Wednesday, February 13, 2013

Perjanjian di Sinai, Suatu Moral Dasar



PERJANJIAN DI SINAI, SUATU MORAL DASAR
 ULANGAN 5:1-22, 32-33

Iman yang dipercaya oleh umat Allah di sepanjang sejarah, dan yang disaksikan oleh Kitab Suci, adalah iman yang dimulai dengan tindakan kasih Allah.  Sejak semula, Allah adalah kasih.  Kasih itu mengalir secara suka rela dari Allah.  

Pada permulaan zaman, Allah menciptakan langit dan bumi.  Allah mengikatkan diri-Nya dalam janji suci dengan bapa-bapa iman bangsa Israel: Abraham, Ishak dan Yakub.  Allah ini pula yang mendengar jeritan kaum yang tertindas di tanah Mesir.  Allah pun mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan umat-Nya.  Allah yang bertindak dengan tangan-Nya yang perkasa untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari penindasan bangsa asing.  Allah melakukan semuanya ini tanpa bujukan dan paksaan dari siapa pun.  Allah melakukannya dengan merdeka.

Ketika Allah mengasihi, Allah berkenan mengikatkan Diri kepada objek yang dikasihi-Nya.  Ada hubungan kasih yang intim antara Allah dan umat.  Inilah yang disebut sebagai “perjanjian.”  Gambaran perjanjian yang dikenal di zaman kuno ialah jika seorang raja agung menaklukkan satu wilayah, maka ia akan mengikat perjanjian dengan rakyat taklukannya.  Tindakan raja dalam menaklukkan wilayah itu dijelaskan sebagai bentuk pemerdekaan bagi para penduduk di sana, bukan sebagai penindasan.  Adapun raja memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh rakyat, menyatakan keadilan dan membela hak-hak mereka.  Sebaliknya, kewajiban bagi rakyat adalah untuk patuh dan setia kepada sang raja.  Jika mereka patuh, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang dijanjikan, yaitu kesejahteraan.

Demikian kita melihat ikatan perjanjian Allah.  Di dalam narasi perjalanan umat Allah, babak di lereng Gunung Sinai merupakan peristiwa penting.  Allah memberikan Hukum Taurat sebagai bagian dari kisah pembebasan-Nya atas umat yang teraniaya.  Dengan demikian, Taurat merupakan wujud kasih Allah!  “Ketetapan dan peraturan” tak lain merupakan perwujudan dari tindakan Allah “yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (ay. 6)  Allah memberikan hukum setelah Ia bertindak terlebih dahulu.  

Di sini kita melihat kebenaran dasar iman Kristen: anugerah mendahului peraturan.  Allah sudah mencurahkan kasih-Nya terlebih dahulu.  Baru kemudian, Allah meminta umat-Nya untuk berlaku sesuai dengan karakter-Nya yang kudus.  Allah telah mencurahkan kasih, memberikan anugerah, menyatakan rahmat kepada mereka yang dikasihi-Nya.

Dari sisi Israel sebagai umat Allah, mereka dipanggil untuk “lakukanlah semuanya itu dengan setia.” (ay. 32).  Dua hal yang kita catat di sini.  Umat Allah harus melakukan semuanya itu.  Tiada satu hal pun yang boleh di-discount.  Tak ada setitik pun yang boleh dikurangi dari hukum Taurat (bdk. Mat. 5:18-19).  Umat pun harus melakukan dengan setia.  Artinya, memperjuangkan supaya nilai-nilai kekudusan Allah berlaku dalam tindak-tanduk sehari-hari dan perikehidupan umat secara berkomunitas.  Intinya, kasih Allah yang total, patutlah disambut dengan cinta umat yang total.

Jika umat setia melakukan perintah Allah, maka ada janji yang Allah berikan.  Mereka akan “hidup, dan baik kedaanmu serta lanjut umurmu di negeri yang akan kamu duduki.”  Kehidupan adalah anugerah bagi mereka yang menjadi umat Allah.  Allah tidak menghendaki kematian, baik rohani, fisik maupun kematian kekal.  Umat akan menikmati sejahtera, yang berarti keadaan hidup yang baik, cukup sandang, pangan dan papan serta memiliki relasi yang baik dengan Allah, sesama dan lingkungan.  Mereka pun akan menikmati kehidupan yang tenteram di tanah Perjanjian, yakni hidup dalam lindungan Tuhan dari hari ke hari.

Sebagai kesimpulan, betapa banyak orang Kristen yang salah memahami Alkitab sebagai buku yang penuh dengan aturan yang menjerat.  Kitab Suci bak kitab hukum pidana.  Dipandang dari sisi perjanjian, sekarang kita memahami bahwa semua aturan ini merupakan ungkapan cinta kasih Allah, yang sudah sepatutnya disambut dengan gembira oleh setiap umat Allah.  Peraturan ini sesungguhnya merupakan petunjuk agar kita menjadi umat dengan karakter Allah sendiri, di tengah-tengah dunia yang bengkok dan yang melawan Allah.

Mungkinkah kita bisa melakukannya?  Yesus Kristus adalah Teladan kita.  Ia menyambut kasih Allah yang Ia dengar ketika dibaptiskan, “Engkaulah Anakku yang Kukasihi,” (Luk. 3:22) dengan bergaul akrab dengan firman Allah.  Sehingga, ketika cobaan si jahat datang, Kristus selalu menjawab dengan “Ada tertulis” (Luk. 4:4, 8, 12).  Cintailah hukum Allah, maka Saudara akan mendapatkan kemerdekaan yang sejati!  Syukur kepada Allah!

Friday, February 1, 2013

KASIH KOMUNAL YANG RADIKAL



KASIH KOMUNAL YANG RADIKAL
1 Korintus 13:1-13


Ayat-ayat yang kita baca tergolong bagian favorit orang Kristen.  Banyak orang Kristen menyukainya, dan kerap membacanya lepas dari konteks yang seharusnya.  Penulisnya sendiri, yaitu rasul Paulus, adalah seorang pelayan Tuhan yang sangat memperhatikan kehidupan berjemaat.  Ia adalah seorang teolog besar!  Tetapi, teologinya selalu mendarat untuk pembangunan tubuh Kristus.  Semua tulisan rasul Paulus berbicara mengenai persekutuan orang percaya.

Teks hari ini hendak menanyakan kepada kita: “Adakah cara yang lebih utama daripada menunjukkan aktivitas sebagai seorang Kristen?”  Jawabnya, Ada!  Hendaklah kita tidak menganggap bahwa menjadi Kristen berarti kelihatan aktif dan sibuk melayani.  Di dalam terang salib Kristus, ada hal yang jauh lebih penting: Kasih!  

Mengintip sekilas akan konteks sosial yang dibedah oleh rasul Paulus, masyarakat Korintus yang kebanyakan non-Yahudi, dan yang mengagungkan pengetahuan itu, ternyata adalah masyarakat yang “mencari keuntungan sendiri” atau lebih tepatnya “memaksakan caranya sendiri” (zētei ta hautēs, 13:5).  Sebelumnya, Paulus sudah memperingatkan gereja Korintus (lih. 8:1-11:1), dan memberikan teladan bagaimana cara hidup yang seharusnya.  Pengetahuan membuat orang menjadi sombong (8:1b).  “Jangan seorang pun mencari keuntungan sendiri” (mēdeis to heautou zēteitō, 10:24).  “Sama seperti aku . . . bukan untuk kepentingan diriku” (mē zētōn to emautou symphoron, 10:33).

Singkatnya, gereja di Korintus adalah murid Yesus yang hidup dalam konteks masyarakat yang—dalam bahasa Jawa—nggugu karepe dhewe.  Keras kepala, dan mencari keuntungan bagi diri sendiri.  Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika di sebuah komunitas, masing-masing orang merasa paling benar dengan caranya sendiri.  Pasti ada percekcokan.  Perselisihan dan berkelompok-kelompok.  Iri dan cemburu.  Gosip dan membicarakan orang lain.  Sebaliknya, karakter para murid Yesus seharusnya bukanlah demikian.

Namun sayangnya, perselisihan itu memang sudah terjadi di jemaat Korintus, jemaat yang kaya raya, bukan saya dengan materi tetapi juga dengan karunia-karunia rohani!  Untuk itulah, Paulus dengan cermat menempatkan berita tentang kasih dalam bingkai karunia-karunia rohani.  Di perikop sebelumnya, gereja yang sejati dicirikan oleh karunia-karunia yang dimiliki, dan tiap-tiap anggotanya wajib mempersembahkan karunia mereka (12:1-31).  Di perikop sesudahnya, rasul menerangkan bagaimana karunia-karunia itu dipakai dalam penyembahan kepada Allah (14:1-40).  Karakteristik kasih yang seperti apa yang harus ada di dalam jemaat?

Pertama, kasih tidak boleh tidak ada (13:1-3).  Adalah suatu keniscayaan bahwa jemaat dicirikan oleh kasih.  Kefasihan lidah, hikmat dan pengetahuan, serta iman yang besar, tanpa dilambari kasih adalah kosong belaka.

Kedua, kasih itu berkarakter (13:4-7).  Karakter yang didaftarkan di sini tidaklah sama dengan yang ditawarkan oleh dunia.  Kasih yang sejati dapat dibahasakan bersedia tinggal dalam satu ruang dengan orang lain.  Kasih itu bahkan mau memberi ruang untuk yang lain lebih maju.  Lebih-lebih, kasih yang benar bersedia untuk menciptakan ruang untuk hidup bersama orang lain.

Ketiga, kasih itu permanen (13:8-12).  Paulus membandingkan dengan karunia-karunia dalam jemaat.  Hanya kasih yang bernilai kekal.  Ia tinggal tetap di dalam setiap orang percaya, dan menjadi daya dorong utama kehidupan kristiani.

Keempat, kasih itu superior (13:13).  Kasih lebih dari segala sesuatu.  Paulus memakai kata “tinggal” yang dapat berarti “tetap hidup sampai zaman yang akan datang” atau “bernilai penting selama dunia ini berlangsung.”  Ia menunjukkan bahwa komunitas Korintus harus memiliki kasih, terbukti bahwa di akhir surat, ia tetap menuliskan tentang kasih: “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih” (16:14); “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia.  Maranata!” (14:22); “Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus” (14:24).

Kasih Allah seharusnya memerintah umat-Nya!  Kasih seharusnya mengakar dalam kehidupan jemaat Kristus.  Murid Kristus yang sejati dicirikan oleh kasih yang benar-benar menjadi jiwanya.  Kasih yang radikal!  Bagaimana dengan gereja kita?