Wednesday, August 24, 2011

Mengajak Tuhan ke Sekolah: Saran Julian dari Norwich



Pergi ke sekolah selalu menyenangkan.  Pasti ada ritual-ritual khusus yang kita harus persiapkan—pena, buku tulis, kalender, seragam, dan tentu saja sepatu!  Bisa jadi, semuanya baru.  Coba kembali perhatikan wajah-wajah teman-temanmu, tentang apa yang mereka kerjakan sejak kalian terakhir kali berjumpa mereka.   Atau, berjumpa dengan murid-murid baru.  Di seminari kami, ada gairah tersendiri ketika bertemu muka dengan adik-adik tingkat.  Belum lagi dengan pelajaran-pelajaran.  Saya selalu menanti kejutan-kejutan di semester yang baru!  Saya senang jika dosen memberi bacaan yang banyak, atau tugas riset—membuat paper!

Pada waktu yang sama, terjadi pula kecemasan tiap tahun.  Saya takut bagaimana mengalokasikan waktu sehingga saya dapat melakukan setiap hal tanpa membunuh diri saya sendiri.  Saya cemas apakah saya, di dalam banyaknya aktivitas sekolah, dapat menjaga kehidupan jiwa saya.  Saya tahu saya bukan satu-satunya yang merasakan kebimbangan di tahun yang baru, atau yang merasa apakah saya dapat melewati tahun ini tanpa kehilangan jiwa, atau iman atau integritas intelektual.

Kita dapat belajar dari Julian dari Norwich.  Saya rasa ia punya saran yang sangat baik bagi kita.  Pertama, kita butuh Tuhan.

Tuhan?  Tampaknya omong kosong dan jawaban yang yang dangkal.  Namun bila pun kita menerimanya, kita masih harus mengetahui sumber daya apa saja yang kita miliki, dan apa yang harus kita lakukan dengan sumber daya itu untuk mencari dan menemukan Allah.

Julian akan meyakinkan kita bahwa sumber-sumber daya ini adalah hal-hal yang kita tidak harus cari.  Faktanya, kita memilikinya terus, yaitu kapasitas sebagai gambar Allah di dalam kita.  Julian menamakan kapasitas ini kebenaran, hikmat dan sukacita, dan tiap-tiap hal berkait erat dengan pribadi-pribadi di dalam Allah Tritunggal.  Kapasitas kebenaran “memandang Allah, dan hikmat merenungkan Allah, dan dari keduanya hadirlah yang ketiga, dan itu adalah sukacita ajaib di dalam Allah, yaitu cinta . . .”

Sebab Allah adalah kebenaran tertinggi yang takberkesudahan, hikmat yang tak berkesudahan, cinta abadi yang tak berkesudahan; dan jiwa [kita] adalah satu makhluk di dalam Allah yang memiliki kelengkapan-kelengkapan yang sama . . . Dan selalu ia mengerjakan tujuan penciptaannya; ia memandang Allah dan ia merenungkan Allah dan ia mencintai Allah . . . [Dan] terang serta beningnya kebenaran dan hikmat membuat [kita] melihat dan mengetahui bahwa [kita ini] diciptakan untuk cinta, di dalam cinta Allah tak lekang menjagai [kita.]

Maka menurut Julian, sebagai manusia terkasih yang diciptakan dalam gambar Trinitas, kita telah, sekarang ini, pada masa ini juga, memiliki sumber daya untuk tahun yang akan datang: kapasitas untuk sungguh-sungguh melihat Allah yang adalah kebenaran, untuk merenungkan Allah yang adalah hikmat dan untuk bersukacita di dalam Allah yang adalah cinta.

Jika kita hendak menggunakan sumber daya ini untuk mencari dan menemukan Allah, saya membayangkan Julian akan mengatakan seperti ini: Tancapkanlah di dalam pikiranmu bahwa masing-masing dari ketiga hal ini benar-benar bertali erat dengan tiap pribadi Allah Tritunggal—kebenaran, kepada Allah Sang Bapa; hikmat, Sophia yang abadi, kepada Yesus Kristus, dan cinta kepada Roh Kudus.  Ini berarti bahwa tidak ada satu kapasitas manusia pun yang dapat beroperasi tanpa yang lain dan tetap seperti maksud mula-mula.  Tak ada satu pun yang dapat dipertentangkan dengan kedua yang lain, atau dipisahkan dari yang lain, atau menempatkan di bawah atau di atas yang lain, seperti seolah kita mampu berjumpa dengan satu anggota Trinitas tanpa kedua pribadi yang lain. 

Setelah menunjukkan keutuhan kapasitas-kapasitas kita, saya membayangkan Julian akan memberi tahu kita bagaimana kita dapat mempraktikkannya untuk mencari, menemukan dan mencintai Allah: Kapasitas pertamamu, untuk melihat kebenaran, memberimu kemampuan untuk berjumpa dengan Allah secara langsung, untuk melihat Allah muka dengan muka.  Kamu harus memraktikkannya terus menerus sehingga kamu (tanpa melupakan bahwa ketika kamu berbicara tentang Allah, kamu membicarakan mengenai Sosok yang paling nyata secara fundamental dan real.  Allah bukan rekaan pikiran manusia, dan tidak tidak mungkin Allah direduksi hanya dalam sebatas apa yang dapat diperkatakan oleh manusia tentang Allah.

Lebih jauh, jika kamu tidak meletakkan dicimu dalam cara yang dapat dijumpai oleh Allah yang hidup, tetapi hanya berpikir tentang Allah, atau mengobrol tentang Allah, atau menyatakan posisi Allah di dalam isu-isu moral, pekerjaanmu akan sia-sia.

Saya rasa Julian akan menasihati kita dengan sesuatu seperti ini: Jika kamu bermaksud untuk berjumpa dengan Allah yang adalah kebenaran, kamu tidak akan dapat melakukannya tanpa praktik kehidupan doa setiap hari, tak soal betapa kamu pandang konyol serta tidak cukup untuk memenuhi hasratmu.  Jika kamu punya kehidupan doa yang baik, biarlah itu berlangsung terus secara natural, tetapi jangan menyerah.  Jangan lupa bahwa Yesus pernah berkata, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul, di situ Aku akan ada di tengah-tengah mereka.”  Berangkatlah ke kapel secara rutin, turutlah ambil bagian dalam sakramen.  Dalam ibadah yang rutin, kamu dapat berharap secara pasti perjumpaan dengan Allah yang adalah kebenaran.

Tetapi jangan praktikkan doa dan ibadahmu seolah-olah semua itu lebih sakral dari “kehidupan setiap hari.”  Allah yang adalah kebenaran itu Pencipta yang benar-benar hadir di dalam karya ciptaan-Nya, dan di dalam lubuk hati umat manusia.  Oleh karena itu, yakinlah, bahwa ketika kamu berjumpa dengan sesamamu dan memandang mereka dengan mata hikmat dan cinta, kamu tidak hanya melihat mereka di dalam kebenaran, kamu benar-benar melihat dan berjumpa dengan Allah di dalam mereka.  Jadi pehatikanlah, dan jangan menghina atau mengabaikan seseorang pun sebagai yang tak penting atau tak layak bagimu. 

Pekalah terhadap siswa-siswa, guru-guru, staf dan teman sekelas yang mungkin sangat berbeda darimu.  Dengarkan Allah dalam semua mereka, bahwa ketika kamu tidak berpikir kamu akan berjumpa dengan Allah di sana.  Pekalah dengan situasi mereka yang sedang membutuhkan sesuatu, yang kamu jumpai langsung, atau lihat dari kaca jendela mobil, atau baca di koran, majalah dan buku-buku.  Jangan cepat-cepat mengabaikan kebutuhan mereka, atau menasihati mereka, atau lebih buruk lagi, menghakiminya.  Jangan pernah lupa bahwa kamu tidak dapat membuahkan hasil ketika memperkatakan tentang Allah, tanpa kamu terus berusaha melihat Allah, sebab Allah tidaklah sama seperti yang kita katakan tentang Allah.

Ini berarti bahwa kita dapat mempelajari bahwa pengetahuan apa saja juga merupakan pengetahuan akan Allah yang adalah hikmat yang kudus.  Jangan takut jika kamu tidak secara langsung melihat relevansinya untukmu.  Jika hal itu menerangkan dunia milik Allah dan umat manusia dalam segala aspeknya, ia pun menerangkan sesuatu tentang Allah yang adalah hikmat itu.

Berdoalah, Julian akan menambahkan, tetapi juga berpikirlah mendalam apa yang menghampirimu di dalam doamu.  Nyanyikanlah, dengarkanlah kitab suci, terimalah perjamuan, tetapi sadarilah bahwa memanfaatkan imajinasimu, mengintip apa dan siapa yang kamu jumpai di dalam doa, dan mempertemukannya dengan apa yang kamu pelajari adalah bahan penting yang kamu kerjakan sebagai respons anugerah Allah Trinitas.
Dan untuk kapasitas ketigamu, untuk bersukacita di dalam Allah, Julian akan mengatakan ini: Bersukacitalah bukan atas apa yang kamu lakukan.  Itu adalah responsmu terhadap Allah yang adalah Trinitas, namun diberikan kepadamu.

Respons itu diberikan oleh Allah, tetapi kamu harus juga memahami bahwa adalah tugasmu untuk melatihkan sukacita itu, seperti halnya kamu melatih indera-inderamu.  Sukacita lebih hakiki daripada satu indera.  Sesungguhnya sukacita di dalam Allah itu perlu bagi kebaikanmu seperti halnya memandang kebenaran dan merenungkan hikmat.  Sukacita adalah sarana yang olehnya kmau melihat dan mengerti asal-muasal, makna serta tujuan hidupmu, hidup mereka yang di sekitarmu, dan dunia di mana kamu tinggal, yang telah “didasarkan dan dibangung di dalam kasih Allah.”

Faktanya adalah, kita dicipta untuk cinta, untuk membawa kegembiraan kepada Allah sebab Allah mencintai kita, dan untuk dicintai oleh Allah yang berkenan kepada kita, dan untuk mengasihi Allah dan dunia milik Allah dan ciptaan Allah dan bersukacita di dalam mereka juga.  Benar, cinta adalah dasar pertama dan yang akrab dari perhatian kita bagi mereka, sebab kasih Allah merupakan dasar dari segala sesuatu.

Cinta, bagi Julian, sungguh-sungguh adalah segala-galanya.  Seperti yang dilaporkan dalam penglihatan terakhirnya:

Apakah kamu berharap untuk memahami cara Allah memaknai hal ini?  Kenallah dengan baik, cinta adalah makna [dari Allah].  Siapa yang menyatakannya bagimu?  Cinta.  Apa yang yang [Allah] nyatakan bagimu?  Cinta.  Mengapa [Allah menyatakannya kepadamu?  Demi cinta.  Tinggallah di dalam ini, dan kamu akan mengetahui lebih banyak hal lagi yang serupa.  Tetapi kamu tidak akan pernah mengerti dengan berbeda-beda, tanpa ada akhirnya.

Dalam masa yang sulit ini, di dalam kecemasan kita bahwa kita akan kehilangan jiwa kita, integritas kita, diri terdalam kita, Julian mengulang perkataan Yesus, “Jangan takut.”  Benarlah bahwa Allah saja yang kita butuhkan, tetapi Allah yang adalah kebenaran, hikmat dan cinta sudah kita punyai.  Dan jika kita tinggal di dalam Allah, kita “tinggal di dalam cinta,” dan setia untuk mengerjakan yang terbaik sesuai kemampuan kita, maka, dalam bahasa Julian, Allah akan “menjaga kita aman” dalam pekerjaan yang kita lakukan.

TERPUJILAH ALLAH! 

Diadopsi dari tulisan Roberta C. Bondi, “God 101”

Friday, August 19, 2011

METAMORVOXI DAN LAILATUL QADR


Malam ini adalah malam yang penting untuk Metaners, tetapi juga untuk Voxi.  Inilah malam ketika Metanoia melepas sebagian anggotanya.  Di malam yang sama, Vox Reformata menerima anggota-anggota yang baru.  Metanoia menjadi Voxi.  Metamorvoxi.

Tetapi malam istimewa ini bukan hanya milik Metaners ataupun Voxi.  Malam ini adalah malam yang istimewa untuk Saudara-saudara kita, kaum muslimin dan muslimat.  Dua puluh hari, mereka telah menjalankan ibadah puasa.  Kurang sepuluh hari lagi.  Tahukah kalian bahwa sepuluh hari menjelang hari kemenangan, Idul Fitri itu, adalah malam yang istimewa—itulah malam yang paling suci di bulan suci.

Apa kaitan Metamorvoxi dengan Lailatul Qadr?  Saya sendiri tercenung dengan makna Lailatul Qadr itu.  Menurut pakar keislaman di Indonesia, Quraish Shihab, kata “qadr” itu punya tiga arti:

1.       Penetapan atau pengaturan.  Lailat Al-Qadr berarti malam yang ditetapkan oleh Allah SWT yang menentukan arah perjalanan manusia.  Sebab di malam itu diterangkan semua urusan yang penuh hikmat, urusan yang besar di mata Allah.

2.       Kemuliaan.  Malam itu termulia tiada bandingnya.  Termulia, sebab di situlah awal Quran diturunkan.  Sehingga, malam itu lebih mulia dibandingkan 1000 bulan.  Seolah-olah surga terbuka, dan kehendak Allah dinyatakan.  Manusia pun bersorak dan memuliakan Allah, sebab apa yang Ia sudah kerjakan.

3.       Sempit.  Mengapa sempit?  Karena bumi penuh dengan malaikat.  Malaikat berjubel turun ke bumi.  Malaikat turut bersukacita karena firman Allah diturunkan, dan itu berarti jelaslah arah kehidupan manusia.  Barangsiapa mau mengikuti petunjuk dan perintah Quran, akan selamat.  Yang tidak mau, pasti akan kena laknat.

Nah, apa hubungannya peringatan kaum muda GKMI Kudus dengan perayaan Muslim?  Di tahun 2011, keduanya terjadi dalam satu momentum!  Malam ini.  Malam ini adalah malam Metamorvoxi sekaligus Lailatul Qadr.  

·         Bukankah bagi kita, malam ini pun menjadi momentum yang penuh berkat dari Allah?  Kita percaya bahwa Allah menetapkan malam ini menjadi malam yang khusus.  Malam yang menjadi sejarah dalam hidup kamu semua.  Ingat, dalam bekerja, Allah tidak pernah terlambat, atau lebih cepat.  Orang mungkin menganggap Allah tidak peduli, dengan doa-doa yang tidak dijawab.  Namun, Allah punya waktu-Nya sendiri.  Bukankah ketika mengutus Kristus—dalam kesaksian rasul Paulus—Allah melakukannya “setelah genap waktunya!” (Gal. 4:4).  Allah mempunyai pertimbangan sendiri, dan pertimbangan-Nya selalu bebas, tanpa intervensi manusia.

·         Ini pun adalah malam yang mulia!  Apakah sesungguhnya kemuliaan manusia?  Yaitu tatkala firman Allah datang menjumpainya!  Di Islam, Firman itu menjadi buku—Al-Quran.  Di Kristen, Firman Allah (Kalimatullah) datang di dalam rupa manusia.  Yohanes bersaksi, “Kita telah melihat kemuliaan-Nya!” (Yoh. 1:14).  Di Islam, penyataan Quran di malam Lailatul Qadr.  Di Kristen, penyataan Kristus terjadi di dalam kegelapan, dan kegelapan tidak menguasainya (Yoh. 1:5).  Malam dan kegelapan, adalah dua hal yang merupakan dua sisi koin.  Maka, baik Lailatul Qadr dan Inkarnasi Firman Allah sesungguhnya merupakan malam yang menghentakkan kemanusiaan kita, yang telah lama terbuai dalam tidur malam panjang.  Hari yang baru sudah tiba!  Saatnya bekerja!  Terang Allah ada di tengah-tengah kita!  Tiada lagi alasan untuk bermalas-malas bekerja!

·         Yang terakhir, malam ini adalah malam yang sempit.  Bukan saja karena tempat ini menjadi penuh sesak.  Bukan saja karena embusan CO2 yang keluar dari masing-masing lubang hidung menambah panasnya ruangan ini.  Namun, yang lebih positif, kita melihat adanya sukacita.  Malam ini seperti malam ketika Yesus dilahirkan.  Nun jauh di daerah yang terpencil, jauh dari keramaian, di malam yang teramat dingin di sebuah padang luas Efrata, di mana para gembala masih setia menunaikan tugasnya, tiba-tiba padang sunyi itu terang benderang dan sejumlah besar bala tentara surga menyanyikan paduan suara, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi, di antara manusia yang mengasihi-Nya!”  (Luk. 1:14).  Malam yang lengang menjadi benderang terang!  Padang rumput yang sunyi kini dipenuhi gita pemuji surgawi.  Kehadiran Tuhan membuat surga dan bumi bersorak dalam gempita besar.  Bumi menjadi tempat yang sempit.

Setiap orang mempunyai momentum istimewa dalam hidupnya, yang sering saya sebut sebagai moments of excellence.  Bagi remaja putri, ulang tahun ke-17 adalah moment of excellence itu!  Beralihlah seorang anak menjadi remaja.  Dan momentum itu pasti menjadi kenangan yang tak terlupakan.  Metaners, malam ini adalah malam yang istimewa buatmu.  Saya harap, kamu tahu benar bahwa malam ini adalah malam yang Allah tetapkan bagimu.  Ya, malam ini ditetapkan, dan diatur, supaya kamu semua kini menginjak tahap selanjutnya di dalam langkah imanmu.  Saya berharap semua perilaku belum dewasa yang masih tersisa, dapat ditinggalkan.  Kamu menggladi diri untuk lebih mandiri.

Namun moments of excellence itu tidak akan bermakna apa-apa jika kamu masih hidup di dalam “malam”-mu.  Engkau suka tinggal di dalam kegelapan, masih menikmati hal-hal yang Tuhan tidak suka.  Ingat, Tuhan tidak pernah tertidur.  Setiap perbuatan yang dilakukan di dalam kegelapan akan tersingkap.  Dan kalau kamu tetap menikmati kegelapan, Lailatul Qadr akan menjadi Lailatul Keder!  Untuk itu, malam Metamorxovi ini biar juga menjadi malam ketika Allah menyingkapkan kehendak-Nya bagi hidupmu, dan kamu membuka hati untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Terangmu, serta penuntun dan teladan di hidupmu.

Akhirnya, jadikan malam ini sebagai malam yang sempit.  Sempit dengan gelak tawa sukacita.  Tapi juga sesak karena di sini pun, malaikat hadir, sukacita surgawi ada di antara Metaners yang kini menjadi anggota voxi, dan di sebagian anggota voxi yang di dalam nadi tetap mengalir jiwa dan semangat metanoia.  Dalam terang yang mengusir kegelapan malam: mari kita bersuka.  Tetapi juga, mari giat bekerja.

Monday, August 8, 2011

Mengembangkan Komunitas (Kis 2:41-42)



Tentunya kita kenal sebuah iklan: “Ngga ada lu, ngga rame!  Itulah arti komunitas.  Akar kata “komunitas” adalah cum + unitas (Latin).  Cum adalah “bersama-sama.”  Unitas adalah kesatuan.  Komunitas berarti kesatuan dalam kebersamaan.  Dalam bahasa Jawa ada yang menyebut patunggilan kang nyawiji (“kebersamaan dalam kesatuan”).  Komunitas menjadi nyata manakala tercipta perasaan ngangeni (Jawa: membuat rindu) dan betah untuk terus tinggal; manakala seseorang merasa dihargai, dimiliki, disayang dan diberdayakan; manakala ada penerimaan apa adanya.

·         Perhatikan Mazmur 122, Yerusalem adalah model komunitas.  Betapa sang peziarah meluap kegirangan ketika ada orang yang mengajaknya pergi ke Yerusalem.  Apa sebabnya?  Kota ini “terikat erat bersama-sama.”  Artinya, ada keakraban.  Ada keguyuban.  Lebih lanjut, ada keadilan di dalamnya.  Takhta raja Israel ditetapkan Allah untuk menggelar keadilan bagi seluruh rakyat.

·         Di dalam Amsal 16:31, mengapa rambut putih disebut “mahkota yang indah” atau “mahkota kemuliaan”?  Karena hidup benar-adil.  Tanpa cara hidup benar-adil, rambut putih tidak mempunyai nilai istimewa.  Bayangkan jika komunitas dipenuhi oleh orang-orang yang hidup benar-adil.

·         Komunitas dalam Injil Yohanes, yang menyebut Yesus sebagai Guru dan Tuhan, dicirikan oleh sifat kehambaan: meniru Kristus dalam kerendahan-Nya, membungkuk di depan saudara dan membasuh bagian tubuh yang paling kotor (13:13-15)!  Tidak ada kebanggaan terhadap diri sendiri, yang melahirkan gengsi, kecongkakan, ego-sentrisme.  Sebab, Sang Guru sendiri telah berkenan meletakkan teladan agung: penanggalan keagungan diri (bdk. Flp. 2:5-8).

Gereja sebagai umat Allah yang baru, Israel baru, serta model awal tata ciptaan baru, mengemban mandat Allah baik di PL maupun PB.  Gereja perdana, sebagai buah khotbah rasuli yang membuat hati para pendengarnya tertusuk dan tersayat, dan kemudian bertobat, memiliki cara hidup yang radikal; sebuah cara hidup yang dijiwai oleh dua hal penting: pengajaran dan persekutuan. 

Komunitas dengan pengajaran yang kuat tidak akan bertanya, “Bagaimana enaknya?” tetapi “Bagaimana yang benar.”  Gereja tidak dikendalikan oleh minat, interes, kesenangan pribadi-pribadi, tetapi oleh dasar yang jelas—Firman Allah.  Bukan itu saja, komunitas ini juga dicirikan oleh persekutuan antarsaudara.  Perhatikan ayat-ayat berikutnya.  Tidak ada seorang pun di gereja perdana yang menonjolkan ke-aku-an pribadi.  Masing-masing pribadi hidup bagi saudaranya.

Komunitas yang sejati akan menjadi a community of healing, bukan a community of killing—menyembuhkan, bukan membunuh; atau a community of caring and curing—merawat dan membebat.  Akan GKMI Kudus akan menjadi komunitas yang demikian?  Hanya Saudara/Saudari yang dapat menjawabnya!

TERPUJILAH ALLAH!

Monday, August 1, 2011

"Yaroh" alias Ziarah?

Kata "yaroh" tidak akan dapat dijumpai di mana pun selain di Kudus.  Bukan plesetan.  Bukan slank-word.  Hanya memudahkan orang mengucapkannya saja.  Aku berpikir-pikir kecil, tampaknya natur bahasa memang seperti ini.  Satu kata serapan akan didengar berbeda di tempat lain, lalu diucapkan sesuai dengan kemampuan orang setempat.  Kuncinya, asal orang lain mengerti, cukup lah.  Apa yang ingin kuceritakan?  Simak saja.

Sore tadi, serombongan orang yang kukenal berkumpul di halaman gereja.  Tiga puluh lima orang plus.  Plus dua orang majelis jemaat, dan sebagian gembala jemaat.  Ketiga puluh lima orang itu akan bertolak ke luar negeri.  Israel dan sekitarnya, tepatnya.

Aku yang baru datang dari pertemuan gembala jemaat.  Ketika doa keberangkatan rombongan akan dinaikkan oleh koordinator gembala, aku berdiri di samping seorang laki-laki.  Turut serta juga ke Israel.  Seorang majelis jemaat.  Penatua.

Kucondongkan kepalaku ke arahnya dan kutanya, "Nyekar, Pak?" sambil nyengir.  Artinya, "Hendak menengok tempat keramat, Pak?"  Ketika sayup kudengar bahwa rombongan itu mau "ziarah" ke tanah suci.  Yang menarik, dia balik menjawab, "Ngga, mau refreshing saja!"  Ah, pikirku, ini lebih jujur.

Bukan bermaksud sinis, lho!  Adalah hak setiap orang untuk bepergian.  Petualangan itu mengasyikkan, Kawan!  Aku pun senang berpetualang.  Paling tidak, itu yang kurasakan sejak pulang dari persinggahan setahun di negeri orang.  Bahkan aku pun punya rencana berpetualang lagi.

Tapi ini yang, ya kumaksud.  Kalau mau berpetualang, ya berpetualang.  Wisata, ya wisata.  Jalan-jalan, ya jalan-jalan.  Semua itu tidak ada yang salah.  Baik malahan.  Bukankah penting mengagumi alam ciptaan Tuhan?  Bukankah berharga menikmati karya peradaban umat manusia yang luar biasa.  Melepas lelah.  Sekaligus menambah ilmu.  Yang agak menggangguku ialah jika tumpang tindih dengan bumbu-bumbu rohani: Ziarah.  Napak tilas.  Hmm, apa ya memang begitu?

Teringat aku oleh gelitik nakal Dr. Andar Ismail dalam salah satu artikelnya di majalah Intisari.  Orang Kristen Protestan tidak mengenal ziarah, lho!  Saudara Katolik Roma masih percaya.  Kita tidak punya konsep Tanah Suci.  Seisi bumi ini kudus.  Napak tilas?  Tilasnya Tuhan Yesus?  Ah, apa iya?  Menurut Pak Andar, lha mau napak tilas kok tidurnya di hotel bintang lima dan makannya chinese foods.

Lebih aneh lagi, orang Kristen yang cuma mak-nyuk (sebentar saja) pergi ke tempat-tempat penting yang konon tempat utama kehidupan Tuhan Yesus.  Lihat-lihat doank.  Foto-foto.  Jalan-jalan ke sana-sini.  Sudah.  Pulang ke hotel.  Atau pindah ke objek lain.  Aduh, pikirku, sayang sekali!!!  Itu mutiara mutu manikam, kalau di benakku.  Ya, situs-situs yang kini sudah menjadi gereja itu adalah media pembelajaran yang sangat kaya!  sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya, untuk mengenal tradisi Kekristenan kuno asing bagi sebagian besar orang Kristen Indonesia, yang kebanyakan bertumbuh dalam lingkungan gereja tradisi Barat (Belanda atau Jerman).

Wah, andai aku di sana, pasti tak cukup satu situs tiga jam.  Bagaimana tidak?  Struktur dan detail arsitektur itu memikat hati.  Teologi bangunan gereja akhir-akhir ini kunikmati!  Khususnya gereja-gereja Ortodoks.  Mbok ya kalau belajar itu total.  Yang tertulis di Alkitab mungkin tidak dapat lagi ditemukan secara asli.  Tapi situs-situs itu tak kurang keren-nya bagi mata penyuka sejarah.

Tak heran, tak heran . . . sekali pun sudah berkali-kali ke "Tanah Suci," akhirnya pulang, tidak terlalu banyak yang dipahami.  Rohaniwan, toh tidak lebih baik dan mendalam ketika menguraikan sebuah bagian teks Injil.  Ya, bagaimana tidak?  Tidak ada yang dipelajari, kecuali lihat-lihat sana-sini.  Sightseeing.  Aha, inilah yang kumaksud.  Jalan-jalan.  Refreshing.  Wisata.  Tour.  Ini lebih jujur dan tulus.  Mengapa tidak?  Sekali lagi, itu baik, lho.  Bahkan perlu.  Bagi yang punya, tentu.

MENJALANI KEHIDUPAN BERSAMA-SAMA (Kolose 3:12-17)


Kita menemukan satu definisi gereja.  Gereja adalah umat yang dipilih, dikuduskan, dikasihi dan dipanggil menjadi satu tubuh.  Allah adalah Subjek utama pelaku tindakan-tindakan tersebut.  Allah dengan aktif mendemonstrasikan betapa besar kuasa kasih-Nya kepada kaum-Nya.  Dengan kata lain, Gereja ada karena kehendak Allah.  Gereja ada oleh sebab inisiatif Allah.

Tetapi ini bukan berarti gereja pasif!  Gereja harus mengenakan kemanusiaan yang baru.  Kemanusiaan ini tampak dalam hubungan dengan orang lain, terutama antarsaudara.  Seperti telah kita ketahui, di dalam Kristus, semua murid-Nya diikat dalam sebuah tali persaudaraan.  Gereja harus guyub-rukun dalam simpul persaudaraan.  Maka, keutamaan cinta dan welas-asih sudahlah sewajarnya menjadi ciri khas gereja dibandingkan lembaga-lembaga sosial yang lain.  Persaudaraan yang dijiwai oleh cinta dan welas-asih inilah yang mampu mengejawantahkan “damai sejahtera Kristus.”  Paguyuban pengikut Kristus harus mendagingkan shalōm Kristus.

Bagaimana paguyuban Kristus ini mendagingkan damai sejahtera Kristus?  Penuh ucapan syukur.  Hidup penuh syukur bukan ditandai dengan kemewahan, berlebihan.  Orang kaya belum tentu dapat mengucap syukur.  Orang miskin belum tentu kurang rasa syukurnya.  Rasa syukur diawali dengan kepuasan akan apa yang didapat, sambil menyelami bahwa ini adalah karunia dari Allah.  Dan keluarlah tutur tulus, “Matur nuwun, dhuh Gusti Pangeran!”  Seseorang yang berpuas di dalam Tuhan seperti ini, tidak akan membandingkan dirinya dengan orang lain.  Ia tidak iri hati.  Ia tidak tamak.  Ia justru rela memberi.  Ia siap mengampuni.  Ia paling sigap menolong.

Bayangkan bila gereja kita dipenuhi dengan orang-orang yang penuh ucapan syukur!  Dalam semua gerak-langkah dan tugasnya, gereja mencerminkan rasa syukur itu.  Betapa tidak!  Pertama, pengajaran disampaikan dengan kata-kata yang penuh hikmat.  Kedua, disiplin gereja (teguran antarsaudara) disampaikan dengan pelbagai pujian.  Ketiga, etika baik secara lisan ataupun perbuatan, dilakukan dalam nama Tuhan Yesus—bukan demi kepentingan pribadi.

Jika gereja menghidupi hidup yang seperti di atas, niscaya gereja belajar tentang arti bersaksi.  Kesaksian tidak selalu harus berarti bercerita Yesus Kristus Juruselamat dunia.  Kesaksian gereja juga dapat disampaikan lewat pola hidup komunitas, menjadi keluarga yang mendagingkan damai sejahtera Kristus.  Adakah pilihan yang lebih baik, jika kita sekarang ini hidup di tengah dunia yang karut-marut, bancuh (kacau-balau), bahkan negeri kita tercinta yang diwarnai oleh angkara murka, amuk serta keserakahan?  Dunia mencari sebuah alternatif gaya hidup yang berbeda.  Gereja, sungguh siapkah engkau?  Amin.