Monday, February 11, 2008

Kerygma, Credenda dan Agenda Yesus dari Nazaret (6)


BAGAIMANA DENGAN KITA?

Gereja sebagai umat Allah yang sejati, murid Kristus, dan ciptaan baru, secara ontologis sudah merupakan politik. Jika Kristus menyebut kita sebagai antisipator, atau prolepsis, dari Kerajaan Allah, maka sebenarnya kehadiran Gereja menggentarkan kuasa politik! Namun, bagaimana kenyataannya?

Kita berpolitik, tetapi kebanyakan memperjuangkan kepentingan sendiri. Gereja telah menjadi sangat reaktif bila kepentingannya terganggu. Gereja berkumpul dan menyatakan protes kepada pemerintah ketika ada gereja yang dibakar. Gereja diam saja ketika ketidakadilan menimpa orang lain yang bukan Kristen!

Masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi persekutuan gereja di Indonesia, ketika Mbak Tutut, sang putri penguasa Orde Baru, yang mengampu Menteri Sosial, mengumumkan agar rakyat menyumbangkan emas di tengah krisis moneter Indonesia, maka Ketumnya yang njawani itu pun tergopoh-gopoh sowan kepada Mbak Tutut; bahkan melakukan imbauan di stasiun televisi.

Tak kurang memalukan pula kiprah gereja, ketika belum lama berselang, seorang pemimpin gereja di ibu kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kristen Fundamental(is), meraih dua doktor di bidang pendidikan agama dan teologi dari Amerika Serikat, mendukung pencalonan seorang calon presiden wanita, yang pernah menjabat sebagai presiden, dengan tujuan supaya sang ibu memberikan keadilan kepada orang Kristen dan terutama golongan non-pribumi.

Banyak orang-orang muda Kristen, dan khususnya dari warga keturunan, yang mempunyai cita-cita tinggi, brilian, dan mempunyai cukup dana untuk menempuh studi di luar negeri kemudian enggan balik ke Indonesia. Mengapa? Tidak ada tempat, kurang fasilitas, tidak impas dengan tenaga, usaha dan dana yang dikeluarkan. Betapa kita perlu bercermin dengan arif dan merenung dengan malu, orang yang sangat terbukti cinta negeri yang porak poranda adalah Kwik Kian Gie, yang adalah seorang Buddhis.

Perjuangan Kekristenan—termasuk yang Injili, dan kata “injili” di Indonesia kian menyempit menjadi kelompok gereja Kristen dari latar belakang warga keturunan!—masih sangat parsial, fragmentaris, dan primordialis! Saya yakin hal ini bukan mempermuliakan Kristus yang tersalib dan yang bangkit sebagai buah sulung ciptaan baru, tetapi mempermalukan-Nya. Orang Kristen masih dicetak oleh pola dan patron dunia.

Mungkin inilah sebabnya, orang Kristen cenderung anti untuk menghayati Kristus sebagai seorang tokoh yang berpolitik, dan lebih nyaman untuk mengatakan bahwa Ia hanya memperjuangkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi kaum-Nya, sebab sesungguhnya orang Kristen enggan untuk menanggung konsekuensi sebagai orang-orang yang mengikut Dia. Jika Kristus adalah tokoh politik, mau tidak mau, gereja harus berpolitik, sebab gereja sebagai pengikut-Nya adalah sebuah entitas politis: politik shalom, politik Kerajaan Allah, politik konfrontatif dengan kebijakan pemerintah, politik NO! kepada kuasa dunia. Pertanyaan untuk gereja adalah: Siapa yang kita ikuti, dan siapa yang lebih kita takuti? Hanya ada dua pilihan: Kristus atau Kaisar!

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment