Sunday, July 8, 2012

A CALL TO LEAD (Markus 12:35-45)


A CALL TO LEAD
Markus 12:35-45


Bahaya sebagai Pemimpin

Menyandang nama “Generasi Pelopor, Bukan Pengekor” berarti kita dipanggil untuk menjadi pemimpin.  Kita tidak mau sekadar ikut-ikutan, tetapi kita harus mengarahkan orang lain.  Namun, pertama-tama, kita harus waspada akan 2 (dua) bahaya yang mengintip dalam diri seorang pemimpin:

a.       Pamrih
Sebagai pemimpin, kita dituntut untuk mengambil keputusan, mengatur dan menentukan arah dan gerak komunitas.  Nah, hal yang kerap kali terlupakan ialah bahwa kita ini adalah hamba.  Komunitas dan orang yang dipimpin seolah-olah menjadi hak miliknya.  Maka, muncullah perkataan sombong:
·         “Coba bayangkan kalau tidak ada saya.”
·         “Kalau orang lain mengerjakan, apa bisa?”
·         “Ini hasil kerjaku, lho!
·         “Dibandingkan dengan yang dulu, lebih baik yang mana, coba . . . ?”
·          “Ini bukan bermaksud sombong, tapi semua ini yakarena aku kerja keras.”
Ingatlah selalu bahwa menjadi pemimpin itu anugerah.  Pemimpin tetap di bawah Sang Pemimpin Agung, Tuhan Yesus.  Kita adalah pelayan Tuhan Yesus.  Kepemimpinan itu kita terima dari Tuhan, sifatnya sementara.  Kalau kita berhasil, semuanya pun berkat Tuhan yang memampukan.

b.      Nyaman
Udah jadi pemimpin, enggan turun.  Istilah kerennya post-power syndrom.  Nggamau turun dari jabatan, dan memberi kesempatan kepada yang muda untuk memimpin.  Ada pemimpin yang merasa, yang muda belum siap memimpin.  Kata-kata yang sering kali terucap:
·         “Bagaimana, ya, masa depan komunitas ini?  Kok tidak ada yang mampu?
·         “Saya sudah kerja keras untuk bangun semua ini, tapi kalau ditinggal, apa bisa dilanjutkan?”
·         “Si A itu masih muda, belum punya pengalaman; si B masih belum bertanggung jawab.  Ngga ada yang mampu.”
Hati-hati!  Pemimpin dikatakan berhasil kalau ia melatih pemimpin di bawahnya, untuk menjadi lebih hebat daripada dia.  Pemimpin yang gagal ialah jika ia tidak mampu melatih orang untuk menjadi paling tidak seperti dirinya.

Memimpin seperti Yesus
Yesus memberikan 3 (tiga) pola kepemimpinan, dan Ia sendiri menghidupinya:

a.       Gembala
Ia adalah Gembala yang baik.  Artinya, Yesus memiliki relasi yang mendalam dengan orang yang dipimpin.  Seorang pemimpin yang adalah gembala akan:
·         Memiliki hubungan pribadi, dan peduli dengan hal-hal pribadi dari orang yang dipimpin—“Apa yang menjadi pergumulan kamu saat ini?”
·         Meneguhkan, memotivasi para anggotanya—“Ayo!  Kamu pasti bisa!”
·         Membela anggotanya, berani pasang badan, bahkan menyerahkan nyawanya—memberi yang terbaik demi orang yang dipimpinnya.
b.      Pelayan
Kata lainnya adalah budak.  Budak itu tanpa hak.  Budak masih harus bekerja ketika tuannya sudah istirahat.  Budak tidak dapat membantah majikannya.  Di dalam kehidupan-Nya, Yesus Sang Pemimpin Agung rela mengosongkan diri, merendahkan diri, dalam gerak menurun sampai kepada titik nadir—mati di kayu salib (Flp. 2:5-11).  Ia sendiri menundukkan diri-Nya kepada Sang Bapa sebagai Tuan atas segala sesuatu.  Menyadari hal ini, maka seorang pemimpin harus menyadari:
·         Ia adalah seorang pelayan; posisi atau kedudukan itu merupakan anugerah Sang Tuan.
·         Ia harus tunduk dan patuh kepada Sang Tuan.
·         Ia harus bekerja keras, memberikan yang terbaik bagi Sang Tuan.
·         Ia tidak boleh menepuk dada dan bersombong diri.

c.       Penatalayan
Beda dengan yang di atas, penatalayan artinya “pengurus rumah tangga.”  Pemimpin Kristen diserahi jabatan oleh Allah untuk menjaga ketertiban, adat-istiadat, kebiasaan yang baik, yang berlaku di dalam komunitas.  Pemimpin sebagai penatalayan memadukan antara kuasa dan penghambaan diri.  Ia memiliki wewenang, tetapi ia wewenangnya itu terbatas.  Ia diserahi kuasa besar untuk mengatur komunitas, tetapi komunitas itu bukan miliknya secara pribadi.  Maka, pemimpin sebagai penatalayan harus bersikap:
·         Disiplin dan memiliki tertib hidup yang tinggi,
·         Bijaksana dan dapat dipercaya,
·         Dapat diandalkan dan memiliki pengalaman,
·         Memberi yang terbaik kendati tidak ada majikan.

Latihan Rohani

1.       Nyanyikanlah lagu “Yesus Ingat Aku” beberapa kali, dan renungkanlah tiap katanya:

Yesus, ingat aku di dalam Kerjaan-Mu,
Yesus, ingat aku di dalam Kerajaan-Mu.

2.       Renungkanlah dirimu dan orang-orang di sekitarmu:
Ø  Siapakah orang-orang yang ada di sekitarmu?
Ø  Sebagai apa bila kamu berada di antara mereka? (Anak, sahabat, pemimpin?)
Ø  Bagaimana perasaanmu bila dekat dengan orang-orang itu?

3.       Peran apa yang kamu lakukan ketika dekat dengan mereka?
o   penghibur
o   motivator
o   penasihat
o   sahabat setia
o   pemberi kegembiraan, dll.

4.       Cobalah bayangkan apa yang akan terjadi jika kamu tetap melakukan yang baik, seperti di poin (3) di atas?

5.       Kerjakanlah terus kebiasaan yang baik ini!

TERPUJILAH ALLAH!

A CALL TO SERVE (Lukas 8:1-3)


A CALL TO SERVE
Lukas 8:1-3


Susahnya Hidup Bersama

Panggilan Allah bagi kita untuk mengasihi segera menyadarkan kita, bahwa kita hidup bersama orang lain.  Orang lain itu mempunyai latar belakang, pendidikan, kelebihan dan kekurangan yang berbeda dengan kita.  Karena itu, rentan sekali adanya selisih-paham, gesekan, ketersinggungan.  Tidaklah mengherankan bila kemudian ada orang yang merasa lebih nyaman tidak bergaul dengan orang lain.

Sebenarnya, konflik itu dipertajam jika masing-masing pribadi mulai menonjolkan ke-aku-annya.
·         “Aku dikhianati!”
·         “Aku tidak bersalah, tetapi dia itu biang-kerok-nya!”

“Aku” di pihak tertindas, “dia” di pihak penindas.  Aku yang benar, dia yang salah.  Jika relasi diwarnai dengan “Aku vs. Dia” maka tidak ada cinta-kasih yang sejati.  Tidak mungkin “aku” duduk bersama dengan “dia.”

Belarasa

Apa sih panggilan Allah untuk hidup kita?  Yaitu hidup ber-“belarasa” (Inggris, compassion).  Belarasa adalah gerak hidup yang turun—gerak ke bawah.  Sementara bagi masyarakat, takaran kesuksesan adalah bergerak ke atas, maka gaya hidup bergerak ke bawah ini selain tidak populer, juga dianggap tidak bijaksana, tidak sehat dan bodoh.

Gaya hidup belarasa adalah jalan yang mendekati orang-orang miskin, menderita, yang tersisih, yang lapar, yang kesepian, yang dianiaya.  Gaya hidup ini tidak menawarkan popularitas atau kekuasaan, melainkan sukacita, kegembiraan dan damai sebagai anak-anak Allah.

Sukacita belarasa jauh melampaui harta-benda dan materi.  Orang-orang yang berani meninggalkan popularitas dan mendekat dengan kau terpinggirkan sangat sulit dinilai dengan materi.  Sebut saja: para misionaris yang meninggalkan Eropa dan melayani di belantara Afrika, Ibu Teresa yang tinggal puluhan tahun di Kolkata (Calcutta), India, bersama dengan orang yang sekarat dan yang ditinggalkan.  Sukacita ini sungguh sebuah misteri!  Sebuah misteri yang hanya dipahami orang sedikit orang, dan yang harus terus digali makin dalam.

Melayani Seperti Yesus

Yesus berkata, “Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Mat. 18:3).  Anak kecil bukan sekadar menunjukkan ketulusan iman, tetapi juga pribadi yang ringkih.  Mereka ini bukan kaum populer.  Mereka tidak berkuasa. 

Sebelum disalib, Sang Guru bersabda, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib salih membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:14-15).  Seorang Guru yang membasuh kaki?  Itu pekerjaan pelayan!  Seorang Tuhan yang berlutut di depan kaki hamba-hamba-Nya?  Ah, sebuah kehinaan!  Mengapa Yesus melakukannya?  Karena untuk itulah Dia diutus.  Ia datang untuk melayani umat-Nya.

Apakah berbelarasa dan melayani ini berarti harus meninggalkan semua harta dan pergi ke pelosok yang terpencil, seperti Ibu Teresia meninggalkan negeri Albania?  Sama sekali bukan.  Seorang pembimbing rohani bernama Henri Nouwen berkata, “Hidup berbelarasa pada umumnya adalah hidup yang tersembunyi dalam keseharian hidup.”  Kita bisa terbuka terhadap begitu penderitaan kecil di sekitar kita, atas orang-orang yang dekat dengan kita, seperti:

·         Rasa setia kawan terhadap teman dan sahabat-sahabat kita.
·         Rela meluangkan waktu dengan orang-orang yang sangat sederhana.
·         Rela menjadi pendengar keluh-kesah orang-orang yang tidak menarik perhatian kita.
·         Bersedia bersahabat dengan teman yang tidak diperhatikan orang di sekitarnya.

Begitu banyak hal praktis yang kita dapat kerjakan!  Asal kita mau membuka mata dan telinga, kita akan menemukan banyak orang yang membutuhkan bela rasa kita.  Dan, asal kita mau mengarahkan diri ke bawah, kita akan mendengar banyak orang yang membutuhkan kita.  Itulah yang Yesus kerjakan.

Latihan Rohani

1.        Nyanyikanlah lagu “Melayani Lebih Sungguh” beberapa kali, dan renungkanlah tiap katanya:

Melayani, melayani lebih sungguh,
Melayani, melayani lebih sungguh,
Tuhan lebih dulu, melayani kepadaku,
Melayani, melayani lebih sungguh.

2.       Renungkanlah orang-orang di sekitarmu:
Ø  Mereka yang secara fisik dan psikis tidak normal dan merasa dikucilkan oleh keluarga,
Ø  Mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, rumah yang layak,
Ø  Mereka yang tidak mempunyai sahabat, kesepian,
Ø  Mereka yang kehilangan pengharapan, yang merasa hidup ini tidak layak dijalani.

3.       Adakah hatimu tergerak melihat mereka?  Apa yang dapat kamu kerjakan selain berdoa?

4.       Cobalah diam dan bayangkan orang itu berada di depanmu:
·         Doakan mereka
·         Daftarlah hal-hal konkret untuk kamu kerjakan.
Latihlah diri sampai muncul cinta yang tulus dalam hatimu terhadap orang itu.

5.       Dekatilah dia dan kerjakan tugasmu di atas.

TERPUJILAH ALLAH!

A CALL TO LOVE (Yohanes 13:34-35)


A CALL TO LOVE
Yohanes 13:34-35


Obral Cinta

Berapa kalikah dalam sehari kita mendengar kata “cinta”?  Di televisi, sinetron-sinetron banyak mengobral cinta anak muda.  Di dalam Facebook dan Twitter, anak-anak remaja memasang status “cinta.”  Para penyanyi melantunkan tembang-tembang cinta.  Di kebaktian pernikahan, sepasang kekasih mengikat janji cinta. 

Di pihak lain, hubungan cinta itu ternyata rapuh.  Cinta sinetron diwarnai oleh pengkhianatan, penyelewengan, ketidaksetiaan.  Status Facebook dan Twitter juga sering terbaca “putus cinta” bahkan sakit hati karena cinta.  Tak sedikit pula penyanyi yang merekam lagu-lagu pahitnya cinta.  Banyak pernikahan Kristen yang berujung pada kehancuran.

Apalagi, masyarakat kita semakin kompetitif dan mudah sekali bermusuhan.  Di satu sisi, cinta itu semakin rapuh, tetapi di sisi lain makin besar pula hasrat untuk mencintai, bersatu, bersahabat dan bersaudara.

Hasrat Terdalam

Manusia mendambakan relasi.  Kita selalu ingin keluar dari kesendirian.  Namun kita pun perlu sadar, jikalau kita merasa sepi, dan hasrat berelasi itu hanya untuk menghilangkan rasa sepi, kita akan segera kecewa.  Orang lain yang kita jadikan teman atau sahabat itu akan segera menjauh dari kita.  Semakin kita berharap orang lain mampu menghilangkan rasa sepi kita, semakin pilu dan sakit kita jadinya.  Sebab, kita menuntut dia untuk menjadi seperti yang kita mau.  Ketika tuntutan itu makin besar, relasi itu menjadi kekerasan: elusan menjadi pukulan, pandangan mesra berubah menjadi curiga.

Kita mencari teman, dekat orang lain supaya merasa aman, bahwa kita ini diterima dan menjadi bagian dari sebuah kelompok.  Akan tetapi, segera kita tersadar bahwa ternyata mencari sahabat itu bukan hal yang mudah.  Perlu penyesuaian diri.  Kadang bergesekan, konflik.

Rasa ingin berelasi dan menjadi bagian dari sebuah kelompok itu bisa berhasil, kalau kita memahami arti panggilan.  Artinya, Allah memanggil kita untuk mengasihi, untuk mencintai.  Allah memanggil kita untuk hidup di dalam dunia untuk melakukan tugas perutusan—menjadi saksi Allah.  Cinta yang tulus dapat kita berikan, manakala kita sudah merasakan cinta yang sejati dari Allah.  Karena Allah mencintai kita, maka kita sekarang menjadi saksi cinta Allah.  Dengan kata lain, mencintai berarti mewujudkan cinta Allah yang tanpa batas, yang dinyatakan melalui cinta terhadap orang lain, diri sendiri dan kepada alam lingkungan.

Mencintai Seperti Yesus

Yesus bersabda, “Seperti Bapa mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu.”  Cinta Yesus bagi kita merupakan perwujudan utuh cinta Allah kepada kita.  Yesus menyatakan kepada kita bahwa kita dipanggil oleh Allah untuk menjadi saksi hidup bagi kasih Allah.  Kita menjadi saksi Allah dengan mengikuti Yesus, dengan saling mengasihi, sama seperti Ia telah mengasihi kita.

Dengan kata lain, landasan cinta-kasih yang sejati bukan relasi antarmanusia, tetapi cinta Allah.  Allah memanggil kita untuk hidup bersama.  Maka, tidak akan ada keinginan untuk mencengkeram teman kita.  Saling mencintai berarti hidup bersama sehingga setiap orang mengenal kita sebagai orang-orang yang menampakkan kasih Allah kepada dunia.

Ketika kita hanya memandang  bahwa relasi cinta itu adalah “buatan manusia,” maka dengan mudah kita akan menggantinya dengan penyelewengan.  Akan tetapi, apabila kita menyadari bahwa Allah adalah sumber cinta, maka kita akan memandang orang lain sebagai pribadi yang telah Allah kasihi, sama seperti Allah telah mengasihi kita.  Maka, kita pun akan mengasihi mereka.

Latihan Rohani

1.       Nyanyikanlah lagu “Tuhanlah Cinta” beberapa kali, dan renungkanlah tiap katanya:

Tuhanlah cinta, hiduplah bagi cinta kasih-Nya
Tuhanlah cinta, janganlah takut.

2.       Ketakutan seperti apa yang kamu masih miliki bila hendak bersahabat dengan orang lain?

3.       Adakah dendam, kebencian atau rasa permusuhan di dalam hatimu?  Dengan teman, mantan-pacar, orangtua?

4.       Cobalah diam dan bayangkan orang itu berada di depanmu dan katakan: 
·         Bila engkau yang bersalah, katakan, “Maafkan aku!”
·         Bila dia yang bersalah, katakan, “Aku memaafkanmu!”
Latihlah diri sampai muncul cinta yang tulus dalam hatimu terhadap orang itu.

5.       Dekatilah dia dan berbicaralah kepadanya, dan katakanlah, “Saya mengasihimu.”

TERPUJILAH ALLAH!