Sunday, April 1, 2007

Hidup: Kesempatan atau Rutinitas?


HIDUP: KESEMPATAN ATAU RUTINITAS?


PENDAHULUAN

Coba perhatikan kehidupan Anda. Dari pagi sampai malam. Dari Senin sampai Minggu. Kalau Anda seorang karyawan yang memang dibatasi dalam aturan dan job description, yang Anda lakukan dari hari ke hari ya urusan itu-itu saja. Kalau Anda seorang pelajar atau mahasiswa, waktu Anda pun dibatasi oleh perkuliahan dan tugas-tugas kejar deadline. Apa yang Anda alami dan rasakan? Anda melakukan kegiatan yang nyaris sama, berulang-ulang. Seperti itu terus. Nampaknya tak banyak variasi, bukan? Akibatnya, hidup terasa membosankan.

Dalam khasanah falsafah hidup Yunani, dikenal dua kata yang menerangkan “waktu,” yaitu kairos dan khronos. Yang pertama disebut “peluang” atau “kesempatan,” yakni suatu peristiwa yang jarang terjadi, hanya sekali-kali saja, dan tak mungkin dapat dijadwalkan. Kata kedua menunjuk kepada “rangkaian waktu yang berurutan,” “berulang-ulang,” atau yang kita sebut sebagai rutinitas. Tanpa berpanjang kata, saya segera hendak mengajak Anda merenungkan, bagaimana keduanya berjalan bergandengan tangan, harmonis, tanpa harus dipertentangkan. Dengan perkataan lain, bagaimana kita menarik sebuah sintesis—yakni bagaimana khronos menjadi kairos, yang rutin menjadi kesempatan?

RITME SEBAGAI TAPAL BATAS

Ketika Allah menjadikan langit dan bumi, Allah juga menciptakan sebuah ritme atau irama kehidupan. Irama inilah yang menjadi tapal batas kehidupan manusia. Pertama, pagi dan petang. Saat terang dan saat gelap. Siang dan malam. Kedua, enam hari kerja dan satu hari perhentian. Apa maknanya? Kehidupan merupakan sebuah ritme, dan ritme itu adalah ritme kerja dan istirahat.

Kitab Suci tidak pernah membuat pembedaan dualistis antara rutinitas dan kesempatan. Sebab pada kenyataannya, manusia dibatasi oleh ritme kerja dan istirahat. Jadi bukan masalah apakah manusia mempunyai kesempatan di luar rutinitas, tetapi bagaimana manusia menemukan kesempatan di dalam rutinitas.

Ritme ini harus tetap seimbang. Bila terjadi ketidaksetimbangan, manusia akan menjadi tidak nyaman hidupnya. Di satu sisi, dalam sejarah peradaban manusia pernah terjadi, pada tahun 1792 ketika pecah Revolusi Prancis, ketika monarkhi runtuh diganti oleh republik, orang mau mengubah ritme ini. Hari kerja menjadi 10 hari, dan 1 hari kerja. Tetapi Napoleon Bonaparte—mungkin inilah sedikit kebaikan yang ia lakukan—mengembalikan lagi ritme penciptaan. Selain itu, pada waktu pecah Revolusi Rusia, di mana kaum soviet, kaum buruh, berkuasa di Rusia, oleh Vladimir Lenin, hari Minggu pun dijadikan sebagai hari kerja. Karena kerja keras serta produktivitas tinggi merupakan kata penting untuk Uni Soviet. Tapi jelas, manusia tidak sanggup mengikutinya. Joseph Stahlin—meski seorang diktator otoriter—akhirnya mengembalikan ritme penciptaan.

Namun di sisi lain, ini jelas makin sukar kita kerjakan! Kita hidup dalam zaman ketika manusia gampang sekali bosan. Kebudayaan kita dicirikan oleh TV be-remote control. Kita dapat memilih apa yang kita sukai dengan sekali klik! Kebudayaan mengalami fluktuasi yang hebat karena orang makin susah berkonsentrasi pada satu hal. Pada akhirnya, seleralah yang mengendalikan segala naluri kerja manusia. Orang menjadi cepat sekali bosan.

Beberapa ahli menyebut zaman kita ini blitz culture. Bagai lampu blitz kamera, jepret sana, jepret sini. Byar sekilas-sekilas. Andaikan byar yang satu tidak ada kaitannya dengan byar yang lain, tidak jadi masalah. Contoh konkretnya adalah MTV! Iklan yang ditampilkan cepat berubah, dan banyak kali iklan promosi MTV non-sense. Tapi, oleh karena perubahan yang sedemikian cepat, orang menjadi tidak bosan. Orang yang cepat bosan segera mendapat variasi yang lain.

Blitz culture juga menyusup ke dalam gereja. Banyak kali kita menemukan, jemaat makin tidak tahan dengan khotbah-khotbah yang berisi pengajaran. Khotbah makin pendek, dan tuntutannya makin banyak variasi, serta perlu ada imbuhan multimedia yang ditata dengan apik dan menyenangkan mata. Jika para reformator lima abad yang lalu sampai melakukan "ikonoklasme" (penghancuran ikon-ikon) karena mereka khawatir akan terjadinya "ikono-latri" (penyembahan kepada ikon), dan iman itu datang hanya oleh pendengaran dan pendengaran akan firman Tuhan, sekarang berbeda. Firman jangan sampai kepanjangan, dan yang penting ada pernak-pernik tambahan tiap minggunya: pengkhotbah tamu—dan kalau bisa impor dari luar negeri—dan artis-artis rohani dari ibu kota.

MENEMUKAN TITIK SPIRITUALITAS RUTINITAS

Salah satu hal penting yang dapat membantu kita untuk menemukan spiritualitas rutinitas adalah ketika kita click! dengan hal-hal yang biasa. Dalam perjalanan ke Semarang dari Kudus, saya biasanya naik sepeda motor. Suatu kali, saya pernah kehujanan, dan terpaksa mencari tempat berteduh di pinggir jalan. Hujan itu biasa, tetapi tiba-tiba click! dalam pikiran saya, terdengar tetes-tetes hujan itu membentuk suatu irama musikal. Atau kali lain, ketika saya berbaring miring, telinga saya tempelken ke bantal, sehingga terdengar suara detak jantung. Bukan hal yang istimewa, tetapi ketika saya coba dengarkan lagi, ternyata ada sesuatu yang asyik, bahwa detik jantung saya pun membentuk suatu irama.

Hal yang biasa, yang rutin, telah teramat sering kita kembali pikirkan adanya sesuatu yang indah di baliknya. Saya pikir, ketika kita berkehendak untuk menemukan titik spiritualitas hal-hal rutin, tiada lain adalah mengambil waktu untuk memikirkan hal-hal yang biasa tadi. Bagaimana caranya?

Pertama, Gereja purba mengenal istilah laborare est orare, bekerja adalah berdoa. Perhatikan, ketika kita sedang bekerja itu berarti kita sedang berdoa. Bukan setelah bekerja kita berdoa. Kerja pun merupakan doa kita. Gereja sama sekali tidak memiliki pandangan yang dikotomis. Betapa indah, bila ternyata di dalam karya tangan kita, kita tengah bersekutu dengan Allah yang hidup dan benar! Apakah yang kita inginkan lagi, bila demikian? Allah Bapa bekerja, Kristus Sang Putra bekerja, kita pun bekerja!

Kedua, St. Augustinus mengajak kita merenungkan bahwa hidup itu terdiri dari “hidup kontemplatif” (vita contemplativa) dan “hidup aktif” (vita activa). Letak kekuatan kita terdapat pada kecakapan kita untuk mengembangkan daya hidup kontemplatif. Sebab hidup kontemplatif adalah motor penggerak yang luar biasa dari hidup aktif. Apa artinya berkontemplasi? Intinya adalah mengingat Tuhan. Dalam budaya Jawa dikenal istilah wirid. Dalam wirid, orang diajak untuk menghayati satu hal yang sangat penting, yaitu eling atau mengingat. Tak lain adalah mengingat Yang Mahakuasa, atau mengingat Tuhan. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, seseorang hendaknya tetap mengingat Allah kapan saja dan di mana saja. Sebab di dalam eling tadi, seseorang menjadi mawas dan waspada.

Ketiga, mendiang Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1984 menulis Ensiklik Laborem Exercens, “Kerja Manusia.” Inilah salah satu tulisan yang menjabarkan teologi kerja dengan sangat baik. Dalam pendahuluannya, ia menulis

From the beginning therefore he is called to work. Work is one of the characteristics that distinguish man from the rest of creatures, whose activity for sustaining their lives cannot be called work. Only man is capable of work, and only man works, at the same time by work occupying his existence on earth. Thus work bears a particular mark of man and of humanity, the mark of a person operating within a community of persons. And this mark decides its interior characteristics; in a sense it constitutes its very nature.

Panggilan manusia sejak pertamanya adalah untuk bekerja. Dan, bekerja merupakan pembeda antara manusia dari ciptaan yang lain. Hanya manusia yang mampu bekerja. Karena itu, tak heran bila kemudian Paus menyatakan bahwa kerja adalah: (1) tugas khusus gereja, (2) berbagian dengan karya Sang Khalik, (3) meneladani Kristus, Sang Manusia Pekerja, (4) berkat Allah sejak penciptaan, yang kemudian disempurnakan dalam terang kematian dan kebangkitan Kristus.

Oh, betapa luar biasanya kebenaran yang kita temukan dalam kerutinan yang kita geluti sehari-hari. Tiada yang dapat kita katakan dan Aminkan kecuali bahwa kesempatan itu kita jumpai dalam rutinitas yang kita bila kita menemukan click! yang vital, yaitu memahami “makna” di balik segala sesuatu yang kita kerjakan, yang nampaknya biasa-biasa. Hal-hal yang kita kerjakan tidaklah sia-sia. Rutinitas akan membuahkan pengharapan, Saudaraku!

TERPUJILAH ALLAH! (010407)

No comments:

Post a Comment