Wednesday, October 19, 2011

DUDUK BERSAMA DI SEKITAR MEJA KEHIDUPAN

Atau,
MENCIPTAKAN MASYARAKAT YANG EGALITER
Matius 8:5-13; 10:34-42

Masyarakat egaliter itu bagaikan keluarga yang diidam-idamkan sepasang kekasih yang tengah memadu asmara.  Seperti apa keluarga yang dirindukan?  Bagaimana peran tiap-tiap anggotanya?  Siapa yang memimpin?  Pasti pasangan itu mendambakan sebuah keluarga yang rukun dan damai, segala konflik dan kesalahpahaman dapat diselesaikan.  Masing-masing dapat berperan aktif, mengambil bagian untuk membangun keluarga.  Tidak ada pembedaan antaranggota keluarga.  Semua pendapat dihargai, meskipun tak selalu diiyakan.  Semua usulan mendapat tempat, kendati tak selalu menjadi acuan.  Semua senang menjadi bagian di dalamnya.

Allah menghendaki dunia egaliter.  Pada waktu penciptaan, perempuan diciptakan sebagai “penolong yang sepadan.”  Perempuan sama dengan laki-laki.  Allah juga menetapkan hari Sabat sebagai hari istirahat bagi seisi dunia.  Seluruh semesta harus berfokus kepada Tuhan pada hari itu.  Namun, dosa telah melumpuhkan sistem tataan nan harmonis ini.  Mulailah manusia merasa punya hak atas orang lain.  Terjadilah pembunuhan manusia.  Mulailah terjadi poligami, yang artinya laki-laki merasa punya hak di atas perempuan.  Bahkan kemudian manusia mulai merasa mempunyai hak untuk menjarah surga, dengan membangun menara yang menjulang ke langit.  Manusia melupakan Tuhan!  Tataan dunia egaliter musnah sudah.

Dalam pada itu, Allah bukan Tuhan yang berhenti berkarya.  Di tengah konteks zaman dan dunia yang diwarnai pembedaan status, maka Allah menciptakan sebuah masyarakat yang egaliter di dalam dan melalui bangsa Israel.  Israel menjadi model atau miniatur dunia yang egaliter.  Komunitas ini dijiwai oleh hidup kekudusan, keadilan dan kebenaran.  Mereka tidak boleh seperti bangsa lain.  Mereka tidak boleh memandang bulu.  Mereka harus mengarahkan hati kepada Tuhan.  Sabat kembali diteguhkan, bukan saja supaya manusia berhenti bekerja, tetapi hewan pun menikmati istirahat.  Jangkauan keadilan di dalam masyarakat yang egaliter sampai kepada keutuhan seluruh ciptaan.  Tujuan Allah ialah supaya bangsa-bangsa melihat, di tengah dunia yang tidak adil, ada sebuah gaya hidup alternatif—sebuah budaya tandingan!

Dalam sejarahnya, Israel pun gagal menciptakan masyarakat yang egaliter!  Mereka memilih mengikuti cara hidup bangsa lain.  Mereka mengikuti dewa-dewi dan ilah bangsa asing, yang serta merta menyeret mereka kepada penyembahan kafir dan pola hidup dosa.  Mereka memperlakukan sesama dengan semena-mena.  Inilah yang ditentang oleh nabi-nabi di Perjanjian Lama.

Yesus Sang Mesias menyerukan kembali gaya hidup alternatif ini.  Dalam peristiwa penyembuhan hamba kepala satuan seratus pasukan (centurion) dari Kapernaum, Yesus berkata, “Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Surga” (Mat. 8:11).  Ini tidak mungkin terjadi di antara orang-orang sezaman Yesus!  Mereka sedang mengupayakan diri mereka sekudus-kudusnya, sebab telah begitu lama mereka dipengaruhi gaya hidup bangsa asing.  Tidak!  Jangan lagi tinggal bersama orang asing!  Bahkan, duduk dan makan pun tidak akan pernah terjadi!

Masalah dengan siapa saya duduk makan juga yang melatari Surat Galatia.  Ada sebagian orang Yahudi telah menjadi pengikut Kristus, tetapi mereka menyangka bahwa mengikut Yesus berarti mengikuti Mesias Yahudi.  Dengan kata lain, harus tampak tanda-tanda keyahudian.  Salah satunya, tidak mau makan dengan orang asing.  Ini tindakan haram.  Najis hukumnya. 

Justru pemahaman inilah yang sedang dijungkirbalikkan oleh Kristus dan Paulus.  Kerajaan Surga bukan kerajaan yang eksklusif: hanya bagiku, bagi kaumku, bagi orang-orang yang sepandangan dengan aku.  Kerajaan Surga penuh dengan kejutan!  Orang-orang yang tidak diharapkan malahan datang dan makan bersama-sama dengan bapa-bapa iman umat Allah: Abraham, Ishak dan Yakub.  Bagaimana hal itu bisa terjadi?  Melalui perbuatan-perbuatan Taurat: Sunat, hukum Sabat, hukum halal-haram?  Tidak!

Dua teks dari Matius inilah kuncinya, yaitu melalui: (1) iman dan (2) komitmen kepada salib.  Para bapa Israel hidup karena iman, bukan karena tanda-tanda.  Mereka percaya kepada Allah.  Maka, kaum yang mewarisi cara hidup mereka dijiwai dengan iman, bukan perbuatan lahiriah.  Yesus juga menekankan satu hal penting: kepatuhan dalam memikul salib, yaitu ketahanan menderita, kesetiaan sampai titik darah penghabisan.  Inilah yang menjadi penanda umat Allah yang sejati.  Sekalipun di dalam diri seseorang tidak mengalir darah Yahudi-Israel, dia tidak perlu menjadi Yahudi dengan tanda-tanda lahiriah untuk diterima sebagai umat Allah.  Artinya, dia boleh saja orang bukan-Yahudi.  Tetapi dia percaya penuh kepada Allah.  Dia juga bertekad untuk hidup taat sampai mati sekalipun hidup ini tidak mudah.  Orang ini termasuk dalam umat Allah yang sejati!

Kaum Anabaptis dijiwai oleh semangat egalitarian, kesetaraan.  Semua orang adalah saudara.  Bahkan yang bukan Kristen pun dianggap sebagai saudara.  Itulah sebabnya, kaum Anabaptis-Mennonit menjadi pelopor dalam pergerakan perdamaian di pelbagai belahan dunia, tanpa memandang latar belakang agama, status dan bangsa.  Saudara kini ada di gereja Mennonit.  Yang paling sederhana: Jika Saudara tiap Minggu datang ke gereja, adakah orang-orang yang belum pernah Saudara sapa dan berikan salam?  Jika kita rajin beribadah, masihkah ada orang yang kita jauhi?  Mohon Tuhan menyelidiki hati kita.  Jika Dia sudah menerima kita apa adanya, bagaimana seharusnya pola hidup kita? Amin.


DIANIAYA OLEH SEBAB KEBENARAN (Matius 5:10-12)

 
Sabda pamungkas Ucapan Bahagia ini relevan bagi para pendengar di zaman Yesus.  Mereka adalah kaum teraniaya di dalam era penjajahan Roma.  Yesus membawa penghiburan besar bagi mereka!  Sabda ini pun relevan pagi penerima Injil Matius.  Bait Suci yang pembangunannya membutuhkan waktu 46 tahun luluh lantak pada tahun 70 M. akibat serangan besar-besaran tentara Roma, mengalahkan pemberontakan Simon bar Giora sejak tahun 66 M.  Sabda yang sama relevan untuk para pendahulu Anabaptis yang tinggal dalam suasana terimpit dan terjepit, dibenci dan dicaci, diburu dan dibunuh, dituduh makar dan dikejar-kejar selama dua ratus tahun, baik oleh gereja Katolik Roma dan Gereja Reformasi.  Semua itu . . .  dulu.

Sekarang?  Apakah kita teraniaya?  Apakah kita menderita?  Pernahkah Saudara dibantai oleh sebab kebenaran?  Kendati menara kembar WTC di kota New York tumbang, dan banyak orang Amerika bertanya, “Mengapa mereka membenci kami?” dan masalah terakhir, bom bunuh diri meledak di GBIS Surakarta, apakah itu berarti kita sudah menggenapi keadaan yang diceritakan Yesus?  Sekarang . . . ya, baik-baik saja.  Lalu apa relevansi undangan Yesus ini bagi kita?  

Pertama, perhatikan bahwa ada frase yang sama di akhir dan awal Ucapan Bahagia ini: “merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (bdk. Ayat 3).  Pokok Ucapan Bahagia adalah bagaimana kita memiliki kerajaan surga.  Ternyata, berbeda dengan tawaran dunia: yang miskin, yang berduka, yang lemah-lembut, yang lapar dan dahaga, yang murah hati, yang suci hati, yang membawa damai, yang dianiaya!  Singkatnya, mendapatkan kerajaan surga bukan dengan cara dunia!  Dunia mengagung-agungkan kekayaan, gegap gempita, kekuatan, pesta-pora, kepentingan diri, penghalalan segala cara, peperangan, tangan besi.  Yesus sedang mengajarkan kepada para murid bagaimana berpola hidup sebagai warga Kerajaan Allah.

Kedua, Yesus berbicara mengenai “kebenaran” atau “jalan kebenaran.”  Kata “Jalan” adalah cara orang Yahudi menyatakan tindakan etis dalam memelihara kehendak Allah.  Langkah praktis apa saja yang seseorang bisa kerjakan untuk tetap membuat Allah bersukacita?  Tetapi, apa yang menyukacitakan hati Allah sangatlah berbeda dengan dunia.  Menapak di jalan kebenaran membuahkan konsekuensi.  Hidup menjadi tidak mudah.  Murid-murid akan teraniaya karena mengikuti jalan kebenaran.  Ya, bagaimana tidak jika mereka dianggap sebagai makhluk aneh?

Ketiga, kata kerja “dianiaya” ini ditulis dalam bentuk perfect.  Baik pendengar Yesus maupun penerima Injil Matius telah akrab dengan penganiayaan.  Tetapi ini pun berarti, mereka tetap berada di jalan kebenaran.  Sebab melakukan kebenaranlah mereka dianiaya.  Seberapa berat pun aniaya, murid Kristus harus tetap melakukan kebenaran.  Dibutuhkan ketekunan dan ketahanan.  Tekun untuk tetap berjalan seturut kehendak Allah.  Tahan untuk menghadapi masa depan yang berat dan tidak menentu.

Relevansi bagi pendengar modern dan kita yang tidak sedang berada di bawah penindasan yang langsung adalah: seberapa tekun dan tahan kita hidup di jalan Tuhan?  Aniaya tidak selalu datang dari orang lain.  Tetapi diri sendiri yang acapkali mencobai kita.  Tidak selalu Iblis dengan para pengikutnya yang hendak menjatuhkan kita, tetapi keinginan diri kitalah yang mau mengalahkan kita.  Seberapa kita tahan menghadapinya?  Jika kita mampu bertahan, Tuhan Yesus katakan bahwa kita adalah orang-orang yang berbahagia!  Amin.