Wednesday, October 31, 2007

Eksposisi Surat Roma 6: Penutup


PENUTUP SURAT (15.14-16.24)

Dalam bagian terakhir, Paulus mengundang jemaat-jemaat di Roma untuk terlibat dalam pemberitaan Injil Allah. Ia pun menyarankan agar rumah tangga saling menerima. Ia memakai gaya retorika kuno, untuk menambah nada emotif untuk mendapatkan dukungan bagi pekerjaan misinya. Ia telah mengadakan misi ke Barat, di Ilirikum (15.19), dan ia pun berencana untuk mengakhiri perjalanan misinya di timur dan berpindah ke Spanyol, sehingga seluruh dunia (yaitu wilayah-wilayah yang dikenal pada zaman itu), terjangkau.

Ia menerangkan akhir perjalanan jarak pendeknya untuk menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem (15.25-32), dan kemudian gereja-gereja rumah di Roma saling memberi salam kepada para pemimpin gereja dan “bersalam-salaman dengan cium kudus” (16.16). Jadi, baik yang lemah dan yang kuat mempunyai hak yang sama untuk menjadi bagian dalam keluarga Kristen.

Saling memberi salam dan saling menerima ke dalam persekutuan, yang merupakan perayaan bagi kematian Kristus dan kehadiran-Nya yang menghidupkan orang percaya, berarti mengambil bagian dalam “kasih karunia Yesus Kristus, Tuhan kita” (16.24). Supaya revolusi anugerah ilahi melalui Yesus Kristus ini diteruskan sampai ke ujung dunia, maka pertama-tama Injil harus mengubah hidup orang-orang percaya dan hubungan-hubungan masing-masing orang beriman. Tidak ada lagi pertikaian etnis dan teologis. Hanya melalui jalan inilah, maka tesis pokok Surat Roma, yakni bahwa Injil Yesus Kristus sebagai “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” nyata tergenapi.

TERPUJILAH ALLAH!

Pertanyaan-pertanyaan untuk diskusi:
1. Apakah ajaran mengenai pemilihan kasih karunia dalam Surat Roma sama dengan ajaran takdir dalam agama Islam?
2. Bagaimana tanggapan Anda bila ada orang mengatakan Allah itu tidak adil dengan memilih sebagian orang saja?
3. Apakah pemilihan kasih karunia menghalangi karya penginjilan?
4. Apakah iman Kristen yang mengajarkan keselamatan hanya di dalam Yesus Kristus membuat para pemeluknya menjadi orang-orang “elit” dan eksklusif?
5. Mengapa orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah? Bagaimana bila pemerintah itu kedapatan kejam dan lalim terhadap rakyat?
6. Apa pentingnya misi pemberitaan Injil bagi rasul Paulus?
7. Melalui sarana apa sajakah Injil seharusnya dinyatakan dan diberitakan?

Eksposisi Surat Roma 5: Kuasa Injil yang mengubahkan


KUASA INJIL YANG MENGUBAHKAN: PERILAKU KRISTEN (12.1-15.13)

Bagian keempat ini menunjukkan bagaimana orang Kristen bertindak secara etis berdasarkan kebenaran melalui iman. Bagian ini, bila demikian, meletakkan prinsip-prinsip perilaku Kristen (Christian principles of conduct). Termasuk di dalamnya fondasi yang baru mengenai toleransi hidup dalam suatu komunitas yang majemuk.

Sebagai respons atas “kemurahan Allah,” maka umat dinasihati untuk mempersembahkan suatu persembahan hidup, yaitu pelayanan anggota-anggota tubuh yang tidak “serupa dengan dunia ini” (12.1-2). “Pembaruan budi” menunjukkan pemulihan rasionalitas yang telah dibenarkan oleh Allah. Yang dimaksudkan oleh Paulus di sini adalah asumsi dan kemampuan mental dari suatu kelompok orang percaya, dan bukan individu. Setiap keputusan seharusnya merupakan urusan komunitas. Hal ini dipertegas dengan kalimat “sehingga kamu [jamak] dapat membedakan manakah kehendak Allah” (12.2).

Sumber-sumber daya untuk memenuhkan tugas ini didaftarkan di ayat 3-8, yang dimulai dengan permainan kata: “Jangan kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi,
[1] tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa,[2] sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Dengan mengingat pengalaman unik masing-masing pribadi orang percaya, dan komunitas-komunitas, terhadap pengenalan akan Kristus, Paulus mendefinisikan “berpikir begitu rupa” (sober-mindedness) sebagai penolakan untuk memaksakan standar seseorang mengenai pengalamannya dengan Allah, kepada orang lain. Pola hidup demikian menyebabkan konflik antara “yang lemah” dan “yang kuat,” dan tiap golongan akan berupaya agar pandangannya diterima oleh orang lain.

Di 12.9-21, Paulus mendasarkan petunjuk-petunjuk agar jemaat hidup dalam “kasih yang tidak berpura-pura.” Ia menekankan masalah perlunya jemaat membedakan yang baik dan yang jahat (ay. 9, 21), khususnya sekarang dalam suatu sistem kehormatan yang baru dalam komunitas orang percaya. Sebagai ganti dari kompetisi dari gereja rumah dan gereja yang besar, mereka harus “saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (12.10). Dengan berbagi dalam berkat dan kesusahan (12.13-15) dan dengan “memikirkan perkara-perkara yang sederhana” (12.16), jemaat hendaknya tidak boleh menundukkan diri kepada kaum elit yang biasanya dihormati dalam suatu komunitas. Jadi mereka harus menunjukkan solidaritas kasih yang sejati. Hal ini bahwa akan memimpin kepada suatu hubungan baru, terhadap orang-orang lain di luar gereja, termasuk kepada para penganiaya (12.14). Jemaat harus menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan (12.18), dan menyerahkan pembalasan itu kepada Allah (12.19-20).

Dalam bagian 13.1-7, Paulus mendesak jemaat untuk tunduk kepada kuasa pemerintahan yang ada, dengan dasar pernyataan bahwa Allahlah yang menganugerahkan kekuasaan yang demikian, bukan Mars ataupun Jupiter, seperti yang diimani dalam agama Romawi, tetapi Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui Kristus yang tersalib. Jemaat tidak boleh melawan dan diimbau untuk membayar pajak.

Kendati demikian, di balik pernyataan ini terdapat suatu coup d’etat politis! Ah, tetapi bukan dengan granat dan senjata besi! Perhatikan pernyataan ini. Penguasa Roma dipilih oleh Allah dan Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Bila demikian, sama sekali bukan seperti yang diyakini oleh agama Romawi. Bila orang Roma mengaku kekuasaan itu diberikan oleh Mars atau Jupiter, mereka telah menindas kebenaran dengan kelaliman (ingat 1.18!). Maka, tidak ada yang tertinggal dalam kemegahan dan kebanggaan Roma, baik keutamaan maupun kesalehan mereka yang superior. Semuanya telah ditelanjangi di 1.18-3.20. Yang tertinggal adalah fakta yang sederhana bahwa pemerintah itu dipilih dan ditetapkan oleh Allah, sebagai suatu perkara yang tidak dilandaskan oleh keutamaan orang yang dipilih, tetapi misteri pikiran dan pengetahuan Allah, yang memilih siapa yang Ia kehendaki sebagai agen-agen kehendak ilahi-Nya (9.14-33; 11.17-32). Ketertundukan kepada pemerintah dengan demikian merupakan suatu ungkapan penghormatan bukan semata-mata kepada pemerintah itu sendiri, tetapi kepada Allah yang tersalib, yang berdiri dengan penuh otoritas di balik mereka.

Di 13.8-10, Paulus terus mendesak bahwa kewajiban sosial seharusnya dilingkupi oleh kasih persaudaraan. Kasih merupakan kegenapan hukum Taurat. “Kasih” dalam ayat ini mengacu kepada jamuan makan agape, atau yang juga dikenal dengan perjamuan kasih, yaitu jamuan makan yang diadakan oleh gereja perdana, dan hampir dapat dipastikan sama dengan Perjamuan Kudus. Acuan kepada “kegenapan hukum Taurat” mencerminkan fakta bahwa halangan terbesar untuk saling bersekutu dalam situasi Roma adalah keharusan-keharusan untuk berlaku sama dengan hukum Taurat, yang memilah yang kuat dari yang lemah, dan menghalangi perayaan perjamuan kasih bersama-sama.

Perayaan-perayaan yang biasanya dilakukan oleh lingkungan Yunani dan Romawi menjadi latar paragraf berikutnya. Paulus memperingatkan jemaat pada perbuatan-perbuatan kegelapan. Orang Yunani mengilahkan Argumen (Perdebatan, Dispute) dan Kehormatan (Emulation) sebagai kuasa-kuasa yang berdiri di balik gaya hidup orang Kristen. Sementara itu, orang Yahudi mengagungkan zelotisme. Revolusi kaum orang Kristen mula-mula dalam sistem kehormatan dan kehinaan telah mengubah kelakuan-kelakuan ini menjadi pola hidup yang sopan, dengan “perselisihan” dan “iri hati” sebagai faktor-faktor yang ada di zaman kegelapan (13.13). Sebab, pola hidup seperti ini akan menghancurkan gaya hidup setara-sejajar orang-orang percaya, dan menghancurkan komunitas iman.

Di 14.1-15.13, Paulus melawan kompetisi kehormatan di dalam gereja-gereja Roma. Poin mendasar yang ia kemukakan ialah, menghina dan menghakimi sesama orang Kristen berarti buta terhadap siapa sejatinya Allah itu. Jika Allah telah “menerima” yang dianggap musuh bagi seseorang (14.3), dan jika Allah adalah yang Pribadi yang kepada-Nya semua orang bertanggung jawab (14.5-6), maka perseteruan yang terus-menerus merupakan perlawanan terhadap Allah. Karena itu, saling menerima sesama saudara seharusnya menjadi bagian kehidupan komunitas beriman (14.1; 15.7), dan inilah yang diharapkan menjadi latar bagi perjamuan kasih di gereja-gereja Roma.

Ia menegaskan bahwa “tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis” (14.14-15). Ia menasihati supaya yang baik, yang dimiliki oleh orang percaya tidak difitnah (14.16). Dengan jalan ini, maka ia melindungi “yang lemah,” di samping menjaga integritas “yang kuat” (14.16). Gaya revolusioner persekutuan ini mengizinkan perbedaan, sementara itu menjangkau orang lain sebagai anggota-anggota tubuh Kristus.

“Saling membangun” (14.19) jelas berimplikasi baik yang lemah ataupun yang kuat, kedua belah pihak memiliki tugas untuk saling menguatkan. Dengan mengutip LXX Mazmur 68.10 di Roma 15.3, Paulus menyarankan bahwa merendahkan orang lain, juga menghakimi sesama, yang terjadi di jemaat Roma, akan menambah kritikan atas kehinaan Kristus di atas kayu salib, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi semua pihak. Karena itu, jemaat-jemaat yang sedang berkompetisi, harus “mencari kesenangan sesama” (15.2), dan dengan jalan demikian mereka menambah kehormatan dan integritas kelompok jemaat lain, ketimbang saling menghina. Ketika jemaat mengakhiri konflik ini, orang-orang Kristen di Roma akan dimampukan untuk menyatukan suara mereka dalam pujian kepada satu Allah di atas (15.6), dan untuk mengambil bagian dalam paduan suara akbar yang pada suatu hari kelak akan bersama-sama menaikkan pujian bagi nama Allah (15.9-13).

[1]Super-minded above what one ought to be minded.
[2]Sober-minded.

Eksposisi Surat Roma 4: Pembelaan Injil


PEMBELAAN INJIL: PROBLEM ISRAEL (9.1-11.36)

Bagian ketida dari Surat Roma berkenaan dengan ketidakpercayaan Israel dan misteri (baca: rahasia) pemilihan Allah. Isu pokoknya adalah apakah janji Allah kepada Israel telah batal (9.6). Kalau begitu, Injil bukanlah “kekuatan Allah yang menyelamatkan”! (1.16). Diungkapkan dalam wacana misdrash (tafsiran Yahudi atas Perjanjian Lama), 9.6-18 mengutip Kej. 21.12 sebagai teks pemuliaan dan Kejadian 18.10, Kejadian 25.23, Maleakhi 1.2-3, Keluaran 33.19 dan Keluaran 9.16 sebagai teks tambahan. Midrash tersebut menciptakn suatu bukti logis dari tesis di 9.6a dengan mengembangkan suatu pembedaan antara Israel yang sejati dengan Israel secara keseluruhan. Pemilihan Allah terlihat berkarya dalam penentuan Ishak dan Yakub sebagai penerima-penerima rahmat (“kemurahan”) Allah.

Keberatan terhadap Injil dilancarkan karena seolah-olah Allah bertindak tidak adil dalam tindakan pemilihan di atas, dengan membatasi kemerdekaan-Nya. “Kehendak” Allah beberapa kali diulang tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan kehendak manusia (9.16), tetapi juga menunjukkan logika tujuan dari pemilihan Allah (9.11). Tatkala argumentasi yang tajam menusuk ini dikemukakan, jelaslah yang menjadi batu sandungan adalah “Ia bermurah hati kepada siapa yang Ia kehendaki,” yaitu mereka yang tidak layak. Paulus ingin menonjolkan kehormatan dan kehinaan, baik pada waktu dahulu ia masih menjadi penganiaya jemaat, dan di masa kini penolakan orang-orang Yahudi terhadap Injil. Ia pun hendak menunjukkan bahwa tak seorang pun dari antara bapa-bapa beriman yang layak menerima berkat dari Allah.

Di 9.17, Paulus menerapkan ajaran yang telah luas dikenal mengenai pengerasan hati Firaun untuk menunjukkan pokok masalah yang lebih kontroversial bahwa kemurahaan Allah benar-benar berdaulat. Paulus yakin bahwa penolakan kemurahan Allah yang dinyatakan di dalam Injil ini telah memposisikan kaum Yahudi seperti Firaun, dengan memutar balik status mereka di hadapan Allah. Di 9.19-29, Paulus menyatakan masalah penting mengenai pemilihan, yaitu apakah kehendak Tuhan dapat ditentang. Kutipan bernada midrash (penafsiran PL), menunjukkan bahwa Allah tetap adil dan bahwa seorang tukang periuk memiliki hak untuk membentuk tanah liatnya sebagaimana yang ia kehendaki. Kutipan dari Hosea disisipkan di 9.25-26 untuk menunjukkan bahwa Israel yang sejati terdiri dari mereka yang dipanggil baik dari orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi untuk mengambil bagian dalam komunitas baru orang-orang beriman. Di 9.27, Paulus mengutip satu teks dari Yesaya untuk menunjukkan bahwa kaum sisa dari “anak-anak Israel” saat ini telah menjadi orang percaya. Perikop ini berakhir dengan kutipan nabi Yesaya yang menunjukkan bahwa Israel yang sejati sebagai benih dari Abraham akan dibebaskan dari penghakiman dan “ditinggalkan pada kita,” yang memiliki implikasi: melalui kemurahan Allah, maka orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi menjadi satu komunitas orang percaya di dalam gereja Tuhan.

Di 9.30-10.4, Paulus mendiskusikan implikasi-implikasi orang-orang bukan Yahudi mendapatkan kebenaran, sementara orang-orang Yahudi tetap menyukai perbuatan hukum Taurat, melampaui iman. Mereka tersandung pada batu sandungan Kristus, sebab Ia melawan agama yang mengutamakan pekerjaan-pekerjaan baik. Paulus menjelaskan bahwa orang-orang Israel yang tidak percaya itu menunjukkan betapa giatnya mereka bagi Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. Pada zaman itu, mereka sangat mengagung-agungkan sosok Pinehas (Bilangan 25) dan nabi Elia sebagai patron revolusi kaum Zelot seperti yang dihidupi oleh Paulus sendiri sebelum ia bertobat.

“Kegiatan” mengacu kepada intensitas para pengikut Allah untuk menyatakan kepatuhan mereka kepada Allah dan, khususnya pada era gerakan perlawanan Yahudi di masa Bait Allah Kedua, kepada Taurat! “Tanpa pengetahuan yang benar” mengacu kepada kegagalan untuk mengenal kebenaran Allah yang telah mengejawantah (baca: berinkarnasi), di dalam Yesus Kristus. Rekan-rekan Paulus yang sama-sama Yahudi “mendirikan kebenaran mereka sendiri” (10.3). Kalimat ini menyiratkan adanya posisi-posisi yang saling berkompetisi, yang mengakibatkan keberhasilan seseorang kemudian diperbandingkan dengan orang lain. Bisa saja kompetisi ini dipahami secara individu, tetapi dalam konteks yang lebih luas dari Surat Roma, hal tersebut juga mengacu kepada kebenaran etnis dan sektarian yang dibangga-banggakan oleh kelompok-kelompok massa yang tersebar di dunia Mediteranian.

Kata-kata “Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (10.4) menjelaskan kesalahpahaman mengenai tujuan hukum Taurat yang ditunjukkan melalui perilaku kompetitif seperti tersebut di atas. Di dalam Kristus, kebenaran dapat diperoleh tanpa harus menyesuaikan diri dengan kode-kode adat-istiadat dalam kebudayaan apa pun. Kristus menyatakan dan menggenapkan tujuan mula-mula dari hukum Taurat, yang telah ditenggelamkan oleh persaingan untuk mencapai kehormatan pribadi dan menghina orang lain. Keselamatan terbuka kepada semua “orang yang percaya” kepada Injil, yang melampaui batasan-batasan suku antara Yunani dan Yahudi serta barbar, yang telah disebutkan dan terus diulang dalam surat ini.

Di 10.5-13, percakapan mengenai bagaimana “membawa Kristus turun” dan “membawa Kristus naik” mengindikasikan bahwa motivasi kepatuhan kaum zelot pada abad pertama adalah untuk mempercepat dan menyambut era mesianik. Kritik utama Paulus adalah bahwa motivasi ini sekarang telah usang, sebab Yesus telah datang sebagai Kristus, terbukti melalui kebangkitan, dan kepatuhan secara total itu telah Ia tunjukkan melalui kematiannya di atas salib. Ia yang terhina, dan tergantung di atas kayu salib sekarang diakui sebagai Tuhan (10.9-10), dan inilah tuntutan dari hukum moral dan agama yang menuntun kepada kematian-Nya. Dalam penyaliban-Nya, seluruh kondisi yang menyatakan bahwa seseorang dapat memperoleh kehormatan dengan tindakan dan keyakinannya telah dijungkirbalikkan.

Tiga kali kata “hati” muncul dalam 10.8-10, hal ini menunjukkan keyakinan Paulus bahwa iman itu lebih dari sekadar sederetan akidah kepercayaan. Iman berkaitan dengan kondisi hati. Hati merupakan pusat dari pikiran, emosi, pengalaman dan cita-cita manusia. Hati orang berdosa telah dipenuhi oleh rahasia-rahasia yang memalukan. Kuasa salib Kristus sanggup menguak semuanya. Karena itu, ketika berita ini disampaikan, maka keyakinan Paulus adalah bahwa “Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu” (10.8).

Paulus tahu bahwa orang-orang percaya di Roma telah hidup sesuai dengan iman mereka, dan hal ini dilandaskan pada hati yang telah diubah, dan oleh karena itu mereka akan mengenali “Firman iman” yang diberitakan oleh rasul Paulus. Rasul Paulus memberi tempat utama kepada “hati” di dalam beritanya, firman itu telah “dekat” di hati mereka. Hal ini berkorelasi secara dekat dengan bagian berikutnya, yang merayakan pemberitaan Injil meski di tengah-tengah penolakan sebagian orang-orang Israel (10.4-21). Oleh sebab “iman timbul dari pendengaran” (10.17), dan ditujukan “sampai ke seluruh dunia,” sebagai kutipan dari Mazmur 19.5, secara tersirat Paulus menyatakan bahwa misinya ke Spanyol mempunyai dasar Alkitab dan ia mengharapkan hal ini mendorong pertobatan seluruh Israel, kaumnya sendiri (10.19).

Di 11.1-24, Paulus membahas apakah Allah menanggapi penolakan Israel dengan jalan meninggalkannya juga. Sejumlah kaum sisa yang telah diselamatkan “oleh kasih karunia” (11.5-6), dan pengerasan hati sebagian orang Yahudi seharusnya membuat orang Yahudi sadar, jangan lagi merasa diri lebih tinggi dari orang lain (11.17-22). Allah memiliki kuasa untuk “mencangkokkan” orang-orang Israel yang jauh, sehingga mereka tidak lagi dicangkokkan pada “pohon zaitun yang liar” tetapi pada “pohon zaitun sejati” (11.23-24). Di 11.25-32, ia percaya bahwa pertobatan orang Israel akan sangat didorong oleh pertobatan orang-orang bukan Yahudi, sehingga pada akhirnya “semua orang Israel diselamatkan” (11.25-26). Tidak ada tempat bagi kesombongan dari semua sisi, sebab Allah “telah mengurung semua orang dalam ketidaktataan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua” (11.32).

Pernyataan di atas diikuti oleh suatu himne pujian atas misteri pikiran Allah (11.33-36), yang memakai kutipan Yesaya 40.3 dan Ayub 41.3, yang menunjukkan bahwa meskipun tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan yang sempurna, hanya Allah saya yang layak dimuliakan.
[1]

[1]Paulus dengan tepat mengakhiri bagian ketiga ini dengan sebuah doksologi. Sebelumnya ia memiliki harapan bahwa semua Israel bertobat, tetapi siapa yang tahu dan siapa yang dapat menentukan hal ini. Prediksi Paulus tentu tidak akurat, sebab sampai saat ini toh banyak orang Yahudi yang tidak percaya kepada Kristus. Jadi, semua ini adalah rahasia pengetahuan Allah.

Friday, October 26, 2007

Identitas Mennonit: Dimulai dari Rumah


IDENTITAS MENNONIT: DIMULAI DARI RUMAH!


Pembentukan jati diri Mennonit tidak mungkin dapat dilepaskan dari lingkungan rumah. Marilah kita sejenak membuka-buka catatan sejarah kehidupan para leluhur. Pada kelahirannya, 482 tahun lalu, Mennonit dimulai dengan pertemuan di rumah-rumah, dalam jemaat-jemaat yang kecil dan tersembunyi. Mereka tidak beribadah di gereja negara di Swiss, Belanda dan Jerman. Pertemuan ibadah rahasia, tidak tetap, dan mengambil tempat di rumah-rumah, di lumbung, di atas perahu, bahkan di gua-gua; di mana pun tempat yang mungkin untuk dipakai beribadah. Ibadah Mennonit dimulai dari keluarga!

Antara tahun 1702 dan 1742, di Basel diterbitkan sebuah buku doa yang berjudul Güldene Äpffel in silbern Schalen (“Apel-apel Emas dalam Mangkuk-mangkuk Perak”). Buku itu ternyata dipakai dalam ibadah keluarga-keluarga Mennonit di Swiss! Sejak saat itu bermunculkan pula literatur-literatur devosional dari kaum Mennonit seperti Send-Brieff (“Surat-surat Kiriman,” pada tahun 1720); Die Ernsthafte Christenpflicht (1739); Kleines Handbüchlein (“Pedoman-pedoman Baru,” 1786). Wajar saja. Seiring dengan maraknya gerakan Pietisme pada abad ke-18, maka buku-buku devosi pun menjadi favorit keluarga-keluarga Kristen, tak terkecuali keluarga-keluarga Mennonit.

Dalam perkembangan selanjutnya, hampir semua keluarga Mennonit pasti memiliki kebiasaan untuk berdoa bersama-sama sebelum makan. Dilaporkan, hanya sekitar 4% dari kaum Mennonit dan Brethren in Christ yang tidak memiliki kebiasaan ini. Selanjutnya, 4% memiliki kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah makan. Dan, 92% sisanya pasti berdoa sebelum makan atau pada setiap kali makan bersama keluarga.

Kaum Mennonit biasa menghafalkan doa, khususnya doa makan. Orangtua mengajak anak-anaknya menirukan doa pada jam-jam makan, pada waktu tidur, atau pada waktu-waktu lain. Orangtua juga mengajarkan anak-anak mereka menghafalkan doa-doa yang sesuai dengan usia mereka. Meskipun pengakuan-pengakuan Mennonit tidak mencantumkan mengenai ibadah keluarga, tetapi dalam Mennonite Confession of Faith (1963) bab 15 dinyatakan, “The Christian home ought regularly to have family worship, to seek faithfully to live according to the Word of God, and to support loyally the church in mission.” (“Rumah tangga Kristen haruslah memiliki ibadah keluarga yang rutin, berupaya untuk hidup dengan patuh kepada Firman Allah, dan untuk mendukung gereja dalam misi.”) Kemudian, para orangtua pun didorong untuk berjanji, mau menumbuhkembangkan anak-anak mereka di dalam iman Kristen yang benar.

Anda telah membaca tulisan-tulisan dalam bunga rampai ini. Sampailah kita kepada kesimpulan akhir, apa yang harus kita kerjakan? Di tengah-tengah perubahan zaman, segala sesuatu menjadi tidak pasti. Perekonomian negara tak dapat diprediksi dengan tepat. Bencana alam dapat datang kapan saja. Tempat tinggal yang semula dikira aman bisa tiba-tiba dilanda banjir mahadahsyat. Kutipan bab satu pengakuan iman Mennonit di atas perlu mendapat perhatian khusus dari tiap-tiap rumah tangga Kristen, dan khususnya keluarga Mennonit di Indonesia. Ada tiga pokok permenungan bagi kita yang tinggal di sini.

1. Menjadi Keluarga yang Beribadah

Kita menerima warisan adi luhung ibadah keluarga dan keluarga yang beribadah. Ya, sangat dapat dimengerti, percepatan laju kemajuan zaman membuat nilai-nilai kerekatan dalam keluarga semakin berkurang. Tak ada waktu yang cukup untuk memperhatikan anak. Bermain dengan orangtua digantikan dengan pemenuhan apa saja permintaan si anak. Kebutuhan emosional dan relasional dari si anak diganti dengan fasilitas elektronik dan sarana komunikasi yang canggih.

Sosiolog Mennonit J. Howard Kauffman menyelidiki dampak urbanisasi bagi perkembangan antara anak-anak Mennonit urban dan rural di Amerika Utara. Ternyata, anak-anak Mennonit urban mengindap gejala-gejala neurotik ketimbang mereka yang terbiasa tinggal di daerah pertanian. Anak-anak Mennonit pedesaan masih dapat menerima nilai-nilai keluarga Mennonit daripada anak-anak urban. Hasil temuan lainnya dari Kauffman, berdasarkan penelitian tahun 1979, kesuksesan yang diraih oleh anak-anak sangat dekat kepada kualitas hubungan emosional (khususnya afeksi/cinta-kasih) yang anak-anak rasakan, ketimbang mereka yang diperintah dengan otoritas dari orangtua.

Orangtua yang memerintah, mungkin semakin sedikit pada akhir-akhir ini. Namun betapa buruknya orangtua yang otoriter, masih dirasakan kehadiran mereka oleh si anak. Pada masa kini, orangtua tidak lagi otoriter, namun mereka pun tidak hadir. Kehadiran mereka digantikan dengan benda. Maka anak pun merasakan ada sesuatu yang hilang dari diri mereka, yang tidak dapat dibeli dengan uang maupun barang.

Betapa vitalnya waktu di mana keluarga dapat berkumpul, satu jam dalam satu hari, satu hari dalam satu minggu, dan satu minggu dalam satu bulan. Waktu untuk untuk bersama-sama berdoa, membaca firman, dan berdoa. Bukan saja hal tersebut merupakan bagian dari kesalehan, tetapi suatu nilai-nilai utama yang kita warisi dari tradisi Mennonit, dan yang terlebih penting, anak diajar untuk mengenal dan menghormati Allah sejak dini. Ungkapan yang sangat disukai oleh keluarga Mennonit adalah, “The family that prays together, stays together.” (“Keluarga yang berdoa bersama, tinggal bersama-sama.”)

2. Hidup menurut Firman

Nilai kehidupan keluarga Anabaptis-Mennonit dapat ditakar dari kepatuhannya kepada Firman Tuhan, dan perjuangan yang gigih untuk tiap-tiap hari dibentuk seturut ajaran dan kehidupan Tuhan Yesus. Menjadi Mennonit berarti menjadi murid sampai ke akar-akarnya. Menjadi murid yang radikal.

Ketika di Amerika terjadi revolusi seksual, pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, keluarga-keluarga Mennonit berusaha untuk tidak melonggarkan patokan kehidupan yang ditawarkan oleh media massa dan tindak-tanduk masyarakat. Pada awal tahun 1980-an, suatu penelitian mengenai “Seksualitas Manusia dalam Kehidupan Kristen” terhadap para rohaniwan dan jemaat-jemaat di General Conference Mennonite Church dan Mennonite Church (MC). Hasilnya, hubungan seksual hanya terbatas pada pasangan yang telah menikah. Laporan itu menyebutkan pula suatu nilai kemanusiaan, yaitu tidak disetujuinya tindakan diskriminasi terhadap orang-orang yang berorientasi seksual menyimpang. Kendati demikian, kedua sidang gereja itu tidak menyetujui tindakan-tindakan homoseksualitas.

Mundur ke tahun 1972, sejumlah 85% anggota-anggota gereja mempercayai bahwa hubungan seksual di luar pernikahan “tidak dapat dibenarkan.” Sebanyak 7% yang lain merasa tidak pasti, dan 8% siap untuk mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dengan alasan-alasan yang sangat terbatas. Dari jumlah yang mengatakan “tidak dapat dibenarkan,” 66%-nya adalah kelompok usia 20-29 tahun dan 29% berusia 50 tahun ke atas (5% belum mencapai usia 20 tahun).

Dari data di atas, terlihat bahwa generasi yang lebih muda nampak lebih permisif daripada generasi yang lebih senior. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh sikap publik. Kadang-kadang terjadi hubungan di luar pernikahan, anak-anak yang dilahirkan secara ilegal, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Pada zaman dahulu, penyimpangan seksual menuntut pengakuan di muka umum, oleh sebab masalah seksual termasuk dalam pranata publik kemasyarakatan. Erosi standar kekudusan seksualitas pada zaman modern nampaknya menggeser pemahaman seksualitas sebagai bagian dari pranata sosial. Orang modern lebih merasa hal tersebut merupakan urusan privat.

Nilai-nilai kemuridan yang radikal pada zaman dahulu sangat ditandai dengan keberanian seseorang untuk bertindak yang sama sekali lain daripada standar umum masyarakat. Keluarga Mennonit memahami kata-kata Tuhan Yesus, “Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat. 5:41).

Bagaimana nilai-nilai ini diterjemahkan dalam kehidupan modern? Dari ungkapan para penulis dalam bunga rampai ini, dapatlah kita simpulkan, apa yang belum pernah terpikirkan oleh orang, dan hal itu merupakan keutamaan Kristiani, buatlah terobosan! Dan, apa yang dahulu ada, namun yang sempat tenggelam ditelan arus zaman, kembangkan lagi untuk hidup pada masa kini.

3. Mendukung Misi Gereja

Nilai ketiga yang kita petik adalah, keluarga merupakan bagian dari misi gereja. Dalam istilah yang populer, “Keluarga sehat, gereja kuat!” Keluarga adalah sarana Allah untuk menjadi kesaksian gereja.

Kristus mengutus para murid untuk memuridkan segala bangsa. Tugas pemuridan bukan menjadi tanggung jawab pribadi dari orang-orang yang sudah mendapatkan keselamatan, tetapi juga menjadi tanggung jawab komunal. Posisi keluarga menjadi vital. Ekklesiologi Mennonit meyakini bahwa gereja terdiri dari orang-orang yang dibenarkan oleh Allah, yang secara sukarela bersekutu dalam sebuah perkumpulan orang-orang percaya, yang disebut gereja. Tidak bisa tidak, gereja Mennonit pun memahami bahwa gereja tersusun dari keluarga-keluarga yang mengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, yang dengan sukacita bersekutu dan berkumpul untuk memuji dan menyembah Allah, serta bertekad untuk hidup dalam perdamaian penuh dengan semua orang.

Kebenaran, sukacita, dan perdamaian, bukankah ketiganya adalah Kerajaan Allah (Rm. 14:17)? Bila demikian, gerak dan arah perjalanan keluarga-keluarga Mennonit adalah mengembangkan ketiga keutamaan ini sebagai “maket” dan antisipasi dari Kerajaan Allah yang kelak akan datang. Menjadi pelopor-pelopor yang menghadirkan kebenaran, sukacita dan perdamaian, dengan cinta-kasih sebagai pengikatnya. Sehingga, keluarga Mennonit menjadi a home for the homeless, sebuah tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak berumah.

Kiranya semua tulisan yang telah tersaji dalam bunga rampai ini dapat menjadi sumbangsih bagi keluarga-keluarga Mennonite, dan keluarga Kristen pada umumnya. Menno Simons mewariskan enam poin untuk mencermati gereja Kristus yang sejati:

1. Ajaran yang jelas dan murni [biblis]. Ulangan. 4:6; 5:12; Yesaya 8:5; Matius 28.20; Markus 16:15; Yohanes 8.52.

2. Pranata-pranata yang diatur oleh Kitab Suci. Matius 28:19; Markus 16; Roma 6:4; Kolose 2:12; 1 Korintus 12:13; Markus 14:22; Lukas 22:19; 1 Korintus 11:22, 23.

3. Ketaatan kepada Firman. Matius 7; Lukas 11:28; Yohanes 7:18; 15:10; Yakobus 1:22.
4. Kasih persaudaraan yang tulus. Yohanes 13:34; Roma 13:8; 1 Korintus 13:1; 1 Yohanes 3:8; 4:7, 8.

5. Kemerdekaan untuk saling berbagi iman di dalam Allah dan Kristus. Matius 10:32; Markus 8:29; Roma 10:9; 1 Timotius 6:13.

6. Ketahanan menderita bagi Firman Allah. Matius 5:10; 10:39; 16:24; 24:9; Lukas 6:28; Yohanes 15:20; 2 Timotius 2:9; 3:12; 1 Petrus 1:6; 4:13; 5:10; 1 Yohanes 3:13.

Dan di bawah ini doa Menno Simons untuk gereja Tuhan,

Ya Tuhan! Berilah karunia kepada kawanan domba-Mu yang nestapa, supaya jangan sampai ditelan oleh naga yang menyerang, Wahyu 12.4, tetapi melalui anugerah-Mu, kami dapat dengan sabar menaklukkannya dengan pedang dari mulut-Mu, dan dapat meninggalkan benih kekal yang akan menjaga perintah-perintah-Mu, memelihara kesaksian bagi-Mu, dan secara kekal memuji nama-Mu yang besar dan agung. Amin, ya Tuhan yang kekasih, Amin. (Menno Simons, “True Sign by Which We Can Know Christ’s Church,” 1554)

Wasana Kata untuk bunga rampai
Nilai-nilai Keluarga Mennonit dalam Kisaran Badai Zaman, ed. N. Sasongko (Semarang: Pustaka Muria, akan datang)

NILAI-NILAI KELUARGA MENNONIT DALAM KISARAN BADAI ZAMAN (PENGANTAR)


PENGANTAR BUNGA RAMPAI

Bunga rampai ini ditulis oleh para rohaniwan Mennonit, dari GKMI. Kebanyakan dari mereka adalah gembala jemaat. Ada yang telah purna tugas, ada yang masih aktif. Sebagian merupakan pengajar dan pimpinan lembaga mitra-gereja. Semuanya pernah menempuh jenjang studi di atas strata satu. Namun, semuanya adalah para praktisi gereja dan terlibat dalam pelayanan berjemaat.

Dapat segera diselisik (bukan “telisik”!), buku ini merupakan kumpulan tulisan praktika mengenai kehidupan real berjemaat. Lebih khusus lagi, mereka sedang mengetengahkan nilai-nilai keluarga Mennonit di tengah-tengah perubahan zaman. Pertanyaan yang segera muncul dari pernyataan ini adalah, apa perbedaan keluarga Mennonit dari segmen-segmen masyarakat lainnya, dalam masalah hubungan keluarga? Adakah sesuatu yang istimewa, yang membedakan keluarga Mennonit dengan keluarga dari tradisi atau denominasi lain? Apa bedanya keluarga Mennonit dengan Lutheran? Atau Katolik? Atau Reformed? Atau Metodis?

Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah. Seratus tahun lalu, masih mungkin bila pertanyaan tadi dilontarkan kepada orang-orang Mennonit di Amerika Utara. Jumlah populasi masyarakat belum berlipat ganda seperti saat ini. Permasalahan kehidupan belum kompleks. Kehidupan jemaat masih berkisar pada kehidupan rural (pedesaan) yang berorientasi pada pertanian dan peternakan. Pendidikan cukup diberikan dalam keluarga, dan tidak perlu pendidikan tinggi, karena toh berujung pada pekerjaan bertani dan beternak. Kota belum menjadi daya tarik yang menggiurkan.

Semua kondisi di atas sudah beruah. Ada empat perubahan yang diamati oleh para sosiolog: urbanisasi, turunnya pamor sistem keluarga patriakhal, terjadinya revolusi seksual di kalangan anak muda dan bertumbuhnya gerakan persamaan hak perempuan. Kecuali pola kehidupan keluarga dalam komunitas Hutterit, Amish Kuno, Mennonit Kuno, dan Mennonit Koloni Kuno yang masih mempertahankan kehidupan keluarga yang ketat, kebanyakan keluarga Mennonit sudah melebur sama dengan keluarga-keluarga yang lain.

Para ahli mengamati, pola hidup akulturasi (pertemuan dua budaya yang saling mempengaruhi), dan asimilasi (penyesuaian [peleburan] sifat asli dengan lingkungan di sekitarnya) tidak selalu buruk. Dengan perbaikan sistem pengobatan, laju kematian ibu dan bayi dapat ditekan. Kemakmuran dapat dicapai dengan meningkatnya pendapatkan keluarga dan tingkat kehidupan. Keluarga menjadi lebih demokratis dengan cara keputusan-keputusan dapat dirembug oleh semua keluarga, dan kian terbukanya komunikasi antara suami dan istri, sehingga suami bukan lagi mengambil peran sebagai penentu semua kebijakan dalam keluarga.

Jadi, kembali ke pertanyaan, di mana perbedaan yang mendasar, sehingga bunga rampai ini merupakan penjabaran nilai-nilai keluarga Mennonit? Pertama, pengajaran mengenai keluarga, Mennonit dekat dengan pemahaman yang natural dari Kitab Suci. Pola berteologi Mennonit lebih biblisis, dengan pembacaan dan penerapan langsung ke kehidupan sehari-hari. Apa yang dibaca, direnungkan dari kehidupan, itulah yang menjadi penerapan. Pembacaan seperti ini menampilkan dinamika Kitab Suci sebagai otoritas bagi kehidupan kini dan di sini.

Kedua, bagi kaum Mennonit, teologi merupakan phronesis, bukan theoria. Maaf, istilah teknis! Phronesis adalah hikmat, kebijaksanaan, keutamaan bagi hidup sehari-hari. Teologi dipandang bukan sebagai theoria, suatu bangunan logika ortodoksi ketat dan tidak berkontradiksi. Jadi, bila kaum Mennonit berbicara mengenai teologi, mereka berbicara mengenai nilai-nilai kehidupan. Teologi adalah virtue, keutamaan. Teologi mengenai keluarga berarti bagaimana keluarga Mennonit menampilkan keutamaan-keutamaannya di tengah-tengah perubahan zaman yang kian cepat.

Apakah para penulis yang mengguratkan buah pemikiran mereka sedang melakukan akulturasi? Atau asimilasi? Pembaca sendiri yang dapat menilainya. Paling tidak ada tema yang selalu muncul, yang menjadi pengikatnya: cinta-kasih.

Esai pertama ditulis oleh Pdt. Daniel K. Listijabudi, mengetengahkan tempat Alkitab dalam pembangunan karakter keluarga Kristen. Pembangunan karakter (character building) adalah wacana yang mencuat dalam dekade terakhir ini. Mendulang dari surat rasul Paulus yang kedua kepada anak didiknya, Timotius, penulis mengelaborasi peran vital Kitab Suci dalam pembangunan karakter keluarga, khususnya generasi muda.

Menyusul kemudian esai dari Pdt. Em. Charles Christano, yang mendulang mutiara rohani dari Surat 1 Korintus, khususnya pasal 13. Dalam tajuk “Melestarikan Cinta Kasih Keluarga,” penulis berusaha mengungkapkan relevansi deretan jabaran mengenai cinta kasih untuk kehidupan masa kini, khususnya dalam keluarga Kristen.

Belajar dari keutamaan komunitas L’Arche bentukan Jean Vanier, mantan guru besar filosofi, yang di dalamnya menjadi rumah yang mengayomi anak-anak terbelakang mental, Pdt. Mikha Joedhiswara membangun sebuah wacana “teologi bela rasa” yang perlu dikembangkan dalam keluarga. Di tengah-tengah surutnya bela rasa, dan krisis kasih sayang, rumah seharusnya menjadi tempat curahan cinta kasih.

Esai dari Pdt. Aristarchus Sukarto mengajak keluarga berlaku bijak dan bajik dalam mengelola keuangan. Keluarga Kristen tak perlu lagi bersikap “mendua” dengan uang, di satu sisi menganggap uang sebagai jahat, tetapi di sisi lain tetap membutuhkan uang. Keluarga perlu cermat dengan pengelolaan uang, bukan hanya untuk masa kini, tetapi juga perencanaan jangka panjang. Seperti bendahara yang cerdik, yang mampu mengembangkan sumber dana yang dimilikinya, yang mendapat pujian dari Tuhan Yesus, demikianlah seharusnya orang-orang Kristen pada masa kini. Penulis mengajak pembaca untuk melihat sisi positif dari uang, dan bagaimana keluarga Kristen menggunakannya dengan bertanggung jawab,demi kebahagiaan keluarga.

Problem real yang pasti dihadapi oleh keluarga adalah konflik. Dinamika pernikahan tidak lepas dari konflik. Dalam terang keutamaan cinta-kasih, pengurbanan, pengampunan dan pengharapan seperti yang nampak dalam kebangkitan Tuhan Yesus, Pdt. Mesach Krisetya menulis esai bertajuk “Mengelola Konflik Keluarga dalam Perspektif Kebangkitan Tuhan.”
Dua esai yang menyusul, berorientasi pada keluarga sebagai kesaksian bagi masyarakat. Keduanya ditulis oleh praktisi penginjilan. Esai dari Ev. Andreas Christanday, menunjukkan bahwa keluarga merupakan ujung tombak kesaksian gereja. Gereja dengan kata lain, berutang kepada keluarga.

Terakhir, esai berjudul “Tata Nilai Keluarga Sebagai Ekspresi Kabar Baik,” tulisan Pdt. Yesaya Abdi, mengungkapkan pentingnya unconditional love, kasih yang tak bersyarat, dalam kehidupan keluarga. Karena itu, perlunya bertumbuh nilai-nilai kesetaraan, penerimaan, perdamaian dan kemurahan hati dalam keluarga Kristen.

Kerinduan terutama dari para penulis bunga rampai ini bukan berkibarnya bendera denominasi yang dulu disebut sebagai anak tiri Reformasi. Sekali lagi, bunga rampai ini bukan theoria, tetapi phronesis, hikmat untuk hidup sehari-hari. Kiranya pembaca yang budiman pun tidak menimbang-nimbang isi buku ini dari sisi koherensi teologis-dogmatis, tetapi dengan satu pertanyaan, “Apakah yang dikatakan oleh para penulis merupakan bagian dari kenyataan kehidupan keluarga saya?” Doa kami, dari mana pun Anda berasal, semoga dapat mendulang butir-butir mutiara kerohanian dari kumpulan tulisan ini. Selamat bermenung!

Tulisan ini merupakan pengantar untuk bunga rampai Nilai-nilai Keluarga Mennonit dalam Kisaran Badai Zaman, ed. N. Sasongko (Semarang: Pustaka Muria, akan datang)

Thursday, October 25, 2007

Eksposisi Surat Roma 3: Jaminan Injil


JAMINAN INJIL: PENGHARAPAN KESELAMATAN (5.1-8.39)

Bagian kedua mengeksplorasi dan mempertahankan pokok pikir mengenai kebenaran melalui iman, yang dimulai dengan pernyataan, “Kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.”[1] Tersirat di sini, penolakan untuk memegahkan diri sebagai bentuk pernyataan perlawanan terhadap Allah. Karena itu, orang Kristen seharusnya “bermegah di dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (5.2), dan dengan demikian makin jelas penjungkir-balikan kesombongan manusia untuk memperoleh kehormatan dan mengklaimnya sebagai usaha pribadi.

Sebaliknya, apa yang boleh dimegahkan oleh manusia adalah “kesengsaraan” (5.3), sebab mereka tahu bahwa di dalam Kristuslah mereka tidak akan “mengecewakan.”
[2] Dasarnya adalah bahwa “kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (5.5). Tragedi kehidupan apa pun yang mereka alami, mereka yakin akan kasih Allah. Sehingga, bentuk-bentuk pemegahan diri pada masa lalu tidak lagi diperlukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kehormatan mereka di hadapan dunia yang kejam dan keji. Darah Kristus yang telah dicurahkan bagi orang-orang yang tidak layak telah memenuhi keperluan tersebut, dan berita yang meneguhkan iman telah dibawa dan disampaikan oleh Roh Kudus secara langsung kepada hati-hati yang rentan. Oleh sebab semua inilah, mereka dimampukan untuk hidup dengan pengharapan yang kuat, tak peduli betapa buruk mereka telah diperlakukan oleh dunia. Di dalam Kristus, permusuhan telah hilang kuasanya, dan sekarang malahan menjadi kehinaan. Bila sebelumnya orang-orang percaya berusaha membuat diri mereka menjadi “seteru” Allah (5.10), “orang-orang durhaka” (5.6) oleh sebab kesombongan mereka dalam berbagai bentuk, dengan mengklaim superioritas daripada orang-orang lain supaya kehinaan mereka tersembunyi, sekarang “diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya” (5.10).

Dengan mengetengahkan kebenaran mengenai kondisi umat manusia, dan oleh kekuatan kasih Allah untuk memenuhi orang-orang yang dahulu mencari-cari cara untuk mendapatkan kehormatan, maka kematian Kristus menyebabkan datangnya kedamaian, baik dengan Allah tetapi juga dengan sesama umat manusia. “Bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” berarti menolak dan menanggalkan klaim-klaim keutamaan (virtue), status, ataupun superioritas manusia. Dan sesungguhnya, rasul Paulus dengan serius hendak mengatakan bahwa Allah tidak berpihak kepada satu suku atau ras (seperti dikatakan dalam 2.17, “bermegah dalam Allah”), sebab 3.27-31 telah menutup pintu bagi kemegahan tersebut untuk selama-lamanya.

Allah bukanlah klaim eksklusif dari orang Yahudi ataupun bukan Yahudi, yang kuat ataupun yang lemah, kaum barbar atau Yunani. Bermegah “oleh Tuhan Yesus Kristus” adalah mengobarkan suatu revolusi religius dan sosial! Darah-Nya (5.9) merupakan sumber anugerah yang di atasnya orang-orang percaya berdiri (5.2). Darah-Nya menyudahi semua keinginan manusia untuk bermegah, kecuali bermegah di dalam Allah yang kasih setia-Nya besar tak terbatas, yang Ia telah nyatakan dalam Putra-Nya yang tersalib. Jadi, tiap-tiap orang percaya harus sadar bahwa revolusi “pendamaian” yang mereka telah terima (5.11) adalah “damai sejahtera dengan Allah” (5.1).

Lebih dari itu, pernyataan yang mengagumkan dari rasul Paulus tercetus dalam bentuk future dari kata kerja yang dipakai, “kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (5.9) dan “[kita] pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (5.10).
[3] Perhatikan tiga poin berikut. Pertama, sama tidak ada faktor manusia yang dapat menambahkan karya penyelamatan. Keselamatan itu dikerjakan oleh Allah hanya melalui Kristus, bukan usaha manusia, bukan amal-amal baik dari manusia, bukan perbuatan-perbuatan yang terpuji.

Kedua, penghakiman terakhir yang adil itu akan dijalankan berdasarkan anugerah semata-mata, bukan oleh karena kebenaran yang ditemukan dalam diri manusia. Setiap orang yang telah dijadikan Allah benar, itulah yang akan diselamatkan. Bukan mereka yang melakukan perbuatan hukum Taurat, apalagi yang melakukan amalan baik.

Ketiga, adanya kepastian keselamatan! Perhatikan frase “pasti akan” yang diulang. Paulus serius mengenai hal ini! Keselamatan itu pasti, dan tidak akan hilang. Jika keselamatan yang diperoleh orang percaya dapat hilang, maka yang terhina adalah Allah. Allah menjadi Tuhan yang tidak konsisten sama sekali. Sebab Dialah yang menyatakan benar, tetapi Dia tidak sanggup menjaga orang yang sudah dinyatakan-Nya menjadi benar untuk sampai kepada kesudahan yang dirancangkan-Nya. Tetapi puji Tuhan, Allah yang kita kenal bukanlah Allah yang demikian! Ia adalah Allah yang tidak pernah gagal. Apa yang Allah sudah mulai, yaitu menutup kemegahan individu, membuka pintu pendamaian di dalam Kristus, Allah juga yang akan menuntun sampai pada akhirnya!

Di 5.12-21, Paulus menunjukkan bagaimana hidup Kristus menentukan kepastian akhir dari orang-orang percaya, sama seperti Adam menentukan takdir dari keturunan-keturunannya. Setelah di bagian sebelumnya, Paulus merobohkan keyakinan orang-orang yang merasa mampu menunjukkan kebenaran sebagai alat untuk mendapatkan kehormatan, sekarang Paulus harus meletakkan dasar yang baru untuk menerangkan efek dari pendamaian Kristus. Bila bukan melalui tindakan baik, bukan lewat perbuatan hukum Taurat, bukan melalui usaha manusia, tetapi hanya oleh darah Kristus, lalu apa yang menjadi justifikasi (dasar pembenaran) dari pemikiran tersebut?

Inilah yang menjadi tujuan Paulus membandingkan antara Adam dan Kristus. Ia tidak menyibukkan diri untuk menerangkan doktrin “dosa mula-mula,” tetapi menunjukkan bagaimana anugerah dan kebenaran itu kini bertakhta atas semua umat Allah (5.17, 21). Kedua pribadi merupakan antitesis (kubu yang saling berlawanan); pihak yang satu ditandai dengan hidup yang penuh dosa, penghakiman, penghukuman, kematian, ketidaktaatan dan dosa; sedangkan pihak kedua ditandai dengan anugerah, karunia yang cuma-cuma, hidup yang dibenarkan, kepatuhan, ketaatan, dan keadilan.

Inilah yang kemudian menuntun ke 6.1-14, di mana Paulus menjelaskan baptisan sebagai partisipasi di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Coba perhatikan, di ayat 1-4, Paulus membuat dua rangkap silogisme:

[Setiap orang yang telah mati bagi dosa, tidak dapat hidup di dalam dosa]
Kita telah mati bagi dosa,
Bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?
dan
Semua orang yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya;
Kita telah dibaptis dalam kematian,
Jadi, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia.
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati
Maka, Kita hidup dalam hidup yang baru.
Kematian tidak lagi bertakhta dengan adanya dosa, karena baptisan menandai kematian manusia berdosa dan merupakan awal dari “kehidupan yang baru.” Inilah yang disebut sebagai “persatuan rohani” (mystical union atau unio mystica) antara orang percaya dengan Kristus. “Manusia lama telah disalibkan bersama Kristus” (6.6), supaya dosa hilang kuasanya (6.6; 12-14). Dan, “hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” berarti dibentuk oleh anugerah yang bertakhta pada masa sekarang ini.

Jadi, perilaku dan tabiat orang Kristen tak lagi dibentuk oleh hukum dan pencarian kehormatan untuk diri sendiri. “Persatuan rohani” antara Kristus dan orang percaya, itulah yang membentuk seluruh kehidupan. Sebagaimana “maut tidak berkuasa lagi” (6.9) atas Kristus, demikian pula maut sudah dienyahkan dari kehidupan orang-orang percaya, terbukti dengan menjauhnya mereka dari sistem-sistem manusia untuk mendapatkan kehormatan.

Sebagai dampak dari persatuan ini, orang-orang percaya harus menyerahkan diri mereka “sebagai senjata-senjata kebenaran” (6.13). Bertolak belakang dengan tuntutan-tuntutan akidah manusia, perubahan revolusioner dari hamba dosa menjadi hamba kebenaran” (6.15-23) yang berbuahkan tindakan-tindakan yang kudus, yang pada akhirnya memimpin kepada “hidup yang kekal” (6.22). Kita mendapatkan bagan seperti di bawah ini:

Persatuan rohani -> hamba kebenaran -> pengudusan -> hidup yang kekal
“Taat dengan segenap hati” berarti bertindak sesuai dengan kebenaran sebab suatu motivasi baru telah ditanamkan oleh anugerah Allah. Dengan demikian, tiap-tiap orang percaya telah dimerdekakan dari dosa (6.18, 22), dan dibebaskan baik dari hukum Taurat maupun kecemaran dan kedurhakaan (6.15, 19). Hal ini didapat, bukan oleh sebab keutamaan yang superior atau dari kehendak pribadi, tetapi oleh karena persatuan rohani di atas. Persatuan rohani orang percaya menjangkau segenap kehidupan yang kudus yang telah diteguhkan oleh Kristus (6.18-19). Keselamatan mereka tetap merupakan “kasih karunia Allah . . . hidup kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (6.23).
[4]

Di Roma 7.5-8, Paulus menjelaskan bagaimana “daging, hawa nafsu dosa yang dirangsang oleh hukum Taurat” berbuahkan maut (7.5-8). Paulus selanjutnya mengetengahkan bagaimana dosa menyusup, dan merusak aspek moral dari Taurat. “Aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat kalau hukum Taurat tidak mengatakan, ‘Jangan mengingini!’ Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan” (7.7-8).

Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa “kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita” (7.6), ia sedang membicarakan dampak dari karya Kristus yang rasul Paulus sendiri alami. Semula, Paulus adalah seorang penganut adat dan kultur bangsanya (Yahudi). Ia bertindak berdasarkan ideologi yang kuat tertanam dalam Yudaisme pada periode Bait Allah Kedua, sebelum pecah perang Yahudi pada tahun 135 M. Tindakan ini sangat diilhami oleh tindakan Pinehas di Bilangan 25 yang menghancurkan orang-orang yang berbuat jahat. Penganiayaannya terhadap gereja merupkan bagian dari semangatnya untuk mempertahankan ketaatannya kepada hukum Taurat. Pertobatan Paulus telah membuatnya sadar bahwa ia telah melawan Allah, sebab semangatnya untuk mempertahankan hukum Taurat telah berakhir dengan melawan Mesias dan para pengikut-Nya. Ia sendiri menyatakan bahwa dosa “menipu aku” dengan jalan memutarbalikkan kebenaran iman. Paulus juga menjumpai konsekuensi yang mematikan dari hukum Taurat ketika hukum Taurat dipakai untuk keserakahan manusia untuk memperoleh kehormatan. Ia semula beranggapan bahwa kekerasan bagi agama dapat dibenarkan, bahkan dikehendaki sendiri oleh Allah.

Kendati ia sekarang telah menjadi orang percaya, bahkan rasul dan hamba Kristus Yesus, ia tetap berjuang dengan dosa. Ia mengatakan, “Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.”
[5] Meskipun sudah menjadi pelayan Allah, pergumulan dengan dosa merupakan perjuangan seumur hidup. Ia masih mengalami kegagalan di dalam membuahkan hal-hal yang baik dalam kehidupan. Dalam pengakuannya, ada satu hukum lain yang mencoba melawan hukum akal budinya, dan membuatnya menjadi tawanan hukum dosa.

Di 8.1-17, natur kehidupan baru di dalam Kristus dijelaskan dalam tegangan antara kedagingan dan roh, hukum lama dan hukum yang baru. Di bawah kuasa dosa dan daging, hukum itu terdistorsi dan menjadi suatu alat untuk memperoleh kehormatan bagi individu atau sekelompok. Tetapi di dalam Kristus, hukum itu kembali memperoleh fungsi dan tempat spiritual, yaitu tempat yang seharusnya yang akan memimpin kepada kepada hidup yang sejati (7.10-14; 8.4). Maka, 8.2 mengacu kepada hidup yang sebenarnya dimaksudkan oleh hukum Taurat, tetapi sekarang diperoleh melalui “Roh yang memberi hidup,” yaitu hukum rohani pada masa pemerintahan Sang Mesias. Roh memerdekakan orang percaya dari penyelewengan penggunaan hukum Taurat sebagai satu sarana untuk memperoleh status terhormat. Kristus “menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (8.3), dan hal inilah yang membuat “tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita” (8.4). Bila pada era lama mereka memperalat orang lain untuk menjadi sarana supaya mendapatkan kehormatan, maka komunitas baru yang ke atasnya tuntutan hukum telah tergenapi kini bertindak oleh karena kasih yang sejati.

Agen perubahan menurut 8.3-4 adalah Allah, yang telah mengutus Putra-Nya untuk menegakkan sebuah komunitas yang dibentuk oleh kehidupan, kematian dan tuntunan Roh. “Pikiran menurut kedagingan” dan “pikiran menurut Roh” (8.5-9) adalah antitesis. Untuk memperoleh prestis melalui penampilan atau keutamaan alih-alih status superior adalah cara berpikir kedagingan, seperti yang dominan dalam kebudayaan Greko-Romawi maupun Yahudi. Menerima anugerah kehormatan sebagai akibat dari kematian Kristus bagi orang-orang yang tidak benar, tanpa membuat klaim apa pun mengenai amalan dan perbuatan baik, adalah cara Roh memimpin kepada “damai sejahtera” (8.6).

Ayat 9-11 membuatnya lebih jelas lagi, bahwa tanda komunitas baru itu ialah Roh yang memberikan daya terhadap kelakuan mereka. Arena karya Roh Kudus ini adalah adanya antusiasme dalam komunitas, kesatuan dan gaya hidup bersama yang diperbarui. Komunitas baru itu adalah satu keluarga yang diberi kehormatan, dengan cara dipilih dan dikuduskan oleh Allah sendiri. Dituntun ke arah yang demikian berarti bahwa tiap-tiap anggota komunitas memenuhi perannya sebagai anak-anak Allah, yang hidup bukan oleh karena takut bila tidak diterima—dan harus berjuang dengan keras untuk mendapatkan kehormatan—tetapi yang mendapatkan jaminan bagi kasih dan penerimaan Allah (8.14-16).

Menjadi anak Allah dalam pengertian yang baru ini berarti menikmati status sebagai “ahli waris” (8.17) untuk dimuliakan bersama-sama Kristus, yang turut menerima janji-janji Allah bersama Kristus. Namun perhatikan, yang akan menerima janji itu adalah mereka yang menderita bersama-sama dengan Dia. Meskipun pada saat ini kita telah menerima sebagian kemuliaan, yang belum penuh dan masih rentan, tetapi mereka yang terus hidup menurut Roh akan mengambil bagian dalam kemuliaan pada masa depan (8.21). Jadi, kemuliaan itu diperoleh sebagai karunia cuma-cuma, dan hanya dalam konteks penderitaan bersama Kristus.

Di Roma 8.18-30, Paulus kemudian menunjukkan bahwa penderitaan pada masa kini yang dialami oleh gereja-gereja di Roma merupakan bagian keluhan seluruh ciptaan, yang menantikan untuk dimerdekakan dari beban dosa. Roh mengambil peran dalam kesengsaraan ini, dan bersyafaat bagi orang percaya (Rm. 8.26-27) dan bekerja bersama mereka untuk mendatangkan kebaikan (8.28).

Di sini, kata-kata rasul Paulus menyiratkan anugerah Allah dan tanggung jawab manusia di tengah-tengah tantangan dan hambatan. Sehingga, meskipun jemaat diperhadapkan pada hambatan, dan kelemahan yang terus dialami, Roh bekerja di sisi mereka bersama dengan orang-orang percaya dalam tugas kehidupan yang berat tersebut.

Paragraf ini diakhiri dengan pernyataan yang mengagumkan bahwa semua orang yang telah Allah buat menjadi benar, ternyata telah dipilih, ditentukan dari semula, dipanggil, dibenarkan dan mereka juga dimuliakan. Kata “dimuliakan” di 8.30 memakai tensa past tense. Berarti orang percaya telah dipermuliakan. Dengan kata lain, telah diberi status terhormat oleh Tuhan. Namun demikian orang percaya masih mempunyai sasaran di masa depan, yaitu “menjadi serupa dengan gambaran Andak-Nya” (8.29). Jadi, orang Kristen masih berada dalam proses dimuliakan untuk serupa dengan Kristus (bdk. 2Kor. 3.18), mencerminkan kemuliaan Tuhan.

Kendati pada masa sekarang, mereka tertindas oleh penderitaan, namun status mereka sebagai kaum pilihan yang dipanggil, dikuduskan dan dimuliakan sudah nampak nyata. Kemuliaan yang kelak akan dinyatakan dalam bentuk yang sepenuhnya (8.18-19) akan mengalahkan ambiguitas kehidupan dunia masa kini yang porak-poranda. Dengan demikian, kita dapat membuat bagan seperti ini:

Pemilihan -> penentuan -> pemanggilan -> pembenaran -> pemuliaan

Di paragraf terakhir, Paulus menegaskan pertanyaan tentang adanya sesuatu yang dapat menekan orang percaya sehingga mereka dapat terpisah dari kasih Allah yang telah menang atas kuasa dunia (8.31-39). Oleh sebab Allah yang telah menyatakan mereka benar, dan Kristus menjadi pendamai bagi mereka, Paulus menyatakan pertanyaan vital di 8.35, tentang apakah ada seseorang yang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Kristus. Paulus mendata tujuh kesesakan di ayat ini, yang telah dipakai di masa krisisnya ketika menghadapi orang-orang Korintus yang meragu-ragukan kerasulannya. Para rasul tandingan (rasul-rasul palsu) di Korintus telah mengklaim mereka telah terbebas dari kesesakan yang dialami oleh rasul Paulus, dan menuduh balik bahwa tidaklah mungkin kuasa Kristus tinggal dalam diri seseorang yang karirnya terus-menerus bermasalah seperti rasul Paulus (2Kor. 10-13).

Di Roma 8.36, Paulus mengutip LXX
[6], Mazmur 43.23 untuk membuktikan bahwa penderitaan yang dialami oleh orang percaya adalah oleh sebab Kristus. Paulus dengan penuh keyakinan berkata bahwa apabila Allah mengasihi mereka, tidak ada kuasa dan kekuatan apa pun baik di bumi maupun di surga yang dapat menggagalkan iman yang menyelamatkan, ataupun merebut status mereka yang terhormat, yang telah mereka peroleh sebagai anugerah cuma-cuma dari darah Kristus sebagai kurban yang sempurna.

Pokok-pokok pikiran untuk didiskusikan:

1. Menurut Surat Roma, apakah yang dimaksud dengan dosa?
2. Apa akibat-akibat dosa? Seberapa dalam pengaruh dosa dalam kehidupan dan lingkungan?
3. Bagaimana dosa dapat dihapuskan?
4. Di mana posisi perbuatan baik dalam keselamatan orang percaya?
5. Apa yang dimaksud dengan “pembenaran”? Dan apa akibat pembenaran?
6. Apa pentingnya memahami “persatuan rohani” antara Kristus dan orang percaya?
7. Apakah orang yang sudah dibenarkan dan dipersatukan dengan Kristus, bebas dari pergumulan melawan dosa?
8. Apakah peran Roh Kudus dalam keselamatan orang percaya?
9. Dapatkah pergumulan masa sekarang meruntuhkan iman orang yang sudah diselamatkan dan hidup di dalam Tuhan?
10. Apakah keselamatan dapat hilang?


[1]Beberapa teks kuno memakai bentuk ajakan, “Marilah kita mempunyai damai dengan Allah.”
[2]“Membuat malu” atau “menyebabkan terhina”
[3]Sōthēsometha adalah bentuk future indicative passive dari kata kerja sōzō, “Saya sedang menyelamatkan.” Penafsir misalnya Charles Hodge, Charles Cranfield dan TDNT menyatakan, “It is a preservation from all causes of destruction and points to the final salvation.”
[4]NRSV menerjemahkan “the free gift of God is eternal life in Christ Jesus our Lord.”
[5]NRSV: “For I do not do the good I want, but the evil I do not want is what I do.” Kata kerja bentuk present yang ia pakai.
[6]Atau Septuaginta, yaitu Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.

Eksposisi Surat Roma 2: Jantung Hati Inijl


JATUNG HATI INJIL: PEMBENARAN OLEH IMAN (1.18-4.25)

Di sini, Paulus menegaskan pokok pemikiran bahwa kebenaran Allah dinyatakan dalam Injil Kristus yang disalibkan. Untuk dapat merobek-robek klaim-klaim superior yang dibangga-banggakan oleh orang-orang Roma, yang kemudian mengakibatkan perpecahan dua macam manusia, “yang lemah” dan “yang kuat,” dan keduanya saling berkompetisi, Paulus menyatakan bahwa murka Allah dinyatakan bagi mereka yang “menindas kebenaran” dengan jalan “menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya” (1.25). Salib Kristus menguak kecenderungan tersembunyi manusia yang mencoba untuk mengabaikan kebenaran, dan menabuh genderang perang terhadap Allah, sehingga baik manusia maupun lembaga dapat mempertahankan keegoisan dan keegosentrisannya dengan merasa mempunyai keutamaan dan kehormatan yang lebih tinggi dari yang lain.

Semua kelompok manusia termasuk di dalamnya, tetapi yang paling disoroti adalah gaya hidup dan penyembahan dalam kultur Greko-Romawi. Penyelewengan seksual merupakan bukti murka Allah yang paling jelas (1.26-27). Serentetan tipe manusia yang mempunyai tabiat dan tindakan destruktif memenuhi bagian ini, dan ini jelas-jelas menghancurleburkan superioritas kultur Roma (1.29-32).
[1]

Sedangkan orang-orang bukan Yahudi yang tidak memiliki Taurat tetapi “melakukan apa yang dituntut hukum Taurat” sebab “isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka” (2.14-15) menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi pun tidak boleh mengklaim lebih tinggi daripada orang-orang bukan Yahudi. Ketika Paulus mendaftar kemegahan yang dapat dibanggakan oleh orang-orang Yahudi, di 2.17-20, ia tidak sedang melancarkan kritik kepada semua pemeluk agama Yahudi. Ia tidak sedang menjelek-jelekkan ajaran Yudaisme. Tetapi, ia sedang membongkar kesombongan dan kecongkakan yang nampak dalam diri orang-orang Kristen Yahudi di Roma.

Selanjutnya, rasul Paulus menunjukkan bahwa seluruh suku bangsa “ada di bawah kuasa dosa” (3.9). Klaim “baik orang Yahudi, maupun orang Yunani” diikuti oleh serentetan kutipan ayat yang tak kurang dari delapan kali dinyatakan “tidak ada yang . . . .” Berarti, tidak seorang pun yang dapat memegahkan status atau penampilan sebagai orang benar.

Menurut takaran yang dituliskan oleh rasul Paulus dalam 1.14 dan dikembangkan di 1.18-32, hal ini memotong habis klaim-klaim superior dari setiap sistem yang dipakai untuk meraih kehormatan, baik itu melalui tindakan-tindakan baik maupun status yang diturunkan. Dan, kesimpulannya adalah, “idak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah” (3.20). Ah, bukan hanya kaum Yahudi dengan hukum Tauratnya yang disoroti di sini, tetapi juga akidah-akidah manusia yang menjadi identitas dalam kultur apa pun. Di hadapan Allah yang mahaadil, tidak ada satu sistem manusia pun yang dapat bersaing untuk mendapatkan kemuliaan dan kehormatan.

Sebagai respons atas kekacauan universal ini, Kristus “telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian” (3.25). Bait Allah telah digantikan dengan sebuah tata kurban pendamaian yang terbuka “melalui iman” kepada setiap orang. Dinyatakan “benar” berarti bahwa manusia yang telah “kehilangan kemuliaan” (3.23) dan kehormatan Allah telah dipulihkan, bukan sebagai akibat perbuatan baik tetapi merupakan suatu anugerah. Tiga acuan di 3.24 membuatnya makin jelas, “kasih karunia,” “cuma-cuma” dan “penebusan” melalui Kristus menunjukkan bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh status terhormat dan benar baik melalui keadaan yang dibawa sejak lahir, ataupun oleh karena memiliki kekayaan.

Berlawanan dengan lingkungan dunia Greko-Romawi yang sangat kompetitif, termasuk juga kultur Yahudi, status yang baru ini dianugerahkan oleh Kristus justru kepada mereka yang terhina. Ya, bukan bagi mereka yang benar, tetapi bagi kaum terhina dan tersisih dari dunia. Kompetisi dunia untuk memperoleh kehormatan telah dikalahkan oleh anugerah di dalam Kristus. Anugerah itu diperoleh apabila seseorang menerima Injil Kristus yang tersalib, yang berarti tidak ada tempat untuk bermegah dan menyombongkan diri (3.27). Sumber-sumber sistem kehormatan dan kehinaan Greko-Romawi maupun Yahudi telah dihapuskan oleh Kristus. Keselamatan hanyalah melalui anugerah. Oleh karena itu, tidak ada satu kelompok manusia pun yang dapat membuat klaim lebih superior di hadapan Allah, sebab kemegahan diri telah ditelanjangi sebagai pemberontakan terhadap kesatuan Allah (3.29-30).

Jika orang-orang dinyatakan benar oleh karena iman, bagaimana janji-janji yang Allah buat kepada Abraham bahwa keturunannya akan memiliki bumi? Di pasal 4, Abraham ditunjukkan sebagai nenek moyang yang percaya bahwa Allah adalah “yang membenarkan orang durhaka” (4.5). Janji itu diberikan kepadanya sebelum pemberian hukum Taurat, dan juga sebelum ia disunatkan. Sehingga ia pun menjadi bapa baik orang Yahudi maupun Yunani yang “mengikuti jejak iman Abraham” (4.9-12). Janji itu digenapi hanya oleh sebab iman Abraham, bukan oleh karena ia mematuhi hukum. Ia percaya kepada Allah yang “menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (4.17). Ini merupakan kutipan yang menunjukkan pengakuan bahwa iman di dalam Kristus yang tersalib dan dibangkitkan merupakan jalan untuk memperoleh janji Abraham (4.23-25).

[1]Lihat John Murray, Romans (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 1.34-53.

Eksposisi Surat Roma 1: Pembukaan


PEMBUKAAN (1.1-17)

Perhatian Paulus untuk menyapa berbagai kelompok di kota Roma nampak jelas di sepanjang pendahuluan ini, yang terdiri atas pengakuan iman (1.3-4), dan tiga rangkap sebutan bagi penerima surat: “dipanggil menjadi milik Kristus,” “yang tinggal di Roma, yang dikasihi Allah,” dan “dijadikan orang-orang percaya” (1.6-7).

Secara khusus, Paulus juga menyebutkan kewajibannya sebagai seorang misionaris sebagaimana diungkapkan di dalam 1.14-15, baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar” di kota Roma. Di sini, Paulus meretas penghalang-penghalang paling signifikan dalam kultur Yunani-Romawi, mengenai status terhormat dan terhina (honour and shame). Dengan demikian, ia mau mengatakan bahwa misinya ditujukan bukan saja ditujukan kepada orang-orang bukan Yahudi (yaitu kebanyakan warga jemaat Kristen di Roma), tetapi juga yang dianggap musuh oleh orang-orang Roma.

Pada zaman itu, orang-orang Spanyol menolak dengan keras pemerintahan Roma dan oleh karena itu mereka dipandang sebagai ancaman yang mematikan bagi peradaban Romawi. Tetapi buat Paulus, Injil Kristus pun menjangkau mereka. Kristus merubuhkan segala penghalang yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu, di kemudian hari rasul Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (Ef. 2.14). Universalitas Injil inilah yang membuat rasul Paulus mengatakan, “Aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil” (dalam terjemahan Inggris “I am not ashamed of the gospel”).

Menurut standar kultur pada saat itu, ia seharusnya malu karena memberitakan seorang manusia yang mati disalib sebagai penebus dunia, yang bahkan menebus orang-orang barbar dan orang tidak berpendidikan. Injil adalah “kekuatan Allah,” sebab Injil meruntuhkan segala macam penghalang berdasarkan status terhormat atau terhina dengan menawarkan keselamatan kepada setiap orang yang mempunyai iman, pertama-tama kepada orang-orang Yahudi, tetapi juga kepada orang-orang Yunani.

Paulus mengutip kata-kata Habakuk 2.4, “Orang benar akan hidup oleh iman” yang menjungkirbalikkan klaim-klaim superioritas dari orang-orang yang menerapkan hukum yang ketat atau standar yang tinggi dari kultur Greko-Romawi. Pendahuluan ini menunjukkan bahwa Surat Roma seharusnya ditafsirkan sebagai suatu dokumen misionaris, bukan sebagai traktat teologis yang abstrak.Cobalah perhatikan bahwa pendahuluan ini kelak akan ditutup dan disimpulkan dengan pengharapan tergenapinya misi Injil, yaitu “semua bangsa-bangsa” (15.11) memuji Allah dengan “satu hati dan satu suara” (15.5-6). Peperangan yang mematikan di antara kaum Barbar dan Roma yang mengancam kedamaian dunia dengan demikian telah dikalahkan oleh berita Kristus yang tersalib bagi segala bangsa.

Mari Mengenal Allah 14: Kecukupan


KECUKUPAN

Secara sederhana, kecukupan berarti bahwa di dalam Alkitab kita memiliki semua Firman Allah yang kita perlukan. Kita seharusnya tidak mencoba untuk menambah-nambahinya, dan kita tidak berani untuk menghapuskannya. Sebab kita hidup oleh tiap kata yang keluar dari Allah.

Alkitab sendiri melarang kita untuk menambah atau mengurangi (Ul. 4.2; 12.32; Why. 22.18-19). Alkitab juga melarang untuk menambahkan tradisi manusia kepada Firman; atau dengan perkataan lain, jangan membuat tradisi manusia dalam tingkat yang sama dengan Firman Allah, seperti yang dilakukan oleh para Farisi (Ul. 18.15-22; Yes. 29.13; Mat. 15.1-9; Gal. 1.8-9; 2Tes. 2.2). Tradisi manusia bukanlah hal yang buruk, tetapi itu bukan Firman Allah. Ketika kita mencoba menyetarakan dengan Firman Allah, kita sesungguhnya mengatakan bahwa Firman Allah kurang, atau tidak cukup.

Kecukupan ini meliputi semua Alkitab, Perjanjian Lama maupun Baru. Kebenaran Injil yang kita terima pun sudah cukup. Sama seperti Kristus yang mati dan dibangkitkan cukup untuk menyelamatkan kita, maka berita para rasul mengenai Yesus cukup untuk memberi kita berkat keselamatan Yesus (Ibr. 1.1-3; 2.1-4; 2Ptr. 1.2-11). Kita seharusnya tidak mengharapkan Allah memberi kita pewahyuan lebih jauh yang sama otoritasnya seperti Alkitab.

Orang-orang kadang berkata bahwa Kitab Suci cukup untuk teologi, tetapi bukan bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti ilmu pengetahuan, sejarah, politik ataupun reparasi mobil. Tetapi ide tersebut lagi-lagi merupakan kesalahmengertian dari kecukupan Alkitab. Selalu ingat: Alkitab cukup sebagai Firman Allah. Alkitab memberi kita semua perkataan Allah yang kita butuhkan. Maka, Alkitab menyediakan prinsip iman Kristen untuk kita memahami keselamatan, dan bagaimana kita hidup sebagai orang yang sudah diselamatkan. Dengan demikian, Alkitab menyediakan Firman Allah yang kita butuhkan baik untuk teologi, tetapi juga etika, politik, seni, budaya dan reparasi mobil!

Memang benar, untuk semua disiplin ilmu kita pun memerlukan pengetahuan di luar Alkitab. Bahkan teologi pun demikian. Kita harus belajar mengenai aborsi dari sumber-sumber di luar Alkitab. Alkitab tidak mengatakan sesuatu pun mengenai pembunuhan janin ataupun mengenai kehidupan seseorang di dalam rahim. Ketika kita menyandingkan prinsip-prinsip Alkitab dengan pengetahuan di luar Alkitab mengenai apa itu aborsi, maka kita pun tahu bahwa kata-kata “Jangan membunuh” juga mempunyai implikasi “Janganlah melakukan aborsi.”

Poin dasar untuk kita ingat selalu adalah tidak ada pengetahuan dari luar Alkitab yang layak untuk ditambahkan ke dalam Kitab Suci. Termasuk di dalamnya tradisi gereja tertentu, klaim-klaim para nabi zaman sekarang, dan bahkan pengakuan iman denominasi-denominasi Protestan. (jmf)

Mari Mengenal Allah 13: Kejelasan dan Keniscayaan


KEJELASAN

Pada masa Reformasi Protestan, banyak pemikir Katolik Roma yang mengatakan bahwa kaum awam dilarang membaca Alkitab, sebab hanya orang-orang di dalam hirarkhi gereja saja yang dapat memahaminya. Para reformator menolak paham ini. Namun demikian, mereka tidak mengatakan bahwa apa yang di dalam Alkitab semuanya terang dan jelas. Mereka mengatakan bahwa pesan utama mengenai penyelamatan sudah cukup jelas dan siapa pun dapat memahaminya, baik dengan cara membacanya sendiri ataupun memanfaatkan sarana anugerah, misalnya bercakap-cakap dengan seorang gembala jemaat.

Alkitab jelas bagi semua umat percaya, hal ini selaras dengan atribut ketuhanan, yaitu kehadiran. Bacalah Ulangan 30.11-14; Roma 10.6-8, kejelasan Firman memiliki dasar kedekatan Allah kepada umat-Nya, bahwa Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya untuk dikenal dan dicintai.

KENISCAYAAN

Keniscayaan berarti, tanpa Firman Allah, kita tidak mungkin memiliki hubungan dengan Dia. Tanpa perintah dan ketetapan, Ia bukan Tuhan kita. Sebab Tuhan, bila didefinisikan, adalah Sosok Mahaagung yang memberikan perintah otoritatif kepada umat-Nya. Tanpa Firman-Nya, kita tidak memiliki janji-janji otoritatif juga; dengan demikian, Ia pun tak dapat menjadi Juruselamat kita.

Wednesday, October 24, 2007

Mari Mengenal Allah 12: Ineransi


INERANSI

Istilah ini secara sederhana berarti “tidak salah.” Dengan kata lain, “benar.” Apa yang Alkitab katakan adalah benar, tidak pernah salah. Karena itu, Anda dapat bersandar kepada Alkitab. Tidak ada kesalahan di dalamnya. Bicara tentang kesalahan, tidaklah sama dengan “tidak akurat.” Kita sering mengungkapkan diri kita dengan tidak persis, tidak akurat, sebagai contoh kita sering menggunakan pembulatan angka. Tetapi melakukan itu bukan berarti kita melakukan kesalahan. Sering kita jumpai bahwa pembulatan angka dapat membantu komunikasi kita lebih dapat dimengerti. Coba bila Anda memberi tahu umur Anda sampai ke menit dan detik, betapa menjenuhkan untuk mengerti detail-detail seperti itu. Sama halnya, Alkitab tidak pernah mengklaim akurat. Alkitab menyatakan bahwa ia benar.

Alkitab benar oleh sebab Alkitab adalah Firman Allah, dan Allah selalu berbicara benar. Kesalahan datang dari kepalsuan, atau penipuan (mengatakan kebohongan), dari ketidaktahuan atau kebodohan (membuat kesalahan-kesalahan). Tetapi Allah tisak pernah berbohong (Tit. 1.2), dan Ia tidak pernah membuat kesalahan (Ibr. 4.13).

Banyak orang pada saat ini, dan kebanyakan dari mereka adalah teolog, berpikir adanya sejumlah kesalahan di dalam Alkitab. Pada dasarnya, mereka memakai dua argumen. Pertama, yaitu kesalahan-kesalahan yang nyata di dalam Alkitab, seperti pernyataan Yesus bahwa biji sesawi adalah yang terkecil di antara biji-bijian. Sesungguhnya, keberatan demikian tidak perlu merisaukan. Ketika Yesus mengatakannya di Markus 4.31, Ia berbicara bukan dalam cara berpikir seorang ahli botani, tetapi mengenai biji-bijian yang biasanya ditaburkan ke tanah oleh para petani pada zaman-Nya. Jikalau Tuhan hendak berdiskusi sampai sedetail itu, orang-orang sezaman-Nya tidak akan paham.

Masalah yang dikemukakan oleh para kritikus Alkitab sesungguhnya bersumber dari kesalahan mereka memahami iman Kristen. Ketika Allah berbicara kepada Abraham, dan mengatakan kepadanya bahwa keturunannya akan banyak sekali dan mereka akan memiliki Tanah Kanaan, Abraham mempunyai banyak keberatan untuk percaya kepada firman Allah tersebut. Ia tidak punya tanah sendiri di Kanaan. Ia dan istrinya terlalu tua untuk mempunyai anak. Tetapi, rasul Paulus mengatakan di Roma 4.20-21, “Tetapi terhadap janji Allah, ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.” Abraham percaya kepada firman Allah meskipun terdapat banyak sekali problem (yang nampak mustahil). Dan, rasul Paulus mengatakan, inilah natur iman Kristen.

Bagaimana kita dapat percaya bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kita melalui Kristus? Perhatikan, betapa banyaknya masalah untuk mempercayai hal tersebut! Tetapi, apabila kita sampai menunggu sampai semua masalah terselesaikan, kita tidak akan percaya kepada Kristus sama sekali.

Kedua, argumen melawan ineransi Alkitab adalah bahwa tujuan Alkitab bukan untuk memberikan ajaran yang tidak bersalah, selain rencana agung penyelamatan. Tetapi, di mana Alkitab memisahkan antara masalah keselamatan dan masalah-masalah yang lain? Alkitab menuturkan Kristus. Isi Alkitab berbicara mengenai keselamatan. Di dalamnya termaktub sejarah dan geografi. Maka penebusan dalam Alkitab, berlawanan dengan paham Buddhis, Hindu, Marxis dan sekularis, berpatokan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kurun waktu dan tempat yang tertentu. Lebih lanjut, penebusan di dalam Alkitab berkaitan erat dengan seluruh kehidupan, termasuk makan dan minum (1Kor. 10.31). Tidak ada yang tidak relevan dengan Firman Allah.

Mari Mengenal Allah 11: Sarana Penyaluran Firman


SARANA PENYALURAN FIRMAN

Bagaimana Firman Allah yang diucapkan dari mulut Allah sampai kepada kita? Pertama, Allah menginspirasikannya. Inspirasi adalah “mengembuskan keluar” (2Tim. 3.16). Allah mengucapkan kata-kata di dalam Alkitab. Orang-orang kadang-kadang bertanya, apakah hal ini berarti Allah mendiktekan Alkitab kepada para penulis Alkitab. Jawabannya adalah sesekali, tetapi dalam banyak kali, justru tidak! Kita tidak pernah diberitahu bahwa Allah menyuruh Lukas untuk duduk dan mendiktekan kata-kata kepadanya. Meskipun Tuhan Yesus yang bangkit memang memerintahkan Yohanes untuk melakukan hal itu (Why. 2.1).

Lukas mempersiapkan tulisannya sebagai seorang sejarawan kuno (Luk. 1.1-4). Ia melakukan riset yang mendalam, melakukan cek, ricek dan kroscek data. Tetapi buah penanya juga adalah Firman Allah. Allah memakai Lukas untuk mengembuskan kata-kata-Nya sendiri, sehingga teks yang Lukas buat sungguh-sungguh adalah kepunyaan Lukas dan sungguh-sungguh Firman Allah.

Kedua, langkah penyaluran berikutnya adalah pengkopian atau penyalinan. Kita mengenal istilah autographa, atau autograf, yang mengacu kepada manuskrip-manuskrip asli dan otoritatif dari Kitab Suci. Kitab Suci sendiri tidak pernah menjanjikan bahwa ketika orang-orang melakukan proses penyalinan, tidak ada setitik salah di dalamnya. Coba buktikan. Anda menyalin satu kitab, misalnya Imamat. Dijamin, Anda akan melakukan sejumlah kesalahan. Lembaga Alkitab Indonesia pun juga melakukan kesalahan dalam proses penyalinan. Sebab itulah kita percaya bahwa hanya autograf dari Kitab Suci saja yang sempurna.

Beberapa kritikus terhadap posisi kita ini mengatakan bahwa hal ini justru menghancurkan otoritas Alkitab, oleh sebab hanya autograf yang sungguh-sungguh otoritatif. Sedangkan kita tidak mempunyai otograf, sehingga kita tidak mempunyai satu Alkitab yang tidak dapat khilaf (infallible) dan otoritatif. Meski demikian, marilah kita memperhatikan beberapa pokok pemikiran berikut ini:

· Kendati kita tidak memiliki autograf yang aktual, kita memiliki akses kepada teks orisinal melalui sains kritik teks, yang membadingkan berbagai manuskrip bacaan untuk menentukan mana yang orisinal. Hal yang terpenting adalah tersedianya teks, bukan memiliki manuskrip.

· Sejumlah permasalahan teks tidak terpecahkan; tetapi hal ini sangat minor dibandingkan dengan luasnya Alkitab, dan hal-hal tersebut tidak pernah mempengaruhi doktrin gereja.

· Kitab Suci banyak melakukan pengulangan. Jika terdapat satu masalah di satu tempat, kita menemukan satu pernyataan yang jelas mengenai sebuah ajaran di tempat lain.

Ada orang-orang yang tidak percaya bahwa Allah mengilhamkan sebuah kitab dan kemudian menuntut kita untuk menentukan isi orisinalnya melalui kritik teks, yakni dengan cara yang ditemukan oleh manusia. Ketika Anda memikirkan sarana untuk menyalurkan Firman dari mulut Allah ke hati kita, pada akhirnya di situ dituntut pemikiran, akal budi, bahkan ilmu pengetahuan dari manusia.

Bisa saja Allah menyampaikan kata-kata secara langsung, dan serta-merta kita mengerti. Tetapi hal yang begini tidak pernah terjadi. Allah memakai manusia untuk mengajar, dan pemikiran manusia dipakai oleh Allah, sebelum umat mendengar kata-kata Allah sendiri melalui tulisan. Ia ingin hal ini menjadi proses komunal, sehingga yang satu membutuhkan yang lain. Urusan penyalinan teks asli termasuk di dalamnya. Karena Allah tidak pernah berjanji bahwa proses ini bebas dari kesalahan, para penyalin bisa saja melakukan kesalahan. Sehingga, meski autograf itu tidak mungkin khilaf, penyalinan teks tidaklah demikian.

Dalam memahami dan menerapkan Firman Allah, kita tahu bahwa di dalamnya ada dua guru: (1) guru yang ilahi, yaitu Roh Kudus; dan (2) guru manusia: gembala jemaat, perpustakaan, dosen sekolah teologi. Karya yang dihasilkan oleh guru-guru manusia ini tidak berdampak apa-apa bila Roh Kudus tidak bekerja di dalam mereka dan melalui mereka. Karya Roh Kudus adalah: (1) iluminasi, yaitu memampukan kita untuk memahami Firman (Yoh. 3.5-6; 1Kor. 2.12-16; 2Kor. 3.15-18); (2) meyakinkan, yaitu menunjukkan kepada kita bahwa Firman itu benar adanya (1Tes. 1.5; 1Kor. 2.4); dan (3) menuliskan Firman itu di dalam hati kita, yaitu pewahyuan eksistensial, yang membuat kita mencintai dan menaati Firman Allah.

Mari Mengenal Allah 10: Kanon


KANON

Kitab apa saja yang termasuk di dalam Alkitab? Ini pertanyaan mengenai kanon. Dalam satu sisi, pertanyaan ini sulit. Beberapa kitab, seperti 2 Petrus dan Yudas, harus menunggu waktu yang lama sekali sebelum diterima oleh semua orang Kristen sebagai bagian dari Alkitab. Kitab-kitab yang lain, seperti Gembala Hermas, dibaca dalam gereja bersama dengan Kitab Suci Ibrani oleh sejumlah besar orang Kristen selama bertahun-tahun, tetapi gereja pada akhirnya mengatakan bahwa kitab-kitab ini bukan merupakan bagian dari Alkitab.

Di sisi lain, pertanyaan ini seharusnya bukan pertanyaan yang sulit. Kita tahu, Allah berkehendak untuk memerintah gereja-Nya melalui satu dokumen tertulis, seperti dalam Perjanjian Lama. Maka, kita pun yakin, penyelenggaraan ilahi (providentia) telah memilih dan menetapkan satu dokumen yang tidak sukar untuk ditemukan.

Ingatlah, Gereja tidak “mengkanonisasikan” Alkitab; Gereja tidak membuat Alkitab menjadi otoritatif. Sebaliknya, Gereja membaca kitab-kitab ini dan menemukan (atau menjumpai) bahwa Allah telah membuat kitab-kitab ini otoritatif. Secara mendasar, Allah mengilhamkan tulisan-tulisan ini sehingga Gereja dapat mengenali suara Allah di dalamnya. Sebagaimana Tuhan Yesus pernah katakan, “Domba-domba-Ku mengenal suara-Ku” (Yoh. 10.27).

Perjanjian Lama merupakan Alkitab yang dipakai oleh orang-orang Yahudi pada zaman Yesus, yang Tuhan sendiri nyatakan sebagai otoritatif. Gereja Katolik Roma menambahkan sejumlah kitab ke Perjanjian Lama pada pertengahan tahun 1500-an, tetapi tidak ada alasan mendasar untuk menyatakan bahwa kitab-kitab tersebut memiliki otoritas.

Sedangkan dalam Perjanjian Lama, terdapat beberapa hal yang tidak pasti. Secaa umum, Gereja menerima kitab-kitab tersebut merupakan buah tangan dari para rasul, seperti Injil Matius dan surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma. Kitab-kitab lain juga disahkan oleh para rasul. Lukas dianggap telah dibaca dan disetujui oleh rasul Paulus dan Markus oleh Petrus. Tetapi kriteria ini tidak selalu berhasil bila dipakai; sebagai contoh, kita tidak tahu siapa penulis Kitab Ibrani.

Kriteria lain yang dipakai adalah konsistensi dengan kitab-kitab lain dalam Alkitab. Maka, Gereja pun percaya, kitab seperti Gembala Hermas tidak konsisten dan oleh karena itu ditolak. Pada akhirnya, domba-domba Kristus pasti mendengarkan suara Gembalanya. Adalah fakta yang mengagumkan bahwa meskipun gereja perdana diperhadapkan pada banyak tantangan, kanonisasi bukanlah isu yang memecah belah Gereja. Pada abad ke-4, Uskup Athanasius dari Alexandria dalam Surat Penggembalaan Paskah mendaftar kitab-kitab yang diterima sebagai Kitab Suci di dalam gerejanya, dan tidak ada orang yang mengajukan keberatan. Gereja percaya bahwa Alkitab merupakan Firman Allah dan otoritatif untuk memerintah gereja sebagai suara Allah sendiri.