Sunday, April 29, 2007

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 3: Allah dan Mega Plan


ALLAH DAN MEGA PLAN


Kita harus mulai bertanya hidup ini milik siapa. Sebab jawaban atas pertanyaan ini menentukan langkah-langkah hidup selanjutnya. Seorang naturalis yang menolak segala keberadaan adikodrati (tidak dapat diindera) akan menjawab bahwa dunia dan isinya terjadi dalam suatu sistem mekanik besar yang berproses melalui evolusi. Seorang Buddhis yang “ateis” akan menjawab bahwa dunia ini adalah milik manusia secara pribadi, yang harus dijalani dengan penolakan terhadap hidup dan kefanaan.


Bagi Kekristenan, tidak ada jawaban lain bahwa hidup ini adalah milik Allah, sebab Dialah Pencipta kehidupan. Sebab Allah yang menciptakan hidup, maka Ia pun yang menguasainya. Hidup manusia ada di dalam Dia, dan segala pertanyaan manusia mampu dijawab oleh Allah. Singkatnya, hanya Allah yang sanggup memberi makna atas kehidupan manusia.


Sekarang, jika kita telah mengerti bahwa hidup kita pada hakikatnya adalah milik Allah, maka tujuan hidup kita adalah tetap tinggal bersama Dia selama-lamanya. Dalam teologi Reformed, dengan jelas kita menemukan penekanan ini dalam doktrin penciptaan. Pertama, Allah menciptakan dunia ini ex nihilo (dari ketiadaan). Hal ini menegaskan bahwa Allah, ketika menciptakan dunia, tidak perlu bergantung pada apa pun di luar diri-Nya. Dengan demikian kita melihat, penciptaan merupakan suatu karya kedaulatan dan kebebasan Allah, suatu tindakan yang keluar dari kehendak pribadi ilahi. Di sini, doktrin penciptaan Kristen berada dalam suatu kontradiksi dengan hampir setiap kosmologi yang pernah dituturkan oleh sejarah bangsa-bangsa.


Kedua, Allah menciptakan dunia dengan tujuan yang pasti. Penciptaan bukan tindakan Allah secara sembarangan, tetapi memiliki gol yang jelas. Penciptaan layaknya suatu projek, seperti suatu karya seni, sesuatu yang Allah kehendaki demi kebaikannya sendiri dan bukan karena Allah memerlukan dunia. Dunia ini dengan demikian merupakan perwujudan dari kasih Allah, tetapi bukan tuntutan bagi Allah. Ketika selesai menciptakan dunia, Allah berkata, “Very good!”; bukan baik sebagian saja, atau baik nantinya, tetapi baik sebagaimana dunia dirancangkan-Nya.


Ketiga, Allah tetap memandang dunia ini “sungguh amat baik.” Allah sendiri berkenan hadir dan terlibat di dalam ciptaan. Kita mengenal istilah “transendensi Allah,” yaitu bahwa Allah berada melampaui segala yang tercipta. Tetapi transendensi itu bukan merupakan penghalang bagi Allah untuk menjadi “imanen” dalam ciptaan. Cara yang Allah pakai ialah melalui “kedua tangan-Nya.” Allah sendiri, melalui Putra-Nya tetap mencintai serta berhubungan intim dengan dunia. Demikian pula Allah sendiri, melalui Roh-Nya, merupakan “sumber penyempurna” ciptaan. Bapa Gereja Basil dari Kaisarea menyebut Roh Kudus sebagai the perfecting cause. Dari sini kita semakin jelas melihat, dunia ini memiliki “takdir” akhir di dalam rancang bangun Allah.

Keempat, Allah “menebus” ciptaan. Dalam hal ini kita akan selalu diingatkan adanya penghalang bagi rencana Allah. Kejahatan dan dosa selalu menghambat tata ciptaan untuk sampai kepada tujuan yang semula. Kejahatan merupakan musuh yang meneror dan menyerang ciptaan. Kejahatan harus dikalahkan, dan cara untuk menaklukkan musuh yang satu ini adalah melalui pengarahan ulang dari dalam tata ciptaan. Tetapi, tindakan ini hanya dapat dikerjakan oleh sang Pencipta yang masuk ke dalam keterbatasan ciptaan. Kembali kita diperhadapkan pada sentralitas Kristologi dan Pneumatologi (doktrin Roh Kudus). Ia berinkarnasi, mati dan dibangkitkan kembali oleh Roh Pencipta—inilah satu-satunya cara yang melaluinya ciptaan ditebus (istilah lain “dibawa kembali”) dari belenggu kehancuran. Allah bertindak dari dalam tata ciptaan sendiri tanpa menghilangkan keutuhan ciptaan. Penebusan ciptaan akan tergenapi secara sempurna kelak, tetapi pada masa sekarang ini, antisipasi-antisipasi kesempurnaan ciptaan sudah tercapai kapan saja dan di mana saja Kristus diberitakan dan kuasa Roh Kudus berhembus.[1]

Dari uraian di atas, kita dapat menarik beberapa dalil kebenaran berikut:


1. Allah tidak terbatas, ciptaan terbatas.
2. Yang tak terbatas bersifat kekal, yang terbatas sementara.
3. Yang tak terbatas bersifat bebas, yang terbatas butuh penopang.
4. Yang terbatas tak mungkin menampung yang tak terbatas.
5. Yang terbatas bergantung secara penuh kepada yang tak terbatas.


Dengan demikian, bergantung kepada Allah bagi kita sebagai manusia bukan saja penting tetapi mutlak-niscaya. Tidak dapat tidak kita bergantung kepada Allah. Tidak bergantung kepada Allah berarti kita mau mendudukkan diri sebagai Allah, dan dengan demikian menggeser posisi Allah dari yang seharusnya.


[1]Thomas F. Torrance, The Mediation of Christ (Colorado Springs: Helmers & Howard, 1992), 1–23.

No comments:

Post a Comment