Sunday, December 13, 2015

Kaleidoskop Kekerasan dalam Perspektif Kristiani


 
Pendahuluan

Tugas saya di sini adalah memaknai kaleidoskop kekerasan 2015 dari sisi teologi Kristen.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaleidoskop memiliki dua arti:  1. Alat optik yang bentuk luarnya seperti keker, dilengkapi dengan dua kaca persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari kepingan barang berwarna yang diletakkan di antaranya apabila dilihat dari ujung yang lain; 2. aneka peristiwa yang telah terjadi yang disajikan secara singkat.  Nah, bagaimana menyajikan gambaran kekerasan di tahun 2015, yang pastilah tidak menyenangkan sama sekali.  Saya sangsi bahwa saya mampu merangkum semua kekerasan yang telah terjadi.  Saya yakin Anda sudah well-informed, dan rekan-rekan panelis yang merupakan ahli dalam bidangnya pun dapat memaparkan data yang lebih akurat daripada seorang teolog.

Harus diakui, disiplin ilmu teologi dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu yang paling tidak jelas secara metodologis.  Teori apa yang akan dipakai untuk mengkaji?  Apa objek penelitiannya?  Apa hasilnya?  Apakah hasilnya dapat diukur?  Dan masih banyak lagi “keluhan” yang dapat ditujukan kepada disiplin teologi.  Namun toh saya harus berbicara sebagai seorang teolog.  Alasan pertama tentu saja karena saya tidak dapat memungkiri “takdir” saya dan mata pencaharian saya.  Namun yang kedua, yaitu bahwa teologi mengajak kita berhenti sejenak dan merenungkan makna dari setiap hal yang kita hidupi dan alami setiap hari.  Memang, teologi adalah refleksi agar kita menghentikan diri di tengah hiruk pikuk, bertanya kepada batin kita tentang apa yang sesungguhnya diminta oleh Dia yang Tak Terperi itu: siapa kita, tujuan kita, dan bagaimana kita mencapainya.  Entah Anda hendak menamai Dia sebagai Allah, sebagai Yang Tak Terpermanai, Sang Kudus, Sang Tiada, tetapi setiap kita berada di sini dan kini bukan karena kecelakaan atau karena peluang-peluang random.  Kita hidup kini dan di sini karena ada yang menempatkan kita.  Tanpa ini, hidup kita tidak bermakna.  Jadi, teologi tidak dapat dipisahkan dari antropologi.  Memahami tentang siapa Dia pada akhirnya bertanya kembali tentang siapa kita.

Saya akan membatasi diri dalam menguraikan masalah ini.  Karena saya pengikut Yesus Kristus dari Nazaret maka pertama-tama apa yang Injil katakan tentang perkataan Yesus Kristus tentang serentetan kekerasan.  Maka di sini saya akan berfokus pada berita di Injil tentang kaleidoskop kekerasan, khususnya dari Injil Matius 23:33-36.  Dari sini, saya akan mencoba membaca dengan dua sudut pandang: pertama, saya akan menguraikan dari sisi teks, namun kemudian, yang kedua, saya akan berusaha melawan teks ini, karena teks ini, yang semula dipakai oleh Yesus untuk melawan status quo dan melawan kekerasan, telah beralih fungsinya, dibalik dan dipakai untuk mengesahkan kekerasan atas orang lain yang dianggap musuh bebuyutan.  Dari sini, saya mengajak kita berefleksi bukan saja kita harus tolak, namun kita pun harus wawas diri bahwa setiap kita berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan.

Membaca Matius 23:33-36 sebagai Perlawanan

Matius 23:33-36 berkata, 

Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak!  Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?  Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.

Di mana sebuah kaleidoskop kekerasan kita temukan?  Perhatikan frase “mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya.”  Di mata Yesus, alusi dari kisah pertikaian dan penumpahan darah akibat pertikaian saudara di Kejadian sampai kisah menjelang pembuangan merupakan rangkaian kekerasan.  Yesus sebagai seorang Yahudi pasti membaca Kitab Suci Ibrani, yang disusun tidak sama dengan Perjanjian Lama yang kita miliki.  Kitab Suci Ibrani disingkat TANAK, yang merupakan kependekan dari Torah, Neviim we-Ketuvim.  Susunan Kitab Suci Ibrani dimulai dari Kejadian dan, tidak seperti Perjanjian Lama yang kita miliki, diakhiri dengan 2 Tawarikh.  Singkatnya, bagi Yesus, Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) merupakan sebuah kumpulan tragedi kemanusiaan—kaleidoskop pembantaian.  Dengan kata lain, Yesus membaca Kitab Suci bukan hanya sebagai kitab suci keagamaan, tetapi sejarah politik yang telah memakan korban-korban di sepanjang sejarahnya.

Penting untuk diperhatikan di sini, bagi Yesus, kisah-kisah pembantaian manusia ini merupakan alasan atas kematiannya sendiri yang kian mendekat.  Dapat dipahami, bahwa kematian Yesus merangkum semua korban yang sudah jatuh bergelimpangan sebelum dia.  Dan jika Yesus adalah utusan Allah, sama seperti yang lain (nabi-nabi, kaum saga, dan para ahli-ahli Taurat), maka sebenarnya politik itu tidaklah netral dan tidak dapat dihindari.  Namun bagi Yesus, politik yang benar adalah politik Allah, politik yang berintegritas, yang karena integritasnya itulah maka nyawa menjadi taruhannya.

Bagian yang baru saja kita baca merupakan bagian akhir dari ucapan kutukan (yang berjumlah tujuh), di Matius 23.  Benarlah perkataan ahli tafsir Warren Carter, bahwa ucapan kutuk yang terakhir ini (23:29-36) tertuju kepada para pemimpin yang telah menolak ucapan-ucapan para nabi untuk menjaga status quo, yaitu mereka yang demi posisi dan keuntungan pribadi menindas orang-orang yang memperkatakan kebenaran dan tidak menunjukkan keadilan Allah bagi umat-Nya.  Mereka kehilangan integritas mereka dan tidak menjaga keseimbangan antara apa yang mereka ajarkan dan yang mereka lakukan.  Mereka hanya menjadi penjaga-penjaga kedudukan nyaman di masyarakat yang serba hirarkhis dan imperial.

Di sini, mengikut Yesus yang nanti akan menjadi bagian dari korban yang melawan status quo berarti tidak naif dalam beragama.  Beragama jangan sampai berhenti kepada berdoa meminta “pie in the sky when you die, bye and bye!,” tetapi sebuah perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.  Perlawanan Yesus bukanlah perlawanan dengan mengangkat senjata, namun demikian perlawanan ini dilakukan secara terbuka dan, karena itu, membuat penguasa tidak nyaman—subversif.  

Namun perlawanan ini dilakukan dengan pathos.  Inilah yang seperti dikatakan oleh Walter Brueggemann bahwa kekuasaan imperial dan status quo tidak pernah dibangun di atas bela-rasa.  Empires are never built or maintained on the basis of compassion.” (Brueggemann, Prophetic Imagination, 88).  Sebaliknya gerakan Yesus menitikberatkan pada bela-rasa yang terbuka.  Brueggemann melanjutkan, “Thus the compassion of Jesus is to be understood not simply as a personal emotional reaction but as a public criticism in which he dares to act upon his concern against the entire numbness of his social context.  Jadi, welas-asih yang seolah-olah tampak seperti perbuatan baik sesungguhnya merupakan kritik terhadap sistem, kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi yang menghasilkan penyakit dalam masyarakat.  Baik para nabi dan Yesus yang mengikuti mereka memasuki sengsara dan petaka manusia serta menubuhkan dalam dirinya sendiri.

Membaca Matius 23:33-36 sebagai Kewawasan Diri

Dalam pada itu, kita pun perlu waspada ketika membaca ayat ini.  Anthony Saldarini, S.J. menyebutkan bahwa kehadiran ketujuh kutuk Yesus di Matius 23 ini telah menjadi sumber masalah berkepanjangan dalam sejarah Kristianitas.  Begitu mudahnya orang-orang, termasuk yang Kristen menuduh orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai “Farisi atau ahli-ahli Taurat.”  Hieronimus menyebut orang-orang Kristen yang mencari pujian di muka umum sebagai “ahli-ahli Taurat dan para Farisi.”  Dante menyebut Paus Bonifasius VIII seorang Farisi, Luther melabeli semua Katolik lawan-lawannya sebagai kaum Farisi.  Para reformator menyebut orang-orang yang menyandarkan diri pada perbuatan baik sebagai kaum munafik.  Sampai di sini masih belum terlalu mencemaskan.

Bagian ini sampai berabad-abad dipakai untuk melegitimasi kebencian kepada kaum Yahudi dan melegalkan semangat anti-semitisme.  Orang-orang Kristen berpikir bahwa orang-orang Yahudi selalu melawan Kekristenan dengan keyakinan dan praktik-praktiknya.  Mereka, kaum Yahudi, adalah orang-orang yang sok rohani, namun tidak memenuhi targetnya.  Bahkan, karena ketaatan mereka ini, kaum Yahudi sampai kini masih dianggap sebagai pembunuh Tuhan orang Kristen.

Membaca teks Matius ini membutuhkan kecermatan.  Matius memimpikan sebuah tatanan yang egalitarian, yang menjadi alternatif bagi masyarakat yang hirarkhis (23:8-12 melanjutkan ps. 18-20).  Matius mengimajinasikan sebuah jalinan sosial yang berbeda, yang lebih radikal, yang dilandasi dengan pengakuan teologis dan kristologis yang khas.  Dengan demikian, kita perlu berhati-hati dengan diri kita sendiri karena kita pun berpotensi untuk melanjutkan spiral kekerasan yang semula dipakai oleh lawan-lawan kita.  Pembacaan teks seperti ini perlu dilawan.

Penutup

Di sini, orang-orang Kristen perlu berhati-hati.  Bahwa teks ini dapat dipahami dengan dua sisi yang sama sekali bertolak belakang.  Di sini problem interpretasi menjadi sangat penting namun licin.  Siapa yang menafsir dan dengan ideologi apa ia menafsir?  Dalam kaitan dengan inilah saya malahan percaya teologi sangat diperlukan karena teologi sangat berpengaruh dalam menggerakkan massa.  Masyarakat justru lebih mudah digerakkan oleh apa yang mereka percaya, dan karena itu, jika keyakinan mereka itu violent, maka kekerasan pun tidak akan pernah selesai di masyarakat.

Memaknai kaleidoskop kekerasan di tahun 2015 membuat kita bertanya: siapa kita dan siapa yang kita ikuti.  Jika kita mengikuti Dia yang sengsara dan disalib itu sebagai perwujudan bela-rasa (welas-asih) Allah, maka paling tidak ada dua hal yang kita refleksikan.  Pertama, kita adalah bagian dari arak-arakan itu, dank arena itu mengenang mereka ini merupakan bagian yang sangat penting.  Ada dua contoh yang saya dapat sampaikan.

Tahun ini, bulan Mei saya mengikuti ritual pelarungan lentera di Hawaii yang disponsori oleh Shinnyo-en Buddhism, Jepang.  Sekitar 30.000 orang berkumpul di Pantai Ala Moana, Hawaii untuk menyaksikan prosesi pelarungan 6.000 lentera untuk mengenang mereka yang sudah meninggal.  Saya tentu bukan pengikut Buddhisme esoterik Shinnyo-en.  Namun saya merasa ritual untuk mengenang mereka yang dekat dengan kita dan yang sudah mendahului kita merupakan bagian yang penting.  Saya tidak dapat menjelaskan, namun tubuh saya merasakan bahwa saya memerlukannya! 

Contoh kedua.  Di Sidang Dewan Gereja Dunia Canberra pada tahun 1991, teolog perempuan Korea Chung Hyung Kyun membuat heboh sidang pleno DGD karena alih-alih menyampaikan pidato ilmiah, ia mendemonstrasikan sebuah shamanism yang dituduh sinkretis oleh delegasi Ortodoks dan Evangelikal.  Di dalam presentasinya, Kyun memanggil untuk datang bukan saja roh-roh yang ada di dalam ciptaan, tetapi juga roh-roh mereka yang sudah mati, bahkan roh-roh mereka yang mati tertindas dalam tragedi kemanusiaan.

Bagaimana kita mengenang mereka?  Sebagai komunitas iman, apakah cukup hanya memasukkan mereka ke dalam salah satu pokok doa syafaat?  Atau perlukah ada semacam ibadah pengenangan untuk mereka?

Hal kedua.  Pengenangan seperti ini bukan hanya pengenangan yang melankolis dan emosional semata-mata.  Namun ini merupakan pengenangan yang subversif, atau dalam istilah Johann Baptist Metz, sebagai memoria passionis Christi, memori kesengsaraan Kristus.  Karena dengan mengenang sengsara Kristus, gereja diingatkan kembali siapa yang mereka ikuti.  Karena mengingat siapa yang mereka ikuti, gereja tidak akan mengikuti tata hidup dunia.  Demikian pun ketika kita mengenang para korban yang berjatuhan oleh karena ketidakadilan, mereka telah dipeluk oleh Dia yang telah mengalami kematian, dan kenangan subversif ini bangkit kembali dalam diri kita yang masih hidup kini dan di sini.


Disampaikan dalam Diskusi Advent III “Kaleidoskop Pelanggaran HAM di Indonesia,” Gereja Komunitas Anugerah, 13 Desember 2015.