Tuesday, May 31, 2011

TIADA TANDING, TIADA BANDING! (Kolose 1:15-20)

Pengantar


Bagi orang Kristen, Allah dikenal bukan saja sebagai Pencipta, tetapi juga Pembebas.  Cara pembebasan itu ialah melalui karya penebusan yang dikerjakan oleh Anak-Nya yang tunggal.  Penebusan itu berisikan penebusan dosa (1:13-14).  Sebagai bentuk syukur atas karya penebusan Allah tersebut, meluaplah syukur rasul Paulus dalam bentuk puji-pujian yang menunjukkan betapa agung dan utamanya Kristus di atas segala sesuatu.  Pasal 1:15-20 merupakan doksologi (pujian) Paulus rentang keagungan dan kemuliaan Yesus Kristus.  Ia termulia atas seluruh ciptaan (ay. 15-17) dan di dalam penebusan (18-19). 

Paulus menunjukkan adanya sesuatu yang hilang di dalam ajaran yang menyelusup ke dalam jemaat Kolose: pandangan yang tepat akan siapa Kristus.  Maka, dengan cara pandang yang terarah ini, jemaat diberi peranti untuk menangkal setiap bentuk penyelewengan.  Di sini, rasul mengajak jemaat masuk ke dalam suasana penyembahan terhadap Pribadi Kristus, dan bukan sekadar dimensi doktrinal.  Keutamaan Kristus ini secara langsung melucuti kepongahan kuasa-kuasa lain yang ingin berkuasa.

Penjelasan Teks

Kalau kita perhatikan, ada dua bait di dalam nyanyian pujian di 1:15-20

Bait pertama—Kristus, Allah, dan Ciptaan, 1:15-16
1:15                        Kristus, gambar Allah
1:16                        Kristus, Agen Penciptaan dan Tujuan Segala Sesuatu
Bridge—Kristus, Figur Sentral, 1:17,18a
                1:17a                     Kristus, Yang Terlebih Dahulu Ada
                1:17b                     Kristus, Penopang Segala Sesuatu
                1:18a                     Kristus, Kepala Gereja
Bait Kedua—Kristus, Allah, dan Ciptaan Baru, 1:18b-20
                1:18b                     Kristus, Dasar Gereja
                1:19                        Kristus, Kepenuhan Allah
                1:20                        Kristus, Sarana Pendamaian Segala Sesuatu

Pertama, Kristus, Allah dan Ciptaan (1:15-16).  Kristus disebut sebagai gambar Allah (eikon Theou) yang berarti representasi tepat atau perwujudan Allah sendiri.  Allah adalah roh, dan Ia tidak akan pernah kelihaatan (1Tim. 6:16).  Anak Allah adalah pengungkapan yang kelihatan.  Ia tidak hanya mencerminkan Allah, tetapi, sebagai Allah sendiri, Ia menyatakan Allah kepada kita (Yoh. 1:18; 14:9; Ibr. 1:1-2).  Kemuliaan Kristus mengekspresikan kemuliaan ilahi-Nya (2Kor. 4:4).  Ia bukanlah salinan, tetapi pengejawantahan hakikat Allah sendiri.  Kita memperoleh “pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2Kor. 4:6).  Kristus adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr. 1:3). 

Sebagai yang sulung dari segala ciptaan, Kristus memiliki keutamaan dan kuasa seperti seorang anak sulung di keluarga kerajaan (Ibr. 1:2).  Ia datang dari surga, bukan dari debu tanah (1Kor. 15:47), dan Dialah Tuhan segala sesuatu (Rm. 9:5; 10:12; Why. 1:5; 17:14).  Kristus benar-benar suci (Ibr. 7:26-28; 1Ptr. 1:19; 2:22; 1Yoh. 3:5), dan Ia memiliki kuasa untuk menghakimi dunia (Rm. 2:16; 2Kor. 5:10; 2Tim. 4:1).  Karena itu, Kristus lebih dari segala sesuatu di atas ciptaan, termasuk dunia roh.  Meskipun kata “sulung” mengandung arti anak pertama yang dilahirkan manusia, 1:16 segera menjelaskan kebenaran siapa Yesus, bahwa Ia adalah Pencipta.  Kristus, tidak sama dengan ciptaan; Ia sendiri adalah Khalik alam semesta.

Sebagai Agen dan Tujuan Segala Sesuatu, di sini Paulus memakai kata sambung di dalam, melalui dan untuk Kristus.  Jadi, Paulus hendak membungkam pernyataan bahwa Kristus bukan setara dengan Allah.  Kata sambung “untuk” menunjukkan bahwa tujuan dari segala ciptaan yakni untuk “memuliakan Kristus.”  (Bdk. Yoh. 1:3; Ibr. 1:2-3).  Sebagaimana seluruh kepenuhan Allah berada di dalam Dia (1:19), maka di dalam Dia pula seluruh kuasa penciptaan menyatakan Dia adalah Tuhan yang terutama.

Oleh sebab para pengajar sesat percaya bahwa dunia fisik ini jahat, mereka berpikir bahwa Allah yang adalah roh tak mungkin menciptakannya.  Tetapi Paulus menerangkan bahwa segala singgasana, maupun kerajaan, pemerintah, maupun penguasa, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, tunduk di bawah kuasa Kristus sendiri.  Pada zaman Paulus diyakini bahwa umat manusia sedang menghadapi kuasa yang bekerja untuk menjatuhkannya.  Tetapi segala macam kuasa ini tunduk tak berkutik di bawah Kristus.  Kristus, tiada tanding dan tiada banding.  Karena Kristus adalah Pencipta semesta, maka segala kuasa baik yang tak kelihatan maupun yang kelihatan berada di bawah kekuasaan mutlak Kristus.

Maka, tidak benar pula jika dikatakan bahwa di samping Kristus, ada perantara lain seperti malaikat yang patut dipuja.  Semua kuasa malaikat dan kuasa langit dan bumi takluk di bawah kuasa Kristus.  Dialah Tuhan segala sesuatu.

Kedua, Kristus adalah Figur Sentral (1:17, 18a).  Bahwa Kristus yang lebih dahulu ada.  Kristus sudah ada baik secara waktu maupun posisi.  Ia adalah Allah yang agung.  Kristus Penopang segala sesuatu.  Ia bukan hanya Pencipta; Ia juga Penjaga segala hal.  Oleh Dia, segala sesuatu ada, dan oleh Dia segala sesuatu terus menjadi.  Di dalam Dia, segala sesuatu terjalin, terpelihara dan terjaga dari kekacauan.  Sebab Kristus adalah Penopang kehidupan, tidak ada satu pun di dalam dunia yang dapat bebas dari Dia.  “Segala sesuatu ada di dalam Dia” dapat dipahami “segala sesuatu terjalin satu sama lain” (sunestaken), yaitu dalam satu keterikatan yang koheren dan logis, tertopang dan tegak, terjaga dari segala keterpurukan dan kekacauan.  Di dalam Dia saja dan oleh sabda-Nya, kita menjumpai prinsip pemersatu kehidupan.  Umat di Kolose, dan semua kaum beriman, adalah hamba-hamba-Nya yang tiap hari harus mempercayai penjagaan dan pemeliharaan-Nya.

Serta, Kristus adalah Kepala Gereja.   Gereja ada oleh sebab Kristus adalah awal dan sumber keberadaan-Nya.  Kristus adalah Sang Kepala.  Orang-orang Kristen harus bekerja bersama-sama di bawah perintah dan otoritas Yesus Kristus.

Gereja terdiri dari banyak tipe manusia dari segala jenis latar belakang, dengan pelbagai karunia dan kemampuan.  Kendati berbeda-beda, semua orang percaya memiliki prinsip pemersatu—iman di dalam Kristus.  Di dalam kebenaran hakiki ini, semua orang percaya bersepakat.  Semua orang percaya tidak kehilangan identitasnya, tetapi semuanya bersatu di dalam Kristus, kepala tubuh.  Tiap anggotanya bekerja untuk menuntaskan pekerjaan Kristus di atas dunia (Ef. 4:15).

Ketiga, Allah, Kristus, dan Ciptaan Baru (1:18b-20).  Kristus disebut sebagai dasar gereja, sebab Dialah “yang sulung . . . yang pertama bangkit dari antara orang mati.”  Dialah yang pertama mati serta bangkit.  Orang yang percaya pun akan mengalami kebangkitan (1Kor. 15:20; 1Tes. 4:14).  Tetapi Ia tetap menduduki tempat yang terutama. 

Kebangkitan Kristus adalah batu penjuru keyakinan Gereja—alasan keberadaan gereja.  Hanya Kekristenan yang memiliki Allah yang menjadi manusia, wafat dengan cara hina bagi umat-Nya, dan dibangkitkan kembali dalam kuasa dan kemuliaan untuk memerintah ciptaan lama dan ciptaan baru (yang dimulai oleh gereja) selama-lamanya.  Kebangkitan meyakinkan kaum beriman bahwa Kristus bukan legenda; Ia hidup dan memerintah kerajaan-Nya.

Kristus juga Kepenuhan Allah.  Allah berkenan agar “kepenuhan-Nya” (“totalitas” atau “kesempurnaan”) tinggal (artinya “hidup secara permanen”) di dalam Kristus.  Paulus ingin memberikan pemahaman kepada orang Kolose bahwa Kristus adalah tempat bersemayamnya Allah; karena itu, kristus adalah ilahi, berdaulat dan agung.  Kristus secara sempurna menampilkan segala atribut (sifat) dan aktivitas Allah: Roh, Firman, hikmat, kemuliaan.

Dengan pernyataan ini, Paulus menolak alam pikir Yunani bahwa Yesus tidak mungkin bisa menjadi manusia sekaligus Allah sejati.  Kristus benar-benar manusia; Ia pun benar-benar Allah.  Rasul pun menolak ajaran sesat bahwa segala kuasa malaikat mengalir dari Allah, memenuhi ruang antara surga dan bumi, sehingga menjadi perantara Allah dan manusia.  Ketika kita memiliki Kristus, kita memiliki segala sesuatu yang ada pada Allah, dalam rupa manusia.  Segala ajaran yang mengecilkan salah satu aspek—kemanusiaan dan keilahian Kristus—adalah ajaran yang salah.  Di dalam Dia, kita menemukan segala hal yang kita butuhkan.

Akhirnya, Kristus adalah Sarana Pendamaian Segala Sesuatu.  Pendamaian berarti meneguhkan kembali hubungan.  Perseteruan menjadi persekutuan.  Permusuhan menjadi persahabatan.  Oleh sebab Kristus adalah Pencipta dan Penopang segala sesuatu, maka wafat dan salib-Nya menyediakan pendamaian bagi segala sesuatu.  Kepenuhan Allah tinggal di dalam Kristus dan kepenuhan Allah ini mendamaikan segala sesuatu kepada Diri-Nya sendiri.  Pendamaian ini dipenuhi di dalam Dia (Kristus) dan “oleh darah salib Kristus.”

“Baik yang di bumi maupun yang di surga” berarti tidak ada satu pun di alam semesta ini yang terhindar dari jangkauan Kristus.  Tidak ada wilayah netral; segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya.  Tidak ada kuasa kegelapan yang dapat merendahkan karya-Nya bagi gereja-Nya.  Iblis dan kuasa jahat tunduk kepada-Nya.  Mereka tidak akan diperdamaikan dengan Allah.  Sebaliknya, takdir akhir mereka jelas (lihat Why. 20:7-10). 

Pendamaian dengan cara demikian ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh kuasa-kuasa ataupun malaikat-malaikat.  Mereka bukanlah Pencipta dan Penopang, maka tidak mungkin bagi mereka untuk mengerjakan pendamaian tersebut.  Kuasa jahat yang menyamar sebagai malaikat terang malahan dilucuti kedoknya, dibongkar kepalsuannya dan menjadi tontonan kekalahan.  Ia ditaklukkan di bawah kuasa kemenangan Kristus (2:15).


Penerapan

1.       Siapakah Yesus Kristus?  Kolose 1:15-20 menerangkan bagi kita siapa Dia:
a.       Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (1:15)
b.      Ia adalah yang sulung dari segala ciptaan (1:15)
c.       Oleh Dia segala sesuatu diciptakan (1:16)
d.      Ia adalah Kepala tubuh, gereja (1:18)
e.      Ia adalah yang pertama dari semua yang dibangkitkan (1:18)
f.        Kepenuhan Allah tinggal di dalam-Nya (1:19)
g.       Melalui Kristus, Allah berkenan mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (1:20)

2.       Kematian Kristus membuka jalan bagi kita untuk datang kepada Allah.  Salib membuka jalan yang terhalang dosa sehingga kita tidak mendapatkan persekutuan dengan Allah.  Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang secara otomatis diselamatkan (seperti paham universalisme—Yesus mati bagi semua, maka semua selamat).  Hanya yang percaya dan datang kepada Kristus akan diselamatkan.  Kita dapat menerima keselamatan itu tatkala kita datang kepada Kristus yang telah wafat di tempat kita.  Allah berkenan melakukan ini melalui Putra-Nya agar kita mendapatkan persekutuan yang kekal dengan Dia.  Satu-satunya jalan kepada pendamaian adalah melalui salib Kristus.


3.       Apa implikasi bagi kehidupan kita ketika kita mengenal siapa Kristus?
a.       Kita harus menyembah Dia dengan pujian dan ucapan syukur,
b.      Kita harus belajar mengenal Dia lebih sungguh, sebab Dia adalah Allah,
c.       Kita harus menaati Dia, sebab Dia adalah otoritas yang ultimat, dan tidak boleh menduakan kasih Kristus dengan tawaran-tawaran yang lain,
d.      Kita harus mengasihi Dia atas segala karya-Nya bagi kita.

Monday, May 30, 2011

PENOLONG YANG LAIN (YOHANES 14:15-17)


Bagian yang kita baca mengenai “Penolong yang Lain” ini merupakan bagian dari khotbah perpisahan Yesus Kristus dengan murid-murid-Nya (pasal 14-17). Kristus sebentar lagi tidak ada bersama-sama mereka (13:33, 36). Kristus berbicara bahwa sekarang para murid tidak dapat mengikuti-Nya, tetapi kelak mereka akan ikut Dia. Namun, di interval tempo di antara sekarang dan kelak, masa kini dan masa yang akan datang itu, bagaimana keadaan para murid?

Kristus meyakinkan mereka, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (14:18). Kristus tetap bersama mereka. Kristus akan hadir di antara mereka. Dengan cara bagaimana? Tentu, kelak ketika masa pemulihan akhir, Dia akan datang kembali. Dengan begitu, gereja berseru, “Maranatha!”—datanglah, ya Tuhan Yesus! Akan tetapi, kembalinya Kristus juga dengan cara lain, yaitu melalui Roh Kudus. Siapa Roh Kudus itu?

Pertama, Roh Kudus disebut sebagai Penolong yang lain (ay. 16). Kata Yunani parakletos berarti seseorang yang dipanggil di samping. Dalam konteks legal-peradilan, parakletos bertugas sebagai advokat. Tapi kata ini pun lebih luas artinya, meliputi seseorang yang berada di samping orang yang berdukacita. Dalam kondisi paguyuban Yohanes yang tengah menghadapi cercaan dan aniaya dunia, maka mereka mendapatkan penghiburan dengan hadirnya advokat, yaitu parakletos di samping mereka. Mereka tidak sendirian. Mereka bukan yatim piatu.

Kedua, Roh Kudus disebut sebagai Roh Kebenaran (ay. 17). Berarti Roh ini adalah sumber, otoritas, dan standar kebenaran. Dialah yang mengembuskan kebenaran Allah, dan oleh Dialah firman Allah dituliskan bagi kita. Dialah otoritas kebenaran, bahwa segala kebenaran memiliki kuasa untuk mengubah dan memimpin kehidupan orang percaya oleh karena Roh Kudus. Dialah standar kebenaran, bahwa segala yang Ia katakan pasti tidak bertolak belakang satu dengan yang lain.

Ketiga, Roh Kudus disebut sebagai Kuasa Allah kontra dunia (ay. 17b). Roh Kudus adalah Pribadi Allah yang penuh kuasa (bukan seperti Saksi Yehuwa yang percaya sekadar “daya” ilahi). Kuasa dari Allah adalah kuasa yang tidak sama dengan dunia. Bahkan menentang dunia. Menarik untuk diamati, bahwa di tengah konteks paguyuban Yohanes yang teraniaya, yang tidak diterima dunia, yang ditentang kehadirannya oleh dunia, ternyata dunia pun “tidak dapat menerima Dia.”

Dengan kata lain, dunia tidak sekadar menentang dan melawan orang Kristen. Dunia tengah menentang Allah Roh Kudus. Sama seperti mereka menentang Anak Allah sampai-sampai Dia dibunuh dengan demikian terhina, maka dunia pun menentang Roh Kudus. Walhasil, kalau dunia menentang kehadiran Gereja, itu wajar!

Namun perhatikan sebuah rahasia yang diungkap di sini: Betapa kita memiliki Allah yang berbela-rasa. Ia adalah Allah yang mengerti apa yang dirasakan dan dialami umat-Nya. Roh Kudus “menyertai kamu selama-lamanya” (ay. 16). Allah yang bersekutu dengan umat-Nya dalam sebuah persekutuan rohani (Latin, unio mystica) yang begitu indah, yang tidak dipahami oleh dunia dan tidak dapat direbut oleh dunia (bdk. ay. 20).

TANPA CURRICULUM VITAE (Filipi 3:8b-11) (2)

Kedua, cara hidup: dikuduskan agar serupa Kristus. Pemberian yang sedemikian besar melahirkan kerinduan besar di dalam diri Paulus. Meski dia sudah mengikut Kristus 26 tahun, dan konsekuensi mengikut Kristus itu adalah penjara, kesesakan, ketidaknyamanan, bahkan ancaman di setiap waktu. Tetapi luar biasa yang masih dirindukan oleh sang rasul! Ia merindukan untuk:

· Mengenal Dia [Kristus]
· Kuasa kebangkitan-Nya
· Persekutuan di dalam penderitaan-Nya
· Serupa dengan kematian-Nya

Paulus ingin mengenal Yesus dalam dua peristiwa yang menandai puncak karya-Nya: kematian dan kebangkitan-Nya. Kerinduan Paulus adalah untuk bersekutu dan serupa dengan titik terendah dalam kehidupan Kristus! Dengan begitu ia akan sangat menghargai kuasa kebangkitan Kristus. Dalam hidupnya, rasul Paulus merindukan untuk mengenal rahasia besar ini. Baginya, salib dan kubur yang kosong adalah tema sentral dalam hidupnya. Kendati salib adalah batu sandungan bagi orang Yahudi, dan cemoohan bagi orang Yunani, Paulus tidak mau dengan berita injil tentang Kristus yang tersalib dan yang bangkit.

Ada dua aspek kematian yang dimaksud di sini. (1) Kristus mati karena dosa kaum pilihan Allah. Paulus pun mati untuk dosa. Ketika seseorang sudah mati untuk dosa, maka dosa pun mati di dalam kematiannya. Maka, dosa tak lagi ada dalam hidupnya. Dosa adalah musuh yang patut dibenci. Hidup di dalam pengudusan berarti berjalan menjauhi dosa.

(2) Kematian berarti keserupaan dengan sengsara sang Mesias. Tidak ada kebangkitan tanpa kematian. Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan. Orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan membawa pulang berkas-berkasnya dengan sorak sorai. Betapa ini merupakan rahasia besar iman Kristen! Iman Kristen tidak takut akan kematian. Sama seperti Kristus yang memeluk salib, maka orang Kristen pun tahu bahwa kematian bukan merupakan musuh. Kuasa kematian telah dihancurkan. Sengat maut telah dilemahkan. Kematian adalah teman. Sebab di balik kematian, setiap orang akan tinggal dengan Kristus di dalam Firdaus.

Namun demikian, kematian bukan akhir dari kisah hidup manusia yang mengenal Kristus. Kristus dibangkitkan pada hari yang ketiga. Semua Injil menyaksikan bahwa Yesus yang tersalib itu tidak selama-lamanya tinggal di dalam kubur. Hanya Yesuslah satu-satunya pemimpin iman yang kuburnya kosong. Inilah yang menjadi sebab kuasa kematian itu telah dikalahkan selama-lamanya. Inilah yang membuat dan mendorong setiap pengikut Kristus melangkah maju dengan sukacita.

Maka, Paulus, rasul yang terpenjara itu besaksi, “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan!” (Flp. 1:21) Mengapa untung? Karena bersama Kristus. Tetapi hidup pun bukan lagi untuk diri sendiri, tetapi Kristus. Perhatikan, Paulus berkata bahwa hidupnya adalah Kristus! Itu berarti, hidupnya oleh sebab Kristus, bersama Kristus dan bagi Kristus.

Sekalipun berat dan susah kehidupan, tidak ada alasan bagi rasul untuk mundur. Hidup itu berarti “bekerja memberi buah” (1:22). Curriculum vitae Paulus kini adalah berjuang dan bergulat melawan dosa, serta bekerja segiat-giatnya bagi Kristus. Itulah satu-satunya hal yang ia dapat banggakan. Di dalam penderitaan, seorang yang hidupnya ingin serupa dengan Kristus akan paham, bahwa ia makin dekat dengan Kristus!

***

Ketiga, pengharapan hidup: dimuliakan dalam kebangkitan. Kematian memang indah, karena kematian itu berarti bersama Kristus. Akan tetapi, Firdaus bukan akhir dari kisah kehidupan orang yang di dalam Kristus. Akhir dari segala kehidupan adalah pemuliaan yang abadi, yaitu ketika orang percaya dibangkitkan dan tinggal dalam ciptaan yang baru.

Inilah ringkasnya kehidupan orang percaya: masa lalu menerima anugerah, masa kini hidup bersama Kristus, dan masa yang akan datang menerima kebangkitan tubuh. Perspektif masa depan inilah yang menciptakan sense of certainty dalam hidup orang percaya. Ada kepastian. Ada jaminan yang akan diterima.

Perbedaan dengan orang-orang yang di luar Kristus adalah perspektif masa depan ini. Di luar Kristus, kematian bukan saja menakutkan, tetapi kelak di ujung sejarah, yang ada hanyalah kesuraman. Sebaliknya, di dalam Kristus, sukacita kekal itu menjadi bagian yang sungguh nyata. Di dalam Dia, ada pengharapan.

Dalam setiap kali merayakan Perjamuan Tuhan, atau oleh sebagian Kristen disebut sebagai Ekaristi, ada bagian yang disebut sebagai prolepsis, yaitu antisipasi akan masa yang akan datang. Pengharapan yang belum menjadi bagian kita, telah ditarik ke masa sekarang. Yang masih jauh itu, dihadirkan sekarang. Apa itu? Kita diundang semeja dengan Tuhan yang bangkit, sama seperti dua murid Yesus yang pergi berjalan menuju ke Emaus, yang dijumpai oleh Tuhan, dan ketika Tuhan memecahkan roti, barulah mereka sadar bahwa yang ada di tengah-tengah mereka itu adalah Tuhan yang bangkit.

Ketika jemaat Kristen diundang untuk semeja dalam Perjamuan Tuhan, mereka tengah mengecap karunia masa depan itu, dan pengharapan akan kebangkitan itu menjadi milik mereka yang pasti. Inilah yang diberikan oleh Tuhan yang hidup! Inilah yang akan dinikmati oleh kaum percaya, kebangkitan dan kehidupan baru di dalam puncak kepenuhan ciptaan baru.

Perspektif masa depan seperti ini membuat segala curriculum vitae kita tiada berharga. Curriculum vitae berbicara mengenai hasil masa lampau, dan segala kehebatan di masa lalu. Curriculum vitae tidak menjanjikan apa-apa untuk masa depan.

***

Demikianlah hidup orang percaya—dibenarkan, dikuduskan, dimuliakan. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Kebanggaan, kematian dan kebangkitan. Bukankah ini yang kita temukan dalam bagian Carmen Christi, nyanyian tentang Kristus di 2:6-11, Kristus yang mempunyai posisi terhormat karena sejajar dengan Bapa, Kristus yang mati dalam kepatuhan, dan Kristus yang dimuliakan di atas segala sesuatu.

Curriculum vitae kita, jika istilah ini yang masih kita pakai, adalah hidup dalam persekutuan yang intim dengan Kristus. Inilah rahasia kehidupan kita. Akankah kita gadaikan?

Terpujilah Allah!

Sunday, May 29, 2011

TANPA CURRICULUM VITAE (Filipi 3:8b-11) (1)

(8b) Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu
dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,
(9) dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri
karena menaati hukum Taurat, melainkan dengan
kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus,
yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.
(10) Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya
dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,
di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,
(11) supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.

***

Anda hendak melanjutkan studi untuk strata yang lebih tinggi? Biasanya, seorang yang berprospek menjadi mahasiswa program pascasarjana akan diminta menulis riwayat kehidupan. Makin panjang curriculum vitae seseorang, guru besar universitas atau sekolah tinggi tersebut akan mempertimbangkan secara lebih serius. Kalau ada seorang pembicara seminar atau sarasehan (ini bahasa Indonesia untuk “simposium” akademis), riwayat studi dan karya itu menjadi pokok perkenalan yang sangat penting. Mempunyai curriculum vitae atau daftar riwayat hidup yang panjang itu menguntungkan.

Adalah aneh jika seseorang membuang masa depan yang cerah. Dan lebih aneh apabila investasi masa depan yang menjanjikan diabaikan begitu saja. Kita tentu juga bingung dengan Paulus. Ia mempunyai prospek untuk menjadi orang terkenal. Curriculum vitae-nya panjang dan membanggakan. Lihatlah dari ayat 4b-6—ia dapat membanggakan hal-hal yang lahiriah: disunat pada hari ke delapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, Farisi, penganiaya jemaat, tidak bercacat dalam hukum Taurat. Tetapi tak kurang empat kali ia mengulang frase yang mirip:

· Yang dahulu keuntungan, sekarang dianggap rugi (ay. 7),
· Yang dahulu rugi, lebih mulia (ay. 8a),
· Semuanya telah ia lepaskan dan anggap sampah (ay. 8b),
· Apa yang di belakang dilupakan, dan mengarahkan kepada yang di depan (ay. 13).

Hal ini mengingatkan kita kepada Yesus di Yohanes 6. Sehabis mendemonstrasikan kuasa ajaib yang besar, masa menghendaki dia menjadi raja, tetapi dia malahan mengotbahkan berita yang berat di telinga pendengar dan akhirnya para pengagum itu pun undur.

Paulus dan Yesus adalah dua orang dengan marketing yang buruk. Ya jelas, mereka tidak pernah mengikuti pelatihan tentang strategi pemasarannya Tung Desem Waringin, atau pelatihan motivasi Mario Teguh!

Sebaliknya, Paulus sedang di dalam penjara. Ia karena pelayanan pemberitaan Injil. Perhatikan, ia telah menjadi percaya selama 26 tahun. Berarti, ia telah melayani lebih dari 20 tahun. Dapat dibayangkan, masa bulan madu itu telah lewat. Ia telah menjalani hubungan yang telah melewati usia “pernikahan perak.” Bayangkan berapa banyak keluarga yang telah kehilangan api cinta dalam kehidupan suami-istri setelah melewati hidup pernikahan perak? Masih berapa banyak suami-istri yang masih mengatakan “I love you” setelah dua puluh tahun hidup bersama?

Paulus, ternyata, tidak demikian. Ia melepaskan, membuang, melupakan yang dahulu ia cintai, demi cintanya kepada Yesus Kristus. Tidaklah mengherankan jika janji komitmen ini dibuat oleh seseorang yang jatuh cinta oleh sebab pandangan pertama, atau tengah dilanda asmara yang tengah berbunga-bunga. Tetapi, ini sudah 26 tahun!

***

Di bagian inilah alasan Paulus! Paulus menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga. Yaitu memperoleh Kristus! Mengapa? Pertama, alasan hidup: dibenarkan oleh anugerah Allah. Paulus berbicara mengenai “berada di dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena menaati hukum Taurat.” Sang rasul secara singkat berbicara mengenai “pembenaran melalui iman.” Paulus berbicara mengenai status barunya di dalam Kristus—bagaimana hidupnya kini, jika dibandingkan dengan yang dulu. Bersekutu dengan Kristus itu adalah kerinduannya. Tetapi, persekutuan dengan Kristus itu tidak tidak mungkin karena kebenarannya sendiri. “Kebenaranku” secara sederhana dapat pahami sebagai apa-apa yang dapat diketahui orang tetang “aku”—atau hal-hal lahiriah, atau riwayat hidup yang membanggakan.

Di sini, Paulus berbicara “kebenaran karena menaati hukum Taurat.” Ia berbicara mengenai tanda-tanda yang dimiliki sebagai seorang Yahudi. Bagi orang Yahudi, tanda-tanda inilah yang memisahkan mereka dari bangsa-bangsa kafir: sunat, hukum makanan haram-halal, peraturan Sabat. Orang Yahudi percaya, dengan mereka menaati tanda-tanda ini, mereka menjaga kemurnian sebagai umat Allah, sehingga siap menantikan hadirnya Kerajaan Allah. Namun, kebenaran ini membuat orang Yahudi pun menjadi tinggi hati. Mereka memisahkan diri dari kebanyakan bangsa lain. Mereka menjadi bangsa yang eksklusif.

Sekarang, Paulus menyadari bahwa ia berada di dalam Mesias Yesus, bukan karena kebenaran yang seperti ini. Sekalipun ada orang-orang yang mendorong bahwa kalau ada orang yang mau mengikuti Yesus, tetapi bukan ini yang dimaksudkan oleh rasul Paulus. Bukan karena kebenaran menaati Taurat. Kebenaran itu berasal dari luar dari dirinya. Kebenaran yang tidak dapat dibanggakan dengan usaha manusia. Kebenaran yang tidak mungkin dapat dibeli.

Paulus berbicara mengenai kebenaran karena “kepercayaan kepada Kristus.” Melalui iman. Singkatnya, seseorang berada di dalam Kristus karena iman kepada Mesias Yesus. Seseorang menanggalkan cara lama yang dikuasai kedagingan dan kemanusiaan lama, lalu beralih untuk menyandarkan diri kepada Allah melalui sang Mesias. Kemurnian iman itu bukan oleh karena tanda-tanda lahiriah, namun semata-mata oleh sebab kepercayaan kepada sang Mesias. Cara lama ditanggalkan. Cara baru dikenakan.

Di tempat lain, Paulus katakan bahwa iman itu adalah anugerah (Ef. 2:8-9), “diselamatkan melalui iman . . . itu pemberian Allah.” Kepercayaan atau cara baru itu datang bukan dari upaya manusia. Hanya karena anugerah. Benarlah jika kemudian Paulus katakan, “kebenaran itu Allah anugerahkan.”

Hidup Kristen dicirikan oleh anugerah saja. Apakah yang dapat dibanggakan dari curriculum vitae? Hidup Paulus di satu sisi harus mulai dari titik nol. He became nothing. But he found everything. Apa yang masih dicari ketika yang segala sesuatu itu telah didapati? Inilah alasan mengapa Paulus tidak ragu membuang segala sesuatu oleh karena Kristus!

Friday, May 27, 2011

CANGKRUK SANTAI


Beberapa bulan lalu, di pertemuan hamba-hamba Tuhan Persekutuan GKMI Wilayah 3, diangkat tema mengenai Islam Radikal dan pergerakannya sampai saat ini. Pembicaranya fasih, menarik dan memukau para peserta yang hadir.

Satu dari sekian ketertarikanku ialah pernyataan bahwa para pengikut Islam sekarang ini hanya bergantung kepada apa yang dikatakan kyai atau ustads. Jika Ustads mengatakan bahwa Al Quran memerintahkan A, maka para pendengarnya langsung terbius dan sangat mudah digerakkan. Intinya, umat hanya menurut saja apa yang dikatakan pemimpin. Ayat mana yang dimaksud, tidak ada yang tahu. Perkataan ustads, itulah kebenaran.

Aku merenung, betapa mudahnya mengatakan klaim kebenaran itu. Kebenaran dalam pelukan agama jelas lebih berkuasa. Kebenaran yang diucapkan pemimpin yang dikagumi akan segera dituruti. Kebenaran seperti ini sangat mudah menggerakkan masa.

Aku pikir, orang Kristen pun tak kurang terpeleset ke kubangan yang sama. Apa kata pendeta, itulah kebenaran. Jika pendeta berkata, “Tuhan berfirman . . .” maka dari mana dan tepatnya seperti apa perkataan Tuhan itu tak jadi masalah. Perkataan pendeta adalah perkataan Tuhan.

Sang pembicara menutup dengan imbauan yang bagus. Para pendeta harus mengajar jemaat membaca Alkitab. Artinya, dapat memahami Alkitab secara mandiri dengan metode yang sederhana. Dengan demikian, firman menjadi bagian hidup jemaat. Jemaat pun harus mengajukan banyak pertanyaan yang sulit kepada pendeta, agar pendeta dipaksa untuk belajar dan menggali firman.

Sejauh ini aku memiliki keyakinan begini. Setiap orang yang suka menggali Alkitab akan menjadi orang yang teguh dan berpendirian, namun tidak akan dogmatis apalagi membabi buta. Ia akan kritis. Maka, menguasai hermeneutik itu penting untuk kehidupan berjemaat.

Dan memang, betapa asyiknya menggali kitab suci!

Wednesday, May 25, 2011

MEMAKSIMALKAN POTENSI KEPEMIMPINAN

ARTI KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan berkait erat dengan kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan. Seorang pemimpin mampu memberikan daya pengaruh kepada orang lain. Mungkin ia bukan seseorang yang ditempatkan sebagai ketua. Tetapi, ia mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaruh kepada orang lain. Bisa karena ia memiliki pesona, kharisma, ide, ataupun uang. Ia telah mengambil peran kepemimpinan.

Seorang disebut pemimpin juga jika ia mampu menggerakkan orang di sekitarnya untuk mengikuti ide atau gagasannya. Orang-orang disekitarnya menangkap dan menyetujui ide yang keluar darinya dan kemudian bergerak sesuai gagasan itu. Jika ia ditempatkan di posisi pemimpin, daya menggerakkan masa ini biasanya didapatkan dari jabatan itu. Dan ide serta gagasan biasanya keluar secara struktural; orang lain menerima ide dan gagasan itu sedikit banyak oleh sebab “terpaksa.” Jika tidak ikut amanatnya, ada konsekuensi pekerjaan. Alangkah baik jika sang pemimpin pun mempunyai kapasitas mobilisator, sehingga orang lain akan bergerak dengan suka rela, dan bukan hanya karena jabatan.

Dengan kata lain, ada orang yang tidak berada dalam jalur struktural, tetapi mempunyai daya menggerakkan masa. Kepemimpinan yang memiliki anggota sukarela, seperti misalnya gereja, mempunyai bentuk kepemimpinan yang tidak didasarkan pada jabatan struktural. Kata kuncinya adalah pelayanan dan sukarela. Semua orang yang terlibat di dalamnya merupakan imam-imam yang sama-sama melayani raja (1Ptr. 2:9). Maka, kemampuan untuk menggerakkan masa ini harus dimiliki oleh kepemimpinan tipe ini.

Jadi, ketika kita berbicara mengenai memaksimalkan potensi kepemimpinan, maka kita harus ingat selalu bahwa potensi itu untuk mempengaruhi dan menggerakkan masa. Sekarang kita bertanya, bagaimana kita tahu bahwa kita mempunyai potensi persuasi (daya pengaruh) dan mobilisasi (daya menggerakkan) itu?

DIAKUI SEBAGAI PEMIMPIN

Pengakuan sebagai pemimpin (daya mempengaruhi dan menggerakkan) didapatkan karena dua faktor berikut ini. Pertama, kepercayaan. Seorang pemimpin yang dipercaya lebih mudah meyakinkan orang dan menggerakkan orang lain. Maka, tugas pemimpin pertama-tama adalah membangun kepercayaan. Relasi dan komunikasi adalah kuncinya. Relasi yang baik akan menentukan komunikasi yang baik. Biasanya, seorang ibu akan membela anaknya yang sedang bertengkar dengan anak lain. Bagaimana pun juga, ia adalah anak si ibu; di antara mereka terjalin relasi erat, sementara anak lain itu tidak.

Seorang pemimpin pun dituntut untuk berelasi seperti ini dengan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bukan tukang perintah, tetapi pengayom. Kepercayaan dapat terbangun jika orang yang dipimpin merasa bahwa pemimpin mereka menjadi orang yang memberikan rasa aman. Sesungguhnya, kepercayaan orang terbangun ketika pemimpin menjadi orang yang mudah didekati tapi tidak mudah mengompromikan prinsip, fleksibel tetapi bukan seenak sendiri, supel tetapi tidak kehilangan kendali. Ia tegas tetapi bukan diktator. Ia ramah tetapi bukan pengekor.

Yesus Kristus adalah tipe pemimpin yang membangun kepercayaan itu. Ia memilih para murid-Nya sendiri. Ia bergaul dalam hidup sehari-hari, dan berani menunjukkan kehidupan apa adanya, luar dan dalam. Ia berbagi apa yang dimiliki-Nya dengan para kaum terdekat-Nya. Ia melindungi mereka dari tudingan masa dan cemoohan kaum Farisi dan ahli Taurat. Sebab itu, Yesus dipandang sebagai seorang guru yang penuh kuasa, seusai menyabdakan Khotbah di Bukit (Mat. 7:28-29). Jelas, orang paham bahwa Yesus yang membeberkan pokok-pokok ajaran itu telah melakukan ajaran-Nya dalam kehidupan-Nya. Semua murid hormat kepada Sang Guru karena Sang Guru meneladankan hidup yang terbuka kepada mereka semua.

Kedua, kompetensi. Pengakuan terhadap pemimpin juga disebabkan oleh faktor orang melihat kompetensinya. Kompetensi berhubungan dengan ketrampilan dan pengetahuan. Ia melakukan apa yang memang ia mampu. Ia akan mengakui apa yang ia tidak dapat kerjakan. Ia tidak akan mengerjakan yang ia tidak mampu kerjakan. Jika ia tidak mampu, ia akan mendelegasikan kepada orang yang lebih mampu.

Pendeknya, pemimpin bukanlah orang yang serba tahu dan serba mampu. Tetapi di sinilah pemimpin menunjukkan keahliannya. Ia ahli dalam menilai dan mengamati kekuatan orang lain, dan kemudian mempercayakan suatu tugas kepada orang tersebut, sesuai dengan karunianya.

Lalu, apa yang dimaksud pemimpin harus mempunyai ketrampilan dan pengetahuan? Kendati bukan seorang yang serba mampu dan tahu, tetapi ia tahu tujuan kebersamaan dan organisasi tersebut. Ia memiliki kapasitas untuk membentuk dan memelihara hubungan pribadi di antara mereka yang bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan tugasnya. Ia mampu menempatkan keahlian orang lain dalam tempat yang tepat sehingga semua berjalan dengan baik. Jadi, pemimpin yang baik telah tahu ke mana arah organisasi tersebut dan ia dapat memberikan guidance (bimbingan) untuk menuju kepada sasaran. Ketika ia dibutuhkan untuk menjadi penasihat dan pengarah, ia siap dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dan bijaksana.

Sekali lagi, Guru dan Teladan Agung kita, Yesus Kristus adalah contoh yang konkret. Ia hanyalah seorang muda dari Nazaret yang berprofesi sebagai tukang kayu, dan mengerti masalah pertanian. Tetapi, Ia berhasil mengumpulkan di sekitar Dia, 12 orang yang memiliki karakter serta keahlian yang berbeda-beda. Dalam melaksanakan kepemimpinan atas 12 murid, Ia tidak berjalan sendiri; Ia memilih tiga orang murid yang menjadi tim inti: Simon Petrus, Yohanes dan Yakobus. Ia pun memilih murid seperti Lewi (Matius) mantan tukang cukai, yang pandai berhitung. Dan, Yudas Iskariot pun diserahi tugas untuk menjadi bendahara tim.

MEMAKSIMALKAN POTENSI

Rasul Paulus dalam Roma 12:6 berkata, “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita.” Artinya, tiap orang yang sudah dilahirkan kembali oleh Roh Allah (Roma 8:14) mempunyai potensi atau karunia. Maka, hendaklah tidak ada seorang pun di antara kita yang masih merasa rendah diri atau tidak tahu bahwa kepada kita telah dianugerahkan potensi dari Allah. Kita pasti punya karunia, dan pasti berbeda satu dengan yang lain. Tuhan menciptakan pribadi demi pribadi sebagai suatu sosok yang unik. Karena itu, perlu sekali bagi kita untuk terus mengembangkan diri.

Tetapi potensi itu untuk apa? 1 Korintus 12:7 menyatakan, “Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” Potensi itu untuk kepentingan bersama. Tidak boleh disimpan untuk kepentingan pribadi, atau untuk mencari keuntungan pribadi. Paulus mengibaratkan gereja sebagai satu tubuh, yang masing-masing anggotanya berbeda, memiliki fungsinya sendiri-sendiri, tetapi semua terjalin dan terkoordinasi untuk tugas bersama.

Rasul yang berbeda, yaitu Petrus, juga mengatakan hal yang mirip. Dalam 1 Petrus 4:10, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” Seorang Kristen telah diberi karunia, tetapi ia dianggap menjadi “pengurus” atau “penjaga” yang baik dari potensi pemberian Allah itu manakala ia melakukan tugas untuk melayani seorang akan yang lain. Petrus menggarisbawahi bahwa pelayanan itu pun ditujukan bagi orang lain. Dengan demikian, tidak ada dikotomi antara yang vertikal dan horisontal, yang rohani dengan yang sehari-hari. Semuanya bersatu padu secara harmonis.

Di sini kita melihat kaitan antara kepemimpinan dan memaksimalkan potensi. Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan. Potensi berhubungan dengan pemberian Allah. Jadi, potensi yang kita sudah terima itu kita pakai untuk menggerakkan orang lain. Bukan untuk tujuan dan kepentingan pribadi, tetapi untuk kemuliaan Allah dan pekerjaan Kerajaan Allah di atas bumi.

KOMITMEN

Ingatlah selalu: Kendati gereja adalah lembaga dengan keanggotaan suka rela, janganlah kiranya satu orang pun yang terlibat dalam pelayanan secara suka-suka. Alias, sesuka sendiri. Menurut aturannya sendiri. Ingatlah selalu bahwa aturan main itu ditetapkan oleh Allah. Kristus adalah Pemimpin utama kita. Setiap orang adalah imam yang melayani Raja. Setiap orang telah diberikan anugerah keselamatan, sekaligus karunia untuk melayani. Dan tiap-tiap orang dipanggil untuk mengambil bagian di dalam pelayanan, demi pembangunan tubuh Kristus.

Maka, pelayanan di gereja harus dikerjakan dengan penuh komitmen. Komitmen ini digerakkan oleh rasa syukur yang meluap dari dalam hati, oleh karena Tuhan sendiri telah mengasihi kita sedemikian besar, tiada terukur besarnya, sehingga hidup kita telah ditebus dan harganya telah lunas dibayar dengan darah yang mahal, yang melampaui nilai emas dan perak (1Ptr. 1:18).

Masih adakah di antara kita yang mengaku murid Kristus, namun masih berdiam diri saja dan tidak mau melayani?

Terpujilah Allah!

PEMIMPIN YANG BERHASIL

PEMIMPIN DAN TONTONAN

Dunia penuh dengan penonton. Orang dunia butuh tontonan. Banyak orang tidak segan membayar mahal demi sebuah tontonan yang menyukakan hati. Mari kita ambil contoh. Tiap kali digelar konser artis ibukota di lapangan terbuka, penontonnya membeludak. Ini yang murah! Bandingkan dengan konser Justin Bieber yang baru-baru ini diadakan di Jakarta. Harga tiket yang mahal itu tak membuat orang segan untuk merogoh kocek dan memboyong keluarga untuk menonton konser yang berdurasi dua jam lebih sedikit.

Bukan itu saja. Pernak-pernik yang dijual seperti kaos, gelang, topi, mug, dan barang lain bertuliskan logo, moto atau foto sang artis menambah pengalaman prestis (bangga) dan kenangan yang tak mudah hilang pernah menjadi bagian dari acara hebat yang digelar. Disadari atau tidak, tontonan itu telah mampu menggerakkan ribuan masa. Tontonan itu telah menjadi pimpinan.

Jadi, jika bertanya kepada dunia, siapakah pemimpin yang berhasil? Maka jawabannya ialah kuantitas. Jumlah. Berapa besar. Berapa banyak. Berapa hebat. Atau penampakan lahiriah: macho, keren, memukau. Padahal, penonton tidak sadar bahwa sesuatu yang memukau itu sifatnya sesaat. Memang, di atas panggung dia memikat hati dan membius emosi. Daya mobilisasi masanya pun hebat. Begitu orang sudah terbius secara emosi, maka ia bisa digerakkan untuk melakukan apa pun yang dikehendaki. Kendati begitu, ke mana arah tujuan selanjutnya? Tidak jelas.

Banyak warga gereja yang juga menjadi penonton dan mencari tontonan. Ibadah gereja ramai jika ada artis. Firman Tuhan sudah terlalu biasa. Tiap Minggu kan ya itu-itu saja. Tidak cukup. Harus ditambah. Bayar mahal pun, tidak masalah. “Sekali-sekali ‘kan tidak apa-apa!” katanya. Didatangkan dengan pesawat, dijemput dari bandara, diistirahatkan di hotel atau tempat tinggal nyaman, dilayani dengan konsumsi istimewa, dengan persembahan kasih yang mahal, diajak “fober” (foto bersama) setelah acara (kebaktian). Yang hadir di kebaktian itu juga membeludak. Kursi sampai tidak cukup. Sementara Minggu-minggu biasanya ibadah sepi-sepi saja.

Firman Tuhan pun yang diharapkan adalah yang lebih memotivasi dan memacu adrenalin. Cepat saji. Mudah diingat. Renyah dikunyah. Gampang dilaksanakan. Singkat. Plus lucu. Plus demonstrasi multimedia. Atau plus demonstrasi kuasa kesembuhan dan mukjizat. Khotbah ekspositori ditinggalkan. Pendalaman Alkitab yang sistematis dan terpadu diabaikan.

Bayangkan jika gereja terus menerus membuai diri dengan segala “kemudahan” dan hasrat untuk menonton. Akan seperti apakah sosok pemimpin masa depan jika semua ini masih menjadi bahasa orang Kristen? Pemimpin yang bersemangat, mungkin! Tetapi semangat yang sekejap, yang tidak didasarkan pada landasan yang kokoh. Mudah menyerah, karena jika tidak dapat memenuhi tuntutan target dunia (jumlah dan penampakan luar), maka akan dipandang gagal dan tidak ada nilai lebih.

MENCARI PEMIMPIN YANG SEJATI

Rasul Paulus dengan berani pernah berkata, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1). Inilah teladan pemimpin yang sejati. Perhatikan nasihat Paulus ini.

Pertama, Paulus tidak menjadikan dirinya tontonan, tetapi tuntunan. Kalimat ini adalah imperatif—sebuah kalimat perintah, agar jemaat mengikuti jejak rasul Paulus. Secara harfiah, jemaat harus “mengimitasi” atau “meniru” rasul. Imitasi atau tiruan itu bukan barang yang asli, tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga mirip sekali. Kita tidak pernah menjadi sama seperti rasul Paulus, tetapi harus semirip-miripnya dengan beliau.

Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai tuntunan. Berarti, betapa Paulus merupakan pribadi yang berintegritas—kata dan tindakan satu padu; apa yang dipikirkan dan diucapkan pas dengan apa yang ia lakukan dalam kehidupan. Ia bukan orang yang kaya. Ia bekerja membanting tulang untuk injil Kristus. Ia juga bekerja keras mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menjadi tukang tenda. Ia ditolak. Ia teraniaya. Penjara sudah menjadi rumah kedua baginya. Tetapi demi injil, ia tidak mundur.

Terhadap Timotius, seorang muridnya, Paulus turut berbangga, bukan karena Timotius berharta, tetapi sebab ia “telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” (2Tim. 3:10). Paulus selanjutnya berkata bahwa Timotius ini telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang ia derita di Antiokhia. Paulus memuji sang pemimpin muda, yang akan menggantikan dia sebagai pemimpin gereja bukan dengan tolok ukur jumlah dan penampakan. Pemimpin yang berhasil dicirikan oleh pengajaran yang kuat (doktrin), cara hidup (etika), pendirian (prinsip hidup), iman (keyakinan teguh), kesabaran dan ketekunan (habitus/sifat). Jelas sekali, nilai-nilai ini jauh dari nilai dunia.

Dari sini, kita melihat, pemimpin yang berhasil itu memiliki seorang mentor, seorang coach, seorang pelatih dan pendamping. Ia tidak dibiarkan sendiri. Ia menjalani gladi yang berat bersama guru yang lebih mahir. Si junior harus menjadi semirip mungkin dengan seniornya. Dengan kata lain, seorang pemimpin yang andal dihasilkan lewat pelatihan yang intensif dan bersinambung. Menjadi pemimpin membutuhkan proses panjang dan melelahkan. Tidak ada yang instan dan cepat jadi! (kecuali jika mengharapkan hasil yang prematur).

Kedua, Paulus bukan tuntunan akhir, tetapi Yesus Kristus. Ia pun meneladani Kristus. Timotius mengikuti Paulus selama dan sejauh Paulus mengikuti Kristus. Paulus bukan untuk diidolakan. Paulus tidak mengharapkan Timotius fanatik kepadanya. Segera rasul mengarahkan Timotius kepada Teladan yang lebih agung, yaitu Yesus Kristus. Baginya, Kristus adalah yang utama. Ia bersaksi kepada jemaat Korintus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor. 1:2).

Potret Yesus yang diusung oleh Paulus juga bukan potret yang menawan bagi pendengar di sekitarnya, lebih-lebih pendengar modern. Orang Yahudi mencemooh mesias yang mati. Orang Yunani menista raja yang tersalib. Tetapi Paulus justru tidak malu dengan Pemimpin yang tersalib itu! Sebab, tanpa salib tidak akan ada kebangkitan. Tanpa penderitaan tidak ada ada kejayaan. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan. Kemenangan melalui kesengsaraan. Pembebasan yang menggantikan sengsara.

Benarlah pepatah Jerman yang mengatakan, “Tidak akan ada kemenangan tanpa perjuangan.” Perjuangan itu tidak pernah mudah. Sekarang, oleh sebab segala kemudahan gampang diperoleh, akhirnya orang menjadi semakin malas. Daya juang menurun. Kemampuan untuk bergulat pun melemah. Inilah dilema orang modern. Di satu sisi menikmati kemudahan. Di sisi lain, ada ancaman yang sedang menggerogoti hidup kita bak jaringan kanker yang memakan jaringan organ tubuh yang lain, yaitu keberanian untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Menjadi pemimpin yang berhasil, ingatlah pesan tentang Kristus, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan,yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa” (Ibr. 12:2-3).

a. Pemimpin yang berhasil harus terus berlari dalam perlombaan yang wajib bagi kita (ay. 1).
b. Pemimpin yang berhasil akan mengarahkan pandangan kepada Kristus.
c. Pemimpin yang berhasil akan tekun berjalan seperti Dia, kendati hidup tidak mudah.
d. Pemimpin yang berhasil akan selalu mengingat Kristus.
e. Pemimpin yang berhasil kuat terhadap bantahan dan fitnahan.
f. Pemimpin yang berhasil tidak akan cepat lemah dan putus asa.

MENGERJAKAN VISI KITA

Apakah visi yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin muda? Menjadi seperti Kristus dan memuliakan Allah! Untuk menjadi seperti Kristus, sesungguhnya tidak ada harga dan pengurbanan yang harus kita bayarkan. Sebab, semua sudah diberikan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Harga dosa telah dilunasi sekali dan untuk selama-lamanya melalui pengurbanan Kristus (1Ptr. 1:18). Hendaklah tidak ada seorang pun di antara kita yang merasa bahwa kita melakukan pengurbanan, dan pengurbanan kita telah sangat besar bagi Allah! Tidak. Kita tidak berkurban apa-apa bagi Dia. Dialah yang sudah berkurban bagi kita, padahal Ia tidak harus melakukannya. Janganlah hendaknya di antara kita yang berpikir bahwa Tuhan wajib menebus kita. Sama sekali tidak. Ia melakukannya dengan kerelaan anugerah-Nya. Sekalipun harganya adalah, memberikan yang terbaik yang Ia miliki: Putra Tunggal-Nya diserahkan bagi penebusan kita.

Inilah arti kehidupan kita. Inilah alasan bagi kita untuk menjadi pemimipin yang berhasil, bukan seperti takaran dunia, tetapi seperti yang Allah kehendaki, menurut ukuran dan cara pandang Allah. Marilah mengerjakan visi itu dengan tekun dan penuh pengharapan.

Terpujilah Allah!