Sunday, October 14, 2012

YUSUF, THE HERO FROM ZERO



YUSUF, THE HERO FROM ZERO

Teks:
Kejadian 41:37-57

Pengantar

Masa remaja adalah masa yang penuh idealisme.  Seorang remaja biasanya tidak bisa berdiam diri.  Punya energi yang besar, banyak bergerak, rasa ingin tahu tinggi dan banyak mencoba.  Namun di masa ini pula, seorang manusia biasanya mengalami krisis identitas.  Mereka ingin mengejar cita-cita mereka, namun di sisi lain mereka tidak yakin apakah mereka dapat mengejarnya.  Mereka punya banyak ide dan gagasan, namun cenderung menggantungkan diri kepada teman sekelompok mereka.  Mereka punya daya yang besar, tetapi tidak berani maju seorang diri.

Namun demikian, pertanyaan yang sangat mereka minati adalah, “Akan jadi seperti apakah aku ini?”  Sukseskah?  Gagalkah?  Apakah aku akan kaya raya?  Apakah aku akan menjadi orang yang biasa-biasa saja?  Inilah sebabnya, para ABG kebanyakan berperilaku meniru para artis yang sering tampil di layar kaca (K-Pop, boyband, girlband, dll.).  Secara teologis, pertanyaan para remaja yang sangat mengasyikkan bagi mereka ialah, “Apa sebenarnya kehendak Allah dalam hidupku?”

Pelajaran kali ini mengajak remaja belajar dari kisah Yusuf.  Dari kisah hidup Yusuf, kiranya para remaja dapat belajar bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, dan harus dikerjakan dengan tekun, kesabaran.  Kisah hidup Yusuf dapat dirangkum dalam satu kalimat: Sengsara membawa nikmat.

Pendalaman Teks

Adalah seorang muda, berperawakan tegap dan gagah, berusia 30 tahun.  Tampak sekali ia bukan orang biasa.  Ia pasti dari kalangan the have.  Lihat saja, pakaiannya bagus.  Kalung bertatahkan batu permata menghiasi dadanya.  Potongan rambutnya rapi.  Wajahnya terawat dengan baik.  Ia pun pasti orang penting!  Di tangannya terdapat sebilah tongkat, lambang kekuasaan.  Memang bukan raja, tetapi satu tingkat di bawah raja.  Lebih tepatnya orang kepercayaan raja.  Ia menjadi seorang mangkubumi.  Mungkin kita bisa samakan dengan Menkokesra, menteri koordinator kesejahteraan rakyat.  Bayangkan, masih muda, kaya raya, memiliki kuasa.  Masa depannya pasti cerah.  Tidak perlu cemas akan masa depan.  Ah, orang yang seperti ini pasti menjadi idola para perempuan muda!

Sebagai seorang mangkubumi, atau yang tadi kita sebut sebagai menkokesra, orang muda satu ini tebrukti mempunyai analisis yang cermat.  Ia berhasil memprediksikan bahwa di tanah asing, di mana ia tinggal, akan terjadi kelaparan yang besar selama tujuh tahun, setelah masa tujuh tahun kemakmuran yang mendahuluinya.  Terkadang, orang lebih mementingkan aji mumpung.  Mumpung melimpah harta, sebab itu hiduplah berfoya-foya.  Mumpung berkuasa, sebab itu pakailah kuasa itu untuk kesenangan pribadi. 

Namun orang ini berbeda.  Ia tidak menghambur-hamburkan kelimpahan yang dirasakan oleh segenap rakyatnya.  Sebaliknya, ia kumpulkan segala bahan makanan, dalam gudang-gudang penyimpanan logistik yang khusus.  Gandum ditimbun bagai pasir di laut, karena begitu banyaknya!  Jumlahnya benar-benar fantastis!  Tak seorang pun pegawai kantor logistik waktu itu yang sanggup menghitungnya.

Siapakah orang itu?  Apakah dia keturunan darah biru, sehingga bisa menduduki posisi yang sedemikian penting?  Ah, ternyata bukan.  Apakah dia berhasil menduduki jabatan itu karena KKN?  Dengan uang pelicin di bawah tangan?  Kalau di Indonesia sih, hal itu bisa jadi!  Tetapi jelas mustahil orang muda ini melakukan praktik-praktik sedemikian.  Mungkin engkau akan tercengang kalau mundur dua tahun sebelumnya.

Ketika ia masih berumur 28 tahun, dia hanyalah seorang narapidana!  Ia hidup di bui.  Apakah ia melakukan kesalahan?  Tidak, ia bersaksi, “Sebab aku dicuri diculik begitu saja dari negeri orang Ibrani dan di sinipun aku tidak pernah melakukan apa-apa yang menyebabkan aku layak dimasukkan ke dalam liang tutupan ini.”  (Kej. 40:15).  Kisahnya berawal dari tindakan nyonya Potifar, seorang pejabat istana raja di Mesir, yang jatuh cinta kepada teman kita ini, namun apalah daya—cinta bertepuk sebelah tangan, maka dendam kesumat pun membara, sehingga membuahkan tindakan membabi buta.  Teman kita ini sama sekali tidak menghiraukan bujuk-rayu sang nyonya.  Ah, malang nasib tak diundang.  Posisi baik sebagai kepala pelayan di rumah tuan Potifar pun hilang dalam sekejap mata.  Penjara menjadi tempat tinggal berikutnya.

Kendati di dalam penjara, sebuah liang yang nyaris seukuran badan orang dewasa dan ditutup dengan batu, hanya lubang kecil untuk menjaga sirkulasi udara, orang muda ini tetap menunjukkan kualitas hidup yang baik.  Ia mendapat kasih dari kepala penjara, sehingga mengangkatnya sebagai komandan para NAPI (narapidana).  Ia pun melakukan tugasnya dengan dedikasi dan tanggung jawab yang tinggi.  Lumayan, sekarang ia tidak tinggal lagi di liang itu!

Singkat cerita, di penjara itu ia berjumpa dengan juru minuman dan juru roti raja Mesir, yang juga turut dipenjara karena kesalahan mereka.  Suatu kali mereka bermimpi, dan teman kita berhasil menafsirkan mimpi mereka.  Malang nian nasib si juru roti.  Ia digantung sampai mati di atas tiang, sementara sang juru minuman dipulihkan posisinya.  Ia kembali bekerja kepada baginda raja di Mesir.  Sementara itu, teman kita tetap menjadi pesakitan di bui!  Dua tahun berlalu, sampai akhirnya baginda raja Firaun dari Mesir bermimpi, dan hanya teman kita ini yang sanggup menafsirkan mimpi sang raja.

Sampai di sini, kita melihat “nasib” teman kita ini tidak menyenangkan!  Itu belum seberapa.  Pada masa ia remaja, tepatnya setelah ia merayakan sweet-seventeen-nya, ia tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari kakak-kakaknya.  Bukan kado yang diberikan kepadanya, bukan kue tart dan lilin 17 tahun yang menyala, siap ditiup.  Tetapi . . . rasa cemburu, hati yang dibakar dengan dendam dan amarah dari kakak-kakaknya. 

Teman kita ini adalah anak ke-11 dari seorang bapak tua, seorang saudagar dengan bisnis ternak domba yang sukses.  Bapak Yakub namanya.  Bapak tua ini memang sangat menyayangi anak nomor 11 ini, karena ia terlahir dari istri yang ia sayangi, ibu Rahel.  Tetapi tragedi sweet-seventeen itu telah merenggut sukacita mereka!  Teman kita dijual oleh kakak-kakaknya ke pedagang Ismael.  Bertahun-tahun, bapak Yakub tidak berjumpa dengan anak yang ia sangat kasihi ini.  Dari anak yang dimanja, menjadi remaja yang hidup terlunta-lunta.

Sanggupkah kita menjalani hidup seperti kawan kita?  Dikhianati, dijual, ditinggalkan sendiri, dihina, difitnah, dilupakan.  Berapa banyak air mata yang teman kita harus teteskan?  Mungkin air mata pun sudah kering!  Dia semula adalah zero.  Tapi kini ia menjadi seorang hero.  Sekarang ia pejabat.  Kini hidupnya nikmat.  Itulah kisah hidup Yusuf bin Yakub, teman kita!

Apa yang menjadi kunci hidupnya?

1.       Relasi dengan Tuhan—Tuhan menyertai Yusuf.  Di rumah Potifar.  Di dalam penjara.  Tuhan menyertai Yusuf!  Ia tidak bersalah.  Di mana ia berada, seolah-olah ia selalu dirundung kemalangan.  Petaka selalu mencekam hidupnya.  Tetapi melampaui itu semua, ada tangan Allah yang tidak kelihatan, menggandeng tangan Yusuf.  Tuhan berada bersama dengan Yusuf sampai di titik-titik masa kritis kehidupannya.

2.       Kekudusan—Yusuf hidup dalam integritas.  Ia menjaga kekudusan hidupnya.  Ia memelihara mutu kehidupan yang tinggi.  Ia memiliki kelenturan yang tinggi dalam menghadapi banyak rintangan dan gangguan yang menghujami kehidupannya.  Tak pernah disebutkan ia mengeluh dan patah pengharapan.  Di mana ia ada, ia selalu menunjukkan kualitas hidup yang tinggi, sehingga orang-orang di sekitarnya pun mengasihinya.

3.       Kepandaian—Yusuf memiliki intelektual yang tinggi.  Hidup Yusuf dibingkai dalam mimpi dan mimpi, baik ia sendiri maupun orang-orang yang di sekitarnya.  Mimpi bukan sekadar imajinasi kosong melompong, namun berarti daya analitis dan kepekaan untuk membaca masa depan, dan mengatur strategi yang terbaik untuk mengantisipasi masa depan itu.

4.       Pengampunan—Yusuf melepaskan perasaan dendam.  Ia tidak pernah sakit hati kepada kakak-kakaknya yang jahat.  Ia mengampuni mereka.  Bahkan ia melihat semua yang terjadi itu dalam kerangka ilahi—bahwa Allah telah mengatur sedemikian rupa perjalanan hidupnya untuk memelihara keluarga besarnya, khususnya ayahnya yang kini telah renta.  Akhirnya ia memboyong keluarganya untuk pindah ke Mesir, karena di tanah tempat tinggal mereka terjadi kelaparan besar.

Penerapan

Yusuf menjadi seorang hero karena ia sedikit-dikitnya memiliki empat kualitas hidup seperti di atas.  Di sekitar kita, ada banyak orang yang sukses dalam hal materi, pandai luar biasa, namun ternyata mereka tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, serta tidak memiliki hati yang mengampuni.  Orang yang seperti ini tidak akan memiliki kebahagiaan yang sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak remaja yang tidak yakin akan kemampuannya.  Tidak sedikit remaja yang minder dengan keadaanya.  Banyak juga remaja yang bermalas-malasan, padahal sebenarnya mempunyai kemampuan.  Banyak remaja yang menyimpan dendam dan sakit hati dengan keadaan yang menimpanya.

Yusuf punya banyak alasan untuk angkat tangan dan berkata, “Akulah yang layak punya perasaan seperti itu!”  Tetapi ia menampik semuanya itu.  Ia memilih untuk menjadi hero sejati, meskipun ia berasal dari zero.  Justru dengan memiliki empat kualitas itu, ia dapat mewujudkan keadilan bagi sesamanya, bahkan orang-orang yang pernah mencelakakannya.

No comments:

Post a Comment