Wednesday, August 24, 2011

Mengajak Tuhan ke Sekolah: Saran Julian dari Norwich



Pergi ke sekolah selalu menyenangkan.  Pasti ada ritual-ritual khusus yang kita harus persiapkan—pena, buku tulis, kalender, seragam, dan tentu saja sepatu!  Bisa jadi, semuanya baru.  Coba kembali perhatikan wajah-wajah teman-temanmu, tentang apa yang mereka kerjakan sejak kalian terakhir kali berjumpa mereka.   Atau, berjumpa dengan murid-murid baru.  Di seminari kami, ada gairah tersendiri ketika bertemu muka dengan adik-adik tingkat.  Belum lagi dengan pelajaran-pelajaran.  Saya selalu menanti kejutan-kejutan di semester yang baru!  Saya senang jika dosen memberi bacaan yang banyak, atau tugas riset—membuat paper!

Pada waktu yang sama, terjadi pula kecemasan tiap tahun.  Saya takut bagaimana mengalokasikan waktu sehingga saya dapat melakukan setiap hal tanpa membunuh diri saya sendiri.  Saya cemas apakah saya, di dalam banyaknya aktivitas sekolah, dapat menjaga kehidupan jiwa saya.  Saya tahu saya bukan satu-satunya yang merasakan kebimbangan di tahun yang baru, atau yang merasa apakah saya dapat melewati tahun ini tanpa kehilangan jiwa, atau iman atau integritas intelektual.

Kita dapat belajar dari Julian dari Norwich.  Saya rasa ia punya saran yang sangat baik bagi kita.  Pertama, kita butuh Tuhan.

Tuhan?  Tampaknya omong kosong dan jawaban yang yang dangkal.  Namun bila pun kita menerimanya, kita masih harus mengetahui sumber daya apa saja yang kita miliki, dan apa yang harus kita lakukan dengan sumber daya itu untuk mencari dan menemukan Allah.

Julian akan meyakinkan kita bahwa sumber-sumber daya ini adalah hal-hal yang kita tidak harus cari.  Faktanya, kita memilikinya terus, yaitu kapasitas sebagai gambar Allah di dalam kita.  Julian menamakan kapasitas ini kebenaran, hikmat dan sukacita, dan tiap-tiap hal berkait erat dengan pribadi-pribadi di dalam Allah Tritunggal.  Kapasitas kebenaran “memandang Allah, dan hikmat merenungkan Allah, dan dari keduanya hadirlah yang ketiga, dan itu adalah sukacita ajaib di dalam Allah, yaitu cinta . . .”

Sebab Allah adalah kebenaran tertinggi yang takberkesudahan, hikmat yang tak berkesudahan, cinta abadi yang tak berkesudahan; dan jiwa [kita] adalah satu makhluk di dalam Allah yang memiliki kelengkapan-kelengkapan yang sama . . . Dan selalu ia mengerjakan tujuan penciptaannya; ia memandang Allah dan ia merenungkan Allah dan ia mencintai Allah . . . [Dan] terang serta beningnya kebenaran dan hikmat membuat [kita] melihat dan mengetahui bahwa [kita ini] diciptakan untuk cinta, di dalam cinta Allah tak lekang menjagai [kita.]

Maka menurut Julian, sebagai manusia terkasih yang diciptakan dalam gambar Trinitas, kita telah, sekarang ini, pada masa ini juga, memiliki sumber daya untuk tahun yang akan datang: kapasitas untuk sungguh-sungguh melihat Allah yang adalah kebenaran, untuk merenungkan Allah yang adalah hikmat dan untuk bersukacita di dalam Allah yang adalah cinta.

Jika kita hendak menggunakan sumber daya ini untuk mencari dan menemukan Allah, saya membayangkan Julian akan mengatakan seperti ini: Tancapkanlah di dalam pikiranmu bahwa masing-masing dari ketiga hal ini benar-benar bertali erat dengan tiap pribadi Allah Tritunggal—kebenaran, kepada Allah Sang Bapa; hikmat, Sophia yang abadi, kepada Yesus Kristus, dan cinta kepada Roh Kudus.  Ini berarti bahwa tidak ada satu kapasitas manusia pun yang dapat beroperasi tanpa yang lain dan tetap seperti maksud mula-mula.  Tak ada satu pun yang dapat dipertentangkan dengan kedua yang lain, atau dipisahkan dari yang lain, atau menempatkan di bawah atau di atas yang lain, seperti seolah kita mampu berjumpa dengan satu anggota Trinitas tanpa kedua pribadi yang lain. 

Setelah menunjukkan keutuhan kapasitas-kapasitas kita, saya membayangkan Julian akan memberi tahu kita bagaimana kita dapat mempraktikkannya untuk mencari, menemukan dan mencintai Allah: Kapasitas pertamamu, untuk melihat kebenaran, memberimu kemampuan untuk berjumpa dengan Allah secara langsung, untuk melihat Allah muka dengan muka.  Kamu harus memraktikkannya terus menerus sehingga kamu (tanpa melupakan bahwa ketika kamu berbicara tentang Allah, kamu membicarakan mengenai Sosok yang paling nyata secara fundamental dan real.  Allah bukan rekaan pikiran manusia, dan tidak tidak mungkin Allah direduksi hanya dalam sebatas apa yang dapat diperkatakan oleh manusia tentang Allah.

Lebih jauh, jika kamu tidak meletakkan dicimu dalam cara yang dapat dijumpai oleh Allah yang hidup, tetapi hanya berpikir tentang Allah, atau mengobrol tentang Allah, atau menyatakan posisi Allah di dalam isu-isu moral, pekerjaanmu akan sia-sia.

Saya rasa Julian akan menasihati kita dengan sesuatu seperti ini: Jika kamu bermaksud untuk berjumpa dengan Allah yang adalah kebenaran, kamu tidak akan dapat melakukannya tanpa praktik kehidupan doa setiap hari, tak soal betapa kamu pandang konyol serta tidak cukup untuk memenuhi hasratmu.  Jika kamu punya kehidupan doa yang baik, biarlah itu berlangsung terus secara natural, tetapi jangan menyerah.  Jangan lupa bahwa Yesus pernah berkata, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul, di situ Aku akan ada di tengah-tengah mereka.”  Berangkatlah ke kapel secara rutin, turutlah ambil bagian dalam sakramen.  Dalam ibadah yang rutin, kamu dapat berharap secara pasti perjumpaan dengan Allah yang adalah kebenaran.

Tetapi jangan praktikkan doa dan ibadahmu seolah-olah semua itu lebih sakral dari “kehidupan setiap hari.”  Allah yang adalah kebenaran itu Pencipta yang benar-benar hadir di dalam karya ciptaan-Nya, dan di dalam lubuk hati umat manusia.  Oleh karena itu, yakinlah, bahwa ketika kamu berjumpa dengan sesamamu dan memandang mereka dengan mata hikmat dan cinta, kamu tidak hanya melihat mereka di dalam kebenaran, kamu benar-benar melihat dan berjumpa dengan Allah di dalam mereka.  Jadi pehatikanlah, dan jangan menghina atau mengabaikan seseorang pun sebagai yang tak penting atau tak layak bagimu. 

Pekalah terhadap siswa-siswa, guru-guru, staf dan teman sekelas yang mungkin sangat berbeda darimu.  Dengarkan Allah dalam semua mereka, bahwa ketika kamu tidak berpikir kamu akan berjumpa dengan Allah di sana.  Pekalah dengan situasi mereka yang sedang membutuhkan sesuatu, yang kamu jumpai langsung, atau lihat dari kaca jendela mobil, atau baca di koran, majalah dan buku-buku.  Jangan cepat-cepat mengabaikan kebutuhan mereka, atau menasihati mereka, atau lebih buruk lagi, menghakiminya.  Jangan pernah lupa bahwa kamu tidak dapat membuahkan hasil ketika memperkatakan tentang Allah, tanpa kamu terus berusaha melihat Allah, sebab Allah tidaklah sama seperti yang kita katakan tentang Allah.

Ini berarti bahwa kita dapat mempelajari bahwa pengetahuan apa saja juga merupakan pengetahuan akan Allah yang adalah hikmat yang kudus.  Jangan takut jika kamu tidak secara langsung melihat relevansinya untukmu.  Jika hal itu menerangkan dunia milik Allah dan umat manusia dalam segala aspeknya, ia pun menerangkan sesuatu tentang Allah yang adalah hikmat itu.

Berdoalah, Julian akan menambahkan, tetapi juga berpikirlah mendalam apa yang menghampirimu di dalam doamu.  Nyanyikanlah, dengarkanlah kitab suci, terimalah perjamuan, tetapi sadarilah bahwa memanfaatkan imajinasimu, mengintip apa dan siapa yang kamu jumpai di dalam doa, dan mempertemukannya dengan apa yang kamu pelajari adalah bahan penting yang kamu kerjakan sebagai respons anugerah Allah Trinitas.
Dan untuk kapasitas ketigamu, untuk bersukacita di dalam Allah, Julian akan mengatakan ini: Bersukacitalah bukan atas apa yang kamu lakukan.  Itu adalah responsmu terhadap Allah yang adalah Trinitas, namun diberikan kepadamu.

Respons itu diberikan oleh Allah, tetapi kamu harus juga memahami bahwa adalah tugasmu untuk melatihkan sukacita itu, seperti halnya kamu melatih indera-inderamu.  Sukacita lebih hakiki daripada satu indera.  Sesungguhnya sukacita di dalam Allah itu perlu bagi kebaikanmu seperti halnya memandang kebenaran dan merenungkan hikmat.  Sukacita adalah sarana yang olehnya kmau melihat dan mengerti asal-muasal, makna serta tujuan hidupmu, hidup mereka yang di sekitarmu, dan dunia di mana kamu tinggal, yang telah “didasarkan dan dibangung di dalam kasih Allah.”

Faktanya adalah, kita dicipta untuk cinta, untuk membawa kegembiraan kepada Allah sebab Allah mencintai kita, dan untuk dicintai oleh Allah yang berkenan kepada kita, dan untuk mengasihi Allah dan dunia milik Allah dan ciptaan Allah dan bersukacita di dalam mereka juga.  Benar, cinta adalah dasar pertama dan yang akrab dari perhatian kita bagi mereka, sebab kasih Allah merupakan dasar dari segala sesuatu.

Cinta, bagi Julian, sungguh-sungguh adalah segala-galanya.  Seperti yang dilaporkan dalam penglihatan terakhirnya:

Apakah kamu berharap untuk memahami cara Allah memaknai hal ini?  Kenallah dengan baik, cinta adalah makna [dari Allah].  Siapa yang menyatakannya bagimu?  Cinta.  Apa yang yang [Allah] nyatakan bagimu?  Cinta.  Mengapa [Allah menyatakannya kepadamu?  Demi cinta.  Tinggallah di dalam ini, dan kamu akan mengetahui lebih banyak hal lagi yang serupa.  Tetapi kamu tidak akan pernah mengerti dengan berbeda-beda, tanpa ada akhirnya.

Dalam masa yang sulit ini, di dalam kecemasan kita bahwa kita akan kehilangan jiwa kita, integritas kita, diri terdalam kita, Julian mengulang perkataan Yesus, “Jangan takut.”  Benarlah bahwa Allah saja yang kita butuhkan, tetapi Allah yang adalah kebenaran, hikmat dan cinta sudah kita punyai.  Dan jika kita tinggal di dalam Allah, kita “tinggal di dalam cinta,” dan setia untuk mengerjakan yang terbaik sesuai kemampuan kita, maka, dalam bahasa Julian, Allah akan “menjaga kita aman” dalam pekerjaan yang kita lakukan.

TERPUJILAH ALLAH! 

Diadopsi dari tulisan Roberta C. Bondi, “God 101”

No comments:

Post a Comment