Friday, October 26, 2007

Identitas Mennonit: Dimulai dari Rumah


IDENTITAS MENNONIT: DIMULAI DARI RUMAH!


Pembentukan jati diri Mennonit tidak mungkin dapat dilepaskan dari lingkungan rumah. Marilah kita sejenak membuka-buka catatan sejarah kehidupan para leluhur. Pada kelahirannya, 482 tahun lalu, Mennonit dimulai dengan pertemuan di rumah-rumah, dalam jemaat-jemaat yang kecil dan tersembunyi. Mereka tidak beribadah di gereja negara di Swiss, Belanda dan Jerman. Pertemuan ibadah rahasia, tidak tetap, dan mengambil tempat di rumah-rumah, di lumbung, di atas perahu, bahkan di gua-gua; di mana pun tempat yang mungkin untuk dipakai beribadah. Ibadah Mennonit dimulai dari keluarga!

Antara tahun 1702 dan 1742, di Basel diterbitkan sebuah buku doa yang berjudul Güldene Äpffel in silbern Schalen (“Apel-apel Emas dalam Mangkuk-mangkuk Perak”). Buku itu ternyata dipakai dalam ibadah keluarga-keluarga Mennonit di Swiss! Sejak saat itu bermunculkan pula literatur-literatur devosional dari kaum Mennonit seperti Send-Brieff (“Surat-surat Kiriman,” pada tahun 1720); Die Ernsthafte Christenpflicht (1739); Kleines Handbüchlein (“Pedoman-pedoman Baru,” 1786). Wajar saja. Seiring dengan maraknya gerakan Pietisme pada abad ke-18, maka buku-buku devosi pun menjadi favorit keluarga-keluarga Kristen, tak terkecuali keluarga-keluarga Mennonit.

Dalam perkembangan selanjutnya, hampir semua keluarga Mennonit pasti memiliki kebiasaan untuk berdoa bersama-sama sebelum makan. Dilaporkan, hanya sekitar 4% dari kaum Mennonit dan Brethren in Christ yang tidak memiliki kebiasaan ini. Selanjutnya, 4% memiliki kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah makan. Dan, 92% sisanya pasti berdoa sebelum makan atau pada setiap kali makan bersama keluarga.

Kaum Mennonit biasa menghafalkan doa, khususnya doa makan. Orangtua mengajak anak-anaknya menirukan doa pada jam-jam makan, pada waktu tidur, atau pada waktu-waktu lain. Orangtua juga mengajarkan anak-anak mereka menghafalkan doa-doa yang sesuai dengan usia mereka. Meskipun pengakuan-pengakuan Mennonit tidak mencantumkan mengenai ibadah keluarga, tetapi dalam Mennonite Confession of Faith (1963) bab 15 dinyatakan, “The Christian home ought regularly to have family worship, to seek faithfully to live according to the Word of God, and to support loyally the church in mission.” (“Rumah tangga Kristen haruslah memiliki ibadah keluarga yang rutin, berupaya untuk hidup dengan patuh kepada Firman Allah, dan untuk mendukung gereja dalam misi.”) Kemudian, para orangtua pun didorong untuk berjanji, mau menumbuhkembangkan anak-anak mereka di dalam iman Kristen yang benar.

Anda telah membaca tulisan-tulisan dalam bunga rampai ini. Sampailah kita kepada kesimpulan akhir, apa yang harus kita kerjakan? Di tengah-tengah perubahan zaman, segala sesuatu menjadi tidak pasti. Perekonomian negara tak dapat diprediksi dengan tepat. Bencana alam dapat datang kapan saja. Tempat tinggal yang semula dikira aman bisa tiba-tiba dilanda banjir mahadahsyat. Kutipan bab satu pengakuan iman Mennonit di atas perlu mendapat perhatian khusus dari tiap-tiap rumah tangga Kristen, dan khususnya keluarga Mennonit di Indonesia. Ada tiga pokok permenungan bagi kita yang tinggal di sini.

1. Menjadi Keluarga yang Beribadah

Kita menerima warisan adi luhung ibadah keluarga dan keluarga yang beribadah. Ya, sangat dapat dimengerti, percepatan laju kemajuan zaman membuat nilai-nilai kerekatan dalam keluarga semakin berkurang. Tak ada waktu yang cukup untuk memperhatikan anak. Bermain dengan orangtua digantikan dengan pemenuhan apa saja permintaan si anak. Kebutuhan emosional dan relasional dari si anak diganti dengan fasilitas elektronik dan sarana komunikasi yang canggih.

Sosiolog Mennonit J. Howard Kauffman menyelidiki dampak urbanisasi bagi perkembangan antara anak-anak Mennonit urban dan rural di Amerika Utara. Ternyata, anak-anak Mennonit urban mengindap gejala-gejala neurotik ketimbang mereka yang terbiasa tinggal di daerah pertanian. Anak-anak Mennonit pedesaan masih dapat menerima nilai-nilai keluarga Mennonit daripada anak-anak urban. Hasil temuan lainnya dari Kauffman, berdasarkan penelitian tahun 1979, kesuksesan yang diraih oleh anak-anak sangat dekat kepada kualitas hubungan emosional (khususnya afeksi/cinta-kasih) yang anak-anak rasakan, ketimbang mereka yang diperintah dengan otoritas dari orangtua.

Orangtua yang memerintah, mungkin semakin sedikit pada akhir-akhir ini. Namun betapa buruknya orangtua yang otoriter, masih dirasakan kehadiran mereka oleh si anak. Pada masa kini, orangtua tidak lagi otoriter, namun mereka pun tidak hadir. Kehadiran mereka digantikan dengan benda. Maka anak pun merasakan ada sesuatu yang hilang dari diri mereka, yang tidak dapat dibeli dengan uang maupun barang.

Betapa vitalnya waktu di mana keluarga dapat berkumpul, satu jam dalam satu hari, satu hari dalam satu minggu, dan satu minggu dalam satu bulan. Waktu untuk untuk bersama-sama berdoa, membaca firman, dan berdoa. Bukan saja hal tersebut merupakan bagian dari kesalehan, tetapi suatu nilai-nilai utama yang kita warisi dari tradisi Mennonit, dan yang terlebih penting, anak diajar untuk mengenal dan menghormati Allah sejak dini. Ungkapan yang sangat disukai oleh keluarga Mennonit adalah, “The family that prays together, stays together.” (“Keluarga yang berdoa bersama, tinggal bersama-sama.”)

2. Hidup menurut Firman

Nilai kehidupan keluarga Anabaptis-Mennonit dapat ditakar dari kepatuhannya kepada Firman Tuhan, dan perjuangan yang gigih untuk tiap-tiap hari dibentuk seturut ajaran dan kehidupan Tuhan Yesus. Menjadi Mennonit berarti menjadi murid sampai ke akar-akarnya. Menjadi murid yang radikal.

Ketika di Amerika terjadi revolusi seksual, pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, keluarga-keluarga Mennonit berusaha untuk tidak melonggarkan patokan kehidupan yang ditawarkan oleh media massa dan tindak-tanduk masyarakat. Pada awal tahun 1980-an, suatu penelitian mengenai “Seksualitas Manusia dalam Kehidupan Kristen” terhadap para rohaniwan dan jemaat-jemaat di General Conference Mennonite Church dan Mennonite Church (MC). Hasilnya, hubungan seksual hanya terbatas pada pasangan yang telah menikah. Laporan itu menyebutkan pula suatu nilai kemanusiaan, yaitu tidak disetujuinya tindakan diskriminasi terhadap orang-orang yang berorientasi seksual menyimpang. Kendati demikian, kedua sidang gereja itu tidak menyetujui tindakan-tindakan homoseksualitas.

Mundur ke tahun 1972, sejumlah 85% anggota-anggota gereja mempercayai bahwa hubungan seksual di luar pernikahan “tidak dapat dibenarkan.” Sebanyak 7% yang lain merasa tidak pasti, dan 8% siap untuk mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dengan alasan-alasan yang sangat terbatas. Dari jumlah yang mengatakan “tidak dapat dibenarkan,” 66%-nya adalah kelompok usia 20-29 tahun dan 29% berusia 50 tahun ke atas (5% belum mencapai usia 20 tahun).

Dari data di atas, terlihat bahwa generasi yang lebih muda nampak lebih permisif daripada generasi yang lebih senior. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh sikap publik. Kadang-kadang terjadi hubungan di luar pernikahan, anak-anak yang dilahirkan secara ilegal, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Pada zaman dahulu, penyimpangan seksual menuntut pengakuan di muka umum, oleh sebab masalah seksual termasuk dalam pranata publik kemasyarakatan. Erosi standar kekudusan seksualitas pada zaman modern nampaknya menggeser pemahaman seksualitas sebagai bagian dari pranata sosial. Orang modern lebih merasa hal tersebut merupakan urusan privat.

Nilai-nilai kemuridan yang radikal pada zaman dahulu sangat ditandai dengan keberanian seseorang untuk bertindak yang sama sekali lain daripada standar umum masyarakat. Keluarga Mennonit memahami kata-kata Tuhan Yesus, “Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat. 5:41).

Bagaimana nilai-nilai ini diterjemahkan dalam kehidupan modern? Dari ungkapan para penulis dalam bunga rampai ini, dapatlah kita simpulkan, apa yang belum pernah terpikirkan oleh orang, dan hal itu merupakan keutamaan Kristiani, buatlah terobosan! Dan, apa yang dahulu ada, namun yang sempat tenggelam ditelan arus zaman, kembangkan lagi untuk hidup pada masa kini.

3. Mendukung Misi Gereja

Nilai ketiga yang kita petik adalah, keluarga merupakan bagian dari misi gereja. Dalam istilah yang populer, “Keluarga sehat, gereja kuat!” Keluarga adalah sarana Allah untuk menjadi kesaksian gereja.

Kristus mengutus para murid untuk memuridkan segala bangsa. Tugas pemuridan bukan menjadi tanggung jawab pribadi dari orang-orang yang sudah mendapatkan keselamatan, tetapi juga menjadi tanggung jawab komunal. Posisi keluarga menjadi vital. Ekklesiologi Mennonit meyakini bahwa gereja terdiri dari orang-orang yang dibenarkan oleh Allah, yang secara sukarela bersekutu dalam sebuah perkumpulan orang-orang percaya, yang disebut gereja. Tidak bisa tidak, gereja Mennonit pun memahami bahwa gereja tersusun dari keluarga-keluarga yang mengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, yang dengan sukacita bersekutu dan berkumpul untuk memuji dan menyembah Allah, serta bertekad untuk hidup dalam perdamaian penuh dengan semua orang.

Kebenaran, sukacita, dan perdamaian, bukankah ketiganya adalah Kerajaan Allah (Rm. 14:17)? Bila demikian, gerak dan arah perjalanan keluarga-keluarga Mennonit adalah mengembangkan ketiga keutamaan ini sebagai “maket” dan antisipasi dari Kerajaan Allah yang kelak akan datang. Menjadi pelopor-pelopor yang menghadirkan kebenaran, sukacita dan perdamaian, dengan cinta-kasih sebagai pengikatnya. Sehingga, keluarga Mennonit menjadi a home for the homeless, sebuah tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak berumah.

Kiranya semua tulisan yang telah tersaji dalam bunga rampai ini dapat menjadi sumbangsih bagi keluarga-keluarga Mennonite, dan keluarga Kristen pada umumnya. Menno Simons mewariskan enam poin untuk mencermati gereja Kristus yang sejati:

1. Ajaran yang jelas dan murni [biblis]. Ulangan. 4:6; 5:12; Yesaya 8:5; Matius 28.20; Markus 16:15; Yohanes 8.52.

2. Pranata-pranata yang diatur oleh Kitab Suci. Matius 28:19; Markus 16; Roma 6:4; Kolose 2:12; 1 Korintus 12:13; Markus 14:22; Lukas 22:19; 1 Korintus 11:22, 23.

3. Ketaatan kepada Firman. Matius 7; Lukas 11:28; Yohanes 7:18; 15:10; Yakobus 1:22.
4. Kasih persaudaraan yang tulus. Yohanes 13:34; Roma 13:8; 1 Korintus 13:1; 1 Yohanes 3:8; 4:7, 8.

5. Kemerdekaan untuk saling berbagi iman di dalam Allah dan Kristus. Matius 10:32; Markus 8:29; Roma 10:9; 1 Timotius 6:13.

6. Ketahanan menderita bagi Firman Allah. Matius 5:10; 10:39; 16:24; 24:9; Lukas 6:28; Yohanes 15:20; 2 Timotius 2:9; 3:12; 1 Petrus 1:6; 4:13; 5:10; 1 Yohanes 3:13.

Dan di bawah ini doa Menno Simons untuk gereja Tuhan,

Ya Tuhan! Berilah karunia kepada kawanan domba-Mu yang nestapa, supaya jangan sampai ditelan oleh naga yang menyerang, Wahyu 12.4, tetapi melalui anugerah-Mu, kami dapat dengan sabar menaklukkannya dengan pedang dari mulut-Mu, dan dapat meninggalkan benih kekal yang akan menjaga perintah-perintah-Mu, memelihara kesaksian bagi-Mu, dan secara kekal memuji nama-Mu yang besar dan agung. Amin, ya Tuhan yang kekasih, Amin. (Menno Simons, “True Sign by Which We Can Know Christ’s Church,” 1554)

Wasana Kata untuk bunga rampai
Nilai-nilai Keluarga Mennonit dalam Kisaran Badai Zaman, ed. N. Sasongko (Semarang: Pustaka Muria, akan datang)

No comments:

Post a Comment