kepada Allah dan Tuhan kita saja.

VII. PREDESTINASI DAN PAHALA MANUSIA

Menurut Bucer, Bapa-bapa Gereja kadang-kadang kurang baik dipahami sehingga timbul ajaran sesat. Seolah-olah predestinasi kita didasarkan atas perbuatan-perbuatan baik dari manusia saja. Menurut ajaran sesat ini, Tuhan Allah dari mulanya telah mengetahui bahwa anugerah yang Ia berikan kepada manusia akan diterima dengan senang hati dan bahwa pemberian-Nya itu akan digunakan dengan baik. Karena itu, Ia mempredestinasi manusia dan menetapkannya untuk mewarisi hidup yang kekal.

Namun, ajaran yang menyesatkan ini, menurut Bucer, dengan tegas ditolak oleh Thomas Aquinas dalam karyanya Summa Theologiae. Melalui suatu argumentasi yang tepat ia katakan, “Apa pun yang baik, yang terdapat pada kita manusia, adalah hasil atau buah dari predestinasi kita (oleh Allah).” Kebaikan apakah yang ada pada kita, yang sebelumnya dapat dilihat oleh Allah, sehingga memutuskan untuk memberikan hidup yang kekal kepada kita? Yang benar adalah, kit atidak mempunyai sesuatu yang baik.

Akan tetapi, jika Allah berkenan untuk memberikan kepada kita suatu tempat bersama-sama dengan mereka yang akan diselamatkan, itu semata-mata terjadi karena anugerah-Nya. Karena diri-Nya sendiri Ia melakukan segala sesuatu yang memberikan segala sesuatu kepada kita. Karena itu, kita harus tetap yakin bahwa kepercayaan kita pada keselamatan yang kekal—harus diperkuat oleh predestinasi. Kepastian dari predestinasi (oleh Allah) sama sekali tidak dapat kita cari dalam perbuatan-perbuatan kita, tetapi hanya dalam janji Allah.

Karena itu, maksud predestinasi kita (oleh Allah) ialah untuk menguatkan iman kita dalam hidup kita yang penuh dengan pertanyaan dan kebimbangan. Hal ini tetap harus tetap kita sadari dan perhatikan. Melupakannya berarti, sadar atau tidak sadar, memberi diri kita dipimpin ke dalam bahaya ajaran sesat dari kaum pembaptis ulang. Sekali lagi, kita harus tetap waspada terhadap kelicikan mereka. Apa pun sebabnya dan bagaimanapun bentuknya kita sama sekali tidak boleh bimbang dan bertanya apakah kita dipredestinasi (oleh Allah) atau tidak.

Pada akhir uraiannya Thomas Aquinas—untuk kesekian kalinya—menasihati kita untuk tetap waspada dan tidak memberi diri kita dikuasai oleh kebimbangan yang ditimbulkan oleh ajaran sesat yang ia tulis di atas.

VIII. PREDESTINASI DAN KEHENDAK BEBAS

Mungkin, kata Bucer, kita bertanya apakah predestinasi meniadakan kehendak bebas dari manusia? Tiap-tiap orang yang mengetahui apa itu kehendak bebas dan teguh berpegah pada apa yang kita telah jelaskan di atas sedikit pun tidak akan bimbang tentang hal ini.

Tetapi apakah kehendak bebas itu? Menurut Bucer, kehendak bebas dari manusia ialah kemampuan yang ia miliki untuk melakukan apa yang ia kehendaki tanpa paksaan. Dengan kata lain, kehendak bebas ialah kemampuan yang ia miliki untuk berbuat atau bertindak sesuai dengan pendapatnya (keputusannya) sendiri. Artinya, berbuat atau bertindak dari dirinya sendiri dan tidak didorong ke suatu arah yang tidak ia kehendaki.

Jadi, apakah kehendak bebas dari manusai itu kebebasan yang mutlak? Tidak! Namun, sama seperti yang telah kita katakan di atas, ia tidak ditiadakan oleh predestinasi Allah. Tuhan Allah tidak memaksa manusia untuk mengikuti atau menaati kehendak-Nya. Manusia bebas dalam hidup dan perbuatannya. Tetapi, kalau hidup dan perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak Allah, ia harus menanggung akibatnya. Inilah bedanya kebebasan kehendak manusia yang mutlak dengan predestinasi. Predestinasi ialah ketentuan Allah untuk membuat manusia sebagai orang kudus perpartisipasi (mendapat bagian) dalam keselamatan yang abadi dari Yesus Kristus, Tuhannya. Keselamatan yang abadi ialah bahwa kita, sebagai orang-orang kudus, oleh pimpinan Roh Kudus dapat melihat dan dapat mempertimbangkan apa yang baik.

Inilah yang harus kita lakukan dengan baik dan tekun. Namun, hal itu hanya mungkin jika kita tidak salah mengartikan kemauan kita yang bebas dan tidak memberi diri kita dikuasai oleh kebimbangan sehingga kita dapat berpikir dengan sehat dan bertindak dengan tepat.

Predestinasi tidak meniadakan kehendak bebas dari manusia untuk mengambil keputusannya sendiri. Malahan sebaliknya! Hanya kehendak bebas manusia yang memungkinkannya. Sebab, Roh dari kehendak yang benar—yang memimpin kita untuk menilai sendiri apa yang baik, tanpa dipaksa oleh siapa pun juga—akan menyertai kita karena Allah sebelumnya telah mengenal dan menentukan kita dari semula untuk mewarisi keselamatan yang abadi. Ia yang memungkinkan kita untuk menolak yang jahat dan mencintai yang benar.

Kalau hal itu tidak kita ingat, kita akan terperosok ke dalam ajaran sesat yang akan mengurung kita di dalam kekuasaan iblis. Kemerdekaan yang sejati—seperti yang dikatakan oleh Augustinus—ialah kemerdekaan yang memimpin kita kepada keselamatan. Kemerdekaan yang benar adalah hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Kebebasan ini tidak ditiadakan oleh predestinasi, karena ia adalah hasil atau buah daripadanya.

Ditinjau dari terang ini, jelaslah bahwa kepastian akan keselamatan yang berasal dari predestinasi, tidak membatalkan kebebasan kehendak. Namun sebaliknya, ia merealisasikannya. Sebab benar sekali apa yang ditulis oleh Augustinus, yaitu bahwa “sama seperti Allah tidak dapat keliru, demikian pula tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang dipredestinasi yang tidak beroleh keselamatan.”


Sumber:
Disadur dari Abineno, J. L. Bucer dan Calvin: Suatu Perbandingan Singkat. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.

Berdoa Bersama Yohanes Calvin


BERDOA BERSAMA YOHANES CALVIN

Panduan Doa Taizé


Jumat, 30 Maret 2007

PENGENALAN AKAN ALLAH, KESALEHAN YANG SEJATI

Pengantar
Yohanes Calvin dilahirkan pada tahun 1509 di Noyon [baca: No:ayong], di provinsi Picardy, Prancis Utara. Ia belajar di Universitas Paris, Orléans [baca: O:léong] dan Bourges [baca: Bu:sh]. Pada tahun 1533, ia dicurigai terlibat dalam pembuatan pidato ilmiah rektor baru Universitas Paris, Nicholas Cop [baca: Ko:], yang terkesan sangat Protestan dan menyerang ajaran Katolik Roma. Calvin cepat-cepat melarikan diri. Ia kemudian menetap di Basel, Swiss, untuk belajar dan menulis.

Pada tahun 1536 ia sedang dalam perjalanan ke kota Strassburg, namun perang lokal memaksanya memutar haluan melintasi kota Jenewa. Calvin hanya berniat tinggal satu malam di kota itu, tetapi William Farel, pemimpin Reformasi di kota itu, mendesaknya untuk tinggal. Akhirnya ia tinggal di sana sampai tahun 1538. Karena kekurangmatangannya, ia bertikai dengan Dewan kota, dan akhirnya diasingkan keluar dari Jenewa dan pindah ke Basel untuk melanjutkan studi teologi.

Namun, Martin Bucer, pemimpin Reformasi di Strassburg segera mengundangnya ke Strassburg untuk melayani jemaat kecil, para pengungsi Prancis yang telah menjadi Protestan. Sementara berada di Strassburg, kondisi Jenewa makin memprihatinkan. Pada tahun 1540, pejabat pemerintah di kota itu memintanya kembali. Calvin sekonyong-konyong terkejut, dan dalam kesaksiannya ia mengatakan, “Lebih baik saya mati seratus kali daripada disalibkan di kayu salib di kota itu dan mati seribu kali setiap hari.” Namun akhirnya, “dengan serius dan penuh tanggung jawab aku sadar akan tugasku dan aku setuju untuk kembali kepada kawanan dombaku, yang dulu aku dipaksa untuk meninggalkannya. Bagaimana sedihnya, penuh air mata, kekhawatiran dan kecemasan aku lakukan itu, hanya Tuhan yang tahu.”

Calvin kembali ke Jenewa tahun 1541. Di kota ini, ia tidak langsung mendapat kedudukan yang menyenangkan; ia harus berjuang dalam tempo yang sangat panjang, tak kurang dari 20 tahun! Pada tahun 1559 ia menulis, “Tidak ada orang yang begitu banyak diserang, disengat dan disobek-sobek oleh fitnah” seperti dia.

Namun toh perjuangan panjang itu berhasil mengubah wajah Jenewa. Reformator Skotlandia, John Knox, menyatakan Jenewa sebagai “sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di atas dunia sejak zaman para rasul. Di tempat-tempat lain, saya akui, memang Kristus diberitakan. Tetapi tata krama dan agama yang begitu direformasikan dengan tulus ikhlas belum pernah saya lihat di tempat lain.”

Calvin meninggal tahun 1564, namun tak seorang pun mengetahui di mana tubuh Calvin diistirahatkan. Seorang reformator besar, yang mempengaruhi kebudayaan hampir-hampir di semua belahan dunia, membiarkan tubuhnya tak diketahui di mana keberadaannya. Akan tetapi, doanya yang sederhana namun kuat itu tetap menggema di sepanjang abad sejarah gereja, “Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan siap sedia dan tulus.”

H e n i n g

Denting keheningan (lektor):

“Seluruh hikmat manusia, artinya yang patut disebut sebagai hikmat yang benar dan kokoh, boleh dikatakan terdiri dari dua bagian: Apabila kita mengenal Allah, kita masing-masing mengenal diri ita sendiri pula. Akan tetapi, walaupun kedua bagian itu terjalin satu dengan yang lain, namun menentukan mana yang mendahului dan menghasilkan yang satu lagi, tidaklah gampang.

Sebab pertama-tama, tiada seorang pun dapat mengamati dirinya sendiri tanpa segera menjuruskan pikirannya kepada Allah, yang di dalam-Nya ia ‘hidup dan bergerak’” (Kis. 17.28).

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

DOA (dpo. lektor)
Ya Tuhan, Dikaulah sumber segala hikmat dan pengetahuan, dan hanya Dikau saja yang mampu menuntun kami ke dalam kejujuran dan hidup yang kudus, maka, kiranya kini Kau karuniai pikiran yang diterangi. Sebab bila tiada pencerahan-Mu, pekerjaan-pekerjaan kami tak lebih merupakan kesia-siaan. Kendalikanlah hati kami, sehingga kami sedia tiap saat, dan berkenanlah mengaruniakan Roh-Mu kepada kami—yakni Roh pengertian, kebenaran, kebajikan—agar kami kian mengenal Dikau dan belajar hidup dalam kesalehan. AMIN.

Kidung (495):
Tuhan dengarlah doaku ini, hadirlah di sini,
Tuhan dengarlah doaku ini, dengarkanlah aku.

H e n i n g

(I) Bila tidak ada pengenalan tentang diri kita sendiri, tidak mungkin ada pengenalan akan Allah

“Betapa jelas bahwa karunia-karunia yang merupakan kemuliaan kita, sekali-kali bukanlah dari kita; bahkan kita hanya ada karena kita berada di dalam Allah saja. Lalu oleh kebaikan-kebaikan yang menetes ke atas diri kita itu, kita seakan-akan oleh batang-batang air dibimbing ke sumbernya.

Bahkan: dari kemiskinan kita ini lebih jelas lagi terlihat betapa tak terhingganya kebaikan-kebaikan yang terdapat pada Allah. Secara khusus, keruntuhan celaka yang telah kita alami karena nenek moyang pertama kita yang memberontak, memaksa kita untuk menengadah. Tidak hanya supaya kita, yang hampa dan lapar, mengharapkan dari sana segala sesuatu yang tidak kita punyai. Tetapi juga supaya kita tergugah oleh rasa takut dan dengan demikian belajar berendah hati.

Sebab, dari kita dilucuti semua hiasan surgawi, ketelanjangan kita dengan aib besar menampilkan onggokan kehinaan sedemikian tingginya, hingga kita semua menjadi bimbang. Oleh karena itu, hati kita perlu tersayat-sayat oleh kesadaran akan kemalangan kita, supaya kita sekurang-kurangnya lebih dekat sedikit pada pengenalan akan Allah.”

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

“Setelah merasakan kebodohan kita, kesia-siaan, kemiskinan, kelemahan kita, akhirnya kebejatan dan kerusakan kita, kita sampai pada pengetahuan bahwa tiada lain kecuali pada Allahlah benar-benar terdapat hikmat terang, kebaikan kukuh, kelimpahan sempurna, segala kebajikan, keadilan yang murni.

Secara singkat, tergeraklah hati kita oleh kesengsaraan kita, sehingga ditelitinya kebaikan-kebaikan Allah. Dan kita baru dapat mendambakan Dia dengan sungguh-sungguh, kalau kita sudah mulai benar-benar tidak senang akan diri kita sendiri. Karena tentu saja, setiap orang akan merasa senang dan puas akan dirinya sendiri, dan setiap orang memang merasa puas akan dirinya selama ia tidak mengenal dirinya: yaitu selama ia membanggakan kepandaian-kepandaiannya dan tidak mengenal kemalangannya, atau telah melupakannya. Dengan demikian, pengenalan kita akan diri sendiri tidak hanya mendorong kita masing-masing mengenal Allah, tetapi juga kita seakan-akan dibimbing oleh pengetahuan itu untuk menemukannya.”

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

(II) Apabila tiada pengenalan akan Allah, tak mungkin ada pengenalan akan diri kita sendiri

“Sudah barang tentu, manusia tak bakal mencapai pengetahuan yang jelas akan dirinya sendiri selama ia belum mengamati wajah Allah, dan dari pengamatan itu kembali memandangi dirinya sendiri.

Sebab, rasa angkuh yang telah mengakar di dalam hati kita semua, sehingga kita akan selalu menganggap diri kita benar dan utuh, bijaksana dan suci, sampai kita diyakinkan oleh bukti-bukti yang nyata bahwa kita tidak benar, telah kena noda, sembrono dan beraib. Tetapi kita tidak akan pernah yakin selama mata kita tidak hanya memandangi diri kita sendiri dan tidak pula memandangi Tuhan, satu-satunya ukuran yang menjadi pedoman penilaian kita.

Sebab, kita semuanya pada dasarnya cenderung bersikap munafik, sehingga kita sudah teramat puas dengan yang tampaknya saja kebenaran, betapa pun tipisnya, sebagai ganti kebenaran yang sebenarnya. Di dalam atau di sekitar kita, tidak ada yang tidak dinajiskan oleh bermacam-macam kecemaran. Oleh sebab itu, sepanjang hidup dan pengamatan kita, kita batasi pada kotoran-kotoran dunia ini. Sehingga, yang cemar kita pandang sebagai yang sangat suci.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Pancaindera kita sesungguhnya dapat melihat dengan lebih teliti lagi betapa kita sesat dalam menanggapi kekuatan dan kemampuan jiwa. Sebab, apabila kita memandang ke bawah, waktu sedang terang-benderang, atau apabila kita memandangi hal-hal di sekeliling kita, maka kita mengira bahwa kita dikaruniai penglihatan yang paling kuat dan tajam; tetapi apabila kita langsung menengadahkan mata kita untuk menatap matahari, maka kita yang begitu awasnya di bumi itu dengan seketika disilaukan atau dikaburkan oleh cahaya yang secerah itu. Sehingga kita terpaksa mengaku bahwa ketajaman mata kita untuk mengamati hal-hal di bumi ini hanyalah keburaman, apabila soalnya mengenai matahari yang cerah.

Demikian pulalah terjadi, bila kita periksa harta rohani kita. Sebab, selama pandangan kita tidak meninggalkan bumi, kita puas dengan kebenaran kita, dengan kebijaksanaan dan kebajikan kita, kita merasa senang, kita membujuk diri dengan khayalan, dan hampir-hampir kita menganggap diri kita setengah dewa.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Namun, jika kita mulai mengangkat pikiran kita kepada Allah dan mempertimbangkan benar-benar bagaimana Ia, dan betapa eloknya kesempurnaan kebenaran-Nya, kebijaksanaan dan kebajikan-Nya yang harus menjadi teladan yang dengannya kita menyesuaikan diri, maka yang tadinya amat menyenangkan hati kita di bawah selimut kebenaran yang palsu, terasa oleh kita berbau sangat tidak benar; yang menakjubkan kita sebagai kebijaksanaan, akan terasa oleh kita sebagai kegilaan belaka; dan yang tadinya berlagak sebagai kekuatan, akan ternyata sebagai kelemahan semata-mata.

Karena hal dalam diri kita yang tampak sebagai yang paling sempurna pun, sama sekali tidaklah sebanding dengan kemurnian ilahi.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

(III) Kesalehan adalah syarat untuk mengenal Allah

“Inilah pengenalan akan Allah itu: kita tak hanya memahami bahwa ada suatu Allah, tetapi juga mengerti apa yang perlu kita ketahui mengenai Dia, apa yang bermanfaat demi kemuliaan-Nya, dan akhirnya apa yang berguna bagi kita.

Kami tidak akan berkata bahwa Allah dapat dikenal dengan benar, bila tiada perasaan keber-iman-an atau perasaan kesalehan. Sesungguhnya manusia telah binasa dan telah terkutuk dalam dirinya sendiri, dan bagaimanakah ia dapat menerima Allah sebagai Penebusnya di dalam Kristus yang telah menjadi Pengantara bagi kita?

Pertama-tama, Allah dikenal sebagai Pencipta. Ia dikenal demikian baik melalui karya-Nya, yaitu dunia, maupun melalui ajaran umum Kitab Suci. Kemudian, Allah tampil sebagai Penebus di dalam wajah Yesus Kristus; dari situ lahirlah pengetahuan ganda tentang Dia.

Sebab itulah Ia patut dipuja dan disembah oleh semua orang. Dia adalah sumber segala kebaikan. Maka, yang disebut sebagai kesalehan adalah: rasa hormat-takzim kepada Allah, perasaan yang dibangkitkan oleh kesadaran akan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap kita.”

Kidung (492):
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.

H e n i n g

“Pengenalan kita akan Dia pertama-tama harus tertanam dalam hati kita, terwujud dalam rasa segan dan hormat terhadap Dia, lalu mengajar dan membimbing kita untuk meminta segala kebaikan-Nya kepada-Nya dan untuk mengakui Dia sebagai sumber kehidupan.

Dan sesungguhnya, bagaimana pikiran akan Allah timbul dalam hati kita, mengingatkan kita bahwa kita ini adalah hasil perbuatan tangan-Nya. Bahwa sebagai hak cipta-Nya, kita harus tunduk dan menghambakan diri kepada kekuasaan-Nya, bagwa kita hidup berkat Dia, bahwa dalam segala sesuatu yang kita jalankan dan yang kita usahakan, kita harus memperhitungkan Dia.

Inilah perasaan keagamaan yang benar dan yang murni: beriman dan sekaligus sungguh-sungguh takut akan Allah, sedemikian rupa sehingga keseganan itu mengandung rasa hormat yang sukarela, dan membawa serta ibadah sebagaimana yang selayaknya dan yang sesuai dengan perintah Allah sendiri di dalam Hukum-Nya.

Hendaklah kita perhatikan, semua orang mungkin menghormati Allah, akan tetapi hanya sedikit yang menyembah Dia. Karena di mana-mana dalam upacara-upacara keagamaan orang banyak berlagak, tetapi jarang terdapat kesungguhan hati.”

Kidung (492):
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.

H e n i n g

DOA (lektor)
“Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan siap sedia dan tulus.”

Kidung (485):
Jiwaku tenang dalam Tuhan,
Dia Penyelamatku.

Friday, March 23, 2007

The Healing


THE HEALING

How are we healed of our wounding memories? We are healed first of all by letting them be available, by leading them out of the corner of forgetfulness and by remembering them as part of our life stories. What is forgotten is unavailable, and what is unavailable cannot be healed. Max Scheler shows how memory liberates us from determining power of forgotten painful events. “Remembering,” he says, “is the beginning of freedom from the covert power of the remembered thong or occurrence.”

If ministers are reminders, their first task is to offer the space in which the wounding memories of the past can be reached and brought back into the light without fear. When the soil is not plowed the rain cannot reach the seeds; when the leaves are not raked away the sun cannot nurture the hidden plants. So also, when our memories remain covered with fear, anxiety, or suspicion the word of God cannot bear fruit.

To be a reminder requires a dynamic understanding of the lives and behaviour of those who need to be reminded, an understanding which offers insight into the many psychic forces by which painful memories are rejected. Anton Boisen, the father of the Movement for Clinical Pastoral Education, pleaded for this dynamic understanding when he proposed a “theology through living human documents.” Many pastoral theologians and psychologists have deepened this understanding with the help and inspiration of the contemporary behavioral sciences.

During the past few decades theological educators have become increasingly convinced of the importance of this dynamic approach to ministry, and the many centers for Clinical Pastoral Education have made great contributions in this direction. But today, in the seventies, new questions are being heard. Has the great emphasis on the complex psychodynamic of human behavior not created a situation in which ministers have become more interested in the receiver of the message than in the message itself? Have we not become more immersed in the language of the behaviourial sciences than in the language of the Bible? Are we not talking more about people than about God, in whise name we come to people? Do we not feel closer to the psychologist and psychiatrist than to the priest? Sometimes the questions have an accusatory and self-reighteous tone, but often they are raised with an honest desire to move forward with a full appreciation of what has been learned. Such questions challenge us to look beyond the task of accepting. Accepting is only one aspect of the process of healing. The other aspect is connecting.

The great vocation of the minister is to continuously make connections between the human story and the divine story. We have inherited a story which needs to be told in such a way that the many painful wounds about which we hear day after day can be liberated from their isolation and be revealed as part of God’s relationship with us. Healing means revealing that our human wounds are most intimately connected with the suffering of God himself. To be a living memory of Jesus Christ, between our little life and the great life of God with us. By lifting our painful forgotten memories out of the egocentric, individualistic, private sphere, Jesus Christ heals our pains. He connects them with pain of all humanity, a pain he took upon himself and transformed. To heal, then, does not primarily mean to take pains away but to reveal that our pains are part of greater pain, that our sorrows are part of a greater pain, that our experience is part of the great experience of him who said, “But was it not ordained that the Christ should suffer and so enter into the greater glory?” (cf. Luke 24.26).

By connecting the human story with the story of the suffering servant, we rescue our history from its fatalism chain and allow our time to be converted from chronos and kairos, from a series of randomly organized incidents and accidents into a constant opportunity to explore God’s work in our lives. We find a beautiful example revealing this connection in Martin Luther’s letter of counsel to Elector Frederick of Saxony. He writes:

When, therefore, I learned, most illustrious prince, that Your Lordship has been afflicted with a grave illness and that Christ has at the same time become ill in you, I counted it my duty to visit Your Lordship with a little writing of mine. I cannot pretend that I do not hear the voice of Christ crying out to me from Your Lordship’s body and flesh and saying: “Behold I am sick.” This is so because such evils as illness and the like, are not borne by us who are Christian, but by Christ himself, our Lord and Saviour, in whom we live . . . .”

All our ministry rests on the conviction that nothing, absolutely nothing, in our lives is outside the realm of God’s judgment and mercy. By hiding parts of our story, not only from our own consciousness but also from God’s eye, we claim a divine role for ourselves; we become judges of our own fears. Thus we disconnect ourselves not only from our own suffering but also from God’s suffering for us. The challenge of ministry is to help people in very concrete situations—people with illness or in grief, people with physical or mental handicaps, people suffering from poverty and oppression, people caught in the complex networks of secular or religious institutions—to see and experience their story as part of God’s ongoing redemptive work in the world. These insights and experiences heal precisely because they restore the broken connection between the world and God and create a new unity in which memories that formerly seemed only destructive are now reclaimed as part of a redemptive event.

Nouwen, Henri J. M. The Living Reminder: Service and Prayer in Memory of Jesus Christ. Pp. 22-27. Minneapolis: Seabury, 1977.

Thursday, March 22, 2007

Berdoa Bersama Martin Luther



BERDOA BERSAMA MARTIN LUTHER


Panduan Doa Taizé
Jumat, 23 Maret 2007


KRISTEN SEJATI

Homili oleh
Pdt. Mikha Joedhiswara


Pengantar
“Di sepanjang hidupku, aku mencari satu agama yang benar, dan aku mati dalam kemiskinan.” Kata-kata ini dibawa hingga ke kubur seorang pembaru gereja, Martin Luther (1483-1546).

Ia lahir di Eisleben, Jerman. Semula ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ahli hukum, maka is pun melanjutkan studi di Universitas Erfurt yang ternama. Namun satu peristiwa yang hendak merenggut nyawa membuat Luther mengubah arah hidup. Ia masuk ke sebuah pertapaan Agustinian di Erfurt (1505) dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1507. Ia adalah seorang muda yang brilian hingga para atasan menunjuknya untuk menjadi dosen di Universitas yang baru didirikan di Wittenberg (1508).

Peristiwa yang mengubah hidupnya yakni tatkala pada tahun 1510 ia dikirim ke Roma untuk urusan pertapaan. Di sanalah ia melihat penyimpangan gereja. Tahun 1511 ia memperoleh gelar Doktor Teologi, dan diangkat sebagai profesor tafsir Alkitab di Wittenberg.

Luther masuk ke pertapaan dengan harapan menemukan kedamaian bersama Allah. Namun, semakin dekat ia memiliki pengalaman dengan Allah, ia malahan merasa tersiksa dan hampir-hampir putus asa. Allah yang digambarkan adalah Hakim yang menimbang-nimbang jasa orang. Luther merasa terperangkap. Ia tidak bisa mengasihi Allah yang menghukumnya. Akan tetapi jelas, ia tidak akan diterima sebelum ia mengasihi Allah.

Satu kesulitan bagi Luther yaitu ketika membaca Roma 1.17, “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah [atau tuntutan keadilan Allah].” Di kemudian hari, matanya terbuka dan ia melihat arti dari “kebenaran Allah” itu. Luther kini tahu! Allah tidak menghakimi kita berdasarkan kebenaran kita, tetapi karena Ia benar, maka Ia pun membenarkan kita oleh iman. Injil tidak menunjukkan penghukuman dan murka Allah tetapi penyelamatan dan pembenaran-Nya.

Pada tahun 1517 Luther mengeluarkan 97 dalil sebagai bahan diskusi di universitas. Namun tulisan ini tidak diperhatikan. Selanjutnya ia menulis lagi 95 dalil melawan penjualan surat indulgensia, yaitu surat penghapusan dosa bagi jiwa-jiwa yang sudah meninggal. Ia pun mengritik dengan tajam penyelewengan kepausan, yaitu masalah materialisme.

Luther sebenarnya tidak bermaksud untuk memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Oleh karena penyelidikannya atas Perjanjian Baru, ia dengan berani mengemukakan pokok-pokok iman yang dianggap sesat oleh gereja pada zaman itu. Keprihatinannya yang utama adalah iman yang sederhana di dalam Kristus tidak digagalkan oleh rintangan apa pun.

H e n i n g

Denting keheningan:
“Orang Kristen adalah orang-orang merdeka yang sepenuhnya, dan tidak menjadi hamba siapa pun. Orang Kristen adalah hamba yang setia dari semua orang dan pelayan semua orang. . . Bukankah kita dinamakan menurut Kristus [“Kristen’] bukan karena Ia tidak beserta kita, tetapi karena Ia hadir dalam diri kita, yaitu karena kita percaya kepada-Nya. Kita adalah Kristus bagi sesama kita, dan berlaku seperti Kristus terhadap sesama kita.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Bahwa pekerjaan-pekerjaan Allah itu tidak menarik, jelas dari yang disabdakan dalam Yesaya 53.2, ‘Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada,’ . . . Tuhan merendahkan dan membuat kita gentar oleh hukum Taurat dan pandangan akan dosa, sehingga di hadapan orang lain kita ini bukan apa-apa, bodoh dan fasik . . . [namun] karya-karya Allah itu bernilai kekal, sebab kerendahan dan takut akan Allah adalah upah kita.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Dalam kerajaan kemanusiaan dan daging-Nya, yang di dalamnya kita hidup oleh iman, Ia membuat kita segambar dengan diri-Nya sendiri dan menyalibkan kita dengan membuat kita manusia-manusia yang sejati, ketimbang menjadi allah-allah yang tak bahagia dan congkak; manusia-manusia, dalam sengsara dan dosa mereka.”

Kidung: (Bonum Est Confidere)
Tuhanlah sumber iman bagi kita
Tuhanlah sumber pengharapan.

H e n i n g

“Engkau harus meletakkan pikiran ini di dalam kepalamu dan tiada ragu bahwa engkaulah yang telah menganiaya Kristus, dan oleh dosa-dosamulah, Kristus telah melakukan ini . . . Maka, ketika engkau melihat paku meremukkan tangan Kristus, engkau harus yakin bahwa itu adalah perbuatanmu. Ketika engkau memandang mahkota duri, engkau diyakinkan bahwa semua ini adalah akibat pikiran-pikiranmu yang jahat.”

Kidung: (Bonum Est Confidere)
Tuhanlah sumber iman bagi kita
Tuhanlah sumber pengharapan.

H e n i n g

“Dalam kerajaan keilahian dan kemuliaan-Nya, Ia akan membuat kita sama menjadi tubuh kemuliaan, di mana kkta akan menjadi seperti Dia dan tak lagi menjadi orang-orang berdosa, tak lagi lemah, tetapi menjadi raja, anak-anak Allah, seperti para malaikat di surga. Maka kita akan berkata ‘Allahku,’ yaitu kita benar-benar memiliki Allah, meski sekarang ini kita hanya mengatakannya dalam pengharapan.”

Kidung
Misericordias Domini, in aeternum cantabo
(Kasihani kami, ya Tuhan, kumemuji s’lamanya)

H e n i n g

Doa (dpo. lektor)
Tuhan, manusia tidak mengenal kuasa salib dan membencinya, sebaliknya mereka mencintai yang menjadi lawan salib: hikmat kemuliaan, kuasa, dan sebagainya. Maka kami pun kian menjadi dibutakan dan menjadi angkuh oleh cinta terhadapnya. Namun hasrat manusia tak dapat dipuaskan dengan mendapatkan semua itu. Ketika manusia mengejarnya, manusia kehilangan lebih banyak lagi. Sama seperti cinta akan uang membuat kami makin tamak akan uang. Kuasa salib yang berani mengosongkan segala kesenangan dan kepuasan ternyata masih jauh dari kami. Tuhan, kami berseru kepada-Mu. Sebab justru dengan jalan perendahan, Kristus ditinggikan; dengan jalan pengosongan diri, Kristus mendapatkan segala sesuatu; dengan jalan menjadi hamba, Kristus menjadi Tuhan atas semesta. Oleh jalan salib, Kristus menerima pemuliaan kekal. Amin.

Kidung
Yesus, ingat aku, di dalam kerajaan-Mu,
Yesus, ingat aku, di dalam kerajaan-Mu.


H O M I L I

Tuesday, March 20, 2007

Overcoming the Great Fallacy may be harzadous


Warning: Overcoming the Great Fallacy may be harzadous to your faith

But let us not proceed too fast. Overcoming the Great Fallacy, and rejoining things falsely severed, provides no automatic victories. In some cases, the cure may be worse than the disease. This is particularly true in relation of religion and politics.

The early Jews were under no temptation to equate their religion with the dominant politics of the time, since they were always the persecuted minority under attack, kicked this way and that, enslaved, imprisioned, bought, and sold. They could not have equated with their Jewish faith with Pharaoh’s politics even if they had wanted to. However, when they finally did get establish a divinely approved monarchy of their own, generations later, things went so rapidly that the dream of a society in which there was equivalency between God’s will and the king’s decrees was a short-lived and ill-fated nightmare.

The early Christians, all originally Jews, were likewise a tiny minority at first, and it took four centuries behore religion and politics became so intermingled as to be almost indistinguishable from one another. The Emperor Constantine, discovering that he couldn’t lick the Christians, decided to join them and with a single stroke of the stylus made Christianity the “official religion” of the Roman empire. State policies now began to receive religious sanction, and wars of conquest were now fought under the sign of the cross. The taste for power was so heady that for a time even under the papacy had an army and fought its own wars, likewise under the sign of the cross.

When Constantine’s “Christendom” began to unravel, at the time of the Reformation, there emerged the extraordinary spectacle of Europe being divided into areas whose religious affirmation were determined by the religious affiliation of their king, on the principle of Cuius regio eius religio (meaning roughly that if a king is Lutheran his subjects are Lutheran, ditto Calvinist, Catholic, or Anglican).

Calvin’s rule in Geneva (which often gets a worse press than it deserves and included many social programs for the care of the sick and poor) was enforced by those fully persuaded that they knew the minutiae of God’s will and could apply them to the minutiae of civil government. Michael Servetus, fleeing persecution in Catholic Europe because of his heretical views (he held that Jesus was a son of God but not the Son of God), was burned at stake in Protestant Geneva, just as he would have been burned at the stake in Catholic Florence, in order that God’s will be done.

Fanaticism, in other words, is not something from which religious people are automatically immune. Indeed, they are particularly susceptible. One can believe that religion and politics do mix without being persuaded that every mix is a good one.

This helps us understand the new situation in the United States. During the 1960s, when the “liberal” Christians were involved in first in civil rights demonstrations and later in protest over United States involvement in Vietnam, many “conservative” Christians challenged the appropriateness of such activities by involving the familiar rubric, “Religion and politics don’t mix.” And yet, within a decade, many of the same conservative groups were lobbying, registering voters, and vigoriously pushing political agendas of their own, such as prayer in the public schools, antiabortion legislation, and the need for a bigger defense budget. The earlier cry, “Religion and politics don’t mix,” was replaced by the claim that religion and your politics don’t mix, but mine do.”

The real issue goes: Since religion and politics do mix, what is the nature of the mix? What sort of religion, what sort of politics? A religion that claims, according to one Southern Baptist leader, that “God does not hear the prayers of the Jew” will have important political consequences, since if Judaism is a spurious religion, its adherents can appropriately be excluded from public office in the building of a “Christian America,” an agenda dear to the hearts of many religious conservatives.

Monday, March 19, 2007

The Great Fallacy


Living in the Great Fallacy


We live in the “Great Fallacy” era—an era that is known by dualism of sacredness vs. profanness. But why does this pesist? Great Fallacy persist because it is actually the Great Truth; life really is dualistic, and no attemp to argue otherwise can finally win the day. “Truth crushed to earth,” as we learned in grammar school, “will rise again.” It has become so embedded in the tradition that it never occurs to people to challenge it. Traditions die hard; anything that has lasted so long must be right.

But there is another explanation. Mush of the support for it comes because it is in the interest of those with power—whether political, economic, ecclesiastical, or all the three—to retain the power, free from challenge. To such persons, a religion that centers attention on “the realm of the spirit,” removed from the nitty-gritty of life, is a boon, while a religion that insists on dealing with the world of hunger, exploitation, and dehumanization is a bane. To believe, in the words of Juan Luis Segundo, that “the world should not be the way it is” is to issue a call for change, and those who benefit from “the world as it is” are going to feel threatened whenever they hear declarations of discontent.

Third world dictators want “the masses” insulated from notions of political or economic liberation, since such notions might challenge their power. They reward those within the church who preach a message to the poor that goes: Accept your lot, find “spiritual” liberation in the midst of physical hardship, don’t rock the boat, and God will reward you in the afterlife. When Chilean bishops challenge General Pinochet for violations of human rights, he responds that they should be in church praying.

It is not the only third world dictators who feel this way. Many conservative first world Christians likewise want religion to concentrate on “spiritual” things and stay away from challenges to political or economic injustice. To opt for “spirituality” means to them that things as they are need not be challenged, whereas to suggest that the love commandment means reexamining social structures that allow people to starve is, among other things, “unwarranted interference,” a distortion of the gospel, a reduction to mere politics, a replacement of Jesus Christ by Karl Marx, a humanistic rather than a theocentric faith. Many businessmen, for example, are upset by the Catholic bishops’ letter on the economy, because it suggest the need for changes in the capitalistic system of free enterprise.

“Opting for the status quo” might not be a bad thing if the status quo were only a little more just. Those who opt for it are going to be those who most directly benefit from it. But if we look realistically at the world, we find that the beneficiaries are few in number compared to the victims, who have every reason to seek change and even more reason to be suspicious of those who refuse to do so. Those who feel the urgency of change, who believe that “the world should not be the way it is” can never rest content with the Great Fallacy, they look for ways to overcome it.

Spirituality and Sexuality


"Our love is embodied in our feelings, our touch, our passion, and our care. If spirituality loses touch with its roots in sexuality, it loses power to form and inform our deepest selves. When sexuality is separated from spiritual development, it becomes something we use to manipulate, control, and harm what we profess to love. When spirituality is separated from our sexuality, it loses the power of personal connection and becomes lifeless--it cannot moves us to passionate care for this world."


Lynn Rhodes, Co-Creating: A Feminist Vision of Ministry, pp. 64-65. Philadelphia: Westminster, 1987.


Ungkapan ini mengingatkan saya pada nyanyian Komunitas Taize:


Ubi caritas,

et amor,

ubi caritas

Deus ibi est.


Di mana ada cinta-kasih, di sana Allah ada.

Friday, March 16, 2007

A Parable


A Parable

by Jean Skuse on the service to the world should be in the context of the ecumenical priorities of mutuality, justice, and peace.


Once upon a time there was a small village on the edge of a river. The people there were good and so was life in the village. One day a villager noticed a baby floating down the river. The villager quickly jumped into the river and swam out to save the baby from drowning.

The next day the same village was walking along the river bank and noticed two babies in the river. He called for help, and both babies were rescued from the swift waters. And the following day four babies were seen caught in the turbulent current. And then eight, then more, and still more.

The villagers organized themselves quickly, setting up watch towers and training teams of swimmers who could resist the swift waters and rescue babies. Rescue squads were soon working 24 hours a day. And each day the number of helpless babies floating down the river increased.

The villagers organized themselves efficiently. The rescue squads were now snatching many children each day. Groups were trained to give mouth-to-mouth rescucitation. Others prepared formulae and provided clothing for chilled babies. Many were involved in making clothing and knitting blankets. Still others provided forter homes and placement. While not all the babies could be saved, the villagers felt they were doing well to save as many as they could each day.

One day, however, someone raised the question: “But where are all these babies coming from? Who is throwing them into the river? Why? Let’s organize a team to go upstream and see who’s doing it.” The seeming logic of the elders countered: “And if we go upstream, who will operate the rescue operations? We need every concerend person here!”

“But don’t you see,” cried the one lone voice, “if we find out who is throwing them in, we can stop the problem and no babies will drown. By going upstream we can eliminate the cause of the problem!” “It’s too risky.”

And so the numbers of babies in the river increase daily. Those saved increase, but those who drown increase even more.

Make Us One


Make Us One: A Prayer

Jesus Christ—The Life of the World: A Worship Book for the Sixth Assembly of the World Council of Churches. Geneva: WCC, 1983. Pp. 66-67.


O Lord Jesus, stretch forth thy wounded hands
in blessing over thy people, to heal and to restore,
and to draw them to thyself
and to one another in love.

(Middle East)

O God, thou art one; make us one.

O God, forgive us for bringing this stumbling block for disunity
to a people who want to belong to one family.
The church for which our Saviour died is broken,
and people can scarcely believe that we hold
one faith and follow one Lord.
O Lord, bring about the unity which thou hast promised,
not tomorrow or the next day, but today.

(Africa)

O God, thou art one; make us one.

O Lord, forgive the sins of thy servants. May we banish
from our minds all disunion and strife;
may our souls be cleansed of all hatred and malice
towards others, and may we receive the fellowship
of the Holy Meal in oneness of mind and peace with one another.

(India)

O God, thou art one; make us one.

Just as the bread which we break was scattered over the earth.
was gathered in and became one,
bring us together from everywhere
into the kingdom of your peace.

(Epistle to Diognetus)

O God, thou art one; make us one.

Thursday, March 15, 2007

Berdoa bersama Menno Simons




BERDOA BERSAMA MENNO SIMONS

Panduan Ibadah Taize
16 Maret 2007

IMAN YANG RADIKAL

Homili oleh Pdt. Timotius Adhi Dharma

Pengantar

Menno Simons dilahirkan di Witmarsum, di daerah Frisian, Nederlands pada tahun 1496, menurut kutipan dalam biografi yang ditulis Karel Vos, berdasarkan surat Menno kepada Gellius Faber, “Adalah pada tahun 1542, pada usiaku ke-28 tahun.”

Orang tua Menno bisa jadi memiliki peternakan sapi perah. Menno dididik di biara dekat sana. Ia mengenal bahasa Latin, dengan sedikit Yunani, tetapi tidak bisa bahasa Ibrani. Ia ditahbiskan sebagai imam di Utrecht pada tahun 1524 dan selama 12 tahun ia melayani sebagai imam paroki: 7 tahun di Pingjum, lima tahun di Witmarsum. Ia bersaksi bahwa di masa-masa ini, bersama rekan-rekan sesama imam, ia “bermain kartu, minum, dan berpola hidup seperti orang-orang yang tak berguna.”

Di tahun 1525 itu, ia telah ragu-ragu apakah roti dan anggur perjamuan benar-benar berubah menjadi daging dan darah Kristus (seperti ajaran Katolik “transubstansiasi”). Sama halnya dengan kebanyakan para imam, ia tak pernah menyentuh Alkitab untuk mencari kebenaran. Kesaksiannya, “Aku tidak menyentuhnya dalam hidupku, karena aku takut bila aku membacanya [Alkitab], aku akan disesatkan.” Tapi karena keraguan ini, ia mulai membaca Perjanjian Baru serta tulisan Martin Luther (pembaru gereja dari Wittenberg, Jerman). Dari penyelidikannya di Alkitab, ia tidak menemukan bukti doktrin transubstansiasi. Ia menyimpulkan bahwa Perjamuan Kudus adalah simbolis.

Membaca Alkitab lebih jauh lagi, Menno dibimbing untuk meragu-ragukan doktrin gereja lainnya: baptis bayi. Ia heran tatkala mendengar bahwa Sicke Freerks Snijder, seorang binatu, dihukum mati karena dibaptis ulang. “Aneh bagiku mendengar adanya baptisan kedua.” Kematian seorang “pahlawan yang saleh dan berbakti” ini membuat Menno kembali menyelidiki Alkitab. Meski tak menjumpai dasar yang kuat tentang baptisan bayi, Menno tetap menjadi imam di gereja Witmarsum hingga tahun 1536. Pada tahun ini, gerakan Anabaptis masuk ke Nederland di bawah pengaruh Jan Matthijs dan Jan van Leyden yang radikal, yang telah merebut kota Muenster di Jerman dan mendirikan “Yerusalem Baru.” Gerakan ini ditumpas oleh pasukan uskup pada 25 Juni 1535.

Diilhami gerakan Muenster, di Nederland sejumlah 300 orang merebut Olde Klooster, biara dekat Bolsward. Pemberontakan itu berhasil ditumpas, dan banyak orang dibunuh dan ditangkap. Di antara para korban itu adalah Peter Simons, saudara Menno dan beberapa anggota jemaatnya. Bagi Menno, ini adalah kesempatan yang menentukan. Ia melihat orang-orang ini sebagai domba yang tak bergembala. “Aku melihat anak-anak yang pemberani ini, walau mereka salah, bersedia menyerahkan nyawanya . . . untuk doktrin dan iman mereka.”

Menno harus mengambil keputusan: wewenang gereja Katolik atau wibawa Kitab Suci. Pada tanggal 30 Januari 1536 ia mengumumkan komitmen barunya kepada Kristus. Segera ia dibaptiskan oleh Obbe Philips, yang kala itu adalah pemimpin Anabaptis yang non-resistan (anti-perang).

Menno segera menerima tawaran untuk menjadi pemimpin Anabaptis. Ia tahu talentanya terbatas tetapi ia juga tahu kebutuhan orang-orang Anabaptis, yang “sesat seperti domba yang tak dapat melawan karena tidak memiliki gembala.” Sejak saat itu, Menno mengabdikan diri sebagai pengkhotbah Injil dan gembala bagi para saudara. Ia dinyatakan sesat dan terus berpindah menjadi tempat aman. Siapa pun yang memberikan tempat berteduh bagi Menno, pasti dicekal dan dibunuh. Menno meninggal pada tahun 1561 di Wuestenfelde, Schleswig-Holstein, Jerman, 25 tahun setelah ia mengundurkan diri dari Gereja Katolik. Ia dikuburkan di taman rumahnya sendiri.

Denting Keheningan:

“Segeralah aku, dengan sukarela, menarik reputasi duniawi, ketenaran, kefasikan . . . dan menundukkan diri dalam ketertekanan serta kemiskinan di bawah salib Kristus yang berat. Dalam kelemahanku, Aku takut akan Allah . . . dalam jalan inilah Tuhan rahmani melalui anugerah-Nya yang berlimpah, membuatku sadar: seorang pendosa papa, dan mengarahkan hatiku, mencipta pikiran baru, menundukkanku untuk takut pada-Nya, mengajarku untuk mengenal diriku, melepaskanku dari jalan maut dan dengan penuh kasih memanggilku ke jalan hidup yang sempit serta persekutuan orang-orang kudus-Nya. Bagi-Nyalah pujian selamanya. Amin.”

H e n i n g

Kidung:
O . . . kami memuji-Mu, Tuhan;
O . . . kami memuji-Mu, Kristus.

“Kristus menolak untuk dibela oleh pedang Petrus. Bagaimanakah seorang Kristen mempertahankan dirinya dengan pedang? Kristus rela meminum cawan yang Bapa berikan kepada-Nya. Bagaimana mungkin seorang Kristen mau mengingkarinya?”

Kidung:
Sembah bagi-Mu, Kristus,
terpujilah nama-Mu,
dengan salib suci-Mu, Kau bebaskan kami, dengan salib suci-Mu, Kau bebaskan kami.

H e n i n g

“Ataukah, ada orang yang menginginkan diselamatkan dengan cara lain daripada yang Kristus ajarkan kepada kita? Bukankah Kristus itu jalan, kebenaran dan hidup? Bukankah Dialah pintu bagi kawanan domba, sehingga tak mungkin seseorang pun menemukan domba tanpa melalui Dia?”

Kidung:
Sembah bagi-Mu, Kristus;
Terpujilah nama-Mu,
Dengan salib suci-Mu, Kau bebaskan kami,
Dengan salib suci-Mu, Kau bebaskan kami.

H e n i n g

“Bukankah Dialah Gembala para domba-Nya, yang harus diikuti oleh kawanan domba? Bukankah Ia Tuhan dan Teladan kita? Siapakah yang lebih tinggi dari Tuhan? Bukankah seseorang harus menderita sama seperti Kristus menderita? Siapa yang mau menjadi lebih tinggi daripada Gurunya dan merasa tidak cukup dengan pengajaran Sang Guru?”

Kidung
Jiwaku tenang dalam Tuhan,
Dia Penyelamatku.

H e n i n g

“Biar Dia mengerjakan menurut kehendak-Nya yang mulia, bagimu dan kami, sejangka waktu tatkala masih berada dalam hidup bersama suami dan anak-anakmu, atau di luar hidup, bagi kepujian nama-Nya dan keselamatan jiwamu. Kamu mendahului kami, atau kami mendahului kamu. Perpisahan pasti datang . . . Kuasa darah Kristus yang paling kudus menaungi kamu, sekarang dan selamanya. Amin.

Kidung
Jiwaku tenang dalam Tuhan,
Dia Penyelamatku.

H e n i n g

Kidung
Penuhi kami, ya Tuhan, dengan damai-Mu,
Penuhi kami ya Tuhan, Alleluia!

H O M I L I

Monday, March 12, 2007

Surat Calvin kepada Farel


Strasbourg, October 1540

When your letter was brought to me, mine was already written; and although you will find that it does not agree in all points to what you require of me [i.e. to return to Geneva], I have thought it best to forward it you you, that you may be aware what my feeling were at that time when it arrived. Now, however, after I have seen you press the matter further, and that our former guests associate openly in the same cause, I have again had recourse to our magistracy. Having read over your letter and those of the Genevese, I asked what their opinion was now to be done. They answered that there could be no doubt that, without calling any previous meeting, I ought immediately to set out thither; for the question was not now open or doubtful, although it had not been formally settled. Therefore we prepare to start on the journey. In order, however, tht the present need of that church may be provided for, which we are not willing should continue destitute [until I (Calvin) can come], they are of opinion that Viret should by all means be sent for thither, in the meantime, while I am for the present distracted by another charge [in Strasbourg and the colloquies]. When we come back, our friends here will not refuse their consent to my return to Geneva. Moreover, Bucer has pledged himself that he will accompany me. I have written to them to that effect; and in order to make the promise all the more certain, Bucer has accompanied my letter by one from himself.

As to my intended course proceeding, this is my present feeling: had I the choice at my own disposal, nothing would be less agreeable to me than to follow your advice. But when I remember that I am not my own, I offer there is no ground for your apprehension that you will only get fine words. Our friends are in earnest and promise sincerely. And for myself, I protest that I have no other desire than that, setting aside all consideration of me, they may look only to what is most for the glory of God and the advantage of the church. Although I am not very ingenious, I not lack pretexts by which I might adroitly slip away, so that I should easily excuse myself in human sight. I am aware, however, that it is God with whom I have to do, from whose sight such crafty imaginations cannot be withheld. Therefore I submit my will and my affections, subdued and held fast, to the obedience of God. And whenever I am at a loss for counsel of my own, I submit myself to those by whom I hope that the Lord Himself will speak to me.

When Capito wrote, he supposed, as I perceive, that I would, in a lengthy and tiresome narrative, relate to you the whole course of our deliberation; but it is enough that you have the sum of it; although I would have done that also had there been time. But the whole day was taken up in various avocations. Now, after supper, I am not much inclined by sitting up longer to trifle with my health, which is at best in a doubtful state. This messenger has promised to return here at Christmas with the carriage, in which he can bring along with him to Wendelin, of the books which belong to him, ten copies of the Institution, six of [Oecolampadius’s] Commentaries on Jeremiah: these you will give to be brought away with him.

[Calvin’s Letter fo Farel]

Elsie Anne McKee, ed. John Calvin: Selections from His Writings. New York: HarperSanFrancisco, 2006. Pp. 16-18.

Saturday, March 10, 2007

Icons in worship

Icons in worship

Icons contribute to the beauty of worship. They are like windows open on the realities of the Kingdom of God, making them present in our prayer on earth.

Although icons are images, they are not simply illustrations or decorations. They are symbols of the incarnation, a presence which offers to the eyes the spiritual message that the Word addresses to the ears.

According to the eighth-century theologian Saint John Damascene, icons are based on the coming of Christ to earth. Our salvation is linked to the incarnation of the divine Word, and therefore to matter: “In the past, the incorporeal and invisible God was never represented. But now that God has been manifested in the flesh and has dwelt among men, I represent the visible in God. I do not adore matter; I adore the creator of matter, who has become matter for my sake, who chose to dwell within matter and who, through matter, has caused my salvation” (Discourse I,16).

By the faith it expresses, by its beauty and its depth, an icon can create a space of peace and sustain an expectant waiting. It invites us to welcome salvation even in the flesh and in creation.

The value of silence


The value of silence

Three times a day, everything on the hill of Taizé stops: the work, the Bible studies, the discussions. The bells call everyone to church for prayer. Hundreds or even thousands of mainly young people from all over the world pray and sing together with the brothers of the community. Scripture is read in several languages. In the middle of each common prayer, there is a long period of silence, a unique moment for meeting with God.

Silence and prayer

If we take as our guide the oldest prayer book, the biblical Psalms, we note two main forms of prayer. One is a lament and cry for help. The other is thanksgiving and praise to God. On a more hidden level, there is a third kind of prayer, without demands or explicit expression of praise. In Psalm 131 for instance, there is nothing but quietness and confidence: "I have calmed and quieted my soul … hope in the Lord from this time on and forevermore."

At times prayer becomes silent. Peaceful communion with God can do without words. "I have calmed and quieted my soul, like a weaned child with its mother." Like the satisfied child who has stopped crying and is in its mother’s arms, so can "my soul be with me" in the presence of God. Prayer then needs no words, maybe not even thoughts.

How is it possible to reach inner silence? Sometimes we are apparently silent, and yet we have great discussions within, struggling with imaginary partners or with ourselves. Calming our souls requires a kind of simplicity: "I do not occupy myself with things too great and too marvellous for me." Silence means recognising that my worries can’t do much. Silence means leaving to God what is beyond my reach and capacity. A moment of silence, even very short, is like a holy stop, a sabbatical rest, a truce of worries.

The turmoil of our thoughts can be compared to the storm that struck the disciples’ boat on the Sea of Galilee while Jesus was sleeping. Like them, we may be helpless, full of anxiety, and incapable of calming ourselves. But Christ is able to come to our help as well. As he rebuked the wind and the sea and "there was a great calm", he can also quiet our heart when it is agitated by fears and worries (Mark 4). Remaining silent, we trust and hope in God. One psalm suggests that silence is even a form of praise. We are used to reading at the beginning of Psalm 65: "Praise is due to you, O God". This translation follows the Greek text, but actually the Hebrew text printed in most Bibles reads: "Silence is praise to you, O God". When words and thoughts come to an end, God is praised in silent wonder and admiration.

The Word of God: thunder and silence

At Sinai, God spoke to Moses and the Israelites. Thunder and lightning and an ever-louder sound of a trumpet preceded and accompanied the Word of God (Exodus 19). Centuries later, the prophet Elijah returned to the same mountain of God. There he experienced storm and earthquake and fire as his ancestors did, and he was ready to listen to God speaking in the thunder. But the Lord was not in any of the familiar mighty phenomena. When all the noise was over, Elijah heard "a sound of sheer silence", and God spoke to him (1 Kings 19).

Does God speak with a loud voice or in a breath of silence? Should we take as example the people gathered at Sinai or the prophet Elijah? This might be a wrong alternative. The terrifying phenomena related to the gift of the Ten Commandments emphasise how serious these are. Keeping or rejecting them is a question of life or death. Seeing a child running straight under a car, one is right to shout as loud as possible. In analogous situations prophets speak the word of God so that it makes our ears ring.

Loud words certainly make themselves heard; they are impressive. But we also know that they hardly touch the hearts. They are resisted rather than welcomed. Elijah’s experience shows that God does not want to impress, but to be understood and accepted. God chose "a sound of sheer silence" in order to speak. This is a paradox:

God is silent and yet speaking

When God’s word becomes "a sound of sheer silence", it is more efficient then ever to change our hearts. The heavy storm on Mount Sinai was splitting rocks, but God’s silent word is able to break open human hearts of stone. For Elijah himself the sudden silence was probably more fearsome than the storm and thunder. The loud and mighty manifestations of God were somehow familiar to him. God’s silence is disconcerting, so very different from all Elijah knew before.

Silence makes us ready for a new meeting with God. In silence, God’s word can reach the hidden corners of our hearts. In silence, it proves to be "sharper than any two-edged sword, piercing until it divides soul from spirit" (Hebrews 4:12). In silence, we stop hiding before God, and the light of Christ can reach and heal and transform even what we are ashamed of.

Silence and love

Christ says: "This is my commandment, that you love one another as I have loved you" (John 15:12). We need silence in order to welcome these words and put them into practice. When we are agitated and restless, we have so many arguments and reasons not to forgive and not to love too easily. But when we "have calmed and quieted our soul", these reasons turn out to be quite insignificant. Maybe we sometimes avoid silence, preferring whatever noise, words or distraction, because inner peace is a risky thing: it makes us empty and poor, disintegrates bitterness and leads us to the gift of ourselves. Silent and poor, our hearts are overwhelmed by the Holy Spirit, filled with an unconditional love. Silence is a humble yet secure path to loving.

Meditative singing


Meditative singing

Singing is one of the most essential elements of worship. Short songs, repeated again and again, give it a meditative character. Using just a few words they express a basic reality of faith, quickly grasped by the mind. As the words are sung over many times, this reality gradually penetrates the whole being. Meditative singing thus becomes a way of listening to God. It allows everyone to take part in a time of prayer together and to remain together in attentive waiting on God, without having to fix the length of time too exactly.

To open the gates of trust in God, nothing can replace the beauty of human voices united in song. This beauty can give us a glimpse of "heaven’s joy on earth," as Eastern Christians put it. And an inner life begins to blossom within us.

These songs also sustain personal prayer. Through them, little by little, our being finds an inner unity in God. They can continue in the silence of our hearts when we are at work, speaking with others or resting. In this way prayer and daily life are united. They allow us to keep on praying even when we are unaware of it, in the silence of our hearts.

The "songs of Taizé" published in different languages are simple, but preparation is required to use them in prayer. This preparation should take place before the prayer itself, so that once it begins the atmosphere remains meditative.

During the prayer it is better if no one directs the music; in this way everyone can face the cross, the icons or the altar. (In a large congregation, however, it may be necessary for someone to direct, as discreetly as possible, a small group of instruments or singers who support the rest, always remembering that they are not giving a performance for the others.) The person who begins the songs is generally up front, together with those who will read the psalm, the reading and the intercessions, not facing the others but turned like them towards the altar or the icons. If a song is begun spontaneously, the pitch is generally too low. A tuning fork or pitch pipe can help, or a musical instrument give the first note or accompany the melody. Make sure the tempo does not slow down too much, as this tends to happen when the singing goes on for some time. As the number of participants increases, it becomes necessary to use a microphone, preferably hand-held, to begin and end the songs (they can be ended by singing "Amen" on the final note). The person who begins the singing can support the others by singing into a microphone, being careful not to drown out the other voices. A good sound-system is essential if the congregation is large; if necessary check it before the prayer and try it out with those who will be using the microphones.

Songs in many different languages are appropriate for large international gatherings. In a neighborhood prayer with people of all ages present, most of the songs should be in languages actually understood by some of the participants, or in Latin. If possible, give each person a song sheet or booklet. You can also include one or two well-known local songs or hymns.

Instruments: a guitar or keyboard instrument can support the harmonic structure of the songs. They are especially helpful in keeping the correct pitch and tempo. Guitars should be played in classical, not folk style. A microphone may be necessary for them to be heard. In addition to this basic accompaniment, there are parts for other instruments.

“Liberating the core of goodness”


“Liberating the core of goodness”


For many years, Paul Ricœur, the philosopher, was in the habit of coming to Taizé. He was of Protestant background. He died on Friday 20 May 2005 at the age of 92.

We give here the text of a letter Brother Roger addressed to Paul Ricœur’s family the day after his death.

Taizé, 21 May 2005

To the family and to all those who loved Paul Ricœur, I would like to say, with my brothers, that we share their grief, in the trust-filled waiting for our resurrection.

During fifty years, he visited Taizé a good many times and we so much appreciated his great culture and his capacity to express the values of the Gospel in the situations of today. He often helped us in our reflection and more than once I was led to quote in the letters to young people some of the strong expressions he had formulated on topics important to us, such as on the meaning and the origin of evil. One day he said these words to us: “However radical evil may be, it is not as profound as goodness.”

Today, with you, I would like to pray: Christ of compassion, you enable us to remain in communion with Paul Ricœur, as with all those who have gone before us and who remain so close in our hearts. They are already contemplating the invisible. In their footsteps, you are preparing us to welcome a radiance of your light.

Close to you, in profound communion.

I assure you of the trusting of my heart – Brother Roger of Taizé

The excerpts are taken from a conversation that took place in Taizé during Holy Week 2000.

Goodness breaking through

What do I come looking for in Taizé? I would say to experience in some way what I believe most deeply, namely that what is generally called “religion” has to do with goodness. To some extent the traditions of Christianity have forgotten this. There has been a kind of narrowing, an exclusive focus on guilt and evil. Not that I underestimate that problem, which was a great concern of mine for several decades. But what I need to verify is that however radical evil may be, it is not as deep as goodness. And if religion, if religions have a meaning, it is to liberate that core of goodness in human beings, to go looking for it where it has been completely buried. Now here in Taizé I see goodness breaking through, in the community life of the brothers, in their calm and discreet hospitality, and in the prayer. I see thousands of young people who do not express a conceptual articulation of good and evil, of God, of grace, of Jesus Christ, but who have a fundamental tropism towards goodness.

The language of the liturgy

We are overwhelmed by a flood of words, by polemics, by the assault of the virtual, which today create a kind of opaque zone. But goodness is deeper than the deepest evil. We have to liberate that certainty, give it a language. And the language given here in Taizé is not the language of philosophy, not even of theology, but the language of the liturgy. And for me, the liturgy is not simply action; it is a form of thought. There is a hidden, discreet theology in the liturgy that can be summed up in the idea that “the law of prayer is the law of faith.”

From protesting to attesting

I would say that the question of sin has been displaced from the centre by a question that is perhaps more serious—the question of meaning and meaninglessness, of the absurd. (…) We are heirs to a civilization that has in fact killed God, in other words that has caused absurdity and meaninglessness to prevail over meaning, and this gives rise to a deep protest. I use this word “protest,” which is very close to “attest.” I would say that now attesting follows from protesting, that nothingness, the absurd, death, are not the last word. That relates to my question of goodness because goodness is not only the response to evil, but it is also the response to meaninglessness. In protest there is the word testis, witness: you pro-test before you can at-test. At Taizé there is the road from protesting to attesting and this road passes by the law of prayer, the law of faith. Protest is still negative: you say no to no. And there you have to say yes to yes. There is thus a seesaw movement from protesting to attesting. And I think that it comes about through prayer. I was very touched this morning by the singing, those prayers in the vocative: “O Christ.” In other words here we are neither in the descriptive nor the prescriptive mode but in the exhortative and in acclamation! And I think that acclaiming goodness is really the most basic hymn.

“Who will teach us happiness?”

I like the word happiness a lot. For a long time I thought that it was either too easy or too difficult to talk about happiness, and then I got beyond my scruples, or rather I deepened those scruples with respect to the word happiness. I take it in all its various meanings, including that of the beatitudes. The formula of happiness is “Happy the one who….” I greet happiness as a “re-cognition” in the three meanings of the word. I recognize it as mine; I approve of it in others, and I am grateful for the happiness I have known, the small experiences of happiness, which include the small experiences of memory, in order to heal me of the great unhappiness of forgetting. And there I function both as a philosopher, rooted in the Greeks, and as a reader of the Bible and the Gospel where you can follow the trajectory of the word happiness. It seems that there are two levels: the best of Greek philosophy is a reflection on happiness, the Greek word eudaimon, for example in Plato and Aristotle, and on the other hand I am very much at home with the Bible. I think of the beginning of Psalm 4: “Ah, who will teach us happiness?” It’s a rhetorical question, but it finds its answer in the beatitudes. And the beatitudes are the horizon of happiness of an existence placed under the sign of kind-heartedness, because happiness is not simply what I do not have and what I hope to have, but also what I have tasted.

Three figures of happiness

I was reflecting recently on the figures of happiness in life. With respect to the created universe, the beautiful landscape in front of me, happiness is admiration. Then, a second figure, with respect to others: recognizing others and, according to the nuptial model of the Song of Songs, it is jubilation. Then, a third figure of happiness, turned towards the future, is expectation: I still expect something from life. I hope to have courage to face the misfortune I am not aware of, but I still expect happiness. I use the word expectation, but I could use another word that comes from the First Epistle to the Corinthians, from the verse that introduces the famous chapter 13, on “love that understands everything, that excuses everything.” The verse says: “Aspire to the greatest gift.” “Aspire”: that is the happiness of aspiring that completes the happiness of jubilation and the happiness of admiration. (…)

A joyful service

What strikes me here, in all the little daily services of the liturgy, in the meetings of all kinds, the dinners, the conversations, is the total absence of relationships of domination. At times I have the impression that, in the kind of patient and silent meticulousness that characterizes all the acts of the members of the community, everyone obeys without anybody giving orders. This creates an impression of joyful service, how can I put it, of loving obedience, yes, of loving obedience, which is the complete opposite of submission and the complete opposite of an aimless meandering. This fairly narrow path between what I have just referred to as submission and meandering is broadly marked out by the life of the community. And we, the participants (not those who attend, but those who participate), as I feel myself to have been and to be here, benefit from it. We benefit from this loving obedience that we in our turn exercise with respect to the example that is given. The community does not impose a kind of intimidating model, but a kind of friendly exhortation. I like the word exhortation because here we are not in the order of commandments, still less of constraint, but neither are we in the order of mistrust and hesitation, which is the case today in professional life, in urban life, both in the workday world and in leisure time. It is this shared peacefulness that represents for me the happiness of life with the Taizé Community.

http://www.taize.fr/en_article102.html