Monday, October 1, 2012

SOLA SCRIPTURA DALAM PERSPEKTIF MENNONIT



SOLA SCRIPTURA DALAM PERSPEKTIF MENNONIT

Dosa Reformasi

Sebagai bagian dari gerakan Reformasi Eropa, maka para pelopor Anabaptis di satu sisi mendukung seruan para reformator gereja seperti Martin Luther di Jerman dan Ulrich Zwingli di Swis.  Para reformator menghendaki gereja untuk ad fontes! (kembali ke dasar), yaitu dasar iman.  Martin Luther dasar iman Kristen dalam panca-sola: sola Scriptura (hanya Alkitab), sola gratia (hanya anugerah), sola fide (hanya iman), solus Christus (satu Kristus), dan soli Deo gloria (kemuliaan hanya bagi Allah).  Para pelopor gerakan Anabaptis sepakat dan berseru “Amin!” untuk semua pokok itu.

Kendati demikian, mereka menemukan sesuatu yang janggal di dalam perjuangan para reformator.  Panca-solayang digelorakan oleh para reformator dipandang tidak cukup dikerjakan secara konsisten.  Gereja Protestan tak ubahnya seperti gereja yang lalu.  Kehidupan tiap-tiap orang Kristen masih belum mengalami perubahan.  “Merk” gereja berubah (dari Katolik Roma ke Protestan Reformatoris), tetapi gaya hidup orang Kristen tidak kunjung berubah.  Para pemimpin gereja sendiri tidak berani bersikap berdasarkan kebenaran yang mereka suarakan, khususnya dalam hubungan dengan negara dan pemerintah.

Sebagai contoh, Zwingli yang latang berkhotbah ekspositoris dari pasal ke pasal dari seluruh Perjanjian Baru, menemukan bahwa baptis anak-anak seharusnya tidak dilakukan.  Alkitab membisu mengenai perintah untuk membaptiskan anak-anak.   Ia berkata, “Tidak ada hal yang lebih mendukakan saya daripada [bilamana] saat ini saya harus membaptis anak-anak, sebab saya tahu hal itu seharusnya tidak dilakukan.”  Namun, Zwingli sadar konsekuensi atas perkataan ini besar.  Risikonya berat.  Zwingli adalah seorang ahli strategi yang andal, sehingga ia berpikir tidak mungkin untuk mendikan suatu gereja orang-orang percaya (believers’ church) namun tetap mempertahankan hubungan harmonis antara gereja dan negara.  Motif di balik sikap ini sangat politis.  Zwingli ingin agar penduduk kota Zurich, di mana ia melayani sebagai imam, memeluk Protestanisme.  Maka, ia harus mempersilakan kuasa sekuler untuk turut campur dalam urusan-urusan kegerejaan.  Reformasi tidak cukup radikal!

Sikap yang ditunjukkan oleh para pemimpin gereja, tak terkecuali para pengikut reformator, juga sama dengan gereja Katolik Roma.  Mereka menindas para pencari kebenaran.  Kaum minor ini terlalu subversif (berbahaya) bagi pembaruan gereja.  Maka baik golongan Katolik maupun golongan Protestan kemudian berusaha menyingkirkan para kaum Anabaptis.  Hal ini membuat para perintis gerakan Anabaptis semakin yakin bahwa para guru Alkitab hanya pintar berkhotbah, tetapi hampa dalam praktik kasih.  Mereka kaya dalam kutipan dari karya-karya klasik para teolog dan filsuf, namun miskin dalam pembimbingan terhadap kaum marjinal.  Mereka luar biasa dalam mengajar jemaat, namun gereja telah jatuh ke ekstrem menciptakan golongan pengajar (ecclesia docens) yang memberikan pembelajaran kepada jemaat “awam” (ecclesia audiens).  

Kian bulatlah dugaan para pelopor Anabaptis bahwa gereja Protestan lebih tidak melakukan apa yang benar menurut Kitab Suci.  David Joris (1501-1556), seorang Anabaptis mula-mula berkata, “Karena itu, saya memperingatkan kalian demi nama Tuhanku mengenai guru-guru ini, sebab mereka menyombongkan diri terhadap Allah.  Mereka tidak memiliki Firman Allah yang hidup, tetapi hanya huruf yang mati.  Jangan dengarkan bualan-bualan mereka, atau mempercayai kata-kata indah mereka, . . .  Mereka berkata ‘berbahagialah kamu, tetapi mereka menipu kamu.” (c. 1538)

Sabda dan Roh

Protes para pelopor gerakan Anabaptis mengarah ke ekstrem yang lain.  Mereka menuntut perubahan hidup yang nyata.  Oleh sebab itu, jika seorang Kristen membaca Alkitab, maka harus terjadi perubahan kehidupan di tiap-tiap diri murid Yesus.  Masalahnya, mereka ini mengambil sikap melepaskan diri dari keterikatan dengan gereja Katolik maupun Protestan.  Tidak ada guru yang mengajar mereka.  Tidak ada patokan yang menjadi fondasi mereka.  Tidak ada kredo (pengakuan iman) yang mengikat mereka.  Maka, kaum Anabaptis perdana membaca Alkitab dalam terang Roh.  Terdapat dua golongan yang dapat disebut di sini: (1) golongan spiritualis dan (2) golongan legalis atau hurufiah.

Golongan pertama, yang disebut golongan spiritualis, sangat mengandalkan penglihatan, wahyu, dan hal-hal yang berhubungan dunia roh.  Mereka didorong oleh antusiasme yang besar oleh kuasa Roh.  Mereka percaya bahwa semua kebenaran, anugerah, sukacita, dan damai dapat dialami hanya melalui perbuatan-perbuatan ajaib Roh.  Kehendak Allah dapat dikenali melalui Roh, yang berarti bahwa Roh tidak diberikan hanya bagi orang-perorangan, atau kenikmatan persekutuan, tetapi juga buah roh yang menjadi nyata dalam hidup sehari-hari.  Roh dipandang sebagai kuasa yang aktif, bukan pasif, yang mengejutkan, mengubah, menjungkirbalikkan dunia mereka, dan membuat semuanya baru.  Mereka mengaku dibaptis dengan Roh Kudus, tetapi tak satu pun catatan mengenai adanya glossolalia (bahasa lidah) dalam pertemuan ibadah.

Namun, antusiasme terhadap Roh ini mendorong kaum Anabaptis lain untuk membentuk golongan lain, yakni golongan literalis, harfiah, dan bahkan dapat disebut kaum legalis.  Mereka memiliki aturan komunal yang ketat sekali, yang didasarkan pada kutipan-kutipan kitab suci.  Kita dapat menilik tulisan-tulisan Dirk Philips dan Menno Simons, tokoh Anabaptis yang ternama, yang memasukkan banyak sekali kutipan ayat kitab suci.  Hans Denck dilaporkan mengutip ayat kitab suci secara tajam dan “di atas pemahaman [rata-rata]” oleh para lawannya di kota Strasbourg, Swis.  Para martir Anabaptis pun tahu benar bagaimana cara mengutip kitab suci dengan baik ketika mereka diinterogasi untuk menentukan hukuman atas penyelewengan mereka.

Dalam ketegangan golongan spiritualis dan literalis di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa kaum Anabaptis percaya bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia bagi mereka, serta Roh Kudus adalah Penolong yang menjadikan gaya hidup seperti Kristus itu mungkin.  Kehidupan baru mustahil terwujud tanpa Roh Kudus.  Lebih-lebih, hanya Roh saja yang memampukan seorang percaya untuk memahami Firman Allah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.  David Joris patut kita simak perkataannya, “Kitab-kitab Suci diembuskan ke dalam para penulisnya melalui Roh [2 Tim. 3:16] dan diberikan bagi pelayanan, yang memberi keyakinan kepada orang-orang miskin.” 

Rohlah yang memimpin ke dalam segala kegenaran, mengaruniakan karunia rohani, menguduskan, menghibur dalam penderitaan, memberi kemerdekaan sejati dan memungkinkan hidup yang berbuah.  Kasih adalah anugerah Roh Kudus kepada murid-murid yang taat.  Menno Simons menulis, “[Kitab Suci] benar-benar ditulis untuk tujuan yang sia-sia, . . . jika Roh Kudus Allah, guru segala kebenaran, tidak menyentuh, menembus, dan membalikkan hati para murid atau pendengar melalui cara yang Allah sudah berikan dan persiapkan, yaitu Firman Allah.”

Andaikan Saja . . .

Kaum Mennonit memandang sola scriptura tidak berujung pada doktrin, tetapi pada perubahan hidup setiap orang percaya.  Karena itu, peran Roh Kudus menonjol dalam tulisan-tulisan para tokoh gerakan Anabaptis-Mennonit.  Sebaliknya, mereka memandang negatif, dan cenderung antipengakuan-iman, antiteologi, antitradisi.  Bagi mereka, kredo adalah buatan manusia dan tidak boleh ditempatkan di atas kitab suci.  Teologi mematikan kuasa Firman Allah yang mengubah kehidupan.  Tradisi membuat gereja hidup dalam kenangan masa lalu.

Sikap yang demikian tentu saja dapat dipahami oleh sebab konteks kekecewaan mereka terhadap para guru, yang tidak dapat lagi digugu dan ditiru.  Mengikut Yesus berarti ketaatan radikal kepada Sabda Kristus dan cara kehidupan-Nya, bahkan rela mempersembahkan diri sebagai korban hidup oleh karena iman.  Namun demikian, tak ayal lagi kita dapat saksikan bahwa ternyata prinsip radikal ini melahirkan ketegangan di dalam tubuh Anabaptis sendiri.  Terdapat kutub-kutub ekstrem dalam internal gerakan ini: ada golongan spiritualis, ada golongan literalis.

Andaikan saja kaum Anabaptis perdana menyadari bahwa Kitab Suci pun merupakan produk dari pengakuan iman.  Kitab Suci adalah hasil dari kredo.  Maksudnya, Kitab Suci tidak jadi begitu saja, sebagai sebuah buku yang jatuh dari langit.  Ribuan tahun bagi kitab-kitab PL untuk terkumpul menjadi 39 kanon.  Tak kurang dari 400 tahun setelah periode kematian Yesus Kristus bagi tulisan-tulisan PB untuk menjadi kanon.  Kitab-kitab itu menjadi kanon sebagai buah pengkajian yang intensif dari pengakuan iman jemaat am (universal) melalui liturgi yang dipakai oleh Gereja Tuhan.

Andaikan saja kaum Anabaptis perdana menyadari pentingnya teologi dan perlunya belajar dari para teolog klasik serta bapa-bapa gereja.  Tentulah akan diwariskan karya-karya tulis yang banyak berdialog dengan bapa gereja, sehingga gerakan ini tidak dituding sebagai gerakan antiintelektual.  Wajah gerakan Anabaptis tidak dicibir sebagai gerakan separatis sehingga tak perlu ada penganiayaan selama 200 tahun di Eropa, dan dapat berkontribusi dalam dialog-dialog teologis di kalangan gereja arus utama.

Andaikan saja kaum Anabaptis menyadari bahwa tradisi itu penting.  Menghayati kehidupan dan pengajaran Yesus juga berarti mendalami ajaran para rasul yang diwariskan oleh gereja dari abad ke abad.  Gereja tidak sempurna.  Gereja mengalami era-era kegelapan.  Namun Roh Kudus tetap memelihara Gereja-Nya selama berabad-abad.  Tentulah akan kaya khasanah warisan tradisi yang bermuara pada praksis gereja Tuhan yang sejati.

“Andaikan saja” adalah pernyataan yang tidak dapat diubah.  Masa lalu adalah sejarah.  Di masa kinilah, kita sebagai pewaris gerakan Anabaptis perlu mengambil langkah.  Roh yang menerangi hati kita untuk membaca kitab suci, pun menuntun kita untuk sadar bahwa gereja Anabaptis-Mennonit merupakan bagian dari arak-arakan gereja Tuhan di sepanjang abad dan tempat.  Yang tidak boleh berubah, membaca Kitab Suci harus sampai kepada perubahan hidup.  Sola Scriptura harus mentransformasi hidup jemaat.

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment