Wednesday, February 27, 2008

Doa Orang Beriman (4)


ATURAN-ATURAN DOA

Dalam sejarah Gereja, dikenal istilah lex orandi lex vitandi, “aturan doa menentukan aturan kehidupan.” Tetapi juga dikenal lex orandi lex credendi, “aturan doa menentukan aturan keyakinan.” Apa maksudnya? Bapa-bapa Gereja kita yakin bahwa doa adalah pusat kehidupan Kristen, pribadi maupun komunal.

Dalam gereja perdana, kebiasaan berdoa dan beribadah yang kemudian membuat gereja waspada waspada terhadap penyesatan-penyesatan yang terjadi di dalam tubuh Gereja Tuhan. Para bidat (pengajar sesat) mempunyai tata cara dan kandungan isi yang berbeda dengan aturan doa dan tata ibadah Gereja yang sejati.

Mencemati hal di atas, maka kita tahu bahwa doa bukan sekadar permohonan yang sembarangan kepada Allah! Ada aturan. Sekali lagi, perhatikan penyataan dalam Katekismus Heidelberg, “Apakah yang harus menjadi dasar doa yang berkenan kepada Allah dan yang dikabulkan-Nya?” Aturan yang kemudian ditetapkan ada tiga:

1. Kita memohon segala sesuatu yang menurut kehendak Allah yang esa dan benar.

2. Kita insaf benar akan kekurangan dan kesengsaraan kita, dan merendahkan diri di hadapan Allah, dan

3. Kita memohonkan doa demi nama Tuhan Yesus Kristus saja.

Lalu, mengapa menyibukkan diri berdoa?

1. Supaya hubungan kita dengan Tuhan dibangun dan dikuatkan.

2. Supaya Tuhan membentuk, dan melatih kita; serta mempersiapkan kita untuk hal-hal yang Ia sediakan untuk kita.

3. Supaya kita memohon kepada Dia apa yang kita perlukan, dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan teratur.

Prayer reawakens and sharpens the focus of faith,

Prayer makes us ready to receive good as well as bad,

Prayer softens us,

Prayer reveals us,

Prayer trains us.

Doa Orang Beriman (3)


DASAR DOA YANG BENAR

Dalam sejarah Gereja, Alkitab menjadi dasar dan sumber utama doa Kristen. Para leluhur iman menyelidiki Kitab Suci untuk mendapatkan prinsip-prinsip pengajaran mengenai doa, tetapi juga prinsip-prinsip cara berdoa yang benar. Mereka yakin, doa yang benar pasti memuliakan Tuhan dan sesuai dengan kehendak Allah sendiri. Sebab itu, jika sebagian tradisi Kristen tampak sedemikian kakunya dalam aturan doa, hal itu bukanlah tanpa alasan. Mereka menyadari pentingnya doa di samping firman. Doa dan firman adalah dwitunggal.

Pemikir Kristen besar, Yohanes Calvin, yang menghasilkan pemikiran-pemikiran teologis yang luar biasa itu menempatkan doa dan “doktrin kehidupan Kristen” di tempat utama. Sampai-sampai, ia disebut sebagai “teolog Roh Kudus,” sebenarnya bukan karena kehebatannya menelurkan doktrin yang tidak berkontradiksi mengenai Roh Kudus, tetapi kecintaannya pada doa. Mazmur dan Doa Bapa Kami menjadi kesayangannya. Marilah kita mempelajari keduanya.

Mazmur

Menurut Calvin, menyanyikan Mazmur dalam ibadah merupakan ungkapan doa segenap jemaat yang sedang menyembah Tuhan. Kitab Mazmur secara jujur mengungkapkan pengalaman hidup orang percaya. Hidup manusia tidak selalu lancar dan mulus. Bahkan setelah seseorang dilahirbarukan pun, tidak ada jaminan sama sekali bahwa hidupnya kini ada di “negeri di awan.” Karena itu, Mazmur memiliki peran penting dalam kehidupan pribadi maupun komunal kaum beriman. Dalam kitab ini, suasanan emosi dibuka dengan blak-blakan: sukacita dan ucapan syukur, ratap kesedihan dan kecemasan yang menjadi akibat dari situasi kritis. Ya, sebagian mazmur mengungkapkan luapan pujian kepada Allah, tetapi beberapa lagi menyatakan keluh kesah kepada Allah. Bahkan ada sebagian lagi yang mengungkapkan “pemberontakan” atau protes keras kepada Allah.

Ketika membaca Mazmur, kita akan belajar banyak hal. Hidup bersama Tuhan itu seperti spiral, dan kita mengalami banyak fase dalam hidup kita:

(a) aman dan terkendali (being securely oriented)

(b) menderita dan kehilangan kendali (being painfully disoriented)

(c) kembali dalam kendali (being surprisingly reoriented)

Dengan memahami fase-fase ini, maka kita akan memahami bahwa tidak ada satu bagian pun dalam hidup orang percaya yang dapat dianggap remeh oleh Tuhan. Tuhan menerima suka cita kita. Tuhan pun menerima keluh-kesah dan derita kita. Perhatikan contoh Mazmur 13; 22; 88.

Dengan demikian, doa merupakan ungkapan tulus seorang beriman kepada Allahnya. Dalam iman Kristen, seseorang didorong untuk berani mengungkapkan perasaan-perasaannya yang terdalam.

Doa Bapa Kami (Matius 6.9-13)

Hampir setiap Katekismus Reformed mencantumkan Doa Bapa Kami. Mengapa? Sebab doa ini merupakan salah satu doa yang merangkum inti kehidupan Kristen: hidup yang berpusat kepada Allah. Doa Bapa Kami bukan semacam azimat ampuh untuk diulang-ulang. Doa ini semacam model atau maket rumah dari sebuah perusahaan real-estate.

Dalam Doa Bapa Kami, poin-poin penting yang tidak boleh dilupakan oleh seorang Kristen adalah:

1. Nama Allah Kudus. Nama Allah adalah kuasa Allah, otoritas Allah. Arti “menguduskan” yaitu memisahkan atau mengkhususkan untuk tujuan tertentu. Bukankah nama Allah itu sudah pasti kudus? Bukankah manusia tidak mungkin menambah barang setitik pun kekudusan Allah? Benar! Sebagaimana pujian tak mungkin menambah kemuliaan Allah, seolah-olah sebelumnya 80% menjadi 90%; memuji dan memuliakan Allah merupakan tugas umat. Demikian pun, memohon supaya Allah menguduskan nama-Nya sendiri adalah tugas umat. Dampak pengudusan ini bukan pada Allah, tetapi pada kekudusan hidup umat.

2. Kerajaan Allah datang. Kerajaan Allah adalah kemerajaan Allah. Atau, pemerintahan Allah, yang dicirikan oleh kedamaian, shalom atau eirene. Prinsip Kerajaan Allah itu sudah datang ketika Yesus Kristus menggenapkan karya kemanusiaan-Nya di atas salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Tetapi, Kerajaan Allah itu belum mencapai kepenuhannya. Kepenuhan ini akan datang manakala Kristus datang kembali untuk menyempurnakan ciptaan dan mewujudkan tatanan baru yang berwelas-asih, benar, adil dan kudus. Lalu, mengapa umat diajar untuk berdoa seperti ini? Yaitu bahwa umat diingatkan selalu bahwa mereka adalah mitra kerja Allah dalam mewujudkan Kerajaan Allah itu.

3. Kehendak Allah dijalankan. Doa memang sebuah pekerjaan yang berat. Hal yang membuat doa terasa berat adalah bagaimana membuat pikiran kita berjalan dalam jalur yang sama dengan pikiran-pikiran Allah. Ketika kita beranggapan bahwa doa adalah cara atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan kita, maka kita akan mendapati bahwa berdoa itu membuat kita frustrasi, dan jawaban-jawaban doa sangat mengecewakan.

Sebaliknya, bila kita menyadari bahwa doa adalah cara atau sarana untuk mendekatkan diri kita kepada karunia dan janji yang Allah berikan melalui karya Yesus yang sempurna di kayu salib, maka kita dapat yakin penuh bahwa doa kita tidak sia-sia. Kita akan menggunakan karunia dan janji itu untuk memuliakan Allah dan menjalankan kehendak-Nya.

Doa Orang Beriman (2)


KEYAKINAN PARA LELUHUR IMAN REFORMED

Marilah belajar dari para leluhur iman. Mereka membuat formulasi mengenai doa. Saya yakin, formulasi ini tidak ditujukan untuk apologetika, atau formulasi doktrinal dengan logika yang ketat dan tidak berkontradiksi, tetapi merupakan pegangan bagi orang-orang Kristen dalam gereja untuk menumbuhkembangkan kehidupan Kristiani yang utuh.

Katekismus Heidelberg (1563)

P. 116. Apakah sebabnya orang Kristen perlu minta doa?

J. Karena minta doa itulah bagian yang terutama dari hal mengucap syukur yang dituntut Allah dari kita, dan karena Allah hendak memberikan karunia-Nya dari Roh-Nya yang kudus hanya kepada orang yang memohon itu dari-Nya dengan keluh kesah dan tak henti-hentinya dan mengucap syukur atasnya.

P. 117. Apakah yang harus menjadi dasar doa yang berkenan kepada Allah dan yang dikabulkan-Nya?

J. Pertama, bahwa kita dengan segenap hati berseru hanya kepada Allah yang esa dan benar itu, yang telah menyatakan Diri kepada kita dalam firman-Nya, supaya kita memohon segala sesuatu yang menurut kehendak-Nya. Lagipula bahwa kita insaf benar akan kekurangan dan kesengsaraan kita, supaya kita merendahkan diri di hadapan Allah yang Mahamulia. Ketiga, bahwa kita mempunyai jaminan yang kuat, bahwa hanya karena Tuhan Kristus saja, sesuai dengan janji-Nya dalam firman-Nya, pastilah Ia sudi mengabulkan doa kita, walaupun kita tidak layak menerima pengabulan doa itu.

Katekismus Gereja Jenewa (1545)

P. Mengapa kamu meminta Allah memberimu apa yang Ia titahkan agar tersedia melalui jerih lelah kita?

J. Meskipun kita harus bekerja keras, dan bahkan berpeluh dalam menyediakan makanan, kita tidak bertumbuh baik oleh sebab kerja keras kita, atau oleh sebab hasil yang kita dapatkan, atau kerajinan kita, tetapi oleh sebab berkat Allah yang karenanya kerja keras tangan kita berhasil, sebab jika bukan oleh karena itu, akan sia-sialah. Lebih-lebih, kita seharusnya paham, bahwa ketika kelimpahan makanan tersedia di tangan kita, dan kita memakannya, kita tidak bertumbuh oleh karena zat-zatnya saja, tetapi oleh karena perbuatan Allah semata-mata. Zat itu tidak mempunyai dampak dengan sendirinya, tetapi Allah menyediakannya dari surga sebagai sarana kebaikan-Nya (Ul. 8.2; Mat. 4.4).

Katekismus Singkat Westminster (1647)

P. 98. Apakah doa itu?

J. Doa adalah mempersembahkan hasrat-hasrat hati kita demi nama Kristus untuk hal-hal yang bersesuaian dengan kehendak-Nya, mengakui dosa-dosa kita, dan dengan bersyukur atas rahmat-Nya.

P. 99. Bagaimana Allah menuntun kita berdoa?

J. Keseluruhan firman Allah, terutama Doa Bapa Kami, yang Kristus telah ajarkan kepada murid-murid-Nya, akan menuntun doa-doa kita.

Doa Orang Beriman (1)


DIALEKTIKA DOA KONTEMPORER

Mengapa? à Kebergantungan kepada Allah vs. Kerja Keras

Banyak orang masih belum dapat menemukan alasan mengapa harus berdoa. Sebab kenyataannya, segala sesuatu didapat lewat kerja keras, “Jika mau sukses harus bekerja keras, bukan berdoa!” Doa tidak akan menjawab masalah hidup dan segala kebutuhan rumah tangga. Kerja keras adalah modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Orang yang rajin berdoa identik dengan pemalas.

Kesalahan orang yang berpandangan demikian ialah memisahkan doa dan kerja. Padahal, bapa-bapa iman kita justru memiliki semboyan ora et labora, “doa dan pekerjaan.” Justru oleh sebab berdoa, mereka dapat bekerja keras. Bila demikian, orang yang rajin berdoa sama sekali tidak melalaikan kewajiban untuk bekerja keras. Kebergantungan kepada Allah justru mendorong seseorang untuk bekerja segiat-giatnya. Tatkala ia berhasil, keberhasilan tersebut bukanlah hasil kerja kerasnya sendiri, tetapi merupakan satu bagian dari paket “anugerah keselamatan” dalam karya “pengudusan” (sanctification).

Kapan? à Rutin Terjadwal vs. Sepanjang Hari

“Jika doa itu napas hidup orang Kristen, maka saya tidak perlu mempunyai jadwal doa secara rutin. Hidup saya adalah doa; saya berdoa sepanjang hari.” Kemudian, kutipannya adalah 1 Tesalonika 5.17, “Tetaplah berdoa!” Ya, betul! Doa dapat dilakukan kapan saja. Tetapi seringkali, sesuatu yang dapat dilakukan kapan saja cenderung kapan saja tidak dilakukan. Jadi, orang yang berkata seperti ini cenderung tidak pernah berdoa.

Beberapa tradisi Kristen menerapkan jadwal doa yang ketat. Aturan Ordo Benediktin dalam Katolik Roma menetapkan bahwa seorang biawaran/wati harus berdoa tujuh kali dalam sehari, masing-masing 1 jam: pukul 1.00 dini hari, 5.00 fajar, 9.00 pagi, 12.00 tengah hari, 15.00 sore hari, 18.00 petang dan 21.00 malam hari.

Dalam tradisi Gereja Reformed memang tidak ada aturan seketat itu. Namun, Gereja Reformed memiliki kebiuasaan doa pribadi dan keluarga pada jam makan dan jam tidur. Kita meyakini arti “berdoa yang tak ada putus-putusnya,” yaitu bahwa kita selalu hidup dalam persekutuan dengan Allah dan bahwa doa merupakan hal yang mudah, semudah kita bernapas atau makan. Namun demikian, bukan berarti kita tidak menata kehidupan doa kita. Bila kita kehilangan kebiasaan untuk mengatur jadwal doa kita, kita pun akan kehilangan kebiasaan untuk mengatur hidup kita sepanjang hari. Inilah yang dikenal dengan istilah lex orandi lex vitandi, “hukum doa menentukan hukum (atau aturan) kehidupan.”

Apa? à Kebutuhan vs. Keinginan

Ada orang Kristen yang mengajar, “Mintalah apa saja kepada Tuhan. Sebab Ia adalah Allah yang kaya, tak mau berutang. Ia memiliki segala sesuatu yang siap diberikan. Asal kita mau memintanya.” Bahkan orang Kristen diperintahkan untuk mengklaim janji-janji Allah. Janji seperti apa? Janji memberikan berkat surgawi, janji kelimpahan hidup, janji kekayaan materi. Karena Allah menghendaki yang terbaik bagi umat-Nya, maka mintalah juga yang terbaik: rumah terbaik, mobil terbaik, telepon selular terbaik, jabatan terbaik, dsb.

Bagaimana? à Kita Berbicara kepada Allah vs. Allah Berbicara kepada Kita

Doa memang merupakan komunikasi yang unik, sebab kita tidak pernah melihat Pribadi yang kita ajak bicara. Kita tidak pernah melakukan “percakapan yang sesungguhnya,” yaitu bahwa kita berbicara dan Allah langsung berespons. Tidak ada jawaban, seperti sewaktu kita berbicara kepada seseorang melalui telepon. Itulah sebabnya, seringkali kita sulit terbuka terhadap Allah. Kita pun sulit menemukan kata-kata yang cocok untuk kita ucapkan. Mungkin saja, hal ini menjadi sebab banyak orang Kristen tidak mau ditunjuk berdoa di muka umum.

Meski susah, doa bukanlah sesuatu yang kita inginkan. Doa adalah keharusan. Katekismus Heidelberg menyebutkan doa itu “perlu,” sebab doa adalah “bagian yang terutama dari hal mengucap syukur yang dituntut oleh Allah dari kita.” Lho, tetapi mengapa Tuhan tidak menjawab secara lengsung dengan kata-kata yang dapat kita dengar? Oh, Tuhan sudah berbicara kepada kita terlebih dahulu! Sadarkah kita akan hal itu?

Pengakuan Iman Reformasi (1561) menyebutkan demikian, “Allah kita yang pemurah, dalam hikmat dan kebaikan yang menakjubkan, berkehendak untuk mencari manusia ketika manusia tergoopoh-gopoh lari dari-Nya (ps. 17). Ia tidak hanya memberi kita sederet kata-kata. Ia memberi kita Firman di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Jadi, bukan kita yang terlebih dahulu membisikkan perkataan ke telinga Allah, tetapi sebaliknya, Allah yang telah terlebih dulu membisikkan perkataan ke telinga kita. Doa menjadi perlu sebab dengan berdoa kita menjawab Allah. Implikasinya, jika kita hanya diam saja, betapa kita adalah orang yang tidak tahu berterima kasih! Seseorang yang tidak berdoa bukan seorang Kristen.

Tuesday, February 26, 2008

MEMAKNAI KEPENUHAN BERKAT: MENGGALI YOHANES 1


MEMAKNAI KEPENUHAN BERKAT: MENGGALI YOHANES 1


Tuhan Yesus berkata, kedatangan-Nya mengakibatkan “mereka hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10.10). Apa artinya “kepenuhan berkat” atau “kepenuhan hidup”? Mungkin Anda sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah gereja yang percaya hal ini sedang mengarah pada bentuk kekristenan yang mementingkan harta dan materi duniawi? Apakah istilah ini menjadi pelipur hati di tengah penatnya hidup yang makin berat, atau ucapan yang ngayem-ayemi kita saja? Sama sekali tidak. Oleh karena itu, “kepenuhan berkat” harus kita tempatkan di porsi yang tepat. Tepat itu tentu standarnya adalah apa kata Alkitab, sehingga jangan sampai kita menjadi latah dengan istilah yang kita buat sendiri namun salah arti.

Injil Yohanes ditulis dalam masa penganiayaan hebat. Pada akhir abad I Masehi, Roma diperintah oleh Kaisar Domitianus. Kaisar ini terkenal bengis dan sadis. Ia terkenal dengan julukan Nero redivivus, “Nero bangkit kembali.” Kebenciannya terhadap orang Kristen begitu tinggi. Maka, sangat anehlah bila kita memahami “kelimpahan” dalam Yesus artinya hidup mewah. Orang Kristen di zaman itu hampir-hampir tidak mempunyai “ketenangan” hidup. Ketenangan hidup itu justru mereka jumpai dalam pengenalan akan Kristus Yesus, di tengah-tengah aniaya mahahebat!

Kendati begitu, mereka punya apa yang tidak dipunyai dunia. Mereka punya identitas baru. Mereka adalah anak-anak Allah. Yohanes mencatat bahwa setiap orang yang “menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya” (1.12). Identitas baru itu didapatkan bukan melalui darah atau keinginan laki-laki, tetapi dari Allah (1.13).

Selanjutnya, ketika seseorang menjadi anak Allah, ia pun masuk ke dalam sebuah komunitas baru. Itulah komunitas yang memampukan para anggotanya berkata “Kita telah melihat kemuliaan-Nya” (1.14). Apa yang istimewa? Sebuah komunitas keluarga baru yang beranggotakan anak-anak Allah yang telah dilahirbarukan (bdk. 20.17). Maka, melalui percaya dalam nama Yesus, kita menjadi suatu umat manusia baru, dan aku menjadi satu pribadi yang baru.

Baik individu Kristen, maupun komunitas Kristen, kedua belah pihak mencari arti hidup yang mengalami kepenuhan Allah, yang disediakan dalam Kristus. Yohanes selanjutnya mengatakan bahwakepenuhan itu berarti “kita semua telah menerima anugerah demi anugerah” (1.16). Karunia Allah yang dinyatakan dalam anugerah demi anugerah itulah yang membuat segala sesuatu menjadi baru. Kita telah menerima kesempatan yang sangat indah, untuk menjadi anak-anak Allah, dan kita dipanggil untuk hidup dalam sebuah realitas kehidupan di mana kehancuran telah dipulihkan oleh anugerah itu. Jadi, “kepenuhan berkat” sesungguhnya kita terima di tengah-tengah himpitan dan tantang hidup yang begitu berat.

Tapi tak berhenti sampai di sini. Yohanes dengan jujur mengatakan adanya resistensi (hambatan), “Ia telah ada di dalam dunia . . . dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (1.10-11). Sesungguhnya dalam diri kita tersimpan ketakutan untuk menerima sesuatu yang baru, yaitu transformasi penuh dari Allah. Sebab, membuka diri terhadap transformasi Allah itu berarti menghapuskan hal-hal yang menjabarkan diri kita sebelum pembaruan itu ditawarkan kepada kita. Kita suka dengan “wilayah aman” kita, cangkang yang nyaman dan hangat kita.

Sama seperti umat Allah di PL, kita memilih untuk menyandarkan diri pada definisi kita sendiri akan makna hidup. Kita sebenarnya takut menerima tawaran definisi dari Allah. Kita takut untuk menerima ada sesuatu yang salah dalam hidup kita. Kita mengeraskan hati terhadap hidup di masa depan yang Allah sediakan. Namun, kita juga perlu sadar bahwa hal ini pun berarti kita telah mengeraskan hati pada hidup di masa kini yang dari Allah.

Maukah hidup kita mengalami kepenuhan? Di sini kita perlu menyadari dua kutub. Di satu sisi, kita mencari kelimpahan hidup itu sampai kepenuhannya, yaitu hidup yang diperbarui secara radikal dan total. Di sisi lain, betapa kerasnya hati kita terhadap tawaran pembaruan hidup itu.

Oleh sebab itu, kita yang mengaku anak-anak Allah yang sejati, kita harus selalu mawas diri. Kita perlu membuka hati terus-menerus kepada Allah untuk menjumpai kita di mana pun kita berada dan dalam waktu apa pun, dan tidak menyembunyikan diri dari anugerah Allah; bersikap keras kepala dan tegar tengkuk. Tanda yang sejati dari kepenuhan berkat Allah adalah bahwa anugerah Allah itu terus mengerjakan pembaruan di dalam hidup anak-anak Allah bahkan dalam keadaan kita sedang mengeraskan hati. Biarkan Allah yang memberi makna bagi kehidupan kita. Saya mengingat syair lagu sekolah Minggu yang diinspirasi oleh Yohanes 3.30:

Dia harus makin bertambah,

Ku harus makin berkurang;

Nama Yesus saja disembah

‘Ku di tempat paling belakang.

Friday, February 22, 2008

APAKAH ANDA HENDAK MENJADI AGNOSTIK? (4)


Akhirulkalam . . .

Maka undangan saya, marilah kita kembali kepada berita yang disampaikan oleh Yesus dari Nazaret. Itulah agama pra-Konstantin. Itulah iman yang menggentarkan para imam, yang menghebohkan Roma, sebuah tata iman yang sederhana yang mengajak setiap orang selalu memandang adanya pengharapan di tengah-tengah impitan hidup. Iman yang tidak mengajak lari dari kenyataan. Iman yang menjanjikan pembaruan. Iman yang membuat kita tahu apa artinya tinggal di atas bumi ciptaan Allah yang baik, dan ke mana tujuan sejarah dunia, serta apa arti hidup kita sebagai ciptaan baru.

Jikalau Anda tetap menyebut diri Anda agnostik, kiranya dengan segala kasih saya mengundang Anda untuk menjadi agnostik yang intelektual. Selidiki dan carilah kebenaran. Memang benar, Michel Foucault mengatakan bahwa pengetahuan terlahir dari pihak yang berkuasa. Ya, memang, pengetahuan itu otoriter. Tetapi kebenaran itu memerdekakan. Bertanyalah seperti Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” dan temukanlah jawabnya. Kalau boleh saya berpesan, pertama-tama, taruhlah kepercayaan pada sesuatu, karena dari situlah titik pijak Anda untuk menjadi seorang agnostik yang sejati. Maka, kebenaran itu pun akan menjadi milik Anda. Selamat berpetualang.

APAKAH ANDA HENDAK MENJADI AGNOSTIK? (3)


Masalah Keragu-raguan

Dalam percakapan dengan para agnostik, saya sering menemukan argumentasi ini: “setiap orang melihat satu hal dari sisi yang berbeda-beda; saya dari sisi ini, Anda melihat dari sisi sana.” Tetapi kita melihat hal yang sama, dan pengamatan kita masing-masing sama sahihnya.

Lalu saya mengambil setumpuk buku. “Baiklah, Anda melihat buku ini dari sisi itu, dan saya dari sisi ini. Percayakah Anda bahwa kita melihat buku-buku yang sama?” Biasanya jawabannya, “Ya.”

“Nah, bila demikian, kita sedang melihat buku-buku yang sama, bukan? Pertanyaan saya, dari mana Anda tahu bahwa tumpukan ini adalah buku-buku? Apakah Anda tahu oleh sebab karena tumpukan itu bukan meja, bukan kursi, bukan komputer, bukan tas, lalu Anda simpulkan itu buku? Tentu tidak, bukan? Pengetahuan Anda bahwa tumpukan itu buku ialah oleh karena dulu ada orang yang pernah memberi tahu bahwa yang seperti itu adalah buku. Dan Anda percaya, dan mengikuti kata orang itu! Anda sekarang menyebut benda-benda ini adalah buku-buku.”

Apa yang coba saya katakan kepadanya? Setiap orang tak mungkin mulai suatu pemikiran dengan keragu-raguan. Harus ada yang dipercayai terlebih dahulu. Ia harus menerima sesuatu dengan tanpa keraguan. Contoh di atas, saya percaya benda-benda itu buku, bukan karena saya meragu-ragukannya lebih dahulu, dan bukan pula karena saya mengajukan pertanyaan “Mengapa bukan meja?” dan sebagainya.

Ah, kekritisan seseorang akhirnya toh bermuara pada kenyataan bahwa seseorang harus percaya dengan sesuatu terlebih dahulu. Adalah sebuah mitos bila seseorang meragu-ragukan segala sesuatu untuk mendapatkan kebenaran. Saya tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa tumpukan benda itu adalah buku dengan cara meragu-ragukan bahwa benda itu bukan meja, bukan kursi, bukan komputer, dan seterusnya. Saya harus pecaya itu buku, karena saya dahulu pernah menerima informasi, dan informasi itu saya terima bahwa benda yang seperti ini adalah buku.

Bagaimana dengan Kristianitas? Adalah suatu tindakan yang rendah hati, bila sebelum meragu-ragukan kebenaran di dalam Kristianitas, kita menaruh kepercayaan pada Kristianitas. Kebenaran tidak mungkin ditemukan oleh karena yang lain saya dapati salah! Kebenaran itu benar dalam dirinya sendiri. Kebenaran pasti tidak berkontradiksi satu dengan yang lain. Itu berarti, kebenaran pasti tampil utuh. Justru inilah panggilan setiap orang Kristen yang kritis, untuk percaya dan membuktikan keutuhan bangunan kebenaran dalam iman Kristen. Apakah iman Kristen bekontradiksi dalam dirinya?

Tentulah harus diakui dengan rendah hati, kadang-kadang terjadi kesenjangan antara iman dan praktik hidup. Tetapi hal itu bukan dengan sendirinya bahwa iman Kristen tidak dapat dipercayai, dan dengan demikian lebih baik dibuang saja. Don’t throw away the baby along with the water! Jangan membuang hal yang baik/benar hanya oleh karena ada kesalahan. Di mana salah, harus diselisik kembali. Penyimpangan-penyimpangan dalam sejarah Kekristenan tidaklah sedikit. Tetapi apakah dengan demikian iman Kristen menjadi nihil?

APAKAH ANDA HENDAK MENJADI AGNOSTIK? (2)


Tetapi . . .

Jadi, berkenalan dengan orang-orang yang agnostik dan ateis, saya cukup dapat memahami pergumulan mereka. Namun, teramat sering, dan hal inilah yang saya sayangkan, mereka hanya pragmatis, alias separo menjadi agnostik (atau ateis). Mengapa separo? Karena terlampau dangkal. Selidik punya selidik, bila ditelusuri bagaimana dia tahu bahwa Kristianitas begitu memuakkan, toh tidak ada jawaban yang jelas! Sedikit melakukan autokritik terhadap karakter bangsaku, kecurigaan itu berasal dari kata orang saja! Belum banyak pustaka dan kajian yang dibaca, dinalar, dibandingkan dan disimpulkan. Semua itu adalah kata orang dan (celakanya!) jangan-jangan orang yang jadi sumber itu mendapatkan berita itu pun dari kata orang lain. Ah, budaya menggosip sangat gampang beredar di bangsa kita, bukan? Jadi, berapa banyak kaum agnostik dan ateis yang benar-benar intelektual? Sayang, beribu sayang.

Betapa cukup mengejutkan, seseorang alergi bahkan anti-Kristianitas, tetapi percaya akan adanya Keberadaan yang Jauh di atas sana. Saya bertanya, ngapain tuh Keberadaan? Saya banyak berjumpa dengan kenyataan yang tambah mengejutkan saya: Keberadaan itu pada akhirnya akan membawa orang-orang yang hidup sama seperti Yesus, ke dalam suatu keberadaan spiritual yang kekal. Itulah maksud Yesus datang ke dunia, bukan untuk mendirikan gerakan politik, tetapi berita mengenai Kerajaan yang bukan dari bumi, dan itu adalah suatu tempat di luar wilayah kosmos.

Saya mengindra adanya kontradiksi yang serius. Bila benar Keberadaan itu adalah Sang Pencipta agung, maka tindakan-Nya untuk membawa orang-orang naik ke surga, dalam pengertian lepas dari wilayah dunia ini, adalah suatu tidakan yang akan menganulir kebaikan dan konsistensi-Nya sebagai Keberadaan yang tertinggi, yang serba maha. Ia mencipta dunia ini, tetapi Ia tidak mampu menjaga ciptaan-Nya. Ia lebih memilih escape from reason, dengan membuat suatu dunia lain, yaitu alam rohani. Pertanyaan saya, kalau begitu mengapa pada mulanya Ia "repot-repot" menciptakan langit dan bumi?

Pertanyaan ini bukan hanya bagi kaum agnostik seperti di atas, tetapi juga sekaligus tertuju kepada bentuk-bentuk Kristianitas dispensasionalisme, gnostisisme dan gerakan pentakosta-kharismatik. Absurd sekali kisah-kisah yang disampaikan dari mimbar mengenai pengangkatan ke surga, tujuh masa sejarah menurut Alkitab; tetapi juga pengetahuan (gnosis) rahasia untuk mencapai kebersatuan dengan Allah di alam yang sama sekali berbeda.

Bila benar ada Allah yang demikian, dan kalaupun itu adalah satu-satunya Allah yang dikira sejati, maka Ia bukanlah Allah yang memiliki konsistensi. Dan saya secara pribadi sangat bersuka cita untuk melepaskan agama yang percaya kepada Allah yang demikian!

Tetapi tak kalah berbahaya, bila kaum agnostik yang nyata-nyata bukan bergulat secara mendalam dalam intelektual, mengatakan lebih baik hidup seperti falsafah WWJD. Pertanyaannya, mengapa bukan WWMD atau WWBDWhat Would Mohammed Do? atau What Would Buddha Do? dan seterusnya! Mengapa memilih Yesus untuk diikuti pola dan gaya hidupnya? Bukankah banyak tokoh yang jauh lebih anggun dan santun daripada Yesus? Posisi seperti ini sekali lagi terbukti ambigu, dan tidak ada jawaban yang pasti.

Baik, saya mengakui Kristianitas Konstantinian perlu mengalami dekonstruksi. Meskipun harus diakui ada banyak sumbangsih yang diberikan oleh Kekristenan era ini. Paling tidak, baik Katolisitas maupun Ortodoksi yang tercermin dalam ibadah mereka, tetap memberi tempat kepada “Misteri Allah” yang tak mungkin terselami—dan sebenarnya inilah yang dinanti dan dicari oleh orang-orang agnostik—liturgi yang cantik, bangunan tinggi yang mencerminkan keagungan Allah, ornamen yang mencoba menangkap keindahan bumi dalam sebuah sanctuary. Ah, dalam kritikan, ternyata terselip jawaban secara tak langsung!

Memang, menghayati “agama Yesus” sesungguhnya membuat kita harus menelisik ulang sejarah perjalanan Gereja. Jangan-jangan sudah terjadi diskrepansi (kesenjangan) antara agama Yesus dan agama Kristen. Toh kenyataannya, makin banyak beragam ajaran mengenai Yesus, mengenai Roh Kudus, mengenai keselamatan yang sifatnya esoterik, nyentrik dan tidak berdasar sama sekali. Sangat membingungkan. Apakah yang seperti itu adalah ajaran Yesus yang sejati?

Namun, pengetahuan tentang Yesus sang moralis, sebagaimana yang diyakini oleh kaum agnostik, nampaknya merupakan hal yang tidak mungkin. Apa yang dikatakan Yesus, tidak semata-mata masalah moral, lho! Bacalah Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Nah makin kelihatan, bahwa sebenarnya agnostisime itu asalnya dari kata orang saja. Dibaca baik-baik, maka isi keempat Injil adalah: Yesus datang, ciptaan baru bersemi, dan kita semua mempunyai tugas baru! Dengan demikian, iman Kristen sesungguhnya tak sesempit ajaran mengenai hidup di surga, dan janji adanya pie in the sky when you die!

APAKAH ANDA HENDAK MENJADI AGNOSTIK? (1)


Rasa Simpati

Seorang agnostik adalah seseorang yang tidak (mau) tahu apakah Allah itu ada, mengapa saya hidup di dunia ini, apa tujuan hidup saya, dan untuk apa semua ini. Jumlah orang yang seperti ini makin banyak, di samping orang yang mengaku dirinya ateis—menolak keberadaan Allah.

Banyak kali seorang agnostik agak alergi terhadap Kristianitas. Bagi mereka, Kristianitas adalah “dominasi Kristen” a la Konstantinus Agung, pasca Edik Milano (312 M.). Kristianitas menjadi agama yang berhasil di-marketing oleh sang Kaisar Roma. Kristianitas tak ubahnya menjadi momok yang menyeramkan bagi rakyat, menjadi penindas dan absolutis atas kebenaran.

Pastilah, Allah berbeda dengan ide dan gagasan agama yang seperti ini. Allah itu Keberadaan yang serba-maha, dan tidak ada kecacatan di dalam Dia. Yesus, adalah manusia yang adi, dengan segala sifat yang bermoral unggul. Kekristenan haruslah seperti ini. Kekristenan yang sesungguhnya mengikuti gaya hidup dan tindakan “Mr. Jesus.” Berarti, Kekristenan haruslah menurut apa yang dikatakan orang akhir-akhir ini: “What Would Jesus Do?”

Saya mencoba menaruh simpati dengan kaum “agnostik” ini. Pergumulan mereka real. Keberatan-keberatan itu memang mereka hadapi; bagaimana pun itu sah secara eksistensial. Dalam pergulatan intelektual, hal ini pernah menjadi bagian dalam kehidupan saya. Menceburkan diri dalam wacana Yesus Sejarah yang tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya akan berbenturan dengan problem “seperti apakah wajah Kristianitas yang sejati.” Berhadap-hadapan dengan sederet kajian sejarah eklesiastikal membuat saya sendiri mawas, bahwa sering kali terjadi kesalahan sejarah (bukan sekadar misinterpretasi dari sang historiografer!), tetapi memang banyak liku-liku sejarah gereja yang memalukan. Dan ada saat-saatnya, kehidupan bergereja itu menjadi begitu memuakkan. Ah, pada masa sekarang pun juga demikian!

Monday, February 11, 2008

Kerygma, Credenda dan Agenda Yesus dari Nazaret (6)


BAGAIMANA DENGAN KITA?

Gereja sebagai umat Allah yang sejati, murid Kristus, dan ciptaan baru, secara ontologis sudah merupakan politik. Jika Kristus menyebut kita sebagai antisipator, atau prolepsis, dari Kerajaan Allah, maka sebenarnya kehadiran Gereja menggentarkan kuasa politik! Namun, bagaimana kenyataannya?

Kita berpolitik, tetapi kebanyakan memperjuangkan kepentingan sendiri. Gereja telah menjadi sangat reaktif bila kepentingannya terganggu. Gereja berkumpul dan menyatakan protes kepada pemerintah ketika ada gereja yang dibakar. Gereja diam saja ketika ketidakadilan menimpa orang lain yang bukan Kristen!

Masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi persekutuan gereja di Indonesia, ketika Mbak Tutut, sang putri penguasa Orde Baru, yang mengampu Menteri Sosial, mengumumkan agar rakyat menyumbangkan emas di tengah krisis moneter Indonesia, maka Ketumnya yang njawani itu pun tergopoh-gopoh sowan kepada Mbak Tutut; bahkan melakukan imbauan di stasiun televisi.

Tak kurang memalukan pula kiprah gereja, ketika belum lama berselang, seorang pemimpin gereja di ibu kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kristen Fundamental(is), meraih dua doktor di bidang pendidikan agama dan teologi dari Amerika Serikat, mendukung pencalonan seorang calon presiden wanita, yang pernah menjabat sebagai presiden, dengan tujuan supaya sang ibu memberikan keadilan kepada orang Kristen dan terutama golongan non-pribumi.

Banyak orang-orang muda Kristen, dan khususnya dari warga keturunan, yang mempunyai cita-cita tinggi, brilian, dan mempunyai cukup dana untuk menempuh studi di luar negeri kemudian enggan balik ke Indonesia. Mengapa? Tidak ada tempat, kurang fasilitas, tidak impas dengan tenaga, usaha dan dana yang dikeluarkan. Betapa kita perlu bercermin dengan arif dan merenung dengan malu, orang yang sangat terbukti cinta negeri yang porak poranda adalah Kwik Kian Gie, yang adalah seorang Buddhis.

Perjuangan Kekristenan—termasuk yang Injili, dan kata “injili” di Indonesia kian menyempit menjadi kelompok gereja Kristen dari latar belakang warga keturunan!—masih sangat parsial, fragmentaris, dan primordialis! Saya yakin hal ini bukan mempermuliakan Kristus yang tersalib dan yang bangkit sebagai buah sulung ciptaan baru, tetapi mempermalukan-Nya. Orang Kristen masih dicetak oleh pola dan patron dunia.

Mungkin inilah sebabnya, orang Kristen cenderung anti untuk menghayati Kristus sebagai seorang tokoh yang berpolitik, dan lebih nyaman untuk mengatakan bahwa Ia hanya memperjuangkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi kaum-Nya, sebab sesungguhnya orang Kristen enggan untuk menanggung konsekuensi sebagai orang-orang yang mengikut Dia. Jika Kristus adalah tokoh politik, mau tidak mau, gereja harus berpolitik, sebab gereja sebagai pengikut-Nya adalah sebuah entitas politis: politik shalom, politik Kerajaan Allah, politik konfrontatif dengan kebijakan pemerintah, politik NO! kepada kuasa dunia. Pertanyaan untuk gereja adalah: Siapa yang kita ikuti, dan siapa yang lebih kita takuti? Hanya ada dua pilihan: Kristus atau Kaisar!

TERPUJILAH ALLAH!

Kerygma, Credenda dan Agenda Yesus dari Nazaret (5)


KEBENARAN DI HADAPAN PENGUASA POLITIK


Sampailah kita ke pertanyaan, apakah Yesus berpolitik? Ya, dalam keseluruhan hidup-Nya, Ia berpolitik. Ajaran-Nya pun merupakan politik. Ia mengajarkan Kerajaan Allah hadir. Ia mengejawantahkan Kerajaan Allah. Ia mewartakan shalom. Ia sendiri adalah shalom itu. Ia tengah berkontradiksi dengan para penguasa, tutur kata dan tindakan simbolis-Nya membuat para penguasa kalang kabut. Bayangkan reaksi para penguasa ketika mendengar berita yang dikatakan oleh Yesus dari Nazaret ini!

Politik apakah yang Tuhan Yesus jalankan? Politik yang bertolak belakang dengan Kaisar, sebagai kuasa absolutis. Ingatkah Anda, mengapa Pilatus bertanya, “Apa itu kebenaran?” Sebab baginya, Kaisar adalah kebenaran yang absolut. Worldview Pilatus sebagai warga Roma adalah bahwa hanya Kaisarlah yang boleh mengatakan kebenaran.

Ingatkah Anda ketika Yesus berkata kepada khalayak pendengar, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”? Hal ini bukan secara simplistis berarti boleh-boleh saja membayar pajak sebagai rasa hormat kepada pemerintah. Pada zaman Yesus, pemberontakan melawan pajak bukan hal yang aneh dan unik. Sejak Yesus masih kanak-kanak, Ia pasti telah mengetahui begitu banyaknya pemberontakan, dan di kemudian hari para pelakunya dibabat habis oleh kebrutalan orang-orang Roma! Tetapi hal yang paling mendasar bagi orang-orang pada zaman itu adalah, bila orang berkata, “Ya, bayarlah pajak kepada Roma!” maka di balik perkataan itu tersirat pemikiran, “Aku tidak serius menanggapi kedatangan Kerajaan Allah!”

Tidakkah Anda mencermati, Yesus meminta orang yang mencobai-Nya mengeluarkan koin mata uang yang dipakai untuk membayar pajak? Kabarnya mereka membenci kaisar, tetapi toh kenyataannya mereka menyimpan gambar kaisar yang tertera di dalam koin tersebut, dengan inskripsi (tulisan) yang memuat gelar pemujaan yang memberhalakan kaisar. Maka apa yang hendak dikatakan oleh Yesus adalah, “Lebih baik engkau kembalikan koinnya kaisar kepada kaisar, dan persembahkanlah kepada Allah kembali koinnya Allah!” Jadi Yesus hendak mengatakan, pajak harus dibayarkan, tetapi dengan kebencian kepada kuasa kaisar dan bukan dengan rasa hormat kepadanya; dan di balik itu ada keyakinan bahwa rezim Kaisar merupakan pemberhalaan omong kosong di hadapan Allah, dan pada suatu hari kelak, Allah sendiri akan menjungkirbalikkanya.

Politik Yesus adalah politik tanpa kompromi. Perkataan Yesus harus kita sadari implikasinya, bahwa Allah itu berkuasa atas segenap segi kehidupan, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan ambiguitas kehidupan, salah satunya membayar pajak kepada kaisar. Ya benar, Yesus berkata bahwa orang harus membayar pajak kepada orang-orang kafir, seperti halnya orang Yahudi yang berdoa kepada Allah untuk kesejahteraan kota di mana mereka dibuang oleh Allah; tetapi melampaui ambiguitas kehidupan itu, hendaklah setiap orang meyakini bahwa Allah hadir di dalamnya, memanggil umat-Nya untuk berdiri dan patuh kepada sesuatu yang jauh melampaui kuasa kafir yang absolut, yang sedang berjaya. Umat Allah yang sejati beroposisi secara diametris dari kuasa itu.

Mungkin Anda akan segera bertanya dalam hati, bagaimana dengan Roma 13:1, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya . . . .” Apalagi diterangkan lebih lanjut, bahwa siapa yang melawan pemerintah melawan ketetapan Allah. Apakah rasul mengajarkan kita untuk selalu sendika dhawuh kepada pemerintah? Marilah kita selidiki ayat ini dengan cermat. Kata yang dipakai untuk “takluk” adalah hupotassesthai. Kata ini berbeda arti dengan “menaati” atau “patuh” (biasanya dipakai kata peitharchein, peithesthai dan hupakouein. Dalam PB, kata hupotassesthai muncul 31 kali. Sesekali, kata ini menunjuk kepada kepatuhan (Rm. 8.7), tetapi dalam kasus umum, arti ini tidak popular.

Maka, apa artinya ketika kata ini dipakai di sini, dan orang Kristen harus takluk kepada pemerintah? Yaitu bahwa seseorang ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah itu oleh Allah. Maka, bukan berarti seseorang tidak boleh kritis, lalu berlaku taat membabi buta kepada setiap keputusan, kebijakan dan politik pemerintah. Mengapa demikian? Sebab bagi orang Kristen, yang menentukan hupotassesthai dalam segala situasi bukanlah pemerintah dan kuasa sipil, tetapi Kristus.

Pertanyaannya ialah, mengapa orang Kristen mengambil posisi seperti ini? Worldview yang harus diingat oleh orang Kristen adalah bahwa kita telah mati dan bangkit bersama dengan Kristus, hidup oleh kuasa Roh, dan pengharapan kita adalah masa depan yang diperintah oleh Allah (Rm. 6-8). Oleh sebab itu, tidak ada satu kuasa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristyus, termasuk pemerintah dan kuasa-kuasa (Rm. 8.38-39). Setiap orang Kristen dibentuk oleh masa depan, bukan oleh masa lalu!

Keberadaan pemerintah, selalim apa pun, merupakan cerminan dari kehendak Allah untuk mengadakan keadilan dan tatanan, hingga tatanan yang baru yang dipimpin oleh Kristus Yesus merekah dengan sempurna. Betapa pun jahat dan lalimnya sebuah pemerintahan, dan mereka tidak mengenal Allah dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan menurut ukuran sendiri, namun tanpa pemerintah, orang akan bertindak sesuka hati, seenak hasratnya sendiri, dan orang yang lemah dan tak berdaya akan bertambah sengsara. Allah tidak menghendaki hal ini.

Namun para rasul sendiri menyadari bahwa bila pemerintah melawan Allah, maka mereka berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5.29). Prinsip ini mengajar kita, sekalipun orang Kristen menolak untuk patuh, mereka tetap takluk di bawah kuasa pemerintah. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka tidak mengangkat senjata untuk menjungkirbalikkan kuasa pemerintahan. Tetapi bilamana pemerintah memutuskan hal-hal yang bertolak belakang dengan kehendak Allah, mereka pasti menolak, dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut.

Jadi, Roma 13 bukan merupakan carte blanche yang membenarkan para penguasa untuk melakukan apa pun yang mereka sukai. Mereka bukan ditempatkan di atas angin. Keberadaan mereka berada di bawah kuasa Kristus, sebab “Injil” Kristus Yesus melampaui “injil” para kaisar; dan setiap pemerintah bertanggung jawab kepada Sang Penguasa yang berada di atasnya. Bacalah teks ini baik-baik sekali lagi, dan seluruh Roma, maka Anda akan tahu bagaimana kita harus bertindak dalam percaturan politik!

Demikian pun bila kita perhatikan 1 Petrus 2.13, “Tundukklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.” Di 2.17 ada empat perintah: hormati semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah dan hormatilah raja! Dapatkah kita simpulkan bahwa kita harus selalu menghormati raja karena raja selalu benar? Camkan selalu perkataan rasul di 2.9, bahwa orang Kristen adalah kerajaan para imam, artinya imam-imam yang melayani Sang Raja. Mereka patuh kepada Sang Raja, bukan kepada yang lain. Namun konteks selanjutnya (1.18-25) bagaimana orang Kristen harus bertindak bukan pada masa yang nyaman, aman tenteram, damai dan adil, tetapi pada waktu ketidakadilan itu muncul dan merajalela. Kepatuhan itu dinampakkan oleh orang Kristen, hanya kepada Kristus sehingga mereka pun rela menderita, bukan kepada pemerintah. Say No! to caesar, and Yes! to Christ.

Sunday, February 10, 2008

Kerygma, Credenda dan Agenda Yesus dari Nazaret (4)


AGENDA DALAM MANIFESTO NAZARET


Bagi Yesus dari Nazaret, credenda menjadi agenda! Visi tak mungkin berjalan tanpa misi, tetapi misi pun harus dipertajam dengan strategi! Berbeda dengan orang-orang sezaman-Nya, Yesus tidak memilih mengangkat senjata—seperti kaum Zelot. Yesus juga tidak menarik diri dari kehidupan sehari-hari, menyepi, talak brata dengan laku asketis—seperti kaum Esseni di Qumran.

Yesus memiliki agenda untuk dikerjakan. Sebagai seseorang yang diurapi—indikasi-Nya Yesus tahu panggilan-Nya sebagai seorang nabi, sama seperti Elia dan Elisa—Yesus digerakkan oleh berita PL. Berita Tahun Yobel menjadi bagian yang penting dalam karya-karya-Nya.

Di sepanjang Injil Lukas, Yesus tidak segan-segan merangkul “orang-orang berdosa,” yang dicampakkan oleh masyarakat, yakni mereka yang tidak lagi dianggap manusia oleh manusia. Yesus menyembuhkan orang sakit, menjamah orang yang cacat, dekat dengan kaum-kaum terbuang (pemungut cukai, wanita tuna susila dan pengemis). Yesus datang, mengangkat mereka, dan memanusiakan manusia. Meminjam dictum ordo Yesuit, agenda Yesus adalah Dei gloriam, vivens homo, “memuliakan Allah, mengangkat manusia.” Sangatlah keliru bila kita hanya memahami aspek kesembuhan itu sebagai mukjizat Yesus yang unik. Kesembuhan yang diterima oleh orang-orang yang cacat dan najis pada hakikatnya bertujuan untuk mengangkat mereka agar menjadi sama seperti para tetangga mereka. Seseorang yang terikat oleh perbudakan legalisme yang merendahkan martabat manusia, kini telah dilepaskan. Mereka yang dahulu bukan manusia, kini menjadi manusia.

Dengan singkat, kita dapat katakan, credenda yang menjadi agenda di tangan Yesus adalah: Ia bertindak secara simbolis bahwa Allah telah hadir di tengah-tengah umat-Nya! Orang-orang Yahudi memiliki simbol ketika mereka berbicara mengenai Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, Allah yang hidup, yang hadir di tengah-tengah umat-Nya untuk menolong dan menyelamatkan mereka.

Mereka percaya bahwa Hikmat Allah tinggal di antara umat-Nya, menunjukkan kepada mereka jalan yang sejati. Yesus bertindak dan mengajar seolah-olah Ia adalah Sang Hikmat, Sophia, atau Hokma, itu.

Mereka percaya bahwa Allah yang hidup itu hadir melalui Taurat yang Ia telah berikan. Ia mengumpulkan kaum pilihan-Nya dan mengajar seolah-olah Ia sendiri adalah Taurat yang sejati itu, bahkan Sang Pemberi Hukum Taurat sendiri, dan pokok yang menyatukan umat Allah.

Mereka percaya bahwa Allah yang hidup tinggal, secara khusus, di Bait Suci Yerusalem. Yesus berindak dan berbicara seolah-olah Ia dipanggil untuk melakukan dan menjadi apa yang menjadi fungsi Bait Suci pada masa lampau.

Berita yang dibawa oleh Yesus tak lain dan tak bukan berbicara mengenai diri-Nya sendiri. Ia adalah pokok pemberitaan dan pengajaran yang keluar dari mulut-Nya. Ia tidak sekadar mengajarkan serentetan aturan moral yang baru. Ia bukan tokoh penggerak massa dengan segudang ide pembaruan utopis. Ia menggemakan apa yang menjadi keyakinan orang-orang sezaman-Nya, tentang Allah yang hadir di tengah umat-Nya, tentang tatanan baru di bawah Allah yang disebut sebagai Kerajaan Allah! Di dalam diri seorang muda sederhana asal Nazaret yang memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang-orang yang sakit, mengonfrontasi para penguasa, menderita di bawah tindihan sengsara dunia, dan bangkit kembali mengalahkan kematian, maka kita sebagai pengikut-Nya dengan berani mengatakan, “Itulah artinya menjadi Allah!”

Jika berita Yesus, serta tindakan-Nya, menyatakan bahwa Allah Israel telah hadir kembali di antara umat-Nya Israel, bahwa Israel telah dipulihkan, bukan untuk menjadi sebuah bangsa yang adijaya, tetapi umat yang patuh kepada Allah-Nya, maka hal ini pun menyiratkan satu kebenaran fondasional bahwa Allah itu Raja bagi kaum pilihan-Nya, dan konsekuensi lebih luas lagi yakni bahwa Allah pun menjadi Raja atas seluruh ciptaan. Jika Allah menjadi raja atas seisi dunia, maka kerajaan-kerajaan dunia yang absolutis pun secara otomatis gulung tikar. Inilah politik yang menjadi rahasia keempat Injil. Bahkan kita pun dapat mengatakan, inilah politik yang digaungkan di PB, dengan klimaksnya, “Kerajaan dunia ini telah menjadi Kerajaan Allah kita dan Kristus-Nya” (lih. Why. 11.15).

Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Yakni melalui Yesus dari Nazaret yang disalibkan dan yang dibangkitkan. Apabila Anda memiliki cukup waktu untuk menyelidiki Lukas, maka Injil ini dipenuhi dengan berita theologia crucis, teologi salib, bahwa pada setiap titik Yesus diidentikkan dengan orang-orang berdosa, sehingga dalam rancang bangun mega plan Allah yang dinyatakan secara penuh dengan kebangkitan Kristus, Ia dapat meretas jalan bagi Israel untuk menjadi satu keluarga besar yang mendunia! Ia yang dibangkitkan itu naik ke surga, bertakhta di sebelah kanan Allah, dan Ia akan kembali hadir untuk menyempurnakan pemerintahan Allah ini, dengan jalan memusnahkan semua musuh, termasuk dosa dan kematian!

Kerajaan Allah, dalam pikiran Yesus, sedang datang, dan orang-orang harus berdoa memohon kedataang kerajaan itu, di atas bumi seperti di dalam surga. Dan Ia sudah ada di atas bumi, dan membuatnya terjadi di depan mata tiap-tiap manusia. Ketika Herodes mendengarnya, ia kebakaran jenggot; sebab ia merasa Raja orang Yahudi. Tatkala imam besar mendengarnya, mereka tahu adanya kuasa tandingan yang akan mengoyakkan basis pertahanan politik mereka, Bait Suci. Tak dipungkiri, bila Kaisar pun mendengarnya, Ia akan bereaksi sama. Apa yang tidak pernah dapat dipahami oleh para penguasa, bahkan orang-orang terdekat dari Yesus juga sulit untuk memahami maksud Yesus, yaitu tantangan sejenis apa yang Yesus coba lakonkan: kerajaan yang seperti apa yang Ia sedang bangun, dan raja yang bagaimana yang Ia pikirkan mengejawantah di dalam diri-Nya.

Tantangan yang paling puncak, yang diterjang oleh Yesus adalah dengan menanggung kematian di atas salib. Salib adalah hukuman sah dari Kaisar kepada raja-raja tandingan yang memberontak. Namun di mata Allah, kematian Yesus di kayu salib mempunyai nilai yang berbeda. Kalvari dan Paskah adalah dua sisi mata uang. Dua tradisi Perjanjian Lama, apokaliptik dan hikmat, tertangkup menjadi satu: Dunia yang baru telah terlahir—inilah klaim kerajaan-kerajaan dunia—oleh sebab senjata utamanya, yakni kematian itu sendiri, telah dilucuti dan dihancurleburkan. Tidakkah kita menangkap ada aspek politis di balik kematian dan kebangkitan Yesus? Memang, aspek spiritual dan etis pun ada, tetapi injil yang sejati berbicara tentang hidup yang utuh.

Kematian Yesus adalah kematian politis. Kebangkitan Yesus pun sama. Politik yang bertentangan dengan politik dunia! Politik yang menaklukkan politik dunia dengan senjata yang biasa dipakai untuk mengalahkah pihak lawan. Yesus melancarkan politik-Nya dengan masuk ke jantung yang terdalam senjata musuh! Dengan masuk ke “sarang lawan,” Yesus tahu betul apa artinya kematian! Dengan jalan itulah, ia mampu menaklukkan maut dan sengatnya. Dan melalui kebangkitan-Nya, ciptaan baru merekah, sebuah tata ciptaan yang dipimpin dan diperintah oleh Allah!

Apa yang dapat kita simpulkan dari agenda Yesus? Pikirkan kata-kata M. Macchovec, seorang Marxis tentang Yesus,

Jesus’ ‘doctrine’ . . . set the world on fire not because of the obvious superiority of his theoretical programme, but rather because he himself was at one with the programme, because he himself was the attraction. They saw in him a man who already belonged to this coming Kingdom of God; they saw what it meant to be ‘full of grace,’ what it meant to be not only a preacher but himself the product of his preaching, a child of the future age to the marrow of his bones (A Marxist Look at Jesus, 82-83, 90).