Friday, March 30, 2007

Bucer mengenai Predestinasi


PANDANGAN MARTIN BUCER TENTANG PREDESTINASI: BERDASARKAN TAFSIRANNYA TENTANG SURAT ROMA


PENDAHULUAN

Menurut Martin Bucer, “predestinasi” biasanya diartikan sebagai “penentuan (oleh Allah) dari semula.” Dalam bahasa Yunani, rasul Paulus menggunakan kata proorizein. Menurut Bucer, kata itu hendak mengemukakan dua hal:

Pertama, pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) dan pemisahan mereka dari bangsa-bangsa (manusia-manusia) lain yang akan binasa. Untuk itu, Kitab Suci menggunakan kata kibdal, karena Allah sendiri menggunakan kata ini apabila Ia memasukkan “pemilihan umat-Nya” dan “pemisahan mereka” dari bangsa-bangsa lain (bdk. Im. 20.24; Bil. 16.9 dab.).

Kedua, pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) sebelum mereka dilahirkan. Menurut Bucer, Rasul Paulus membicarakan tema ini untuk mengajarkan bahsa Allah ini telah memilih orang-orang kudus (orang-orang pilihan-Nya) dan menentukan mereka untuk hidup yang kekal sebelum mereka dilahirkan (dan dapat melakukan sesuatu).

Oleh karena itu, Rasul Paulus mau membuktikan bahwa keputusan Allah tentang keselamatan itu pasti dan dasarnya kokoh. Tidak ada seorang pun (sesuatu makhluk pun) yang dapat membatalkan keputusan Allah ini. Keputusan ini diambil oleh Allah sendiri berdasarkan kehendak dan kemurahan-Nya. Bukan karena kebaikan atau prestasi orang-orang yang dipilih-Nya.

I. APAKAH ARTI “PREDESTINASI ORANG-ORANG KUDUS”?

Dalam Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, yaitu waktu Ia menentukan kita dari semula (proorizein) untuk menjadi anak-anak-Nya (bdk. Ef. 1.5). Karena itu, “penentuan dari semula” ini biasanya disebut predestinasi.

Jadi, predestinasi tidak lain daripada pemilihan Allah atas mereka yang telah Ia tentukan sendiri “dari semula,” sehingga apabila mereka dilahirkan atau ditarik kepada anak-anak-Nya, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus. Mereka ini ditanamkan di dalam Kristus, dan yang dengan jalan ini dihubungkan dengan Dia, maka secara baru dilahirkan kembali dan dikuduskan menurut kehendak-Nya. Inilah yang disebut Kitab Suci sebagai predestinasi.

II. PREDESTINASI ORANG-ORANG YANG DITOLAK (DIBUANG)

Di samping “predestinasi orang-orang kudus,” terdapat juga “predestinasi orang-orang fasik” (orang-orang yang tidak percaya kepada Allah). Sama seperti Allah menciptakan mereka dari yang tidak ada, demikian pula Ia menciptakan mereka untuk suatu maksud (tujuan) tertentu. Ia melakukan segala sesuatu dengan bijaksana: segala sesuatu yang telah “ditentukan dari semula” untuk suatu maksud (tujuan) baik, juga bagi orang-orang fasik. Mereka juga adalah alat dan instrumen (Rm. 9.22). Segala sesuatu dijadikan Allah karena diri-Nya (kehendak-Nya) sendiri, juga orang-orang fasik untuk kebinasaan yang kekal (bdk. Ams. 16.14).

Banyak ahli tidak mau menyebut hal ini sebagai predestinasi, melainkan “reprobasi.” Tetapi Allah menjadikan segala sesuatu dengan baik dan bijaksana. Karena itu, Ia tidak menjadikan sesuatu tanpa maksud (tujuan) tertentu. Orang-orang fasik Ia serahkan kepada sifat dan kemauan mereka yang buruk, dan Firaun Ia bangkitkan supaya justru di dalam sifat dan kemauan-Nya, Ia menyatakan kuasa-Nya. Selanjutnya, Esau Ia benci sebelum Esau melakukan sesuatu yang jahat. Inilah yang disebut oleh Kitab Suci sebagai predestinasi.

Namun, jika Allah menciptakan juga orang-orang fasik, siapakah yang mau menyangkal bahwa sebelum Ia mencipyakan mereka, Ia sudah lebih dahulu mengetahui untuk apa mereka Ia gunakan. Untuk itulah mereka Ia kehendaki dan ciptakan. Keberatan apa yang dapat kita kemukakan untuk menyebut tindakan Allah ini predestinasi?

Rasul Paulus berkata-kata dalam nas kita—juga dalam Efesus 1.5, di mana kata proorizein digunakan—tentang perkenanan Allah terhadap orang-orang yang dipilih-Nya (orang-orang kudus). Karena itu, predestinasi oleh Allah yang Rasul Paulus bicarakan di sini ialah pemilihan (penentuan dari semula) orang-orang kudus untuk membuat mereka mendapat bagian dalam keselamatan yang kekal.

Mengenai hal ini banyak orang—yang tidak seluruhnya setuju dengan apa yang dikatakan di atas—berpendapat bahwa hanya tentang orang-orang kudus saja kita harus memakai suatu pengertian lain, yaitu “reprobasi.” Mereka katakan bahwa tidaklah terhormat untuk berbicara tentang Allah yang mengatakan bahwa dari semula Ia telah menentukan seseorang untuk kebinasaan yang kekal.

Menurut Bucer, Kitab Suci tidak melihat perbuatan Allah untuk menyerahkan mereka ke dalam sifat dan perbuatan yang jahat dan membuang mereka ke dalam kebinasaan yang kekal sebagai suatu problem. Namun, pikiran manusialah yang tidak dapat menerima bahwa Allah “mengeraskan” hati separo orang sehingga mereka tidak dapat percaya, membuat mata mereka seolah-olah buta sehingga mereka tidak dapat melihat, dan menyerahkan mereka ke dalam kebinasaan.

Karena itu, banyak orang berpendapat bahwa bukanlah sesuatu yang terhormat untuk mengatakan tentang Allah yang dari semula telah menentukan orang-orang tertentu untuk kebinasaan yang kekal. Sebab, menurut mereka tidak adil jika orang membuat mata hambanya tidak dapat melihat dan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang hanya dapat ia lakukan dengan mata yang sehat. Dan lebih tidak adil lagi jika hamba itu dihukum karena ia tidak dapat melakukan apa yang ditugaskan kepadanya.

III. PIKIRAN MANUSIA MENGENAI PREDESTINASI

Yang berkata-kata demikian ialah pikiran manusia mengenai Allah. Pikiran manusia mereka bahwa Allah tidak adil karena Ia menugaskan kepada sepato orang untuk mengerjakan sesuatu, padahal sebelumnya Ia “mengeraskan” hati mereka dan membuat mata mereka tidak dapat melihat. Pikiran manusia mengatakan bahwa Allah secara tidak adil telah menghukum mereka. Demikianlah caranya manusia berpikir mengenai Allah. Ia—menurut pikiran manusia—baru adil jika sebelumnya Ia telah menciptakan manusia itu kembali dan telah memberikan kepadanya sifat dan perbuatan yang lain (yang baru). Apabila hal itu telah Ia lakukan, barulah Ia secara adil menghukum mereka apabila tidak mengerjakan apa yang ditugaskan kepada mereka.

Banyak orang percaya yang terjerumus ke dalam pikiran manusia tentang Allah dan turut berkata-kata seperti itu. Padahal, dalam Kitab Suci terdapat banyak sekali nas yang memberikan kesaksian yang lain. Karena itu—berdasarkan kesaksian Kitab Suci—kita harus menolak dan membuang pikiran seolah-olah Allah tidak adil dalam perbuatan-perbuatan-Nya.

Kita harus mengaku bahwa perbuatan Allah sangat sulit dan dalam bagi kita, sama dengan ngarai yang tidak dapat kita ukur kedalamannya. Sungguhpun demikian, kita harus yakin bahwa perbuatan Allah adil, seperti yang disaksikan oleh pemazmur, “TUHAN itu adil dalam segala jalannya dan [enuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya. (Mzm. 145.17). Berdasarkan nas-nas Kitab Suci ini, kita harus mengakui bahwa Allah adil apabila Ia menuntut suatu hidup yang suci dari kita, suatu hidup yang dihiasi dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia bukan saja mempunyai hak untuk “mengeraskan” hati orang dan membuat matanya tidak dapat melihat, melainkan juga menghukumnya. Namun, kesalahan-kesalahan yang kita buat harus kita tanggung sendiri.

Satu hal harus kita ingat. Maksud Allah yang terakhir bukanlah hukuman mereka dengan “mengeraskan” hati mereka dan membuat mata mereka tidak dapat melihat. Sebab segala sesuatu telah Ia jadikan untuk kemuliaan-Nya, juga orang-orang fasik untuk hati penghakiman (bdk. Ams. 16.9). Karena itu, firman Tuhan kepada Firaun berbunyi, “Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di atas seluruh bumi” (Rm. 9.12).

Dalam banyak bagian Kitab Suci kemuliaan Allah dilihat sebagai maksud (tujuan) dari hukuman yang Ia pikulkan (jatuhkan) kepada orang-orang fasik. Hal ini antara lain kita baca dalam Yesaya. Perkataan ini beberapa kali ia ulangi “hanya Tuhan sajalah yang akan dimuliakan pada hari itu” (bdk. Yes. 2.11 dan 17). Ketika Yesaya berbicara tentang “pengerasan” hati orang-orang fasik dan “pembuatan mata mereka tidak dapat melihat,” ia menambahkan kesaksian ini:

“Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup, supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik dan menjadi sembuh” (Yes. 6.10; bdk. 6.9).

Karena itu, dalam pasal berikutnya orang-orang yang ditolak (dibuang) oleh Allah disebut “alat-alat dari murka Allah,” yang dijadikan dan dipersiapkan untuk kebinasaan. Rasul Paulus juga menggunakan nas ini, ketika ia berkata-kata tentang “rahasia rencana keselamatan Allah dengan Israel”:

“Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan—justru untuk menyatakan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain, seperti yang difirmankan-Nya juga dalam kitab nabi Hosea”(Rm. 9.21-25a).

Dari nas-nas (kesaksian-kesaksian) ini, kata Bucer, apakah arti predestinasi itu? Secara umum dapat kita katakan, bahwa predestinasi adalah kehendak Allah untuk menentukan maksud hidup (tujuan hidup) tiap-tiap orang. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, predestinasi orang-orang kudus ialah pemilihan dan ketentuan mereka (oleh Allah) untuk kehidupan yang kekal.

IV. UNTUK APAKAH “PREDESTINASI” ITU?

Pertanyaan ini akan dijawab Bucer dalam bagian kedua karyanya, Questio. Philipp Melanchton, dalam salah satu karyanya, sangat baik dan sangat cermat menulis tentang predestinasi. Predestinasi gunanya tidak lain dari lebih memperkuat kepastian kita tentang keselamatan yang Allah berikan kepada kita dan agar kita lebih kokoh lagi berpegang pada janji-janji-Nya. Sebab, yang terutama Allah kehendaki dari kita adalah supaya dengan sepenuh hati kita percaya kepada-Nya sebagai Allah dan penyelamat agar kita dengan cepat berlari kepada-Nya ketika Ia memanggil semua orang—yang bimbang dan merasa diri tertekan—untuk datang kepada-Nya. Pasti Ia, yang memanggil mereka, telah mengenal mereka dari dari semula. Ia juga akan membenarkan dan memuliakan mereka. Karena itu, yang pertama-tama harus kita lakukan ialah percaya bahwa kita telah ditentukan dari semula untuk keselamatan dan bahwa Allah tidak membohongi kita ketika Ia memanggil kita melalui Injil-Nya.

Maksud-Nya memanggil kita melalui Injil-Nya ialah untuk membenarkan kita dan untuk mendapat bagian dalam kemuliaan-Nya. Tetapi hal ini hanya terjadi bagi orang-orang yang dipredestinasi, yaitu orang-orang yang sebelumnya Ia kenal dan pilih. Allah melakukan segala sesuatu menurut suatu jalan yang telah Ia tentukan lebih dahulu secara bijaksana. Hal ini tidak boleh kita sangsikan. Sebab, kalau hal itu terjadi, kita juga menyangsikan janji-janji yang diberikan-Nya kepada kita tentang keselamatan dan apa yang Ia karuniakan kepada kita melalui Injil-Nya.

Setiap orang yang percaya kepada-Nya mewarisi kehidupan yang kekal seperti yang kita dapat baca melalui Injil Yohanes 3.15, yakni “supaya sertiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Dari nas ini jelaslah bahwa “predestinasi kita dan sesama kita (oleh Allah) harus mendapat perhatian penuh dari kita, sehingga kepercayaan kita kepada Allah makin diperkokoh. Dengan cara itu, kepercayaan kita dan kepercayaan orang-orang lain kepada Allah akan semakin bertumbuh. Sebab itu, pertanyaan “apakah kita dipredestinasi atau tidak” harus dengan tegas kita tolak sebagai inti dari segala pencobaan yang sangat membahayakan.

Oleh karena itu, sebagai prinsip dari percaya, kita harus menerima bahwa sebelumnya kita smeua telah dikenal, dipilih, dan dipisahkan Allah, supaya kita—untuk seterusnya—diselamatkan. Kita harus ingat bahwa perkataan Allah ini tidak bisa diubah. Karena itu, segala pikiran kita, segala perbuatan kita, dan lain-lain harus kita arahkan kepada hal itu.

V. BANYAK YANG DIPANGGIL, TETAPI SEDIKIT YANG DIPILIH

Dalam hubungan ini, Bucer akan mengutip kesaksian Kitab Suci, yang sedikit atau banyak dapat membantu kita untuk mengerti apa yang akan Bucer katakan tentang pokok di atas, “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (Mat. 22.14) dan “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, “Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 7.21).

Perkataan pertama, yaitu “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Arti dari perkataan ini adalah banyak orang yang dipanggil oleh pemberitaan Injil yang disampaikan kepada mereka. Namun, mereka tidak percaya dan tidak datang kepada Kristus karena mereka tidak dipilih. Kita—yang sedikit jumlahnya—lain daripada mereka. Kita percaya pada Injil yang diberitakan kepada kita. Karena itu, kita datang kepada Kristus. Sebab itu, kita tidak sangsi apakah kita sebelumnya telah dikenal oleh Allah atau tidak. Karena itu, kita dipanggil, dipredestinasi, dan dipilih sesuai dengan kehendak-Nya.

Perkataan kedua, yaitu “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, “Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 7.21). Perkataan ini hendak mengingatkan dan membangunkan kita agar lebih kuat dan lebih bersungguh-sungguh berpegang pada kehendakn Allah. Itulah maksud Tuhan mengucapkan perkataan itu, bukan untuk membuat kita menjadi sangsi akan pilihan kita (oleh Allah). Yang benar adalah, semakin kiuat kita berpegang pada pembenaran kita, semakin kuat kita yakin akan panggilan kita dan pemilihan kita dan akan panggilan dan pemilihan orang-orang yang seiman dengan kita.

Penting kita ingat bahwa suatu keyakinan yang serius akan pembenaran kita (oleh Allah) adalah suatu pemberian-Nya yang hanya dikaruniakan kepada orang-orang yang Ia predestinasi (kenal dan tentukan dari semula) dan yang Ia pilih. Karena itu, keyakinan kita yang serius akan pembenaran kita adalah suatu bukti yang kokoh bahwa kita benar-benar dipilih dan dipredestinasi oleh Allah. Namun, kita tahu, bahwa keyakinan kita akan pembenaran kita lemah dan rusak oleh dosa yang kita buat dalam hidup kita, sehingga kita tidak tahu dengan pasti apakah karena itu kita akan beroleh keselamatan atau tidak. Yang pasti, predestinasi dan pemilihan hanya dapat diperoleh dalam janji dan panggilan Allah.

VI. PENGOKOHAN PEMILIHAN KITA

Untuk uraian kita tentang pokok di atas, Bucer mengutip suatu nas dari Surat Rasyl Petrus yang kedua. Di situ kita membaca, “Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung. Dengan dmeikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan yang kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr. 1.10-11). Nas atau perkataan Rasul Paulus ini dapat disalahtafsirkan. Sebab yang ia maksudkan di sini bukanlah bahwa kepastian dari panggilan dan pilihan kita berganung pada perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan. Bukan! Yang ia maksudkan adalah bahwa hanya oleh perhatian kita yang sungguh-sungguh terhadap perbuatan-perbuatan baik, yang diberikan Allah kepada kita untuk kita lakukan sebagai orang-orang Ia pilih dan panggil, tugas itu dapat kita tunaikan. Atau lebih baik, hanya dengan pertolongan dan pimpinan Allah kita dapat menunaikan tugas kita.

Pemilihan dan panggilan yang Rasul Paulus maksudkan ialah pemilihan dan panggilan dalam arti “hidup” kita. Untuk hidup yang demikianlah kita dipilih dan dipanggil. Karena itu, sebagai tambahan ia katakan, “Sebab jika kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.” Menurut Bucer, hal ini berarti bahwa orang-orang kudus tidak akan pernah menyimpang dari jalan Tuhan, jika mereka bersungguh-sungguh berusaha agar orang-orang yang dipilih dan dipanggil itu semakin lama semakin kokoh.

Menurut Bucer, semua kesaksian dalam Kitab Suci yang mempermasalahkan dan mencela kebohongan kita dan yang menasihati agar kita rajin berusaha untuk hidup suci dan saleh mempunyai maksud. Maksud itu ialah untuk membangunkan kita agar melihat (menyadari) perbuatan-perbuatan kita yang salah dan menyaksikan kepada kita bahwa sia-sia saja kita berseru (meminta tolong) kepada Allah, jika kita tidak menaati kesaksian-kesaksian Kitab Suci itu dan bersungguh-sungguh berusaha untuk hidup suci dan saleh di hadapan Tuhan. Kesaksian-kesaksian Kitab Suci itu harus kita dengan dan pahami begitu rupa, sehingga kita tidak menaruh kepercayaan kepada diri kita untuk lagi dan tidak menghargai segala kebenaran kita. Menurut Bucer, hal ini berarti kita harus menguatkan kepercayaan kita pada kebaikan Tuhan dan hanya benar-benar berharap kepada Allah dan Tuhan kita saja.

VII. PREDESTINASI DAN PAHALA MANUSIA

Menurut Bucer, Bapa-bapa Gereja kadang-kadang kurang baik dipahami sehingga timbul ajaran sesat. Seolah-olah predestinasi kita didasarkan atas perbuatan-perbuatan baik dari manusia saja. Menurut ajaran sesat ini, Tuhan Allah dari mulanya telah mengetahui bahwa anugerah yang Ia berikan kepada manusia akan diterima dengan senang hati dan bahwa pemberian-Nya itu akan digunakan dengan baik. Karena itu, Ia mempredestinasi manusia dan menetapkannya untuk mewarisi hidup yang kekal.

Namun, ajaran yang menyesatkan ini, menurut Bucer, dengan tegas ditolak oleh Thomas Aquinas dalam karyanya Summa Theologiae. Melalui suatu argumentasi yang tepat ia katakan, “Apa pun yang baik, yang terdapat pada kita manusia, adalah hasil atau buah dari predestinasi kita (oleh Allah).” Kebaikan apakah yang ada pada kita, yang sebelumnya dapat dilihat oleh Allah, sehingga memutuskan untuk memberikan hidup yang kekal kepada kita? Yang benar adalah, kit atidak mempunyai sesuatu yang baik.

Akan tetapi, jika Allah berkenan untuk memberikan kepada kita suatu tempat bersama-sama dengan mereka yang akan diselamatkan, itu semata-mata terjadi karena anugerah-Nya. Karena diri-Nya sendiri Ia melakukan segala sesuatu yang memberikan segala sesuatu kepada kita. Karena itu, kita harus tetap yakin bahwa kepercayaan kita pada keselamatan yang kekal—harus diperkuat oleh predestinasi. Kepastian dari predestinasi (oleh Allah) sama sekali tidak dapat kita cari dalam perbuatan-perbuatan kita, tetapi hanya dalam janji Allah.

Karena itu, maksud predestinasi kita (oleh Allah) ialah untuk menguatkan iman kita dalam hidup kita yang penuh dengan pertanyaan dan kebimbangan. Hal ini tetap harus tetap kita sadari dan perhatikan. Melupakannya berarti, sadar atau tidak sadar, memberi diri kita dipimpin ke dalam bahaya ajaran sesat dari kaum pembaptis ulang. Sekali lagi, kita harus tetap waspada terhadap kelicikan mereka. Apa pun sebabnya dan bagaimanapun bentuknya kita sama sekali tidak boleh bimbang dan bertanya apakah kita dipredestinasi (oleh Allah) atau tidak.

Pada akhir uraiannya Thomas Aquinas—untuk kesekian kalinya—menasihati kita untuk tetap waspada dan tidak memberi diri kita dikuasai oleh kebimbangan yang ditimbulkan oleh ajaran sesat yang ia tulis di atas.

VIII. PREDESTINASI DAN KEHENDAK BEBAS

Mungkin, kata Bucer, kita bertanya apakah predestinasi meniadakan kehendak bebas dari manusia? Tiap-tiap orang yang mengetahui apa itu kehendak bebas dan teguh berpegah pada apa yang kita telah jelaskan di atas sedikit pun tidak akan bimbang tentang hal ini.

Tetapi apakah kehendak bebas itu? Menurut Bucer, kehendak bebas dari manusia ialah kemampuan yang ia miliki untuk melakukan apa yang ia kehendaki tanpa paksaan. Dengan kata lain, kehendak bebas ialah kemampuan yang ia miliki untuk berbuat atau bertindak sesuai dengan pendapatnya (keputusannya) sendiri. Artinya, berbuat atau bertindak dari dirinya sendiri dan tidak didorong ke suatu arah yang tidak ia kehendaki.

Jadi, apakah kehendak bebas dari manusai itu kebebasan yang mutlak? Tidak! Namun, sama seperti yang telah kita katakan di atas, ia tidak ditiadakan oleh predestinasi Allah. Tuhan Allah tidak memaksa manusia untuk mengikuti atau menaati kehendak-Nya. Manusia bebas dalam hidup dan perbuatannya. Tetapi, kalau hidup dan perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak Allah, ia harus menanggung akibatnya. Inilah bedanya kebebasan kehendak manusia yang mutlak dengan predestinasi. Predestinasi ialah ketentuan Allah untuk membuat manusia sebagai orang kudus perpartisipasi (mendapat bagian) dalam keselamatan yang abadi dari Yesus Kristus, Tuhannya. Keselamatan yang abadi ialah bahwa kita, sebagai orang-orang kudus, oleh pimpinan Roh Kudus dapat melihat dan dapat mempertimbangkan apa yang baik.

Inilah yang harus kita lakukan dengan baik dan tekun. Namun, hal itu hanya mungkin jika kita tidak salah mengartikan kemauan kita yang bebas dan tidak memberi diri kita dikuasai oleh kebimbangan sehingga kita dapat berpikir dengan sehat dan bertindak dengan tepat.

Predestinasi tidak meniadakan kehendak bebas dari manusia untuk mengambil keputusannya sendiri. Malahan sebaliknya! Hanya kehendak bebas manusia yang memungkinkannya. Sebab, Roh dari kehendak yang benar—yang memimpin kita untuk menilai sendiri apa yang baik, tanpa dipaksa oleh siapa pun juga—akan menyertai kita karena Allah sebelumnya telah mengenal dan menentukan kita dari semula untuk mewarisi keselamatan yang abadi. Ia yang memungkinkan kita untuk menolak yang jahat dan mencintai yang benar.

Kalau hal itu tidak kita ingat, kita akan terperosok ke dalam ajaran sesat yang akan mengurung kita di dalam kekuasaan iblis. Kemerdekaan yang sejati—seperti yang dikatakan oleh Augustinus—ialah kemerdekaan yang memimpin kita kepada keselamatan. Kemerdekaan yang benar adalah hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Kebebasan ini tidak ditiadakan oleh predestinasi, karena ia adalah hasil atau buah daripadanya.

Ditinjau dari terang ini, jelaslah bahwa kepastian akan keselamatan yang berasal dari predestinasi, tidak membatalkan kebebasan kehendak. Namun sebaliknya, ia merealisasikannya. Sebab benar sekali apa yang ditulis oleh Augustinus, yaitu bahwa “sama seperti Allah tidak dapat keliru, demikian pula tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang dipredestinasi yang tidak beroleh keselamatan.”


Sumber:
Disadur dari Abineno, J. L. Bucer dan Calvin: Suatu Perbandingan Singkat. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.

No comments:

Post a Comment