Monday, October 15, 2012

TRAUMA YANG MEMBEKAS



TRAUMA YANG MEMBEKAS

TEKS:
Kejadian 50:15-26


Pengantar

Pengampunan adalah langkah penting demi terwujudnya keadilan.  Keadilan tidak didapatkan dengan memberikan ganjaran setimpal kepada pelaku kejahatan.  Namun, beberapa hal perlu kita catat:

1.       Pengampunan bukanlah melupakan.  Korban kejahatan merasakan bekas penganiayaan secara permanen.  Penyembuhan datang dari mengingat kejahatan yang menimpa.
2.       Pengampunan tidak berarti menerima kejahatan.  Membiarkan pelecehan tetap terjadi demi terjadinya kasih bukanlah pengampunan!
3.       Pengampunan tidak terjadi secara otomatis.  Kecenderungan manusia adalah membalas kejahatan dengan kejahatan.  Pengampunan merupakan komitmen yang harus dilakukan, bukan ditunggu seraya berjalannya waktu.
4.       Pengampunan tidak terjadi cepat.  Pengampunan bukan sekali tindakan, selesai.  Banyak orang menyadari bahwa pengampunan adalah proses.
5.       Pengampunan tidak berarti rekonsiliasi.  Pengampunan berarti korban membiarkan pergi rasa kepedihan dan dendam.  Tidak berarti terjalinnya hubungan yang telah retak.

Adalah baik sekali jika pengampunan dapat mewujud dalam rekonsiliasi.  Tidak selalu, tetapi tidak mustahil.  Kisah Yusuf adalah salah satu contoh konkret.  Yusuf telah memboyong keluarga besar Yakub ke Mesir.  Namun, kita akan melihat bahwa setelah rekonsiliasi terjadi, ternyata ada trauma yang masih belum tuntas, trauma yang dipendam oleh pelaku kejahatan, kakak-kakak Yusuf!  Mereka takut kalau-kalau Yusuf akan membalas mereka.

Pelajaran ini mengajak remaja untuk memahami bahwa rekonsiliasi tetap menyisakan trauma kepada pihak pelaku kejahatan.  Mereka merasa inferior.  Mereka tetap was-was jika pihak korban membalaskan dendam mereka.

Pendalaman Teks

Yakub telah tiada.  Israel telah wafat.  Kecemasan mulai menggelayuti kakak-kakak Yusuf.  Jika dahulu, Yakub merupakan lambang pemersatu keluarga.  Kini, tanpa kehadiran Yakub, apakah yang akan terjadi antara kakak-beradik itu?  Bukan masalah harta warisan yang mereka khawatirkan.  Tetapi bilakah Yusuf akan membalas kejahatan yang dahulu pernah saudara-saudaranya lakukan terhadap dia.

Trauma ternyata masih terjadi pascarekonsiliasi.  Pertama, saudara-saudaranya merasa inferior terhadap Yusuf.   Mereka sekarang berada di Mesir, dan saudaranya itu adalah seorang yang berpengaruh di negeri nan makmur itu.  Dia memiliki kuasa, dan dapat meminta bantuan militer.  Bukankan Yusuf bisa kapan pun membalaskan kejahatan itu dan membinasakan mereka di tanah asing?

Kedua, mereka meminta perantara untuk menyampaikan pesan kepada Yusuf.  Berbeda dengan Yusuf, yang berani secara langsung berbicara muka dengan muka, kakak-kakak Yusuf merasa nyaman meminta seseorang untuk menyampaikan pesan.  Hal ini biasa terjadi di dunia Timur Tengah.  Karena budaya yang mengutamakan penghargaan-kehinaan (honor-shame), maka kehadiran mediator untuk menyelesaikan konflik niscaya diperlukan.

Ketiga, isi berita itu tidak asertif, tetapi kecurigaan: Jangan-jangan, Yusuf belum mengampuni mereka.  Penyampai kabar itu berkata, “Ampunilah kiranya saudara-saudaramu dan dosa mereka.”  Padahal mereka sudah berada di Mesir, tinggal bertahun-tahun bersama dengan Yusuf.  Bukankah mereka was-was?  Mengapa mereka tidak sampaikan, “Kami punya perasaan khawatir, bila Yusuf masih memiliki dendam kepada kami.”

Keempat, saudara-saudaranya bersujud di depannya, “Kami datang untuk menjadi budakmu” (ay. 18).  Akibat ketidakterbukaan hati, mereka proaktif menyatakan diri untuk menjadi budak Yusuf.  Tindakan ini diupayakan karena kecemasan, kecurigaan bila Yusuf masih menyimpan dendam, serta mengingat posisi Yusuf sebagai orang penting di Mesir.  Dari tindakan ini, kakak-kakak Yusuf berharap bahwa adiknya itu mau mengampuninya.

Reaksi Yusuf menunjukkan betapa kaget dia.  Ia menangis, dan meyakinkan mereka dan memberikan jaminan kepada mereka dengan dua kali “Jangan takut,” menghibur mereka dan menenangkan hati mereka.  Dengan tindakan ini, Yusuf tidak pernah menganggap bahwa dirinya lebih tinggi daripada kakak-kakaknya.  Ia tetap Yusuf, saudara mereka.

Kita pun melihat sekali lagi kualitas rohani Yusuf.  Ia lagi-lagi menempatkan peristiwa masa lampau itu dalam bingkai karya Allah.  Allah “mereka-rekakan,” artinya Allah mengatur sedemikian rupa sehingga melampaui kejahatan manusia, kehendak Allah terwujud.  Pada waktu kakak-kakaknya melakukan kejahatan, tindakan mereka benar-benar jahat.  Mereka berdosa.  Mereka tidak tahu menahu apakah Allah menghendaki mereka melakukannya (dan sama sekali tidak!).  Yusuf sebagai korban juga tidak tahu.

Tetapi toh di kemudian hari, setelah semuanya berlalu, tangan Tuhan ternyata bekerja atas semua kejahatan itu.  Kehendak-Nya yang jadi.  Ia memakai kejahatan mereka untuk mewujudkan karya agung-Nya.  Dan segala sesuatu indah pada akhirnya.

Selanjutnya, Yusuf menyatakan bahwa tindakan itu melaksanakan sebuah tujuan: “memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”  Kita melihat inti pengajaran mengenai “perjanjian Allah” tersirat di sini, yaitu perjanjian yang Allah ikatkan dengan Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar” (Kej. 12:2); “[E]ngkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan daripadamu akan berasal raja-raja” (Kej. 15:7).  Jika Allah tidak “mengutus” Yusuf ke Mesir, maka keluarganya tidak akan tinggal di Mesir, sementara itu mereka akan dilanda kekeringan dan kelaparan yang mahahebat, sehingga bisa jadi sejumlah besar keturunan Abraham dari Ishak akan lenyap, atau tercerai-berai.

Terkadang, kita tidak tahu maksud Allah ketika kejahatan menimpa, tetapi di ujung perjalanan, barulah dapat dikenal maksud hati Allah.  Yusuf memilih untuk melihat dari cara pandang Allah.  Oleh sebab itulah, ia tidak pernah menyimpan dendam kepada kakak-kakaknya yang jahat kepadanya.

Penerapan

Remaja belajar untuk bertanya, “Siapa yang sakit ketika konflik terjadi?”  Ternyata, dampak dari konflik yang terjadi ternyata bukan hanya berimbas kepada korban, tetapi juga si pelaku.  Kendati rekonsiliasi telah tercapai, remaja perlu tetap mengingat kemungkinan bahwa para pelaku kejahatan tetap menyimpan trauma masa lampau.

Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang pada tahun 1965 turut melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia.  Ia menyembelih sesamanya.  Ia membunuh dengan cara-cara sadis para korbannya.  Ternyata, perbuatannya ini membuatnya tidak tenang.  Selama 20 tahun lebih, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.  Jeritan dan darah orang yang dibantai itu selalu menghantuinya.  Ia telah berusaha memohon ampun kepada Tuhan, tetapi tidak juga kedamaian hati didapatinya.

Dua puluh tahun kemudian, ia mencoba langkah baru.  Ia berani bercerita kepada orang lain.  Ketika menceritakan itu, ia tidak berbangga diri.  Ia selalu mengakhiri kisahnya dengan: “Saya menyesal.  Saya ingin meminta maaf kepada orang-orang yang telah menjadi korban itu.”  Langkah ini lebih membuatnya tenang.  Ia sekali-sekali tidak lagi mau menjadi penjagal manusia, seperti dahulu itu.  Ia mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.

(Pembina dapat menceritakan kejadian-kejadian serupa kepada para remaja, mengenai dampak kejahatan dari sisi sang pelaku).

Dalam pelajaran yang lalu, remaja telah belajar untuk menghayati sisi korban.  Kini, mereka belajar menempatkan diri dalam sisi pelaku kejahatan.

PENGAMPUNAN: AWAL KEADILAN



PENGAMPUNAN: AWAL KEADILAN

Teks:
Kejadian 45:1-15

Pengantar 

Pengampunan adalah tema yang relevan bagi kelompok usia remaja.  Dalam rentang usia pancaroba, mereka sedang mencari identitas.  Emosi belum stabil.  Cita-cita melayang tinggi.  Kemandirian hidup belum cukup mereka miliki.  Inilah yang terkadang menyebabkan mereka susah dalam menempatkan diri.  Di rumah, mereka tidak cocok dengan orangtua.  Di sekolah, mereka lebih suka berkelompok dan kerap kali bersinggungan dengan kelompok yang lain, demi solidaritas internal kelompoknya.  

Sebagai pembina atau pendamping pelayanan remaja, tentu kita telah dapat mawas mengenai problem “kenakalan” remaja.  Tawuran yang terjadi antarsiswa terjadi di mana-mana.  Nyaris semua remaja merasa tidak nyaman jika berbicara dengan orangtuanya.  Dalam banyak kasus konseling remaja, biasanya mereka menyampaikan keluh kesah dan beban mengenai komunikasi dengan orangtua dan orang-orang yang terdekat.  Tak sedikit pula anak remaja yang merasa ingin pergi dari rumah.

Pengampunan seyogianya menjadi salah satu pokok pelajaran utama pembinaan remaja.  Bila semenjak dini mereka diajar mengenai pengampunan, niscaya akan berkurang pula insan-insan yang beringas, yang hanya ingin memecah kesatuan dan persaudaraan di negara dan lingkungan kita.  

Alkitab adalah media yang baik untuk mengajarkan pengampunan.  Alkitab menyuguhkan banyak sekali kisah yang diwarnai intrik dan konflik.  Salah satu kisah yang terkenal adalah kisah Yusuf.  Yusuf dipilih karena dia adalah salah satu tokoh yang menjalani ini pada masa mudanya, sehingga relevan pula dengan dunia remaja.

Pendalaman Teks

Bangkai ditutup rapat, baunya tetap tercium juga.  Demikian kata pepatah.  Sepandai apa pun seseorang menutup dosanya, suatu saat pasti hal itu terkuak.  Bila tindakan jahat itu terbongkar, niscaya akan melahirkan rasa malu, penyesalan, dan rendah diri.

Kisah yang kita baca saat ini ialah saat di kala Yusuf membuka dirinya.  Rindu-dendam yang selama ini dipendam terhadap saudara-saudaranya tidak dapat lagi diredam.  Ia akhirnya memperkenalkan dirinya kepada kakak-kakaknya.  Simaklah, Yusuf memperkenalkan dirinya lagi kepada orang-orang yang telah mencelakakan dia di masa lampau!

Kembali mengingat masa lalunya, ketika ia berusia tujuh belas tahun, di situlah mulai terjadinya malapetaka yang menimpa dirinya.  Bukan kesalahannya, tetapi karena tingkah laku dan akal bulus kakak-kakaknya.  Ia dijual kepada pedagang asing, dan dilaporkan kepada bapaknya yang sudah tua dan rabun bahwa si anak kesayangan sudah diterkam oleh binatang buas.  Bertubi-tubi kesengsaraan menimpa hidup Yusuf.  Seandainya mereka tidak bertingkah, tentu tidak akan ada petaka yang silih-ganti menghujam ke atas Yusuf.

Yusuf kini telah menjadi mangkubumi di Mesir, setara dengan menteri koordinator kesejahteraan rakyat.  Ia menjadi penguasa atas urusan logistik di tanah Mesir.  Strateginya jitu.  Perencanaannya tepat dan terpadu.  Ia tampil sebagai pemimpin yang berintegritas, berwibawa, serta bijak dan brilian.  Mesir mengalami kemakmuran tiada tara, sementara daerah-daerah sekitar dilanda bencana kelaparan mahadahsyat.  Tak ayal lagi, berbondong-bondong musafir pergi ke Mesir untuk membeli bahan makanan.

Termasuk keluarga Yakub, ayahnya!  Ya, termasuk kakak-kakaknya.  Yusuf sama sekali tidak lupa akan wajah mereka, sementara mereka tak lagi mengenai wajah saudaranya itu.  Setiap kali saudara-saudaranya datang, Yusuf diam-diam memperlakukan mereka secara istimewa, lebih dari orang-orang lain.  Sampai akhirnya Yusuf meminta mereka untuk membawa adiknya yang terkecil, yaitu Benyamin, datang bersama-sama dengan mereka.  Tak ingin berpisah dari adiknya, Yusuf mencari cara agar adiknya tinggal di Mesir.  Maka, ia menyuruh orang memasukkan piala tempat minumnya ke dalam karung adiknya.  Piala minum pejabat adalah benda yang sangat disayangi, nilai jualnya tinggi dan biasanya dibuat dari bahan-bahan metal berharga berhias batu-batu permata.  Namun Yehuda membela adiknya di hadapan Yusuf, yang masih saja belum mereka kenali, karena identitas yang masih disembunyikan.

Tak bisa lagi Yusuf menahan-nahan perasaannya.  Namun di sini pula nyata karakter Yusuf dalam menyikapi masa lalu yang menyakitkan.  Ia memperkenalkan diri kepada kakak-kakaknya.  Yusuf menunjukkan sikap terpuji karena ia melakukan beberapa hal berikut ini:

1.       Yusuf berbicara langsung kepada orang yang pernah berbuat salah kepadanya.  Ia menyuruh semua orang keluar.  Para dayang dan pegawainya.  Tak satu pun diizinkan mengetahui apa yang ia akan katakan.  Urusan ini akan ia selesaikan dengan pihak yang telah menyakitinya—kakak-kakaknya.

2.       Yusuf langsung ke pokok masalah.  Ia menyatakan dirinya, “Akulah Yusuf.”  Ia tidak menguak masa lalu untuk membalaskan dendam-kesumatnya kepada orang-orang yang telah mencelakai dirinya pada masa mudanya.

3.       Yusuf menghargai saudara-saudaranya.  Reaksi saudara-saudaranya adalah ketakutan terhadap Yusuf.  Mereka gemetar.  Tetapi Yusuf segera mengangkat perasaan mereka lagi dengan menguatkan bahwa mereka tak perlu “bersusah hati” karena rasa malu (shame), dan “menyesali diri” karena rasa bersalah (guilt).

4.       Yusuf membingkai peristiwa masa lampau dalam kerangka karya ilahi.  Semua ada dalam rancangan kekuasaan Allah.  “Allah menyuruh aku mendahului kamu”; “Dialah yang telah menempatkan aku.”  Ada hikmat di balik semua kemalangan yang menimpa Yusuf, dan Yusuf memilih untuk menempatkan dalam bingkai pekerjaan Allah.

5.       Yusuf merekonsiliasi dirinya dengan mereka.  Yusuf adalah korban.  Ia bisa membalaskan dendamnya.  Tetapi ia memilih untuk tidak membiarkan sakit hati menguasainya.  Ia justru menjadi berkat bagi orang yang dulu memusuhinya.  Bahkan ia mau mencium dan memeluk sambil bertangis-tangisan dengan semua saudaranya.  Rekonsiliasi keluarga terjadi.

Penerapan

Belajar dari Yusuf, dunia yang adil bukanlah utopia, khayalan indah yang tidak akan terwujud.  Dunia yang adil dapat diwujudkan.  Syaratnya, dimulai dari diri.  Keadilan sering diimajikan orang sebagai membalas orang jahat setimpal dengan perbuatannya.  Kenyataannya, penjara tidak pernah sepi, kendati para narapidana telah menerima ganjaran perbuatannya.  Kuburan juga terus ditanami mayat-mayat yang mati, bukan karena meninggal di usia tua atau penyakit, tetapi juga karena pembunuhan.  Rumah sakit pun tiap hari menerima pasien akibat kejahatan yang dilakukan manusia lain.

Remaja kita pun bisa jadi mengalami rasa sakit hati, pengalaman traumatis, dendam.  Yang ada di hati mereka adalah perasaan ingin membalas, ingin mencari pembenaran, ingin dibela hak-haknya.  Jika trauma ini tidak diangkat dan disembuhkan, tentu dapat menyebabkan perilaku destruktif, baik bagi diri sendiri, lingkungan keluarga maupun masyarakat.  Teladan Yusuf dapat diikuti oleh para remaja:

1.       Ajaklah orang yang menyakiti mereka itu berbicara dari hati ke hati.  Jangan di muka umum, karena dapat mempermalukan pihak lain, sekaligus memberikan citra yang tidak baik kepada masyarakat.  Jika terlampau sulit, doronglah mereka untuk datang dengan seorang mediator.

2.       Berlatihlah untuk mengungkapkan perasaan.  Ajaklah agar remaja mampu belajar komunikasi asertif, yang mengungkapkan perasaan terlebih dahulu.

3.       Belajarlah menghargai orang yang telah menyakiti.  Bisa jadi mereka memiliki trauma masa lampau yang tidak tersembuhkan.  Bisa jadi mereka dibesarkan dalam lingkungan yang menyeret mereka ke dalam perilaku yang dapat menyakiti kita.  Hargailah tiap pribadi dengan mencoba mengenali latar belakang tiap-tiap orang.

4.       Yakinlah bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana bila remaja menghadapi masalah yang menyakitkan ini.  Tuhan memegang kendali atas semua hal, dan itu berarti Tuhan akan menyingkapkan maksud hati-Nya mengizinkan sesuatu yang menyakitkan terjadi dalam hidup kita.  Satu hal yang jelas: untuk mendewasakan kita, dan membentuk kita menjadi manusia yang semakin dimurnikan.

5.       Ampunilah mereka, dan upayakan terjadi rekonsiliasi.  Tanda rekonsiliasi adalah jika kedua pihak yang semula bersengketa kini menjadi harmonis, saling sapa dalam canda tawa, saling terbuka dan rela menolong satu sama lain.

Sunday, October 14, 2012

YUSUF, THE HERO FROM ZERO



YUSUF, THE HERO FROM ZERO

Teks:
Kejadian 41:37-57

Pengantar

Masa remaja adalah masa yang penuh idealisme.  Seorang remaja biasanya tidak bisa berdiam diri.  Punya energi yang besar, banyak bergerak, rasa ingin tahu tinggi dan banyak mencoba.  Namun di masa ini pula, seorang manusia biasanya mengalami krisis identitas.  Mereka ingin mengejar cita-cita mereka, namun di sisi lain mereka tidak yakin apakah mereka dapat mengejarnya.  Mereka punya banyak ide dan gagasan, namun cenderung menggantungkan diri kepada teman sekelompok mereka.  Mereka punya daya yang besar, tetapi tidak berani maju seorang diri.

Namun demikian, pertanyaan yang sangat mereka minati adalah, “Akan jadi seperti apakah aku ini?”  Sukseskah?  Gagalkah?  Apakah aku akan kaya raya?  Apakah aku akan menjadi orang yang biasa-biasa saja?  Inilah sebabnya, para ABG kebanyakan berperilaku meniru para artis yang sering tampil di layar kaca (K-Pop, boyband, girlband, dll.).  Secara teologis, pertanyaan para remaja yang sangat mengasyikkan bagi mereka ialah, “Apa sebenarnya kehendak Allah dalam hidupku?”

Pelajaran kali ini mengajak remaja belajar dari kisah Yusuf.  Dari kisah hidup Yusuf, kiranya para remaja dapat belajar bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, dan harus dikerjakan dengan tekun, kesabaran.  Kisah hidup Yusuf dapat dirangkum dalam satu kalimat: Sengsara membawa nikmat.

Pendalaman Teks

Adalah seorang muda, berperawakan tegap dan gagah, berusia 30 tahun.  Tampak sekali ia bukan orang biasa.  Ia pasti dari kalangan the have.  Lihat saja, pakaiannya bagus.  Kalung bertatahkan batu permata menghiasi dadanya.  Potongan rambutnya rapi.  Wajahnya terawat dengan baik.  Ia pun pasti orang penting!  Di tangannya terdapat sebilah tongkat, lambang kekuasaan.  Memang bukan raja, tetapi satu tingkat di bawah raja.  Lebih tepatnya orang kepercayaan raja.  Ia menjadi seorang mangkubumi.  Mungkin kita bisa samakan dengan Menkokesra, menteri koordinator kesejahteraan rakyat.  Bayangkan, masih muda, kaya raya, memiliki kuasa.  Masa depannya pasti cerah.  Tidak perlu cemas akan masa depan.  Ah, orang yang seperti ini pasti menjadi idola para perempuan muda!

Sebagai seorang mangkubumi, atau yang tadi kita sebut sebagai menkokesra, orang muda satu ini tebrukti mempunyai analisis yang cermat.  Ia berhasil memprediksikan bahwa di tanah asing, di mana ia tinggal, akan terjadi kelaparan yang besar selama tujuh tahun, setelah masa tujuh tahun kemakmuran yang mendahuluinya.  Terkadang, orang lebih mementingkan aji mumpung.  Mumpung melimpah harta, sebab itu hiduplah berfoya-foya.  Mumpung berkuasa, sebab itu pakailah kuasa itu untuk kesenangan pribadi. 

Namun orang ini berbeda.  Ia tidak menghambur-hamburkan kelimpahan yang dirasakan oleh segenap rakyatnya.  Sebaliknya, ia kumpulkan segala bahan makanan, dalam gudang-gudang penyimpanan logistik yang khusus.  Gandum ditimbun bagai pasir di laut, karena begitu banyaknya!  Jumlahnya benar-benar fantastis!  Tak seorang pun pegawai kantor logistik waktu itu yang sanggup menghitungnya.

Siapakah orang itu?  Apakah dia keturunan darah biru, sehingga bisa menduduki posisi yang sedemikian penting?  Ah, ternyata bukan.  Apakah dia berhasil menduduki jabatan itu karena KKN?  Dengan uang pelicin di bawah tangan?  Kalau di Indonesia sih, hal itu bisa jadi!  Tetapi jelas mustahil orang muda ini melakukan praktik-praktik sedemikian.  Mungkin engkau akan tercengang kalau mundur dua tahun sebelumnya.

Ketika ia masih berumur 28 tahun, dia hanyalah seorang narapidana!  Ia hidup di bui.  Apakah ia melakukan kesalahan?  Tidak, ia bersaksi, “Sebab aku dicuri diculik begitu saja dari negeri orang Ibrani dan di sinipun aku tidak pernah melakukan apa-apa yang menyebabkan aku layak dimasukkan ke dalam liang tutupan ini.”  (Kej. 40:15).  Kisahnya berawal dari tindakan nyonya Potifar, seorang pejabat istana raja di Mesir, yang jatuh cinta kepada teman kita ini, namun apalah daya—cinta bertepuk sebelah tangan, maka dendam kesumat pun membara, sehingga membuahkan tindakan membabi buta.  Teman kita ini sama sekali tidak menghiraukan bujuk-rayu sang nyonya.  Ah, malang nasib tak diundang.  Posisi baik sebagai kepala pelayan di rumah tuan Potifar pun hilang dalam sekejap mata.  Penjara menjadi tempat tinggal berikutnya.

Kendati di dalam penjara, sebuah liang yang nyaris seukuran badan orang dewasa dan ditutup dengan batu, hanya lubang kecil untuk menjaga sirkulasi udara, orang muda ini tetap menunjukkan kualitas hidup yang baik.  Ia mendapat kasih dari kepala penjara, sehingga mengangkatnya sebagai komandan para NAPI (narapidana).  Ia pun melakukan tugasnya dengan dedikasi dan tanggung jawab yang tinggi.  Lumayan, sekarang ia tidak tinggal lagi di liang itu!

Singkat cerita, di penjara itu ia berjumpa dengan juru minuman dan juru roti raja Mesir, yang juga turut dipenjara karena kesalahan mereka.  Suatu kali mereka bermimpi, dan teman kita berhasil menafsirkan mimpi mereka.  Malang nian nasib si juru roti.  Ia digantung sampai mati di atas tiang, sementara sang juru minuman dipulihkan posisinya.  Ia kembali bekerja kepada baginda raja di Mesir.  Sementara itu, teman kita tetap menjadi pesakitan di bui!  Dua tahun berlalu, sampai akhirnya baginda raja Firaun dari Mesir bermimpi, dan hanya teman kita ini yang sanggup menafsirkan mimpi sang raja.

Sampai di sini, kita melihat “nasib” teman kita ini tidak menyenangkan!  Itu belum seberapa.  Pada masa ia remaja, tepatnya setelah ia merayakan sweet-seventeen-nya, ia tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari kakak-kakaknya.  Bukan kado yang diberikan kepadanya, bukan kue tart dan lilin 17 tahun yang menyala, siap ditiup.  Tetapi . . . rasa cemburu, hati yang dibakar dengan dendam dan amarah dari kakak-kakaknya. 

Teman kita ini adalah anak ke-11 dari seorang bapak tua, seorang saudagar dengan bisnis ternak domba yang sukses.  Bapak Yakub namanya.  Bapak tua ini memang sangat menyayangi anak nomor 11 ini, karena ia terlahir dari istri yang ia sayangi, ibu Rahel.  Tetapi tragedi sweet-seventeen itu telah merenggut sukacita mereka!  Teman kita dijual oleh kakak-kakaknya ke pedagang Ismael.  Bertahun-tahun, bapak Yakub tidak berjumpa dengan anak yang ia sangat kasihi ini.  Dari anak yang dimanja, menjadi remaja yang hidup terlunta-lunta.

Sanggupkah kita menjalani hidup seperti kawan kita?  Dikhianati, dijual, ditinggalkan sendiri, dihina, difitnah, dilupakan.  Berapa banyak air mata yang teman kita harus teteskan?  Mungkin air mata pun sudah kering!  Dia semula adalah zero.  Tapi kini ia menjadi seorang hero.  Sekarang ia pejabat.  Kini hidupnya nikmat.  Itulah kisah hidup Yusuf bin Yakub, teman kita!

Apa yang menjadi kunci hidupnya?

1.       Relasi dengan Tuhan—Tuhan menyertai Yusuf.  Di rumah Potifar.  Di dalam penjara.  Tuhan menyertai Yusuf!  Ia tidak bersalah.  Di mana ia berada, seolah-olah ia selalu dirundung kemalangan.  Petaka selalu mencekam hidupnya.  Tetapi melampaui itu semua, ada tangan Allah yang tidak kelihatan, menggandeng tangan Yusuf.  Tuhan berada bersama dengan Yusuf sampai di titik-titik masa kritis kehidupannya.

2.       Kekudusan—Yusuf hidup dalam integritas.  Ia menjaga kekudusan hidupnya.  Ia memelihara mutu kehidupan yang tinggi.  Ia memiliki kelenturan yang tinggi dalam menghadapi banyak rintangan dan gangguan yang menghujami kehidupannya.  Tak pernah disebutkan ia mengeluh dan patah pengharapan.  Di mana ia ada, ia selalu menunjukkan kualitas hidup yang tinggi, sehingga orang-orang di sekitarnya pun mengasihinya.

3.       Kepandaian—Yusuf memiliki intelektual yang tinggi.  Hidup Yusuf dibingkai dalam mimpi dan mimpi, baik ia sendiri maupun orang-orang yang di sekitarnya.  Mimpi bukan sekadar imajinasi kosong melompong, namun berarti daya analitis dan kepekaan untuk membaca masa depan, dan mengatur strategi yang terbaik untuk mengantisipasi masa depan itu.

4.       Pengampunan—Yusuf melepaskan perasaan dendam.  Ia tidak pernah sakit hati kepada kakak-kakaknya yang jahat.  Ia mengampuni mereka.  Bahkan ia melihat semua yang terjadi itu dalam kerangka ilahi—bahwa Allah telah mengatur sedemikian rupa perjalanan hidupnya untuk memelihara keluarga besarnya, khususnya ayahnya yang kini telah renta.  Akhirnya ia memboyong keluarganya untuk pindah ke Mesir, karena di tanah tempat tinggal mereka terjadi kelaparan besar.

Penerapan

Yusuf menjadi seorang hero karena ia sedikit-dikitnya memiliki empat kualitas hidup seperti di atas.  Di sekitar kita, ada banyak orang yang sukses dalam hal materi, pandai luar biasa, namun ternyata mereka tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, serta tidak memiliki hati yang mengampuni.  Orang yang seperti ini tidak akan memiliki kebahagiaan yang sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak remaja yang tidak yakin akan kemampuannya.  Tidak sedikit remaja yang minder dengan keadaanya.  Banyak juga remaja yang bermalas-malasan, padahal sebenarnya mempunyai kemampuan.  Banyak remaja yang menyimpan dendam dan sakit hati dengan keadaan yang menimpanya.

Yusuf punya banyak alasan untuk angkat tangan dan berkata, “Akulah yang layak punya perasaan seperti itu!”  Tetapi ia menampik semuanya itu.  Ia memilih untuk menjadi hero sejati, meskipun ia berasal dari zero.  Justru dengan memiliki empat kualitas itu, ia dapat mewujudkan keadilan bagi sesamanya, bahkan orang-orang yang pernah mencelakakannya.